BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PerspektifParadigma Penelitian - Hiperrealitas dalam Trilogi Film Huner Games (Analisis Semiotika Hiperrealitas Simbol Pemberontakan Salam Tiga Jari Dalam Trilogi Film Hunger Games)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Penelitian Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis.

  Menurut Guba (Wibowo, 2011: 136) paradigma adalah “Seperangkat

  

kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama, pandangan tentang dunia yang

menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia.” Paradigma merupakan

  suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.

  Paradigma konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62).

  Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162).

  Denzin dan Lincoln (dalam Wibowo, 2011: 162) menilai bahwa, setiap paradigma dapat dibedakan berdasarkan elemen-elemen yang berkaitan dengan epistemologi, ontologi, aksiologi, dan metodologi. Epistomologimenyangkut asumsi tentang hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Elemen metodologimenyangkut asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan

  56 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value

  

judgements. Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang

  mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Ontologi, apakah ilmu komunikasi? Epistomologi, Bagaimana proses yang memungkin ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan?

  Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.

  Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)(Wibowo, 2011: 162). Pengetahuaan bukanlah gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara terus menerus dialaminya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimana dari suatu arti dibentuk melalui bahasa serta tindakan- tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku.(Eriyanto, 2001 : 6).

  Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss, 2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis.

2.2 Uraian Teoritis

  Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2007: 39). Maka, teori yang relevan untuk penelitian ini adalah:

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa

  Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan- tulisan, gambar-gambar, suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai keinginan atau pun ideologi media itu. (Wibowo, 2011: 125).

  Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh media. Menurut Gerbner (Wibowo, 2011: 125) dan kawan- kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif sama” (Wibowo, 2011: 126).

  Menurut penjelasan Berger dan Luckmann di atas, segala yang ada dalam institusi masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam masyarakat.

  Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011: 125) pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

  Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam tiga macam realitas, yaitu : a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.

  b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.

  c. Realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :

  a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.

  b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia. Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi pemaknaan subjektif.

  c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi- konstruksi realitas sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.

  Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda.’ Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas,telah

  

dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam

  konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999).

  Atas dasar pengaruh dari tanda tersebut seorang penggiat aktivis penghijauan Green Peace, John Watson, memberikan pendapatnya mengenai media massa. Media massa merupakan sumber informasi yang menjadi pionir utama dalam keseharian manusia. Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar, 1995: 59).

  Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman, 1980).

  Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian realitas (Sobur, 2001: 88).

  Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas.

  Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya “Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan,” menggambarkan sebuah proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

  Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas- realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.

  Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia

  

menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan

hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk

sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan (Berger dan

Luckmann, 1990: 61).

  Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15). Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realita. LittleJohn (1996: 236) membuat sebuah penafsiran mengenai media, “peristiwa tidak bisa menunjukkan… agar bisa

  

dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk simbolis… si komunikator mempunyai

pilihan-pilihan kode-kode atau kumpulan simbol… pilihan tersebut akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  

mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,.karenasetiap bahasa – setiap

simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang

sengaja atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi.

  Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang

  

untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan.

  Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier (Fiske, 1990: 39).

  Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan acuan simbolik yang mengandung nilai kegunaan.

  Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan kepentingan media.

  Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol

  Pada awalnya yang membedakan antara manusia dengan hewan menurut para filsuf adalah kemampuan dalam menggunakan logika. Hewan berinteraksi menggunakan naluri atau instingnya. Namun ada unsur pembeda lain, yakni kemampuan manusia berkomunikasi dengan simbol-simbol. Kenneth Boulding (dalam Rivers, 2003: 28) mengingatkan hewan tidak punya gagasan kesadaran

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika) serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai cara tergantung pada penafsirannya atas simbol- simbol yang ada.

  Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius. Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers, 2003: 28) “Apa yang menyentak manusia bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda tersebut.”

  Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat citra-citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu yang semu, suatu jaringan atau rangkaian simbol ciptaannya itu.

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

  Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures

  

in our head,” (dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita). Lippman

  (dalam Rivers, 2003: 29) dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu (pseudo-environment). Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut. “Biasanya kita tidak melihat dulu sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa yang sudah kita ketahui. Enak tidaknya makanan, indah atau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  tidaknya tempat yang dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann.

  Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan

  

stereotype, dan melandasi carapandang kita selanjutnya terhadap dunia luar.

  Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa berulang-ulang tanpa akhir.

  Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’. Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan pandangan lama disuatu masyarakat.

  2. 2. 4. Semiotika

  Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala

  

sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau mewakili sesuatu

yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut David A. Apter, merupakan

  pendekatan yang paling antardisiplin di antara pendekatan-pendekatan lain. Strukturalisme sendiri berasal dari linguistik, antropologi, filsafat, dan sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371).

