Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra Dewasa Awal

(1)

PROSES PEMILIHAN PASANGAN PADA TUNANETRA

DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

Indah Kartika Dewi

101301108

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan sesungguhnya skripsi saya yang berjudul :

Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra Dewasa Awal

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 20 Agustus 2014

Indah Kartika Dewi 101301108


(3)

Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra Dewasa Awal Indah Kartika Dewi dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan di mana terjadi kelainan fisik pada indra penglihatan. Memasuki masa dewasa awal, individu tunanetra akan dihadapkan dengan tugas perkembangan sesuai dengan tahap perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan pada masa ini adalah memilih pasangan. DeGenova (2008) mengemukakan bahwa memilih pasangan merupakan suatu proses penyaringan calon pasangan yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kelainan fisik pada tunanetra merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan proses pemilihan pasangan antara individu normal dengan penyandang tunanetra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemilihan pasangan pada tunanetra serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jumlah subjek dalam penelitian ini ialah sebanyak 3 orang dengan karakteristik, yakni seorang penyandang tunanetra, berusia 18-40 tahun, dan telah menikah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara sebagai teknik pengumpulan data.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyandang tunanetra memiliki keinginan untuk menikah dan beranggapan bahwa memilih pasangan merupakan proses yang penting dilakukan sebelum memutuskan untuk menikah. Ketiga subjek melalui setiap tahapan penyeleksian dalam proses pemilihan pasangan meski urutan tahapan penyeleksian subjek II berbeda dengan subjek I dan subjek III. Ketiga subjek memiliki kriteria pasangan yang berbeda-beda berdasarkan faktor kelas sosioekonomi, ras, agama, usia dan pendidikan. Hambatan penglihatan merupakan faktor utama penyebab subjek mengabaikan karakteristik fisik dalam memilih pasangan. Individu tunanetra tertarik dengan pasangannya berdasarkan suara dan karakteristik personal. Faktor agama menjadi faktor utama bagi ketiga subjek dalam menyeleksi pasangan. Dalam proses pemilihan pasangan, ketiga subjek tidak mencari tahu mengenai latar belakang keluarga pasangan mereka. Subjek hanya mendapatkan informasi mengenai hal tersebut melalui calon pasangan subjek.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tunanetra mengenai proses pemilihan pasangan sehingga dapat lebih selektif dalam memilih pasagan dan juga dapat menambah pengetahun orang tua yang memiliki anak tunanetra mengenai pemilihan pasangan sehingga dapat berperan serta dalam membantu, membimbing, dan mengarahkan tunanetra dalam memilih pasangan yang tepat.


(4)

Process of Mate Selection in Early Adulthood Visually Impairment Indah Kartika Dewi dan Rahma Yurliani

ABSTRACT

Visual impairment is one of physical disabilities which occurs abnormallity in vision. Early adulthood visually impairment will face development’s task accordance with its time. One of the development’s task in early adulthood is mate selection. DeGenova (2008) state that mate selection is a process to select a potential partner and influenced by various factors. Physical abnormality in visual impairment is one of the factors that cause the differences in mate selection’s process among normal person with visual impairment. The aim of this study is to describe the process of mate selection on visual impairment and factors that contributed to it. This study take three subjects. The characteristics of subjects are a person with visual impairment, early adulthood (18-40 years old), and had married. This study uses qualitative method by using interview as the main data collection techniques.

The results of this study show that visual impairment’s person have the desire to marry and assume that mate selection is an important thing to do before get marry. All of subjects through each stage in filtering process of mate selection despite the order of second subject is different from the first and third subject. They have different criterions of couple according to socioeconomic class, race, religion, age, and education’s factor. Visual impairment made physical characteristics were ignored in selecting a partner. Attractiveness is more lead to personality attraction and voice of partner. Interfaith marriage is the major factor for all of the subjects. In process of mate selection, they didn’t find out about their partner’s family background. They only know about it by their partner’s story.

This study is expected can increase knowledge about mate selection’s process in visual impairment so that people with visually impairment can more selective in choosing a mate and can increase knowledge of parents who had children with visually impairment about that process so that can help, guiding, and directing visual impairment to choose the right partner.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menjalani tahap demi tahap proses penulisan skripsi ini hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “ Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra Dewasa Awal”.

Tidak lupa pula penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, saran, maupun kritik kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua penulis H. Alimuddin, S.Pdi & Hj. Laila Sarifa Hanim, Ama.Pd dan Irsan Anugraha Siregar SKM & Wardahani br Taringan. Terima kasih atas semua kasih sayang dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Terima kasih untuk semua do’a, dukungan, semangat, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terkhusus untuk ayah, meski kita di tempat yang berbeda semoga saya masih bisa membuat ayah bangga. Maaf atas segala kekurangan penulis selama ini.

2. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi, Psikolog, selaku Dosen Pembimbing penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kesabaran Kakak dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala bimbingan, masukan, kritikan dan dukungan


(6)

yang telah Kakak berikan kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan kakak dengan lebih baik lagi.

3. Terima kasih kepada ibu Fillia Dina Anggaraeni, M.Pd selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak arahan dan masukan selama penulis menjalankan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

4. Terima kasih kepada adik-adik ku Irma Angraeni Siregar, Raja Parlindungan Siregar, dan Intan Maharani Siregar atas segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

5. Kepada Muhammad Rizki Affandi terima kasih telah menjadi teman terdekat penulis. Terima kasih atas segala kebahagiaan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Untuk Nova Susanti terima kasih telah membantu penulis menemukan subjek penelitian. Terima kasih atas segala dukungan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Rizky Amalia Putri teman sedari dulu atas segala dukungan yang telah diberikan.

7. Kepada Cassia Divina Lierzha Malsya S.Psi & Tresyagati, S.Psi terima kasih selalu bersedia menjadi tempat mencurahkan isi hati dan pikiran, menjadi teman bertukar pikiran, dan selalu memberikan masukan dan saran kepada penulis. Tidak lupa pula kepada Lydia Agustina Siregar, S.Psi, Anisah Gayatri, S.Psi, dan Ade Yunika Adha terima kasih atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.


(7)

8. Terima kasih kepada Sri Rizki Amanda, S.Psi, teman seperjuangan yang selalu membantu dalam memberikan masukan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih banyak kepada seluruh subjek yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Tanpa kesediaan kalian, skripsi ini tidak berarti apa-apa.

10.Yang terakhir terima kasih untuk seluruh pihak yang terkait dan membantu dalam penelitian ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pada kita semua, khususnya mengenai “Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra Dewasa Awal”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan banyak kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Medan, 19 Agustus 2014 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN………... i

ABSTRAK……… ii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI………. vii

DAFTAR TABEL………. x

DAFTAR LAMPIRAN……… xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………... 11

C. Tujuan Penelitian……….. 11

D. Manfaat Penelitian ………... 12

a. Manfaat teoritis……… 12

b. Manfaat praktis ………... 12

E. Sistematika Penulisan………... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Pemilihan Pasangan……….. 14

1. Pengertian pemilihan pasangan………. 14

2. Faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan……….. 14

3. Proses pemilihan pasangan………... 19

B. Tunanetra……….. 23

1. Pengertian Tunanetra ……….. 23


(9)

C. DEWASA AWAL

1. Pengetian Dewasa Awal………. ……… 25

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal……….. 26

3. Ciri-ciri Perkembangan Dewasa Awal………... 26

4. Pengertian Tunanetra Dewasa Awal………... 28

D. Gambaran Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra…………...28

E. Paradigma Berpikir……….. 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif………... 35

B. Subjek Penelitian……… ……… 37

a. Karakteristik subjek penelitian………37

b. Jumlah subjek penelitian……….38

c. Teknik pengambilan subjek………... 39

C. Metode Pengumpulan Data………. 40

D. Alat Bantu Pengumpulan Data……… 41

E. Lokasi Penlitian ………. 42

F. Kredibilitas Penelitian……… 43

G. Prosedur Penelitian………. 45

a. Tahap Persiapan Penelitian……… ……… 45

b. Tahap Pelaksanaan Penelitian………. 46

c. Tahap Pencatatan Data ……….. ……… 47

d. Prosedur Analisa Data……… 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL……… 52


(10)

1. SUBJEK I……… 52

2. SUBJEK II………. 102

3. SUBJEK III……… 139

B. PEMBAHASAN……… ……… 174

1. SUBJEK I………... 174

2. SUBJEK II………. 187

3. SUBJEK III……… 197

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN………. 231

B. SARAN………... 234

1. Saran Praktis……….. 234

2. Saran Penelitian Selanjutnya………..… 234


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Proses Penyaringan Pemilihan Pasangan………. 23

Tabel 2. Lokasi Penelitian……….. 42

Tabel 3. Gambaran Umum Subjek………. 51

Tabel 4. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Subjek I………... 52

Tabel 5. Rekapitulasi Proses Pemilihan Pasangan Subjek I... 96

Tabel 6. Rekapitulasi Faktor Pemilihan Pasangan Subjek I……….. 98

Tabel 7. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Subjek II………... 102

Tabel 8. Rekapitulasi Proses Pemilihan Pasangan Subjek II... 132

Tabel 9. Rekapitulasi Faktor Pemilihan Pasangan Subjek II………. 135

Tabel 10. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Subjek III………... 149

Tabel 11. Rekapitulasi Proses Pemilihan Pasangan Subjek III... 169

Tabel 12. Rekapitulasi Faktor Pemilihan Pasangan Subjek III……….. 170

Tabel 13. Analisa Banding Antar Subjek……….. 207


(12)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A Pedoman Wawancara

LAMPIRAN B Lembar Observasi LAMPIRAN C Informed Consent


(13)

Proses Pemilihan Pasangan Pada Tunanetra Dewasa Awal Indah Kartika Dewi dan Rahma Yurliani

