BAB II Hubungan Lintas Agama dan Modal Sosial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam–Kristen di Desa Prangat Baru Marang Kayu

BAB II Hubungan Lintas Agama dan Modal Sosial

2.1. Pengantar

  Pola interaksi sosial masyarakat di setiap tempat tidak sama. Masing-masing memiliki karakteristiknya yang unik dan hal itu biasanya tergantung dari bagaimana para individu dapat mengidentifikasikan dirinya di tengah komunitas ia berada. Dengan kata lain identitas sosial yang melekat pada tiap individu akan menjadi faktor yang juga membentuk pola relasi sosial sekitar. Dengan demikian, kemampuan individu dalam mengenali dirinya sendiri memiliki andil yang mempengaruhi lingkungan sekitar. Burke mengatakan bahwa kemampuan mengenali diri sebagai objek memungkinkan pikiran atau diri untuk memikirkan dan bertindak atas diri

  1 sendiri dengan cara yang sama di dalam lingkungannya.

  Relasi adalah kebutuhan utama setiap manusia, bahkan sejak dalam kandungan hal tersebut telah menjadi kebutuhan manusia yang mendasar. Hubungan dengan orang lain juga merupakan faktor penentu bagaimana setiap individu mampu mendeskripsikan dirinya, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Seseorang tidak akan merasakan kehidupan yang utuh tanpa relasi dengan pihak lain. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa manusia didefinisikan oleh siapa yang kita kenal.

  Ikatan antar manusia dapat menjadi blok bangunan utama dari bangunan sosial yang

  2 lebih besar. 1 Peter J. Burke and Jan E. Stets, Identity Theori. (New York: Oxford University Press, 2009), 19. Hubungan antar manusia yang terjadi dan terbentuk berdasarkan bagaimana individu mengidentifikasi sekaligus diidentifikasi oleh komunitasnya, seringkali menjadi tidak sehat karena ternyata memang hal tersebut bukanlah masalah yang sederhana. Banyak terjadi kemerosotan di dalam hubungan sosial masyarakat karena terjadi kegagalan di dalam fakta sosial yang ada. Durkheim menjelaskan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada di luar individu. Sifatnya

  3

  memaksa dan ia terbentuk oleh pola yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap individu sangat penting untuk memahami fakta sosial yang sedang terjadi dan ia berada di dalamnya.

  Pola relasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hubungan antar umat beragama. Memang manusia tidak dapat dipisahkan dari agama dan hal yang sering menjadi perdebatan dan pergulatan yang cukup sengit. Di dalam agama terdapat klaim-klaim eksklusif dan hal itu dibawakan secara fulgar, maka akan menjadi

  4

  pemicu dalam hubungan antar agama. Tidak jarang fundamentalisme yang dijadikan “kambing hitam”, sedangkan sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang aneh di dalam

  5

  agama apa pun. Akan tetapi agama tidak dapat disalahgunakan seperti yang dipertontonkan oleh sekelompok orang yang berniat untuk memperjuangkan

  6

  kepentingan politiknya. Agama seharusnya dipakai untuk menyatukan berbagai perbedaan yang ada di antara mansia. 3 Fakta Sosial Menurut Emil Durkhiem, Pengertian. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2017.

   4 Bambang Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam (Yoggakarta: Penerbit Yayasan Andi 2001), 45. 5 S. Wesley Ariarajah, Tidak Mungkin Tanpa Sesamaku diterjemahkan oleh Nic A.

  Likumahua (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2008), 24. 6 Ariarajah, Tidak Mungkin Tanpa Sesamaku, 25.

  Dalam rangka menciptakan hubungan sosial yang heterogen dan kemudian akan berdampak positif bagi fakta sosial yang ada, maka diperlukan satu hal yang dapat dijadikan sebagai faktor penunjang. Ada beberapa tokoh sosiolog, seperti Bourdieu, Coleman, Putnam dan Fukuyama, yang memikirkan faktor penunjang tersebut. Mereka mendefinisikan hal itu sebagai modal sosial, yaitu suatu gagasan ini

  7

  didorong oleh perubahan sosial yang terjadi. Di dalam modal sosial jaringan menjadi suatu hal yang sentral dan dianggap sebagai aset yang bernilai. Jaringan ini memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang untuk bekerja sama satu dengan yang lainnya - dan itu tidak sekadar dengan orang yang telah dikenal secara langsung saja – guna memperoleh manfaat timbal balik.