  Strukturalisme awalnya merupakan sebuah pergerakan di dalam ilmu bahasa, sekaligus upasya untuk membuktikan pentingnya konsep dan metode linguistik bagi beragam isu yang luas di dalam ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial (Giddens dan Turner, 2008: 335). Pemilihaan Sussure antara langue dan

  

parole bisa dianggap sebagai ide kunci di dalam strukturalisme linguistik,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan kontekstualnya.

  

Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”,

  sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974).

  Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan, 2001: 40).

  Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur, beraneka ragam dan terpisah- terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang

  

‘berarti’ –suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin

komunikasikan. Aliran strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita

  ditopang oleh struktur-struktur, jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240). Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh Saussure. Teorinya mengatakan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda.

  Semiologi atau pada saat ini dikenal dengan Semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari sebuah tanda. Menurut Ferdinand de Saussure (dalam Sobur, 2004: vii) ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Makna implisit yang dapat kita ambil dari pernyataan tersebut adalah terciptanya sebuah hubungan atau relasi, jika tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, dapat dikatakan bahwa tanda merupakan unsur-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  unsur dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Pada hipotesa dari Saussure ini berkaitan dengan suatu hal yang bernama konvensi sosial (social convention), yaitu yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan,

  

pengombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia

mempunyai makna dan nilai sosial.

  Semiotika adalah teori dan analisis dari berbagai tanda (signs) dan pemaknaan (signification, dimana semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaa, denotatum, intepretan, dasar, dan masih banyak lagi yang akan kita kenal pada kesempatan lain) dapat diterapkan pada semua bidangan kehidupan asalkan prasyaratnya dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, ada intepretasi (van Zoest, 1993: 54). De Saussure dan juga Barthes melihat tanda sebagai suatu konsep diadik (dua bagian yang berbeda tetapi berkaitan) dan sebagai sebuah struktur (susunan dua komponen yang berkaitan satu sama lain dalam suatu bangun) (Christomy, 2004: 54). Konsep diadik tersebut yang menghasilkan sebuah makna.

  Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun - sejauh terkait dengan dengan pikiran manusia – seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungan dengan realitas.

  Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5). Jika kita runut jauh kembali ke masa lalu, semiotika atau ilmu tentang sistem tanda sudah ada ketika masa Greek Stoics. Semula berawal dari tanda yang diperdebatkan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena, Yunani pada abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara tanda natural (yang terjadi secara alami) dan tanda konvensional (yang khusus dibuat untuk komunikasi)

  Terdapat dua bentuk semiotika, yaitu Semiotika Signifikasi oleh Ferdinand de Saussure dan Semiotika Komunikasi oleh Charles Sanders Pierce. Semiotika

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Signifikasi mempunyai pengertian semiotika yang mempelajari relasi elemen-

  

elemen tandadi dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi

  tertentu (dalam Sobur, 2004: viii). Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi (signification). Umberto Eco mempunyai pengertian sendiri dalam Semiotika Komunikasi. Semiotika Komunikasi mempunyai penekanan dalam aspek produksi tanda (sign

  

production), dibandingkan dengan Semiotika Signifikasi yang lebih menekankan

sistem tanda (sign system). Menurut Eco (Sobur, 2004: xii) sebagai sebuah mesin

  produksi makna, semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerja tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada, dan mengombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna.

  Menurut Eco (dalam Sobur, 2004: xiv), ketika seseorang menuturkan kata (atau imaji), maka ia terlibat di dalam sebuah proses produksi tanda, yang sebagaimana pada umumnya konsep ekonomi yang melibatkan pekerja, pekerja tanda. Ia mempekerjakan tanda-tanda (memilih, menyeleksi, menata dan mengombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu.). Semiotika Komunikasi menurut Eco lebih menekankan pada teori produksi tentang tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu

  

pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi, dan

acuan.

  Manusia merupakan mahluk pembuat simbol. Ketika dia berbicara, ketika menampilkan dirinya dengan segala perniknya menyimpulkan sebuah simbolisasi. Wanita yang menggunakan baju warna kuning dari atas hingga bawah ingin menampilkan sebuah makna, tanda, dan simbol keceriaan. Seperti kata Cassirer (Sobur, 2004: 14) “fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya.

  Charles Sanders Peirce beranggapan bahwa sebuah tanda (representamen) merupakan sebuah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (intepretant). Tanda menurut pandangan Peirce itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2001: 5).

  Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

  Fiske (dalam Bungin, 2007: 167) mengatakan bahwa Semiotika mempunya tiga bidang studi utama yaitu: a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

  b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

  c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Dilain pihak, menurut LittleJohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagai berikut :

  1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  seorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

  2. Sintaktik, berkenaan dengan kepaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara para tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara-cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009: 30).

  3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30).

  Preminger mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Bungin, 2007: 165).