ABSTRAK

Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan di mana terjadi kelainan fisik pada indra penglihatan. Memasuki masa dewasa awal, individu tunanetra akan dihadapkan dengan tugas perkembangan sesuai dengan tahap perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan pada masa ini adalah memilih pasangan. DeGenova (2008) mengemukakan bahwa memilih pasangan merupakan suatu proses penyaringan calon pasangan yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kelainan fisik pada tunanetra merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan proses pemilihan pasangan antara individu normal dengan penyandang tunanetra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemilihan pasangan pada tunanetra serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jumlah subjek dalam penelitian ini ialah sebanyak 3 orang dengan karakteristik, yakni seorang penyandang tunanetra, berusia 18-40 tahun, dan telah menikah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara sebagai teknik pengumpulan data.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyandang tunanetra memiliki keinginan untuk menikah dan beranggapan bahwa memilih pasangan merupakan proses yang penting dilakukan sebelum memutuskan untuk menikah. Ketiga subjek melalui setiap tahapan penyeleksian dalam proses pemilihan pasangan meski urutan tahapan penyeleksian subjek II berbeda dengan subjek I dan subjek III. Ketiga subjek memiliki kriteria pasangan yang berbeda-beda berdasarkan faktor kelas sosioekonomi, ras, agama, usia dan pendidikan. Hambatan penglihatan merupakan faktor utama penyebab subjek mengabaikan karakteristik fisik dalam memilih pasangan. Individu tunanetra tertarik dengan pasangannya berdasarkan suara dan karakteristik personal. Faktor agama menjadi faktor utama bagi ketiga subjek dalam menyeleksi pasangan. Dalam proses pemilihan pasangan, ketiga subjek tidak mencari tahu mengenai latar belakang keluarga pasangan mereka. Subjek hanya mendapatkan informasi mengenai hal tersebut melalui calon pasangan subjek.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tunanetra mengenai proses pemilihan pasangan sehingga dapat lebih selektif dalam memilih pasagan dan juga dapat menambah pengetahun orang tua yang memiliki anak tunanetra mengenai pemilihan pasangan sehingga dapat berperan serta dalam membantu, membimbing, dan mengarahkan tunanetra dalam memilih pasangan yang tepat.


(14)

Process of Mate Selection in Early Adulthood Visually Impairment Indah Kartika Dewi dan Rahma Yurliani

ABSTRACT

Visual impairment is one of physical disabilities which occurs abnormallity in vision. Early adulthood visually impairment will face development’s task accordance with its time. One of the development’s task in early adulthood is mate selection. DeGenova (2008) state that mate selection is a process to select a potential partner and influenced by various factors. Physical abnormality in visual impairment is one of the factors that cause the differences in mate selection’s process among normal person with visual impairment. The aim of this study is to describe the process of mate selection on visual impairment and factors that contributed to it. This study take three subjects. The characteristics of subjects are a person with visual impairment, early adulthood (18-40 years old), and had married. This study uses qualitative method by using interview as the main data collection techniques.

The results of this study show that visual impairment’s person have the desire to marry and assume that mate selection is an important thing to do before get marry. All of subjects through each stage in filtering process of mate selection despite the order of second subject is different from the first and third subject. They have different criterions of couple according to socioeconomic class, race, religion, age, and education’s factor. Visual impairment made physical characteristics were ignored in selecting a partner. Attractiveness is more lead to personality attraction and voice of partner. Interfaith marriage is the major factor for all of the subjects. In process of mate selection, they didn’t find out about their partner’s family background. They only know about it by their partner’s story.

This study is expected can increase knowledge about mate selection’s process in visual impairment so that people with visually impairment can more selective in choosing a mate and can increase knowledge of parents who had children with visually impairment about that process so that can help, guiding, and directing visual impairment to choose the right partner.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pasti ingin terlahir dalam kondisi atau keadaan fisik yang sempurna. Namun, kenyataannya akan menjadi berbeda ketika individu terlahir dengan kelainan fisik. Kelainan fisik ialah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tertentu yang menyebabkan fungsi fisik tubuhnya tersebut tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Kelainan fisik ini meliputi ketunaan, yaitu tunarungu, tunawicara, dan tunanetra (Efendi, 2006).

Tunanetra merupakan salah satu bentuk kelainan fisik pada indra penglihatan (Efendi, 2006). Secara legal, seseorang dikatakan tunanetra jika ketajaman visualnya sama dengan atau kurang dari 20/200 baik setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya. Maksud dari 20/200 ialah bila dibandingkan dengan orang normal yang mampu melihat hingga jarak 200 kaki, maka ia hanya mampu melihat sampai 20 kaki (Heward, 1992).

Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatannya, tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu buta dan low vision. Seseorang dikatakan buta jika sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar dan seseorang dikatakan low vision jika masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, yang artinya berdasarkan tes seseorang tersebut hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh


(16)

orang normal dapat dibaca pada jarak 21 meter atau jika hanya mampu membaca headline pada surat kabar (Somantri, 2006).

Secara ilmiah, ketunanetraan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu faktor dari dalam diri (internal) atau faktor dari luar diri (eksternal). Hal-hal yang termasuk dalam faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat kaitannya dengan keadaan bayi selama berada di dalam kandungan, misalnya faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Hal-hal yang termasuk dalam faktor eksternal ialah faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah dilahirkan. Misalnya, kecelakaan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, panas badan yang terlalu tingi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus (Somantri, 2006).

Seseorang yang kehilangan penglihatan tentu akan mengalami keterbatasan–keterbatasan dalam menjalani kehidupannya. Penglihatan seseorang memegang peranan penting dalam mendapatkan informasi dari lingkungan. Mata yang memiliki fungsi sebagai transmisi visual mampu memberikan kontribusi sekitar 80-85 % dalam perekaman interaksi manusia selama terjaga (Sadiman, dalam Efendi, 2006). Oleh karena itu, hilangnya sebagian atau keseluruhan fungsi mata sebagai indra penglihatan pada seseorang seperti kehilangan sebagian perangkat hidup yang sangat berharga. Meskipun demikian, seseorang yang mengalami kehilangan penglihatan biasanya pendengaran dan perabaan akan menjadi sarana alternatif yang digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap lingkungan sekitarnya (Efendi, 2006).


(17)

Kelebihan indra pendengaran sebagai transmisi dalam berinteraksi dengan lingkungan bagi tunanetra dapat membantu memberikan petunjuk tentang jarak atau arah objek dengan mengenal suaranya (Cruickshank, dalam Efendi, 2006). Namun, tidak dapat mengenal wujud konkret tentang objek yang dikenalnya. Perabaan sebagai sarana alternatif lainnya selain pendengaran juga dapat membantu penyandang tunanetra untuk memperoleh pengalaman kinestetik. Melalui perabaan, tunanetra dapat melakukan kontak dengan objek yang ada disekitarnya sehingga dapat memberikan gambaran secara konkret mengenai ukuran, posisi, temperature, berat dan bentuk, dan juga sebagai pengganti mata dalam kegiatan membaca tulisan menggunakan huruf Braille (Efendi, 2006).

Bagi tunanetra, indra-indra yang lain seperti, penciuman, pengecap, dan perasa berfungsi melengkapi informasi yang diperoleh melalui pendengaran dan perabaan. Indra penciuman bagi tunanetra berfungsi untuk mengetahui lokasi suatu objek atau memperoleh informasi sifat dari objek. Indra pengecap berfungsi untuk mengenali sifat-sifat dari benda yang memerlukan kontak langsung, misalnya rasa manis pada gula, rasa asin pada garam, dan sebagainya. Indra perasa berfungsi untuk memperoleh informasi tentang udara, sengatan matahari, tekanan udara, dan lainnya (Efendi, 2006).

Adanya ketunanetraan pada seseorang juga menyebabkan terhambatnya kemampuan individu untuk bergerak secara bebas di lingkungannya. Kebutuhan untuk bergerak bagi setiap individu merupakan bagian dari kehidupan yang esensial, sebab berbagai informasi dan pengalaman akan diperoleh bila seseorang dapat pergi dengan bebas dan mandiri. Hilangnya fungsi persepsi visual


(18)

menyebabkan kemampuan untuk mobilitas di lingkungan menjadi terhambat yang berakibat pada terbatasnya kesempatan untuk melakukan eksplorasi. Hilangnya rangsangan visual menyebabkan hilangnya rangsangan untuk mendekatkan diri dengan lingkungan yang juga akan menyebabkan pula hilangnya keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan (Efendi, 2006).

Memasuki masa dewasa awal, para penyandang tunanetra akan dihadapkan dengan tugas perkembangan sesuai dengan tahap perkembangan masa dewasa awal. Salah satu tugas perkembangan yang dihadapi pada tahap masa dewasa awal ini ialah memilih pasangan. Memilih pasangan merupakan salah satu aspek yang penting pada perkembangan masa dewasa. Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan penting yang dibuat oleh individu sepanjang hidupnya (DeGenova, 2008).

Proses pemilihan pasangan merupakan suatu langkah awal yang harus dilalui individu, sebelum akhirnya memasuki lembaga pernikahan yang sesungguhnya. Melalui proses pemilihan pasangan, diharapkan akan mempermudah individu untuk melangkah ke tahap–tahap berikutnya. Proses pemilihan pasangan ini merupakan proses yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai variabel. Proses pemilihan pasangan ini ditandai dengan adanya usaha individu dalam melakukan penyaringan untuk memilih calon pasangan yang dapat dipertimbangkan dan mengeleminasi yang dianggap tidak sesuai (Feingold, dalam Lemme, 1995).


(19)

Tahap awal sebelum menemukan pasangan yang tepat ialah bertemu dengan calon pasangan tersebut. Ketika individu saling bertemu, mereka secara otomatis dan tanpa disadari akan saling memberikan penilaian satu sama lain. Penilaian interpersonal ini terjadi sebagai bagian dari interaksi sosial baik itu merupakan bagian dari pencarian pasangan atau tidak. Baron dan Byrne, (dalam Trelfa, 2006) mengemukakan bahwa informasi mengenai orang lain dapat diperoleh melalui lima hal berikut, yaitu ekspresi wajah, kontak mata, body movements, postur dan sentuhan. Empat dari lima hal tersebut merupakan informasi yang diperoleh secara visual.