2.2. Hubungan Lintas Agama

  Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh semua manusia adalah berjumpa dengan orang lain. Perjumpaan ini menjadi hal yang sangat penting karena berkaitan erat dengan bagaimana manusia itu sendiri memahami identitasnya. Perjumpaan itu merupakan proses yang memperhadapkan menusia dengan kepelbagaian. Di mayarakat Barat perjumpaan denga orang-orang yang berbeda warna kulit, tradisi dan agama, telah menciptakan wajah hubungan yang lebih plural, buahnya adalah menjadi

  8 komunitas yang multi religius.

  Masalah hubungan antar agama merupakan yang tidak pernah seleai dalam konteks msyarakat yang majemuk. Sejak akhir perang dunia kedua, masalah ini 7 8 Field, Social Capital, 12.

  Izak Lattu, “A Sosiological Breakthrough of Interreligious Engagement in Everyday-

Symbolic Interaction Perspectives,” Religio: Jurnal Studi Agama-Agama Vol. 6 No. 2 (September menjadi pembahasan yang penting dunia akibat dari penetrasi pendatang ke nergara- negara Barat yang sebelumnya homogen (Katolik dan Protestan). Di dalam migrasi yang kemudian memperjumpakan orang-orang yang berlainan agama yang pada akhirnya membentuk sebuah kesadaran baru tentang pluralitas agama dan kemajemukan etnis. Perjumpaan ini sering mengakibatkan benturan antar pemeluk agama yang berbeda, namun ada juga yang tidak diakhiri dengan sikap permusuhan,

  9 melainkan persahabatan.

  Di dalam pekembangannya, masyarakat diperhadapkan dengan globalisasi dan hal ini mendorong para pemeluk agama untuk memiliki relasi lintas agama yang mutual. Pertemuan dengan sesama membantu pemeluk agama lain untuk merumuskan

  10

  sikap baru yang lebih terbuka lagi terhadap yang lain. Banchoff mengatakan bahwa mobilisasi komunitas agama melalui teknologi komunikasi memperdalam interaksi

  11

  dengna pemeluk agama yang lain. Ada hubungan yang saling memberikan kebaikan antara satu dengan yang lainnya.

  Bikhu Parek mengatakan bahwa masyarakat multi kultural adalah masyarakat yang beragam dan memahami perbedaan-perbedaan dalam beberapa bentuk. Pertama masyarakat saling memperkenalkan nilai dan sudut pandang yang berbeda. Bukan itu saja, mereka menikmati kenyataan bahwa mereka memiliki keyakinan dan praktek keyakinan yang berbeda. Kedua, masyarakat yang kritis terhadap prinsip atau nilai- nilai yang tidak lagi sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat. Ketiga, 9 Izak Lattu, “Beyond Tolerance: Memahami Hubungan Lintas Agama dalam Konteks

Polidoksi dan Poliponik,” dalam Mariska Lauterboom, Irene Ludji dan Retnowati (editor) Buku Ajar.

  (Salatiga: Satya Wacana Univerity Press, 2015), 173. 10 11 Izak Lattu, “Beyond Tolerance …, 176.

  Thomas Banchoff, Religious Pluralism, Globalization, and World Politics (New York: masyarakat yang dapat mengolah dengan baik perbedaan-perbedaan keyakinan

  12 (agama, ideologi, budaya, nilai dan lein sebagainya).

  Secara bertahap kesadaran di tengah masyarakat tentang hubungan lintas agama ini terbangun. Lattu mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena dua faktor.

  Pertama karena banyaknya korban yang jatuh akibat sejarah konflik yang berujung pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Di dalamnya terjadi kesalahan saat mengelola perbedaan yang memicu banyak persoalan kemanusiaan. Dengan dasar pemikiran itu dibutuhkan cara baru sehingga umat manusia tidak jatuh ke dalam masalah yang sama. Kedua, terjadinya reduksi jarak antar manusia akibat semakin pesatnya teknologi dan sains. Dalam dunia internet, manusia terkait di dalam jaring- jaring informasi yang menyebabkan keterikatan yang kemudian mempertemukan

  13 budaya dan nilai yang berbeda.