  Konvensi atau kesetujuan mengenai pemaknaan suatu makna di suatu kebudayaan merupakan hal penting. Hal tersebut dikarenakan intepretan memainkan peran subjektif yang sangat strategis dalam proses pemaknaan tanda itu sendiri. (Bungin, 2007: 169). Maksud disini adalah latar belakang, pengalaman, field of reference & field of experience, dan kebudayaan menjadi faktor penting seseorang untuk memaknai sebuah tanda.

  Proses semiosis (semiotika atau semiologi) yang memberikan makna terhadap unsur kebudayaan yang dipandang akan menghasilkan sebuah tanda. Menurut Danesi dan Perron (1999: 68 – 70) tujuan utama semiotika adalah memahami kemampuan otak untuk memproduksi dan memahami tanda serta

  

kegiatan membangun pengetahuan tentang sesuatu dalam kehidupan manusia.

  Kemampuan itu adalah kemampuan semiosis (semiotika atau semiologi),

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  sedangkan kegiatan manusia yang berkaitan dengan tanda adalah representasi (kegiatan mengaitkan suatu representamen dengan objeknya). (Hoed, 2011: 23).

  Ferdinand de Saussure merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan ilmu semiotika. Teori yang paling terkenal adalah penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure, bahasa merupakan suatu sistem tanda (sign), dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut Saussure (dalam Sobur, 2004: 46) tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain penanda adalah “bunyian yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.

  Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler, 1976, dalam Ahimsa-Putra, 2001: 35). Setiap tanda kebahasaan , menurut Saussure, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra (sound image).

  Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas, semaunya), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Menurut Saussure, ini tidak berarti “bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara” namun lebih dari itu adalah “tak bermotif” yaitu arbitrer dalam pengertian penanda tidak ada mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Saussure, 1996, dalam Berger 2000b: 11).

  Semiotika memecah – mecah kandungan teks menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotika menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual (Berger, 1987: 1998a). Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasikan makna (Stokes, 2006 : 78).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual

  Sebelum lebih jauh, Semiotika Komunikasi Visual merupakan pisau pembedah tanda-tanda dalam desain komunikasi visual. Menurut Widagdo (dalam Tinarbuko, 2009: 23), desain komunikasi visual adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Tinarbuko (Tinarbuko, 2009: 23) mengatakan desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan layout. Dalam pandangan Sanyoto, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. T. Susanto menyatakan bahwa desain komunikasi visual (DKV) senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaaan.

  Pesan atau informasi yang terdapat hasil karya desain komunikasi visual, yang menjadi objek kajian semiotika komunikasi visual. Pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda.

  Semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas macam itu, melainkan dibangun oleh ‘pengetahuan’ yang lebih terbuka bagi aneka intepretasi. Logika semiotika adalah logika di mana intepretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan derajat kelogisannya; intepretasi yang satu lebih masuk akal daripada yang lain.

  Semiotika Komunikasi Visual adalah sebuah upaya memberikan sebuah intepretasi terhadap keilmuan semiotika itu sendiri, yaitu semiotika sebagai sebuah metode pembacaan karya komunikasi visual. (Tinarbuko, 2009: x). Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm). Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Semiotika dalam hal ini menjadi disiplin ilmu penopang desain komunikasi visual. Sebab, desain komunikasi visual mengandung tanda-tanda komunikatif. Lewat bentuk-bentuk komunikasi visual seperti itulah pesan tersebut menjadi bermakna.

  Fungsi utamanya adalah komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi, atau makna. Fungsi signifikasi adalah fungsi dimana penanda (signifier) yang bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna yang secara umum disebut petanda (signified).

  Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Sebagai produk kebudayaan, ia terkait dengan sistem ekonomi dan sosial. Di samping itu, desain bersahabat dengan sistem nilai yang sifatnya abstrak dan spiritual. (Tinarbuko, 2009: 6).

  Karya desain komunikasi visual merupakan saksi sejarah atas

perkembangandinamika sosial politik bangsa Indonesia (Tinarbuko, 2009 : 8).

Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, tren karya desain komunikasi visual tidak bisa lepas dari kondisi sosial politik yang ada di masyarakat. Ketika zama Orde Lama, desain yang muncul tentu akan berbeda dengan masa kejayaan Orde Baru ataupun zaman Reformasi. Desain merepresentasikan keadaan realitas.