Feingold (dalam Trelfa, 2006) menyatakan bahwa pria tertarik pada wanita dengan memberikan penilaian terhadap kemampuan reproduksi yang pada dasarnya dinilai secara visual (usia dan ketertarikan fisik). Apabila perilaku tersebut merupakan perilaku yang adaptif dalam memilih pasangan di mana ketertarikan fisik diarahkan pada aspek kecantikan, maka proses tersebut tidak akan terjadi pada individu dengan hambatan penglihatan. Ketertarikan fisik merupakan bagian yang penting dalam memilih pasangan bagi individu yang normal, namun hal tersebut tidak berlaku pada individu dengan hambatan penglihatan (Buss dan Schmitt, dalam Trelfa, 2006).

Keadaan yang sedemikian rupa akhirnya mengharuskan tunanetra menggunakan indra lain sebagai pemberi informasi dalam memilih pasangan. Salah satu indra yang dapat digunakan dalam memperoleh informasi ialah pendengaran. Suara menjadi salah satu alternatif bagi individu dengan gangguan penglihatan dalam mengidentifikasi calon pasangan (Trelfa, 2006). Dunbar


(20)

(dalam Trelfa, 2006), mengemukakan bahwa dialek dan bahasa dapat digunakan sebagai informasi untuk mengidentifikasi asal kelompok seseorang, dan hal ini juga dapat digunakan untuk menyeleksi calon pasangan yang tepat. Suara (termasuk aksen, bahasa atau kualitas dari suara) dapat menjadi salah satu cara bagi penyandang tunanetra dalam menyeleksi calon pasangannya (Trelfa, 2006). Meskipun demikian, belum ada studi yang dapat membuktikan bahwa individu dengan hambatan penglihatan lebih baik dari individu normal dalam mengambil kesimpulan mengenai sifat pasangan berdasarkan suara (Trelfa, 2006). Suara juga menjadi salah satu aspek yang dapat membuat penyandang tunanetra merasa tertarik dengan lawan jenisnya.

Sumber informasi lain yang dapat digunakan dalam memperoleh informasi mengenai calon pasangan meski belum bertemu ialah dengan gossip (Trelfa, 2006). Kenrick dan Trost (dalam Trelfa, 2006), juga sependapat bahwa salah satu cara yang dapat digunakan oleh individu dalam menilai calon pasangannya sebelum bertemu ialah reputasi atau observasi. Miller dan Todd (dalam Trelfa, 2006) juga menyatakan bahwa informasi melalui gossip dapat diperoleh dari keluarga, teman, kelompok, dan orang tua.

Anggota keluarga juga memberikan pengaruh kepada individu dalam memilih pasangan agar mendapatkan pasangan yang sesuai dengan norma sosial (misalnya, aturan sosial mengenai usia, ras, dan agama). Selain anggota keluarga, teman juga dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Tidak hanya sebagai tempat berbagi dan berdiskusi mengenai calon pasangan, teman juga dapat membantu memberikan pendapat mengenai calon pasangan tersebut.


(21)

Arahan-arahan mengenai calon pasangan ini akan sangat membantu tunanetra dalam proses pemilihan pasangannya. Hal ini dikarenakan tunanetra mengenali objek atau benda secara verbalistis, berdasarkan penjelasan dari kata-kata atau suara (Efendi, 2006). Namun arahan-arahan mengenai pemilihan pasangan tersebut tidak didapatkan oleh E, seorang wanita penyandang tunanetra dalam proses pemilihan pasangan yang ia lalui. Ia kurang mendapatkan arahan dari orang-orang sekitarnya mengenai pemilihan pasangan.

“ Yaa, gimanalaa dek. Namanya kurang kita kadang diarahkan kalau yang kayak gitu-gitu”.

(Komunikasi Personal, 27 November 2013) “ Ya kalau gitu-gitu gak ada memang, malah ragu mereka kalau dengar kek kami ni mau nikah, hehe”.

(Komunikasi Personal, 27 November 2013) Arahan dan pendapat dari orang lain merupakan salah satu hal yang dibutuhkan individu dalam memilih pasangan, mengingat banyaknya hal yang harus dipertimbangkan individu ketika memilih pasangan. Hal-hal yang dipertimbangkan tersebut nantinya akan berpengaruh pada kepuasan dan kualitas pernikahan. Hal ini menuntut individu untuk menentukan terlebih dahulu kriteria pasangan hidupnya sebelum memutuskan untuk menikah (DeGenova, 2008). Menentukan kriteria pasangan itu sendiri merupakan tahap awal dari proses pemilihan pasangan. Individu akan menentukan kriteria pasangan yang dianggap paling sesuai dengan dirinya. Menentukan kriteria pasangan juga dilakukan oleh E. Hal ini sejalan dengan penuturannya.

“ Ooo iya kan kemarin kita sebelum menikah ada berancang -rancang bisa kepengen menjadi ini dan kita aku dulu waktu


(22)

masa-masa ada lima di dalam hati ku yang nanti akan terpenuhi kalau terpenuhi itulah yang akan jadi calon suami. tapi yaa gak dapat gitu kan hanya tiga yang terpenuhi ya udahlah gitu kan “

(Komunikasi Personal, 27 November 2013)

Banyak hal yang dapat menyebabkan individu tertarik dengan pasangannnya, salah satunya ialah berada di lokasi yang sama. Kedekatan secara geografis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Individu bisa saja bertemu dengan pasangannya di tempat kerja, sekolah atau organisasi sosial (DeGenova, 2008). Namun, hal yang berbeda juga di kemukakan oleh E. Terjalinnya hubungan antara E dengan suaminya bukanlah melalui pertemuan di tempat kerja, sekolah, atau organisasi melainkan melalui handphone dan berada pada daerah yang berbeda.

“ Enggak taulaa ya dari mana dapat no.hp ku rencana memang aku bukan mau berkeluarga rencananya mau main-main aja kalau kau jantan datanglah, datang betul dia ntah kenapa datang betul kayak cocok di hatiku terus datang orang tuanya udahlah ngapain lama-lama kan”

(Komunikasi Personal, 21 Oktober 2013) “ Enggak, saya udah duluan disini (Medan) kalau dia masih di tebing ”

(Komunikasi Personal, 27 November 2013) Selain itu, salah satu faktor yang merupakan faktor awal terbentuknya suatu hubungan yaitu ketertarikan kepada orang lain (DeGenova, 2008). Menurut matching hypothesis, individu cenderung memilih pasangan yang memiliki daya tarik fisik yang sama dengan dirinya, bisa jadi untuk menghindari kemungkinan untuk di tolak atau permasalahan yang dapat muncul dari hubungan yang tidak serasi (Keith & Schafer, dalam Lemme 1995). Namun, hal tersebut berbeda


(23)

dengan pernyataan E. Sebagai seorang tunanetra, E berharap memiliki pasangan yang dapat melihat. Hal ini sejalan dengan penuturannya.

“ Sebenarnya maunya sama yang normal, tapi ya gimana yaa kita pikirkan kalau kita menikah sama normal, ya mungkin cepat geraknya. Kita berpikir seperti itu juga tapi ya namanya Yang Maha Kuasa udah menjodohkan kita ya mau apa kita bilang kan”

(Komunikasi Personal, 27 November 2013) DeGenova (2008), menyatakan bahwa memilih pasangan merupakan keputusan penting yang diambil individu sebelum memutuskan untuk menikah. Dalam memilih pasangan, individu akan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya latar belakang keluarga dan karakteristik personal. Latar belakang keluarga merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih pasangan. Latar belakang keluarga mempengaruhi semua hal yang ada pada individu, meliputi kepribadian, sikap, nilai, dan perasaan seseorang. Mengetahui latar belakang keluarga pasangan adalah salah satu cara untuk mengetahui mengenai sifat pasangan (DeGenova, 2008). Hal yang berbeda juga kembali dikemukakan oleh E yang tidak mencari tahu mengenai latar belakang keluarga pasangannya.

“ Gak ku selidik selidiki, kita dulu gak terpikir sampek segitu ”

(Komunikasi Personal, 27 November 2013) “ Ya, enggak ya cemana ya nanti kan kenal sendiri setelah menikah”

(Komunikasi Personal, 27 November 2013) Salah satu faktor yang juga mempengaruhi proses pemilihan pasangan ialah faktor agama. Tingkat religiusitas yang tinggi dan tekanan dari keluarga merupakan faktor utama yang mempengaruhi individu memilih pasangan yang


(24)

memeluk agama yang sama (DeGenova, 2008). Trelfa (2006) melakukan penelitian untuk melihat perbedaan kriteria pasangan antara individu yang dapat melihat dan tunanetra dengan menggunakan 18 trait sebagai perbandingannya yang di dalamnya termasuk kesamaan agama dan pendidikan. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan kriteria pasangan yang dimiliki individu yang dapat melihat sama dengan tunanetra. Perbedaan yang jelas terlihat hanya pada trait “good look”.

Suatu proses pemilihan pasangan diakhiri dengan diambilnya suatu keputusan, yaitu keputusan untuk menikah. Menikah menjadi keputusan akhir yang diambil oleh individu setelah menemukan pasangan yang dianggap paling tepat dengan melalui serangkaian proses penyaringan (DeGenova, 2008). Dalam waktu yang cukup singkat dan hanya berkomunikasi melalui handphone, E melalui suatu proses pemilihan pasangan dan mengambil keputusan untuk menikah dengan pasangannya tersebut.