2.3. Modal Sosial Menurut Para Ahli

  Modal sosial tidak berdiri sendiri, melainkan juga memperoleh manfaat dari pengaruh budaya dalam ilmu-ilmu sosial. Di dalamnya muncul pertumbuhan minat yang luar biasa terhadap apa yang disebut dengan level mikro prilaku dan pengalaman individu, seiring dengan meningkatnya perhatian kepada aspek-aspek budaya perilaku

  14

  sosial. Pamela mengemukakan di dalam artikelnya bahwa modal sosial memiliki dua komponen, yaitu kepercayaan dan asosiasi. Kepercayaan digambarkan sebagai kelengkapan subjektif antara individu. Sedangkan asosiasi digambarkan sebagai 12 13 Izak Lattu, “Beyond Tolerance …, 192-193.

  Izak Lattu, “Beyond Tolerance …, 173.

  15

  ikatan objektif antara individu. Modal sosial ini tidak secara sederhana memiliki hubungan dengan ekonomi, meskipun konsep modal lebih banyak dipakai di bidang itu. Ia lebih menawarkan suatu alternatif bagi konsep modal manusia, dengan

  16

  memberikan penekanan kepada masalah kolektif. Di dalam perkembangannya ada beberapa tokoh yang secara spesifik membahas modal sosial.

2.2.1. Bourdieu

  Bourdieu adalah seorang sosiolog dari Eropa yang sangat tertarik pada adanya kelas sosial. Ia mempelajari suku-suku yang di Aljazair selama tahun 1960-an dan di dalamnya ia menggambarkan perkembangan dinamis struktur nilai dan cara berpikir yang membentuk kebiasaan atau habitus. Maksudnya, bahwa kelompok atau komunitas mampu menggunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda. Tanda tersebut yang menandai dan membangun posisi mereka di dalam struktur sosial. Kemudian ia memperkuat kesimpulannya itu dengan menggunakan frasa

  17 ‘modal budaya’.

  Secara tegas Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai sejumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang indivdu maupun kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan

  18

  pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan. Baginya modal sosial akan memberikan manfaat untuk memberikan dukungan-dukungan seperti harga diri dan kehormatan bagi mereka yang ingin menarik para klien ke dalam posisi-posisi yang

  15 Paxton, Pamela. “Is Social Capital Declining in the United States? A Multiple Indicator Assessment.” American Journal of Sociology, vol. 105, (1999): 89. 16 17 Field, Social Capital, 14. 18 Field, Social Capital, 21.

  P. Bourdieu dan L. Wacquant, An Invititation to Reflexive Sociology. (Chicago: Chicago penting secara sosial serta yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier

  19 politik.

  Bourdieu membagi modal sosial menjadi 3 dimensi modal yang berhubungan dengan kelas sosial yaitu: modal ekonomi, modal kultural, dan modal sosial.

  Pembagian dimensi ini dapat dimaklumi karena ia merupakan seorang ilmuan sosial dari aliran Neo-Marxis yang mengaitkan modal sosial dengan konflik kelas. Modal sosial bagi Bourdieu adalah relasi sosial yang dapat dimanfaatkan seorang aktor dalam rangka mengejar kepentingannya. Dengan demikian modal sosial bisa menjadi alat perjuangan kelas dan hal ini lahir akibat terjadinya fenomena kemerosotan

  20 bentuk-bentuk primordial organisasi sosial di negara-negara Barat.

2.2.2. Coleman

  James Coleman adalah sosiolog dari Amerika. Karyanya dapat dikatakan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dunia pendidikan, karena ia memang memberikan perhatian khusus kepada pendidikan di lingkungan kumuh Amerika. Ia membuktikan bahwa modal sosial tidak hanya ada pada mereka yang memiliki tingkat sosial yang tinggi, melainkan juga dimiliki oleh mereka yang termasuk ke dalam

  21

  golongan kaum marjinal. Lebih lanjut lagi, sosiolog yang banyak dipengaruhi oleh karya Gary Becker

  • – seorang yang mengembangkan teori pilihan rasional – ini mengembangkan ilmu sosial inter-disipliner yang dapat berasal dari ilmu ekonomi dan sosiologi. Dengan itu ia mengambarkan bahwa interaksi sosial adalah suatu
  • 19 P. Bourdieu, “Cultural Reproduction and Social Reproduction,” dalam J. Karabel dan A. H.

      Halsey (ed) Power and Ideology in Education. (New York: Oxford University Press), 503. 20 P. Bourdieu, “The Forms of Capital,” dalam J. G. Richardson (ed), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. (New York: Greenwood Press, 1986), 249-250. bentuk pertukaran, sehingga semua perilaku individu berusaha mengejar

      22 kepentingannya masing-masing.

      Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai norma, jaringan sosial dan hubungan antar orang dewasa dan juga anak-anak yang sangat bernilai bagi tumbuh kembang anak. Modal sosial berada di dalam keluarga dan juga di luar keluarga

      23

      sebagai sebuah komunitas. Menurutnya modal sosialnya melingkupi tiga struktur penting di dalam masyarakat, yaitu kewajiban, pengharapan dan kepercayaan. Modal sosial juga baginya memiliki berberapa bentuk yaitu, kewajiban, pengharapan, arus

      24 informasi, norma dan sangsi.

      Ia juga di dalam mengembangkan teorinya menunjukkan ketertarikannya kepada sifat antar generasi ikatan religius. Baginya organisasi keagamaan ada di antara organisasi yang masih tersisa di dalam masyarakat, di luar keluarga dan lintas generasi. Dengan demikian organisasi tersebut berada di antara organisasi yang di

      25 dalamnya modal sosial komunitas dewasa tersedia bagi anak-anak juga pemuda.

    2.2.3. Putnam

      Robert Putnam adalah seorang sosiolog Amerika yang sangat menaruh perhatian terhadap hubungan sosial masyarakat. Ia adalah seorang yang bergerak di bidang politik dan atas arahan Ron Inglehart, ia meneliti hubungan antara nilai sosial dengan sikap politik. Ulasan utamanya adalah peran keterlibatan warga dalam membangun stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi yang didasarkan atas 22 23 Field, Social Capital, 33.

      J. S. Coleman, Equality and Achievement in Education. (Boulder: West View Press, 1990), 334.

      24 John S. Coleman. “Social capital in the creation of human capital.” American Journal of sociology , vol. 94 (1988), S101-S103.

      26 penelitian lapangan di Italia. Selanjutnya ia mengalihkan perhatiannya ke Amerika.

      Ketika ia menerangkan perbedaan-perbedaan dalam keterlibatan yang dilakukan oleh

      27 warga dalam karyanya, ia menggunakan teori modal sosial yang dirumuskannya.

      28 Baginya modal sosial adalah hal terpenting di dalam masyarakat sipil. Di

      dalamnya terkandung faktor-faktor pendukung agar hubungan masyarakat dapat menjadi lebih baik dan memberi ruang kepada partisipasi individu di dalam organisasi

      29

      formal. Putnam mengatakan bahwa modal sosial adalah fitur yang ada di dalam

      30

      sistem masyarakat sehingga masyarakat dapat terorganisir pergerakannya. Di dalamnya ada keterikatan antara jaringan masyarakat dengan norma yang berlaku sehingga tumbuh juga kepercayaan. Prinsip dasarnya adalah kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki seperangkat nilai sosial-budaya serta menghargai pentingnya kerja sama guna kemajuan dan perkembangan yang didorong oleh

      31

      kekuatan bersama. Putnam sangat menekankan keterlibatan masyarakat karena dapat menjadi media yang sangat baik dalam mengedukasi masyarakat, meningkatkan

      32 kemampuan masyarakat dan menjembatani hubungan sosial masyarakat.

      Putnam mengajukan tiga alasan penting tentang konsep modal sosial. Pertama jaringan sosial, memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang menumbuhkan rasa saling percaya di antara sesama anggota masyarakat. Kedua 26 27 Field, Social Capital, 47. 28 Field, Social Capital, 49.

      Robert Putnam, Bowling Alone: The Collaps and Revival of American Community (New York: Simon and Schuster, 2000), 149. 29 30 Putnam, Bowling Alone, 48.

      Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy (New Jersey: Princeton University Press, 1993), 167. 31 Rusydi Syahra, “Modal Sosial: Konsep Dan Aplikasi,” Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI Vol. V, No. 1, (2003), 6. 32 Robert Putnam, “Tunning In, Tunning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in kepercayaan, memiliki dampak positif dalam kehidupan masyarakat. Di dalamnya tumbuh suatu pemahaman tentang keharusan untuk dapat saling membantu. Ketiga, hal positif yang telah dicapai akibat kerja sama di waktu lampau, menjamin

      33

      keberlangsungan kerja sama pada waktu kemudian. Modal sosial menekankan perlunya kemandirian masyarakat dalam mengatasi segala masalah sosial. Ketika ada bantuan dari luar, hal itu menjadi pelengkap untuk memicu inisiatif dan produktivitas

      34 yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri.