  Semiotika Komunikasi Visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,

  subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Pisau analisis diharapkan mampu memperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan visual. Tanda verbal terdapat pada aspek ragam bahasa, tema, dan pengertian

  

yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara

menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis, dan

  bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya (Tinarbuko, 2009: 9). Tanda- tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan, dan dicari hubungan antara satu dengan yang lainnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Di dalam bidang desain pada khususnya, semiotika digunakan sebagai sebuah “paradigma”—baik dalam “pembacaan”—maupun “penciptaaan “ (creating)—disebabkan ada kecenderungan akhir-akhir ini dalam wacana desain untuk melihat objek-objek desain sebagai sebuah fenomena bahasa, yang di dalamnya terdapat tanda (sign), pesan yang ingin disampaikan (message), aturan atau kode yang mengatur (code) serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai subjek bahasa (audience, reader, user) (Christomy, 2004: 88).

  Berdasarkan perkembangan paradigma baru tersebut, penggunaan semiotika sebagai sebuah “metode” dalam penelitian desaian harus berangkat dari sebuah prinsip, bahwa desain sebagai sebuah objek penelitian tidak saja mengandung berbagai aspek fungsi utilitas, teknis produksi dan ekonomis, tetapi juga aspek komunikasi dan informasi yang di dalamnya desain berfungsi sebagai medium komunikasi.

  Ada berbagai macam metode pembacaan semiotika untuk diaplikasikan dalam penelitian semiotika desain, salah satunya dari metode seorang ahli bernama CS Morris. CS Morris menjelaskan tiga dimensi dalam analisis semiotika, yaitu dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik, yang ketiganya saling berkaitan satu sama lainnya. Sintaktis (syntactic) berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya, khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya. Semantika (semantics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signfikasi atau maknanya. Dalam konteks semiotika struktural, semantik dianggap merupakan bagian dari semiotika. Pragmatik (pragmatics) adalah studi mengenai relasi antara tanda dan penggunanya (interpreter), khususnya yang berkaitan dengan penggunaan tanda secara konkret dalam berbagai peristiwa (discourse) serta efek atau dampaknya terhadap penguna. Ia berkaitan dengan nilai (value), maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: ‘untuk apa’ dan ‘kenapa’, serta pertanyaa mengenai pertukaran (exchange) dan nilai utilitas (kegunaan) tanda bagi pengguna.

  Klasifikasi Morris ini sangat penting dalam penelitian desain karena dapat menjelaskan tingkat sebuah penelitian, apakah pada tingkat sintaksis (struktur dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  kombinasi tanda), tingkat semantik (makna sebuah tanda atau teks) atau tingkat pragmatik (penerimaan dan efek tanda pada masyarakat).

Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris

  

Level Sintaksis Semantik Pragmatik

  Sifat penelitian tentang penelitian makna penelitian efek struktur tanda tanda tanda Elemen penanda/petanda struktural Penerimaan sintagma/sistem kontekstual pertukaran konotasi/denotasi denotasi wacana metafora/metonimi konotasi efek (psikologis ideologi/mitos ekonomi- sosial gaya hidup)

  

Dikutip oleh Winfried Noth, Handbook of Semiotics, 1995: 50

2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes

  Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir post-strukturalis yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Dalam studinya, Barthes menekankan pentingnya peran pembaca tanda (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi (Sobur, 2004: 63).

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang Lingkup Akustik. - Pembuatan Dan Karakterisasi Papan Akustik Poliester Berbasis Serat Agave Angustifolia Haw

0 0 27

DAFTAR ISI - Pembuatan Dan Karakterisasi Papan Akustik Poliester Berbasis Serat Agave Angustifolia Haw

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Limbah Abu Pembakaran Biomassa Kelapa Sawit Terhadap Sifat-Sifat Fisika dan Mekanik High Impact Polystyrene (HIPS)

0 0 11

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI PEKERJA ANAK A. Pengaturan Eksploitasi Pekerja Anak dalam Peraturan Perundang- undangan di Indonesia 1. Undang-Undang 2.1 Undang-Undang nomor 20 tahun 1999 Undang-Undang tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138

0 1 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia

0 0 21

I. Identitas Responden - Analisis Pengaruh Atribut Produk, Harga, dan Brand Image Terhadap Keputusan Pembelian i-Phone pada Konsumen di Apple Store Sun Plaza Medan

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Perilaku Konsumen - Analisis Pengaruh Atribut Produk, Harga, dan Brand Image Terhadap Keputusan Pembelian i-Phone pada Konsumen di Apple Store Sun Plaza Medan

0 3 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Pengaruh Atribut Produk, Harga, dan Brand Image Terhadap Keputusan Pembelian i-Phone pada Konsumen di Apple Store Sun Plaza Medan

0 2 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bencana - Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Intrinsik Pegawai SAR dalam Memberikan Pelatihan Pertolongan Pertama Korban Bencana terhadap Kinerja Pegawai SAR di Kantor SAR Medan

0 0 28

Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Intrinsik Pegawai SAR dalam Memberikan Pelatihan Pertolongan Pertama Korban Bencana terhadap Kinerja Pegawai SAR di Kantor SAR Medan

0 1 11