“ … melalui hp itu, kenalan cepatnya kami itu kenalan 2 bulan kalau tidak salah terus menikah, iyaa, terus dibawanya orang tuanya si laki-laki. “

(Komunikasi Personal, 21 Oktober 2013) Berdasarkan hasil penuturan yang disampaikan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan-perbedaan pada penyandang tunanetra dalam proses pemilihan pasangan yang mereka lalui. Perbedaan yang terlihat jelas terletak pada ketertarikan tunanetra. Pada umumnya, individu yang normal cenderung tertarik dengan lawan jenis melalui penampilan fisik, namun pada tunanetra ketertarikan dengan lawan jenis berasal dari suara. Hilangnya fungsi penglihatan dan


(25)

keterbatasan-keterbatasan pada tunanetra berpengaruh pada interaksi sosial tunanetra yang pada akhirnya juga berpengaruh pada proses pemilihan pasangan. Perbedaan juga terdapat pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan. Berdasarkan hasil wawancara awal, tunanetra mengabaikan faktor-faktor yang dianggap penting dalam proses pemilihan pasangan. Hal ini lah yang membuat peneliti tertarik untuk melihat lebih dalam bagaimana proses pemilihan pasangan pada tunanetra hingga akhirnya tunanetra tersebut mampu membuat keputusan untuk menikah dengan pasangannya tersebut dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan pada tunanetra.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana proses pemilihan pasangan pada tunanetra?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan pada tunanetra?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini ialah :

a. Mengetahui bagaimana proses pemilihan pasangan yang dilakukan oleh penyandang tunanetra.

b. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan pada penyandang tunanetra


(26)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah konsep ilmu psikologi khususnya di bidang perkembangan yang berkaitan dengan proses pemilihan pasangan dan tunanetra.

2. Manfaat Praktis

a) Memberikan informasi kepada orang tua yang memiliki anak penyandang tunanetra mengenai proses pemilihan pasangan yang dilalui pada tunanetra sehingga dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi orang tua dalam mengarahkan anak ketika memilih pasangan.

b) Memberikan informasi bagi penyandang tunanetra yang belum menikah mengenai proses pemilihan pasangan yang terjadi pada tunanetra yang memiliki keunikan tersendiri sehingga dapat menjadi masukan bagi penyandang tunanetra dalam mempertimbangkan setiap faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan.

c) Menjadi referensi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan proses pemilihan pasangan dan tunanetra.


(27)

E. Sistematika Penulisan

− Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

− Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis mengenai pemilihan pasangan, tunanetra dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, dan diakhiri dengan pembuatan paradigma berpikir penelitian.

− Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan mengenai alasan digunakannya pendekatan kualitatif, subjek penelitian, alat pengumpulan data, lokasi penelitian, kredibilitas penelitian, dan prosedur penelitian.

− Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan juga pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori

yang relevan. − Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran yang berisi jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana yang telah dituangkan dalam perumusan masalah dan saran yang merupakan saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.


(28)

BAB II LANDASAN TEORI A. PEMILIHAN PASANGAN

1. Pengertian Pemilihan Pasangan

Salah satu keputusan yang penting dalam hidup ialah memilih pasangan. Memilih pasangan merupakan suatu proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh sejumlah variabel (Aron et al., 1989; Feingold, 1992; Hartin,1990 dalam Lemme 1995). Developmental Process Theories adalah salah satu teori mengenai pemilihan pasangan. Developmental Process Theories (DeGenova, 2008), menjelaskan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat.

2. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pasangan

Menurut DeGenova (2008), terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan, yaitu :

a. Latar Belakang Keluarga

Latar belakang keluarga mempengaruhi semua hal yang ada pada individu, baik keinginannya ataupun perlakuannya. Tidak ada bagian dari individu yang tidak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, termasuk dalam hal memilih pasangan. Dengan mengetahui latar belakang keluarga


(29)

calon pasangan dapat membantu individu untuk mengetahui mengenai calon pasangannya yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga tersebut (DeGenova, 2008). Anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak menunjukkan kasih sayang biasanya akan sulit untuk mengekspresikan kasih sayang ketika dewasa. Individu terkadang merasa tidak nyaman dan sulit untuk mengetahui bagaimana memberikan atau menerima kasih sayang, khususnya pria. Hal ini dikarenakan pada umumnya pria kurang menerima kasih sayang dibandingkan wanita. Pria terkadang merasa “seperti wanita” atau “tidak jantan” jika mengekspresikan kelembutan (Carter dan Sokol, dalam DeGenova, 2008).

Menurut DeGenova (2008), dalam mempelajari latar belakang keluarga dari calon pasangan ada beberapa hal yang diperhatikan, yaitu :

1) Kelas Sosioekonomi

Kesempatan untuk mendapatkan kepuasan pernikahan akan lebih besar jika individu menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang setara dengan dirinya. Jika kelas sosioekonomi merupakan faktor utama bagi individu dalam proses pemilihan pasangan, maka individu yang menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang lebih rendah akan lebih mengalami stres dibandingkan dengan individu yang menikah dengan pasangan yang berasal dari kelas sosioekonomi yang lebih tinggi.


(30)

2) Pendidikan dan inteligensi

Terdapat kecenderungan pada individu untuk memilih pasangan yang peduli dengan pendidikan. Secara keseluruhan, wanita yang lulus dalam waktu 4 tahun di perguruan tinggi cenderung akan menikah dengan pria yang juga lulus dalam waktu 4 tahun di perguruan tinggi atau pria yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi darinya. Pada umumnya, pernikahan dari pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama lebih harmonis dibandingkan dengan pernikahan dari pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Pada kenyataannya, resiko ketidakstabilan pernikahan juga lebih tinggi pada pasangan yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda (Tzeng, dalam DeGenova, 2008).

3) Pernikahan Antar Ras atau Suku

Salah satu permasalahan yang akan muncul dalam pernikahan antar ras atau suku adalah permasalahan sosial. Permasalahan tersebut bukan berasal dari pasangan itu sendiri melainkan dari reaksi keluarga, teman, dan lingkungan sosial yang ada di sekitar pasangan tersebut (Olofsson, dalam DeGenova, 2008). Tanpa dukungan dari keluarga, teman, dan lingkungan sosial, suatu hubungan akan lebih rentan mengalami masalah.


(31)

4) Pernikahan Antar Agama

Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan pasangan ialah faktor agama. Tingkat religiusitas yang dimiliki oleh individu dan dukungan dari keluarga menjadi dorongan bagi individu untuk menikah dengan pasangan yang memeluk agama yang sama dengan individu tersebut. Diasumsikan bahwa pernikahan satu agama akan lebih stabil dibandingkan dengan pernikahan beda agama. Dengan latar belakang agama yang sama, anak akan tumbuh dengan prinsip agama yang kuat dan memiliki standar moral yang baik.

b. Karakteristik Personal

Salah satu faktor yang mempengaruhi individu dalam memilih pasangan yang akan dijadikan pendamping hidup ialah kecocokan. Beberapa karakteristik personal yang berkontribusi pada kecocokan tersebut, yaitu :

1) Sikap dan Perilaku Individu

Penelitian pada sifat individu berfokus pada fisik, kepribadian, dan kesehatan mental. Sakit fisik menjadi penyebab munculnya stress dalam hubungan, dan membuat hubungan menjadi kurang memuaskan dan kurang stabil. Perilaku neurotic dan sakit mental menyebabkan berkurangnya kestabilan dan kualitas pernikahan. Depresi juga memiliki efek negatif terhadap kualitas pernikahan. Self-esteem yang tinggi dan konsep diri yang baik secara positif berkaitan dengan kepuasan pernikahan. Sociable


(32)

(extraversion) secara positif berkaitan dengan stabilitas dan kualitas pernikahan (J. H. Larson dan Holman, 1994 dalam DeGenova, 2008)

2) Perbedaan Usia

Salah satu hal yang diperhatikan dalam memilih pasangan ialah perbedaan usia di antara pasangan tersebut. Secara keseluruhan, rata-rata perbedaan usia di antara pasangan adalah dua tahun. Menikah dengan pasangan yang berusia lebih tua atau lebih muda akan mempengaruhi kualitas pernikahan. Sebagai contoh, ketika seorang wanita muda menikah dengan pria yang berusia lebih tua, maka biasanya wanita tersebut akan menjadi janda di usia muda. Tetapi, ketika pria dan wanita menikah di usia yang setara maka mereka cenderung akan hidup bersama lebih lama jika telah menikah sejak usia muda (Davidson, 1989; Foster, Klinger-Vartabedian, dan Wispe, 1984 dalam DeGenova, 2008).

3) Memiliki Kesamaan Sikap dan Nilai

Kecocokan pernikahan akan meningkat jika pasangan memiliki kesamaan sikap dan nilai mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi mereka. Seseorang yang saling berbagi sikap dan nilai biasanya akan merasa lebih nyaman satu sama lain. Dari sudut pandang ini, kecocokan dinilai sebagai bagian dari kesetujuan dan ketidaksetujuan mengenai hal-hal, seperti pekerjaan, tempat tinggal, uang, hubungan dengan orang tua, kehidupan sosial, agama, sex, kebiasaan dan peran gender (DeGenova, 2008).


(33)

4) Peran Gender dan Kebiasaan Personal

Kecocokan tidak hanya didasarkan pada kesamaan nilai dan sikap, tetapi juga melibatkan perilaku. Pasangan akan merasa lebih puas jika pasangan mereka berbagi harapan yang sama mengenai peran gender dan jika mereka dapat saling bertoleransi tentang kebiasaan personal satu sama lain. Salah satu pengukuran kecocokan dalam pernikahan adalah persamaan harapan antara pria dan wanita. Setiap pria memiliki konsep peran sendiri mengenai hal-hal yang harus dilakukan sebagai seorang suami dan memiliki harapan mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pasangannya. Begitu juga dengan wanita, wanita memiliki konsep peran sendiri sebagai seorang istri dan memiliki harapan mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pasangannya. Harapan di antara keduanya bisa saja berbeda dengan yang terjadi (DeGenova, 2008).