    2.2.4. Fukuyama

      Fukuyama mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok

      35

      masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Ia sangat tertarik kepada kepercayaan (trust) yang berkaitan kebajikan sosial dan modal sosial.

      Baginya di dalam kepercayaan ada harapan akan keteraturan, kejujuran dan prilaku koorperatif yang muncul dari suatu komunitas yang menganut sebuah norma yang

      36

      sama. Menurut Fukuyama manusia tidak dapat memisahkan kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya dan di era modal sosial sudah sepenting modal fisikal, hanya masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial yang tinggi akan mampu menciptakan organisasi-organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang mampu

      37 bersaing di arena ekonomi global baru. 33 34 Syahra, Modal Sosial, 6. 35 Syahra, Modal Sosial, 1.

      Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social Order diterjemahkan oleh: Ruslani (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), vii. 36 Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity diterjemahkan oleh: Ruslani (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 1995), xii - xiii. Ia termasuk sosiolog yang menaruh perhatian dan ketertarikannya terhadap perubahan yang mempengaruhi dimensi kehidupan masyarakat. Akan tetapi ia tidak memberikan fokus terhadap perubahan tersebut, melainkan kepada akibatnya terhadap tatanan masyarakat yang merupakan himpunan individu-individu yang saling berhubungan menurut aturan-aturan yang diterima bersama, baik secara formal

      38

      (hukum) maupun informal (etika). Ia menyimpulkan bahwa karakteristik masyarakat Amerika, khususnya, mengakibatkan terjadinya sebuah guncangan besar sekitar tahun 1960 hingga 1970. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin meningkatnya patologi sosial seperti kriminallitas, perceraian dan kehancuran kehidupan rumah tangga. Melalui penelitiannya ini, Fukuyama hendak mengatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam dunia perdagangan, ilmu dan teknologi membawa dampak nyata yang tidak selalu positif terhadap kehidupan yang bersifat mikro, contohnya hubungan

      39 suami isteri, peranan wanita dalam rumah tangga dan perilaku sosial kaum remaja.

    2.2. Mengapa Putnam?

      Pada tahun 1996, setelah melakukan penelitiannya di Italia, Putnam memberikan suatu definisi tentang modal sosial. Menurutnya modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial, seperti jaringan, norma dan kepercayaan, yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-

      40

      tujuan bersama. Tiga ramuan atau fitur ini Putnam jabarkan sebagai berikut:

      38 Francis Fukuyawa, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru diterjemahkan oleh: Masri Maris. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), xi - xii. 39 Fukuyawa, Guncangan Besar, xi - xii.

      41

      a. , yaitu suatu hal yang memiliki pengaruh positif di Kepercayaan (trust) dalam lingkungan masyarakat. Di dalamnya ada harapan yang tumbuh di tengah sebuah lingkungan masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya sikap hidup jujur, teratur dan kerja sama. Dengan kepercayaan, maka satu sama lain di dalam komunitas dapat saling menerima dan dengan demikian komunikasi antar individu dapat terjadi secara transparan.

      42

      b. , yaitu pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan Norma (norm) dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang di dalam masyarakat. Norma ini dapat bersumber dari agama, panduan moral atau juga standar-standar sekuler seperti kode etik profesional. Norma ini dibangun dan mengalami perkembangan bersama mengacu kepada sejarah

      43

      bersama dan dipelihara untuk menjaga iklim kerja sama. Ketika norma menjadi suatu hal yang formal, maka ia akan berbentuk hukum, sedangkan saat menjadi suatu hal yang informal ia dapat berupa etika.

      44

      c. , yaitu infrastruktur modal sosial yang berwujud Jaringan (Network) jaringan-jaringan kerja sama antar manusia. Jaringan-jaringan ini memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, serta memungkinkan tumbuhnya kepercayaan. Ia juga yang akan menjadi konstruksi yang memperkuat kerja sama. Jaringan ini juga merupakan indikator dari sehat atau tidaknya sebuah komunitas masyarakat. Menurut Putnam, jaringan-jaringan 41 sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerja sama para anggotanya serta 42 Putnam, Making Democracy Work,167-170. 43 Putnam, Making Democracy Work,171-172.

      Putnam, Making Democracy Work, 36.