3. Proses Pemilihan Pasangan

Developmental Process Theories (DeGenova, 2008), menjelaskan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat.

Teori ini menjelaskan beberapa tahap yang dilalui oleh individu dalam proses penyeleksian pasangan, yaitu :


(34)

a. Field of Eligibles

Tahap pertama yang dilalui oleh individu dalam memilih pasangan ialah menentukan kriteria pasangan yang dianggap paling sesuai dengan diri individu tersebut. Pernikahan yang baik cenderung meningkat ketika menikah dengan pria dengan status yang tinggi dibandingkan menikah dengan pria dengan status yang rendah (diukur dari pendidikan dan pekerjaan) (Litcher, Anderson, dan Hayward, dalam DeGenova, 2008).

b. Propinquity

Propinquity adalah kedekatakan geografis yang merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pemilihan pasangan (DeGenova, 2008). Propinquity menjadi salah satu alasan kenapa individu cenderung memilih pasangan dari kelas sosial yang sama, hal ini dikarenakan tempat tinggal, sekolah, dan lingkungan kerja berhubungan dengan status sosialekonomi. Hal ini juga yang menyebabkan individu cenderung tertarik dan akrab dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang sama (Feingold, 1988 dalam Lemme, 1995).

c. Attractiveness

Ketertarikan meliputi ketertarikan fisik dan ketertarikan pada sifat kepribadian tertentu (DeGenova, 2008). Wanita lebih tinggi memprioritaskan lebih tinggi pada aspek SES, ambisi, karakter, dan intelegensi, dibandingkan dengan pria yang lebih berfokus pada ketertarikan secara fisik (Lemme, 1995).


(35)

Wanita juga cenderung menyukai pasangan yang berusia lebih tua atau seusia namun pria lebih menyukai pasangan yang berusia lebih muda (Baron & Byrne, dalam Lemme, 1995).

d. Homogamy dan Heterogamy

Dua konsep penting yang juga harus dipahami dalam memilih pasangan yaitu homogamy dan heterogamy. Homogamy mengarah pada kecenderungan individu untuk memilih pasangan yang sama seperti dirinya dan heterogamy mengarah pada kecenderungan individu untuk memilih pasangan yang berbeda dari dirinya (DeGenova, 2008). Individu cenderung menikahi seseorang yang sama dengan dirinya dalam hal usia, ketertarikan fisik, kepribadian, sikap, kemampuan kognitif, pendidikan, dan latar belakang kelas sosialekonominya (Epstein & Guttman et al, dalam Lemme, 1995). Pernikahan yang homogamous cenderung lebih stabil dibandingkan dengan pernikahan yang heterogamous, meskipun tidak secara keseluruhan. Alasan utama individu untuk melakukan pernikahan yang homogamous ialah individu lebih menyukai orang-orang yang sama seperti dirinya dan merasa tidak nyaman jika berada di dekat orang-orang yang berbeda dari dirinya (DeGenova, 2008).

e. Compatibility

Kecocokan mengarah kepada kemampuan individu untuk tinggal bersama dengan pasangannya dalam keadaan harmonis. Kecocokan dapat dievaluasi dari aspek tempramen, sikap dan nilai, kebutuhan, peran, dan


(36)

kebiasaan pribadi. Dalam memilih pasangan individu akan berusaha untuk mendapatkan pasangan yang sesuai atau cocok dengan dirinya (DeGenova, 2008).

f. The Filtering Process

Dalam proses penyaringan pemilihan pasangan ini, individu akan melalui serangkaian proses penyaringan dan mengeliminasi calon pasangan yang dianggap tidak sesuai hingga akhirnya membuat suatu keputusan. Proses ini diawali dengan menentukan kriteria pasangan, lalu calon pasangan akan diseleksi berdasarkan kedekatan (propinquity) dan kemudian ketertarikan fisik akan memainkan peranan yang penting diikuti oleh ketertarikan pada sikap kepribadian. Secara bertahap, individu mulai memilah calon pasangan berdasarkan faktor sosiokultural : usia, etnis, pendidikan, kelas sosioekonomi, dan agama. Semakin berkembangnya hubungan tersebut, individu akan merasakan kecocokan satu sama lain. Sebelum membuat keputusan akhir, individu biasanya melewati suatu periode percobaan yang biasanya disebut dengan tunangan. Jika individu dapat melewati proses penyaringan ini, keputusan akhir yang dibuat oleh individu ialah keputusan untuk menikah. Berikut adalah bagan dari proses pemilihan pasangan :


(37)

Tabel 1.

Proses Penyaringan Pemilihan Pasangan

Field of Eligible Propinquity Filter Attraction Filter

Ketertarikan Secara Fisik dan Ketertarikan Personal Homogamy filter

Usia, Etnis, Pendidikan, Kelas Sosioekonomi, Agama Compatibility Filter

Tempramen, Sikap dan Nilai, Kebutuhan, Peran dan Kebiasaan Trial Filter

Kohabitasi dan Tunangan Decision Filter

Menikah

Sumber : Intimate Relationship, Marriage & Families, Mary Kay DeGenova, 2008

B. TUNANETRA

1. Pengertian Tunanetra

Kata tunanetra berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak dan kata “netra” yang artinya mata, jadi kata tunanetra berarti rusak mata atau penglihatan. Tunanetra merupakan salah satu kelainan fisik pada indra penglihatan. Secara legal, seseorang dikatakan tunanetra jika ketajaman visualnya sama dengan atau kurang dari 20/200 baik setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya. Maksud dari


(38)

20/200 ialah bila dibandingkan dengan individu normal yang mampu melihat hingga jarak 200 kaki, maka tunanetra hanya mampu melihat sampai 20 kaki (Heward, 1992).

Peyandang tunanetra adalah seseorang yang karena suatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Seseorang dikatakan tunanetra apabila Ia menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar atau kegiatan lainnya (Manurung, 2012). Seseorang juga dikatakan tunanetra jika individu tersebut memiliki visus sentralis sama dengan atau lebih kecil dari 6/60, atau setelah dilakukan upaya pemulihan secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi untuk mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh anak normal (Efendi, 2006).

2. Klasifikasi Tunanetra

Menurut WHO (dalam Manurung, 2012) istilah tunanetra terbagi kedalam dua bagian, yaitu blind atau yang disebut dengan buta dan low vision atau penglihatannya yang kurang. Blind menggambarkan kondisi penglihatan yang tidak dapat diandalkan lagi meskipun dengan alat bantu, sehingga tergantung dengan fungsi indra yang lain. Low vision menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, mempunyai kesulitan dengan tugas-tugas yang menuntut fungsi penglihatan, namun masih dapat dibantu dengan alat khusus.


(39)

Klasifikasi tunanetra berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan terbagi atas (Lumbangaol, 2010) :

a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan

b. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil, mereka memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan c. Tunanetra pada usia sekolah atau pada usia remaja, mereka telah

memiliki kesan-kesan visual dan memberikan pengaruh terhadap proses perkembangan kepribadian.

d. Tunanetra pada usia dewasa e. Tunanetra pada lanjut usia C. DEWASA AWAL

1. Pengertian Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Transisi dari remaja ke dewasa awal ini disebut sebagai tumbuh dewasa (emerging adulthood) (Arnett, dalam King, 2010). Masa dewasa awal adalah periode perkembangan yang berawal pada akhir usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun (Hurlock, 1980).

Menurut Erikson (dalam King, 2010), pada masa dewasa awal individu memasuki tahap keenam dari perkembangan psikososial yaitu, intimacy vs isolation. Pada masa ini, individu dewasa akan dihadapkan dengan tugas perkembangan yakni menjalin hubungan dengan orang lain


(40)

atau terisolasi secara sosial. Bila pada masa ini individu mengembangkan hubungan persahabatan yang sehat dan hubungan yang intim dengan pasangan, maka intimacy akan tercapai.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dewasa awal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang berusia 18 sampai 40 tahun.

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Hurlock tugas perkembangan pada masa dewasa awal, antara lain :

a. Mulai bekerja b. Memilih pasangan

c. Belajar hidup dengan tunangan d. Mulai membina keluarga e. Mengasuh anak

f. Mengelola rumah tangga

g. Mengambil tanggung jawab sebagai warga Negara h. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan 3. Ciri- ciri Masa Dewasa Awal

a. Perkembangan Fisik

Pada masa dewasa awal biasanya individu berada di puncak kesehatan, kekuatan, energi, dan daya tahan. Pada masa ini juga individu berada di puncak sensoris dan motoris dengan sempurna. Ketajaman visual juga mencapai puncaknya dari usia 20 sampai 40


(41)

tahun. Rasa, bau, serta sensitivitas terhadap rasa sakit dan temperature akan mulai menurun pada usia 45 tahun (Papalia, et al, 2008).

b. Perkembangan Kognitif

Pada masa dewasa awal pemikiran cenderung tampak fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistis. Hal tersebut ditandai dengan kemampuan individu berhadapan dengan ketidakpastian, ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi. Tahap kognitif pada masa dewasa awal ini sering kali disebut dengan pemikiran postformal (Papalia, et al, 2008).

c. Perkembangan Psikososial

Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson yaitu, intimacy vs isolation merupakan isu utama masa dewasa awal. Jika seorang dewasa awal tidak mampu membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain maka mereka akan terisolasi dan self-absorb (terpaku pada kegiatan dan pikirannya sendiri). Akan tetapi, individu dewasa awal juga membutuhkan kesendirian sebagai upaya merefleksikan kehidupan mereka. Ketika mereka berusaha menyelesaikan tuntutan yang berlawanan dari intimasi, kompetisi, dan jarak, mereka mengembangkan pemahaman etis yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan (Papalia et al, 2008).


(42)

4. Pengertian Tunanetra Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa. Masa dewasa awal adalah periode perkembangan yang berawal pada akhir usia 18 tahun dan berakhir pada usia 40 tahun (Hurlock, 1980). Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan dengan hilangnya fungsi penglihatan. Penyandang tunanetra adalah seseorang yang karena suatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka tunanetra dewasa awal merupakan individu yang berusia 18 sampai 40 tahun di mana fungsi penglihatannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

D. GAMBARAN PROSES PEMILIHAN PASANGAN PADATUNANETRA

Tunanetra merupakan salah satu bentuk ketunaan di mana individu kehilangan salah satu fungsi panca indra yaitu, mata. Mata merupakan salah satu organ penting yang berfungsi sebagai penyalur informasi yang utama. Hilangnya fungsi penglihatan mengakibatkan hilangnya salah satu saluran untuk mendapatkan informasi mengenai lingkungan sekitar (Efendi, 2006). Hilangnya fungsi penglihatan ini juga akan menghambat seorang tunanetra dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ketunanetraan yang ada pada


(43)

seseorang menyebabkan dirinya mengalami keterpisahan dengan lingkungan fisiknya yang dapat menyebabkan kepasifan pada tunanetra.

Keterbatasan lain yang merupakan akibat langsung dari ketunanetraan tersebut ialah keterbatasan dalam berpindah tempat. Keterbatasan dalam berpindah tempat dapat membuat seorang tunanetra menarik diri dari kegiatan sosial atau pergaulan masyarakat. Meskipun kehilangan fungsi penglihatan, biasanya pendengaran dan perabaan akan menjadi sarana alternatif bagi tunanetra dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya (Efendi, 2006). Seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan seorang tunanetra akan dipengaruhi oleh ketidakmampuan dan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya termasuk hubungan interpersonal dengan orang-orang di sekitarnya. Bersosialisasi dan membangun hubungan dengan teman sebaya atau dengan lawan jenis merupakan tugas perkembangan pada masa dewasa awal baik dewasa awal yang normal ataupun tunanetra

Tugas perkembangan lainnya pada masa dewasa awal ini ialah memilih pasangan. Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan penting yang dibuat oleh individu sepanjang hidupnya (DeGenova, 2008). Memilih pasangan merupakan suatu proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak variabel. Proses pemilihan pasangan merupakan salah satu langkah awal yang dilalui individu sebelum memasuki ke jenjang pernikahan. Developmental Process Theories menjelaskan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan dan penyisihan orang-orang yang


(44)

dianggap tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat hingga akhirnya terpilih seseorang yang tepat (DeGenova, 2008).

Proses penyeleksian pasangan ini diawali dengan menentukan kriteria yang sesuai dengan diri individu, kemudian mempertimbangkan calon pasangan yang dianggap hampir memenuhi kriteria dan mengeleminasi yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya (Feingold, dalam Lemme, 1995). Banyak orang yang terkadang tidak menyadari kriteria pasangan yang mereka harapkan. Misalnya, pria cenderung menikahi wanita yang usianya lebih muda beberapa tahun darinya. Meskipun pria tidak secara terang-terangan mengemukakan hal tersebut sebagai salah satu kriteria pasangan, namun mereka tidak tertarik dengan pasangan yang usianya lebih tua (Buunk et al., 2001, dalam Newman & Newman, 2006).

Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa banyak tunanetra yang menikah dengan pasangan yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Epstein & Guttman (dalam Lemme, 1995), mengemukakan bahwa individu cenderung akan menikahi seseorang yang sama dengan dirinya dalam hal usia, ketertarikan fisik, sifat kepribadian, sikap, kemampuan kognitif, pendidikan, dan latar belakang sosial ekonomi. Alasan utama mengapa kita cenderung memilih pasangan yang sama dengan kita ialah kita akan cenderung menyukai seseorang yang sama dengan kita dan merasa tidak nyaman jika berada di sekitar orang- orang yang berbeda dengan kita (DeGenova, 2008). Meskipun demikian tidak semua tunanetra menikah


(45)

dengan pasangan yang juga tunanetra. Beberapa dari mereka memiliki keinginan untuk menikah dengan pasangan yang normal.

Proses pemilihan pasangan yang dilalui tunanetra juga tentu berbeda dengan individu yang normal. Salah satu perbedaan yang paling khas ialah ketertarikan fisik. Pada umumnya, kita cenderung menilai seseorang dari fisiknya. Satu studi menemukan bahwa daya tarik fisik (physical attraction) merupakan salah satu variabel yang penting dalam membentuk ‘chemistry’ dengan orang lain (Peretti, abplanalp, dan Peretti dan DeGenova, 2008). Namun, pada tunanetra ketertarikan tidak berasal dari fisik melainkan dari suara. Hal ini tentu merupakan akibat langsung dari hilangnya fungsi penglihatan yang mengakibatkan tunanetra harus mengandalkan indra lain dalam memperoleh informasi (Efendi, 2006).

Satu studi yang dilakukan untuk membandingkan mate preference pada individu normal dengan individu dengan hambatan penglihatan menunjukkan hasil bahwa secara keseluruhan individu normal dengan individu dengan hambatan penglihatan memiliki pilihan trait yang sama dalam memilih pasangan. Perbedaan yang terlihat jelas hanya pada aspek ‘good looks’, di mana aspek tersebut merupakan aspek yang lebih penting bagi individu yang normal daripada individu dengan hambatan penglihatan (Trelfa, 2006). Beberapa penjelasan yang dapat dikemukakan mengenai hal tersebut ialah yang pertama individu dengan hambatan penglihatan dapat berpedoman


(46)

pada isyarat lain dalam memberikan penilaian baik pada penampilan fisik atau kualitas dari penampian fisik tersebut.

Miller (dalam Trelfa, 2006) mengemukakan sebuah model yang menyatakan bahwa pemilihan pasangan meliputi serangkaian keputusan. Setiap keputusan dianggap sebagai rintangan yang harus diselesaikan sebelum mengambil keputusan yang berikutnya. Urutan dari setiap keputusan tergantung pada diri individu dalam membuat keputusan dan situasi diri individu tersebut. Individu dengan (hubungan jangka pendek) akan menilai penampilan fisik terlebih dahulu daripada traits lainnya. Individu dengan (hubungan jangka panjang akan menilai terlebih dahulu pada trait seperti keadaan ekonomi daripada penampilan fisik calon pasangan. Satu studi dilakukan untuk melihat perbedaan kriteria pasangan (hubungan jangka panjang) pada individu normal dan individu dengan hambatan penglihatan. Hasilnya menunjukkan bahwa individu dengan hambatan penglihatan tidak mengutamakan ketertarikan wajah dibandingkan dengan individu normal. Individu dengan hambatan penglihatan terlebih dahulu mengumpulkan informasi mengenai calon pasangannya sebelum memberikan penilaian pada penampilan fisik pasangannya (Trelfa, 2006)

Meskipun demikian, studi yang dilakukan oleh Karremans, Frankenhuis, dan Arons menunjukkan bahwa pria dengan hambatan penglihatan lebih menyukai wanita dengan tingkat WHP (waist-to-hip-ratio) yang rendah. Studi tersebut menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat


(47)

menyebabkan hal tersebut ialah pria dengan hambatan penglihatan dapat saja memperoleh informasi mengenai hal-hal yang dianggap menarik oleh individu yang dapat melihat secara verbal, meliputi teman sebaya, orang tua, dan saudara mereka (cf. Yu, Proulx, & Shepard dalam Karremans, 2009).

Trelfa (2006) juga mengemukakan bahwa salah satu cara yang dapat digunakan oleh individu dengan hambatan penglihatan untuk mengetahui mengenai calon pasangan tersebut berkualitas atau tidak ialah dengan menggunakan informasi-informasi tentang calon pasangan secara psikologis dan behavioural. Informasi ini dapat diperoleh tanpa harus melihat secara langsung apa yang mereka lakukan. Dengan berbicara kita dapat mengetahui bagaimana nilai-nilai yang dimiliki orang tersebut, kemampuan bersosialisasinya, inteligensinya, dan kepribadian lainnya. Sebagai penambahan informasi ini juga dapat diperoleh dari orang lain. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan bagi tunanetra (Trelfa, 2006)

Hilangnya fungsi penglihatan pada tunanetra mengharuskan tunanetra menggunakan indra lain yang masih berfungsi dalam mengumpulkan informasi mengenai calon pasangannya. Pengumpulan informasi mengenai pasangan melalui suara dan informasi dari orang lain tentu akan berbeda dengan informasi yang diperoleh dari penglihatan. Hal inilah yang pada dasarnya memunculkan perbedaan-perbedaan dalam proses pemilihan pasangan yang dilalui oleh tunanetra.


(48)

E. PARADIGMA BERPIKIR

Tunanetra

Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal Mendapatkan Pekerjaan Membentuk Suatu Keluarga Memilih Pasangan

Karakteristik tunanetra :

• Lebih berkonsentrasi pada suara dan berusaha memanfaatkan panca indera yang lain • Memiliki keterbatasan dalam

keanekaragaman pengalaman • Memiliki keterbatasan dalam

berinteraksi dengan lingkungan • Memiliki keterbatasan dalam

mobilitas

Proses Pemilihan Pasangan DeGenova (2008) :

Field of eligible

Propinquity filter

Decision filter Homogamy filter

Compatibility filter

Trial filter Attraction filter Kesamaan sikap dan nilai Sikap dan perilaku

Peran gender dan kebiasaan personal Usia Etnis Pendidikan Sosioekonomi Agama


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Memilih pasangan merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan masa dewasa baik bagi individu yang normal ataupun individu dengan hambatan penglihatan. Individu dengan hambatan penglihatan memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam kehidupannya. Hilangnya fungsi penglihatan menyebabkan hilangnya salah satu saluran informasi dari lingkungan sekitar. Tidak hanya kehilangan saluran informasi, kehilangan penglihatan ini juga dapat menyebabkan keterbatasan dalam hal mobilitas dan hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.