      45

      manfaat-manfaat dari partisipasinya. Dengan jaringan masyarakat dapat mengerti fungsinya sebagai bagian dari organ masyarakat. Jaringan ini juga sangat bermanfaat dalam mengkoordinasikan segala tugas yang harus dilaksanakan di dalam kebersamaan.

      Di dalam pengertian ini Putnam menyimpulkan bahwa baik kepercayaan, norma dan jaringan tidak berdiri sendiri. Ketiganya memiliki hubungan yang saling

      46

      mempengaruhi dan ketergantungan. Ia mengarahkan masyarakat kepada koordinasi

      47 yang lebih mudah dan kerjasama untuk manfaat bersama.

      Sekitar tahun 2002, Putnam kembali melakukan penelitian di Amerika. Penelitiannya berkisar tentang hubungan sosial di dalam masyarakat Amerika. Dalam penelitiannya kali ini, Putnam mendefinisikan bahwa ide utama dari teori modal sosial adalah jejaring sosial. Menurutnya jejaring sosial menciptakan nilai yang dapat

      48

      bermanfaat bagi dua pihak, individu dan kelompok. Ia mengibaratkan jejaring sama dengan investasi, yang dapat digunakan di kemudian hari, namun juga dapat langsung dirasakan manfaatnya. Menurutnya banyak studi yang menunjukkan bahwa kebahagiaan manusia lebih dekat dengan modal sosial dari pada modal materi dan

      49 modal ekonomi.

      Lebih lanjut Putnam membagi modal sosial menjadi dua jenis, yaitu modal sosial yang menjembatani (inklusif) dan modal sosial yang mengikat (ekslusif). Jenis 45 46 Putnam, Making Democracy Work, 27. 47 Putnam, Making Democracy Work,167.

      Robert D. Putnam, “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life. American

    Prospect Spring,” In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Social Capital. Edward Elgar

    Publishing Limited: Massachusetts. Schumpeter, Joseph A. History of Economic Analysis, New York: Oxford University Press: 1996, 35. 48 Robert Putnam, Democracies in Flux: The Evolution of Social Capital in Contemporary Society. (New York: Oxford University Press, 2002), 8. yang menjembatani adalah model yang cenderung menyatukan orang dari beragam ranah sosial. Sedangkan modal sosial yang mengikat cenderung mendorong komunitas mempertahankan identitas homogenitasnya. Model ini menopang resiprositas spesifik dan mobilitas solidaritas, pada saat yang sama menjadi semacam perekat terkuat sosiologi. Selain itu ia juga menjadi instrumen yang baik dalam memelihara kesetiaan yang kuat di dalam kelompok dan memperkuat identitas

      50

      spesifik. Berkaitan dengan modal sosial, karya Putnam dianggap cukup dominan,

      51 meskipun ia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh Coleman.

      Di dalam penelitian ini, secara sadar penulis mengakui bahwa telah memiliki ketertarikan yang sangat sangat besar kepada hasil studi yang dilakukan oleh Putnam.

      Oleh karena itu, sebagaimana yang telah disampaikan dalam bab pendahuluan, penulis akan menggunakannya sebagai alat untuk melakukan analisis sosial. Bagi penulis hal ini merupakan suatu tantangan tersendiri karena fokusnya sama-sama pada relasi sosial masyarakat. Selain itu, penulis juga ingin memperkenalkan kepada khalayak banyak bahwa pendekatan teori modal sosial juga dapat dipergunakan sebagai “kaca mata” sosiologis dalam menganalisis hubungan Islam-Kristen di tempat-tempat lain.

Dokumen yang terkait

PENGARUH KOMPETENSI, SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL, KOMITMEN ORGANISASI, DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP AKUNTABILITAS PEMERINTAH DESA DALAM MENGELOLA ALOKASI DANA DESA (Studi pada Desa Se-Kabupaten Kudus)

0 4 16

A. Bagian Pertama “Me’is Esa” - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esa Neme Sosona Losa Mate’Ena: Sebuah Komposisi Musik Program untuk Ansambel Musik

0 0 22

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Kepala Sekolah

0 0 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.1.Pengertian Manajemen - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Kepala Sekolah

0 0 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Langkah Pengembangan Model 4.1.1.Potensi dan Masalah 1. Perencanaan (Planning) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Mening

0 0 32

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Kepala Sekolah

0 0 73

BAB I Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam–Kristen di Desa Prangat Baru Marang Kayu

0 0 14

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 16