Seluruh aspek kehidupan tunanetra tentu akan dipengaruhi oleh keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya termasuk dalam proses memilih pasangan. Fokus penelitian ini ialah untuk menjawab pertanyaan penelitian “ bagaimana proses pemilihan pasangan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan pada tunanetra”. Perbedaan-perbedaan yang muncul dalam proses pemilihan pasangan yang dilalui oleh tunanetra menarik peneliti untuk melihat lebih dalam bagaimana proses pemilihan pasangan yang dilakukan oleh tunanetra. Maka dari itu metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena sulitnya perilaku


(50)

manusia untuk dikuantifikasikan, yang penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi, menyebabkan mustahil di ukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam bentuk angka (Poerwandari, 2007).

Poerwandari (2007), mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia di pandang dalam kompleksitasnya sebagai mahluk subyektif. Creswell (dalam, Poerwandari, 2007), juga menambahkan penenelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting ilmiah.

Adapun tipe penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini ialah fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu metode dalam penelitian kualitatif. Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkapkan makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Fenomenologi diartikan oleh Husserl (dalam Moleong, 2007) sebagai : 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenological, 2) Suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok seseorang. Moleong (2007) juga mengemukakan bahwa fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia.


(51)

B. Subjek Penelitian

a. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Penyandang tunanetra sejak lahir dan setelah lahir atau pada usia kecil (< 6 tahun). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui proses pemilihan pasangan pada tunanetra sehingga subjek penelitian adalah penyandang tunanetra. Tunanetra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang telah mengalami hambatan penglihatan sejak lahir dan setelah lahir atau pada usia kecil. Hal ini dimaksudkan agar individu tidak memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual mengenai proses pemilihan pasangan. Piaget (dalam Papalia et al, 2007), mengemukakan theory of mind, yaitu pemunculan kesadaran akan proses mental mereka sendiri dan orang lain. Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak yang berusia dibawah 6 tahun tidak dapat membedakan antara pikiran atau mimpi, entitas fisik nyata dan tidak memiliki teori tentang pikiran.

2) Usia dewasa awal (18-40 tahun). Hal ini dikarenakan memilih pasangan merupakan salah satu tugas perkembangan yang akan dihadapi oleh individu pada masa dewasa awal yang berusia 18 sampai 40 tahun (Hurlock, 1980).

3) Telah menikah dengan usia pernikahan maksimal 5 tahun. Peneliti berasumsi bahwa dengan usia pernikahan maksimal 5 tahun, subjek masih dapat mengingat dengan jelas proses pemilihan pasangan yang


(52)

telah dilaluinya. Hal ini sesuai dengan pengalaman peneliti yang telah melakukan wawancara dengan subjek yang usia pernikahannya di bawah dan di atas 5 tahun. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, subjek dengan usia pernikahan di bawah 5 tahun dapat menggambarkan dengan jelas proses pemilihan pasangan yang dilaluinya dibandingkan dengan dua subjek lainnya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Linton (dalam Stenberg, 2008), yang melakukan penelitian mengenai memori autobiografis. Memori autobiografis mengacu kepada memori mengenai sejarah hidup seseorang. Orang-orang dewasa sering kali mengingat peristiwa dari masa lalu mereka yang paling dekat (Rubin, dalam Stenberg, 2008). Linton (1982) melakukan penelitian mengenai memori autobiografi selama 6 tahun dan hasilnya menunjukkan bahwa ingatan mengenai pengalaman-pengalaman episodik menjadi memudar seiring berjalannya waktu dan kemampuan untuk me-recall ingatan tersebut juga semakin memudar.

b. Jumlah Subjek Penelitian

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik dalam prosedur penentuan subjek atau prosedur penentuan sumber data. Adapun karakteristik tersebut antara lain (1) tidak diarahkan pada jumlah subjek yang besar melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian, (2) sejak awal tidak ditentukan secara kaku tetapi jumlah


(53)

ataupun karakteristik subjek dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian, (3) tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak melainkan pada kecocokan konteks. Namun, beberapa peneliti kembali menekankan bahwa jumlah subjek yang banyak tidak menjamin lebih tingginya akurasi, validitas, dan keberhasilan penelitian kualitatif (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007).

Strauss (dalam Ulfah, 2010) mengatakan bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal subjek yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan telah cukup mendalam, maka dapat diambil subjek penelitian dalam jumlah kecil. Pendekatan maksimal dapat dilakukan dengan subjek yang tidak terlalu besar dan jumlah subjek tidak diambil satu orang saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dan dapat melihat perbedaan individual. Berdasarkan pernyataan di atas, jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 orang.

c. Teknik Pengambilan Subjek

Teknik pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan pengambilan subjek berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based/operational construct sampling). Patton (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan penggunaan prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya atau


(54)

sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek benar-benar representative yang artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

C. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, tipe dan metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti. Metode dasar yang umumnya banyak dipakai dan dilibatkan dalam tipe-tipe penelitian kualitatif ialah wawancara dan observasi (Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan ialah wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan untuk memperoleh gambaran proses pemilihan pasangan pada tunanetra dan faktor-faktor yang mempengaruhinya berdasarkan pada pengalaman subjektif masing-masing subjek penelitian. Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2007) mengemukakan wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Ada tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara yang dikemukakan oleh Patton (dalam Poerwandari, 2007) diantaranya, wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Penelitian ini


(55)

menggunakan pendekatan wawancara dengan pedoman umum, wawancara mendalam (in depth-interview) dan berbentuk open-ended question.

Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum yang mencantumkan isu-isu yang harus diliputi tanpa menentukan urutan pertanyaan. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk wawancara mendalam, di mana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai proses pemilihan pasangan secara mendalam. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk open-ended question di mana peneliti mencoba mendorong subjek untuk berbicara lebih lanjut tentang topik yang dibahas tanpa membuat subjek merasa diarahkan.

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan observasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada subjek antara lain ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, sikap dan reaksi subjek terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan hal-hal yang sering dilakukan selama proses wawancara. Hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Patton (dalam Poerwandari, 2007) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Alat bantu pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mempermudah dalam mencatat hasil wawancara ialah perekam (recorder), pedoman wawancara, dan pedoman observasi. Penggunaan perekam


(56)

diharapkan agar tidak ada informasi yang terlewatkan ketika dilakukannya proses wawancara oleh peneliti. Penggunaan alat perekam digunakan dengan izin dan sepengetahuan subjek.

Peneliti juga menggunakan pedoman wawancara sebagai alat untuk mengkategorisasikan jawaban subjek. Pedoman tersebut digunakan untuk mempermudah peneliti menganalisa data yang diperoleh. Pedoman wawancara dibuat berdasarkan tahap dan faktor yang mempengaruhi proses pemilihan pasangan yang dikemukakan oleh DeGenova (2008) pada tunanetra dewasa awal. Peneliti juga melakukan observasi terhadap reaksi subjek, lingkungan tempat wawancara berlangsung, tampilan subjek dan hal-hal yang dapat memperkaya konteks wawancara.

E. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kesepakatan antara peneliti dengan subjek.

Tabel 2. Lokasi Penelitian

Subjek Lokasi Penelitian

Subjek I (Fifi) Panti Pijat Cemerlang Jaya, Jln. Gajah Madan, Gg. Damai

Subjek II (Azwar) Jln. Utama, Gg. Sopan Subjek III (Husna) − Jln. Utama, Gg. Sadi

− Jln. Bromo, Gg. Salam − Jln. Utama, Gg. Sopan


(57)

F. Kredibilitas Penelitian

Istilah yang digunakan untuk mengganti konsep validitas ialah kredibilitas, yang mana dimaksudkan untuk merangkum bahasan mengenai kualitas penelitian kualitatif. Keberhasilan mencapai maksud eksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks merupakan kredibilitas penelitian kualitatif. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kompleksitas dari aspek-aspek yang terkait serta interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Berikut hal-hal yang dilakukan oleh peneliti untuk menjaga dan meningkatkan kredibilitas dalam penelitian ini :

1. Memilih subjek sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Membuat pedoman wawancara sesuai dengan tahap dan faktor pada proses pemilihan pasangan yang dikemukakan oleh DeGenova (2008) untuk mengungkapkan proses pemilihan pasangan pada tunanetra dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Peneliti ini juga melakukan standarisasi terhadap pedoman wawancara dengan melakukan professional judgement bersama beberapa ahli atau dosen.

3. Peneliti menggunakan pertanyaan open-ended question dan wawancara mendalam. Peneliti juga akan melakukan probing atau menanyakan kembali kepada subjek mengenai pernyataan subjek


(58)

yang kurang jelas atau ambigu sehingga mendapatkan data yang akurat.

4. Mencatat hal-hal yang dirasa penting oleh peneliti secara rinci berdasarkan pengamatan objektif seperti setting, subjek, reaksi dan sikap subjek terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan hal-hal terkait lainnya.

5. Data yang terkumpul, proses pengumpulan data, maupun strategi analisanya disimpan secara rapi dan lengkap.

6. Peneliti menyertakan orang-orang yang dapat memberikan saran maupun pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan oleh peneliti. Hal ini bertujuan untuk mengurangi subjektivitas dalam analisis data. Adapun orang-orang yang terlibat antara lain ialah dosen pembimbing sebagai professional judgement terhadap alat pengumpulan data, efektivitas pedoman wawancara, strategi analisa, dan interpretasi data. Peneliti juga melibatkan beberapa orang mahasiswa/I Fakultas Psikologi USU untuk menilai rangkaian cerita analisa data.

7. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (Checking and rechecking) data dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.


(59)

G. Prosedur Penelitian

a. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam penelitian, diantaranya adalah :

1. Mengumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan kehidupan tunanetra dan proses pemilihan pasangan pada tunanetra.

2. Membuat pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini disusun berdasarkan landasan teori yang digunakan. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan professional judgement dengan dosen pembimbing untuk mengetahui efektifitas pedoman wawancara sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Membuat informed consent. Informed consent dibuat sebagai bukti bahwa subjek telah menyepakati bahwa dirinya bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

4. Persiapan untuk mengumpulkan data. Informasi tentang calon subjek penelitian telah dikumpulkan melalui informan-informan dan memastikan bahwa calon subjek penelitian tersebut telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk memudahkan peneliti dalam mengambil data, peneliti memilih subjek yang sudah pernah mengikuti sekolah atau panti sosial. Hal ini membantu peneliti dalam mengambil data. Diharapkan dengan subjek pernah mengikuti


(60)

sekolah atau panti pijat sosial dapat memudahkan peneliti dalam berkomunikasi ketika mengambil data. Kemudian, peneliti menghubungi para calon subjek untuk menjelaskan penelitian yang akan dilakukan dan meminta kesediannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

5. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara. Setelah calon subjek penelitian bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani lembar informed consent, peneliti membuat janji untuk bertemu dengan subjek dan berusaha membangun rapport yang baik dengan subjek. Kemudian, peneliti dan subjek dapat menentukan dan menyepakati waktu untuk melakukan wawancara penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Tahap yang akan dilakukan oleh peneliti selanjutnya antara lain :

1. Peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara yang telah disepakati bersama dengan subjek sebelum melakukan wawancara. Hal ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan untuk memastikan bahwa subjek tidak berhalangan untuk melakukan wawancara.

2. Melakukan wawancara sesuai dengan pedoman wawancara sesuai dengan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya.


(61)

Wawancara dilakukan beberapa kali untuk mendapatkan data dan hasil yang maksimal.

3. Memindahkan hasil wawancara ke dalam bentuk transkip verbatim. Peneliti juga melakukan koding dengan memberikan kode-kode pada materi yang telah ditentukan. Poerwandari (2007) menyatakan bahwa koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi secara lengkap dan detail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

c. Tahap Pencatatan Data

Hasil wawancara dipindahkan dalam bentuk transkrip verbatim setelah wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh. Peneliti juga melakukan koding dengan memberikan kode-kode pada materi yang telah diperoleh. Poerwandari (2007) menyatakan bahwa koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi secara lengkap dan detail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari

d. Prosedur Analisa Data

Proses analisis data dimulai dengan memahami seluruh data yang ada dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan lainnya. Menurut Poerwandari (2007), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatis.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bhrem, S.S., Miller, R.S., Daniel, P., & Campbell, S.M. (2002). Intimate Relationships (3rd ed.). New York : McGraw-Hill.

Buss, D.M. (2006). Strategic of Human Mating. University of Texas, Austin. Buss, D.M. & Barnes, M. (1986). Preferences in Human Mate Selection.Journal

of Personality and Social Psychology, Vol.50. No.559-570

Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

DeGenova, M.K. (2008). Intimate Relationships, Marriage, &Families (7th ed.). New York : McGrawHill

Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage and Family Development. New York : Harper & Row, Publisher.

Efendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta : PT. Bumi Aksara

Geary, D.C., Vigil, J. & Craven, J.B. (2004). Evolution of Human Mate Choice. Journal of Sec Research, Vol. 41,No. 1, pp. 27-42

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (1988). Exceptional Children : Introduction to Special Education (4th ed.). United State : Prentice Hall

Heward, W.L. (1996). Exceptional Children : An Introduction to Special Education (5th ed.). United State : Prentice Hall

Hurlock, E.B. (1980). Developments Psychology : A Life-Span Approach (5th ed.) United State : McGraw- Hill

Hurlock, E.B. (1997). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Istiwidayanti & Soedjarwo, Pengalih bhs). Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

Karremans, J.C., Frankenhuis, W.E., & Arons, S. (2009). Blind Men Prefer A Low Waist-to-hip Ratio. Journal of Evolution and Human Behavior 31 (2010) 182-186.

Kelley, J.M. & Malouf, R.A. (2013). Blind Dates and Mate Preferences : An Analysis of Newspaper Matchmaking Columns.Journal of Evolutionary Psychology, 11(1) : 1-8


(2)

Lemme, B.H. (1995). Development in Adulthood. Needham Height : Allyn & Balcon

Lumbangaol, T.S. (2010). Penerapan Fungsi-Fungsi Kesejahteraan Sosial Pada Warga Binaan di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (Yapentra). Universitas Sumatera Utara, Medan.

Manurung, B.A. (2012). Perkembangan Kemandirian Anak Tunanetra di Sekolah Luar Biasa Bagian A (Studi Kasus di SLB-A Yayasan Karya Murni Medan Johor). Universitas Sumatera Utara, Medan.

Matlin, M.W. (2008). The Psychology of Women (6th ed.). United State : Thomsom Wadsworth.

Mirandita, A. (2011). Gambaran Proses Pemilihan Pasangan Pada Dewasa Awal Yang Kembar. Universitas Sumatera Utara, Medan

Moleong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Newman & Newman. (2006). Development Through Life : A Psychosocial Approach (9th ed.) United State : Thomsom Wadsworth

Papalia, D.E., Olds, S.W. & Feldman, R.D. (2007). Human Development (10th ed.). United State : McGraw-Hills Companies.

Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Santrock, W.J. (1999). Life-Span Development (7th ed.). United States : McGraw-Hill Companies.

Silalahi, K. & Meinarno, A.E. (2010). Keluarga Indonesia : Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Stenberg, R.J. (2008). Psikologi Kognitif Edisi Keempat (Yudi Santoso, pengalih bhs.). Yogyakarta : Pustaka Belajar

Trelfa, R.P. (2004). Blind date : Mate Selection in Visually Impaired and Sighted Population. Durham University

Zahavi, A. (1974). Mate Selection – A Selection For A Handicap.Institue For Nature Conservation Research, Israel.


(3)

LAMPIRAN A

PEDOMAN WAWANCARA

Nama Subjek :

Usia :

Hari/Tanggal Wawancara : Tempat Wawancara :

Wawancara Ke :

A. Latar Belakang Kehidupan

1. Bagaimana subjek memandang dirinya sebagai seorang tunanetra? 2. Bagaimana subjek menjalani aktivitas sehari-hari dengan

keterbatasan penglihatan yang dimilikinya?

3. Bagaimana hubungan subjek dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekitar?

4. Bagaimana subjek melewati setiap kejadian penting dalam hidupnya (masa remaja) dengan kondisi penglihatannya?

5. Jelaskan alasan mengapa subjek memutuskan untuk menikah?

B. Pemilihan Pasangan

a. Bagaimana pandangan subjek mengenai pemilihan calon pasangan?

1. Faktor Yang Mempengaruhi 1. Latar Belakang Keluarga

a. Bagaimana harapan subjek mengenai status sosioekonomi calon pasangannya?


(4)

b. Bagaimana harapan subjek mengenai latar pendidikan calon pasangannya?

c. Bagaimana harapan subjek mengenai suku calon pasangannya?dan bagaimana pandangan budaya subjek mengenai suku pasangan dalam memilih pasangan?

d. Bagaimana harapan subjek mengenai agama calon pasangannya?dan bagaimana pandangan agama subjek mengenai pernikahan?

2. Karakteristik Personal

a. Bagaimana harapan subjek mengenai sifat calon pasangannya?

b. Bagaimana harapan subjek mengenai perbedaan usia antara dirinya dan calon pasangannya?

c. Bagaimana harapan subjek mengenai persamaan pendapat dengan calon pasangannya?

d. Bagaimana harapan subjek mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pasangannya jika menjadi seorang suami/istri?

2. Proses Pemilihan Pasangan a. Field of eligible

a. Jelaskan bagaimana kriteria calon pasangan subjek?

b. Bagaimana subjek menyikapi jika calon pasangannya tidak memenuhi kriteria yang telah ditentukannya?

b. Propinquity

a. Ceritakan bagaimana subjek bisa bertemu dengan pasangannya?

b. Bagaimana subjek menjalani hubungan dengan calon pasangannya (ditinjau dari segi jarak)?


(5)

c. Ketertarikan

a. Hal-hal apa saja yang membuat subjek tertarik dengan calon pasangannya?

b. Bagaimana subjek dapat merasakan ketertarikan dengan calon pasangannya?

c. Menurut subjek hal yang bagaimana yang dapat membuat calon pasangan subjek tertarik pada subjek?

d. Homogamy

a. Bagaimana jarak usia antara subjek dengan calon pasangannya?

b. Bagaimana penilaian subjek mengenai suku calon pasangannya?

c. Bagaimana latar belakang pendidikan calon pasangan subjek?

d. Bagaimana dengan tingkat sosioekonomi calon pasangan subjek?

e. Bagaimana pandangan subjek mengenai Agama yang harus dimiliki calon pasangannya?

f. Bagaimana reaksi subjek dengan perbedaan/persamaan antara calon pasangan dan kriteria yang telah ditentukan? e. Compatibility

a. Bagaimana penilaian subjek mengenai sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh calon pasangannya?

b. Bagaimana subjek dan calon pasangannya saling berbagi peran?

c. Bagaimana kebiasaan calon pasangan subjek?

d. Jelaskan alasan mengapa subjek dapat menerima/menolak semua yang ada pada calon pasangannya?

f. Trial

a. Sebelum menikah apakah subjek menjalani proses pertunangan?


(6)

LAMPIRAN B PEDOMAN OBSERVASI

Nama Subjek :

Hari/Tanggal Wawancara : Waktu wawancara : Tempat wawancara :

Wawancara ke- :

No Hal-hal yang di observasi Ket

1 Penampilan fisik subjek 2 Setting wawancara

3 Perilaku subjek selama proses wawancara

4 Hal-hal yang sering dilakukan subjek saat wawancara

5 Ekspresi wajah, gerak, mimik, saat berbicara