BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyalahgunaan Narkoba - Penyalahgunaan Narkoba pada Kalangan Remaja di Desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyalahgunaan Narkoba

  Narkotika dan Obat-obatan terlarang (NARKOBA) atau Narkotik, Psikotropika, dan Zat Aditif (NAPZA) adalah bahan atau zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan atau psikologi seseorang (pikiran, perasaan, dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Narkotika menurut UU RI No 22/1997, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Bahaya menyalahgunakan narkoba sangat besar, bukan hanya merusak tubuh, tetapi juga masa depan. Penyalahgunaan narkoba mengakibatkan rusaknya organ tubuh selain itu juga menimbulkan penyakit yang berbahaya sulit untuk disembuhkan, seperti kanker, paru, HIV/AIDS, hepatitis, bahkan penyakit jiwa.

   diakses tanggal 22 Juli 2014, pukul 00.07 WIB) Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang bukan untuk tujuan pengobatan dan penelitian, serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar, sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik, gangguan dikatakan sebagai pemicu seseorang dalam penyalahgunakan narkoba. Ketiga faktor tersebut adalah faktor individu, faktor lingkungan, dan faktor kesediaan narkoba itu sendiri.

  Pertama, faktor individu, diakibatkan rasa penasaran yang menimbulkan keinginan untuk mencoba, waktu luang atau situasi dan kesempatan untuk menggunakan narkoba dan tekanan atau jebakan atau rayuan dari pihak pengedar. Kedua, faktor lingkungan, ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang menggunakan narkoba. Faktor itu antara lain pengertian yang salah bahwa mencoba sekali-sekali tidak masalah, ajakan teman sebaya dan tawaran gratis untuk memakai serta lingkungan yang mendukung kebebasan memakai atau mengedarkan narkoba.

  Ketiga, faktor ketersediaan narkoba, di mana narkoba semakin mudah untuk didapatkan dan dibeli.

  Hukuman bagi penyalahgunaan narkotika telah diatur secara khusus oleh UU No.22 tahun 1997 tentang narkotika. Dalam pasal-pasal tersebut, UU narkotika dijelaskan ketentuan pidana dan jenis pidana yang diberikan pada pihak yang menyalahgunakan narkotika secara ilegal. Adapun sanksi yang diberikan berupa pidana penjara dan denda.

2.2 Pengertian Remaja

  Masa remaja merupakan masa transisi, maka dalam masa remaja seakan-akan anak berpijak pada dua kutub, yaitu masa anak yang akan ditinggalkan dan masa adanya perubahan-perubahan yang menonjol baik dalam jasmani dan rohani dalam psikisnya. Perubahan dalam segi jasmani, pada masa ini mulai bekerjanya hormon- hormon seksual, sehingga anak, misalnya anak wanita mulai menstruasi dan anak laki-laki mengeluarkan sperma dan sebagainya.

  Aristoteles dan Walgito (dalam Puspita Sari : 2008) membagi umur dan masa dalam perkembangan manusia sebagai berikut:

  1. Masa anak kecil, masa bermain : umur 0 – 7 tahun

  2. Masa anak, masa belajar : umur 7 – 14 tahun

  3. Masa remaja/masa peralihan kemasa dewasa : umur 14 – 21 tahun Remaja dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan mulai dewasa, sudah sampai pada untuk kawin. Istilah remaja dalam bahasa Indonesia disebut juga pubertas. Pubertas berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata puberty yang mempunyai arti remaja. Dikatakan bahwa remaja adalah manusia pada usia tertentu yang sedang dinamik, sehingga dalam usia tersebut remaja banyak dihadapkan oleh masalah yang timbul baik itu berasal dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya.

  Terjadinya pemakaian narkotika di kalangan remaja sangat banyak disebabkan oleh pergaulan yang terjadi di kalangan remaja itu sendiri. Hal ini disebabkan karena dalam usia remajalah seseorang biasanya ingin mengetahui sesuatu, dengan jalan mencoba-coba sesuatu yang baru tanpa memikirkan akibatnya kela Polri.pdf, diakses tanggal 29 November 2014, pkl 20.35 WIB)

2.3 Perilaku Menyimpang

  Perilaku menyimpang adalah perilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan, atau norma sosial yang berlaku.

  Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat perilaku atau tindakan tersebut di luar kebiasaan, adat-istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang berlaku. Dengan kata lain, penyimpangan merupakan segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.

  Beberapa contoh perilaku orang-orang yang dianggap menyimpang adalah suka minum-minuman keras atau terlibat narkotika, disebut juga penyimpangan tunggal, atau bila seseorang mengembangkan berbagai perilaku yang melanggar sejumlah aturan atau norma yang berlaku, misalnya selain berprofesi sebagai pencuri atau perampok, mereka acap kali juga seorang alkoholik, gemar melacur, dan suka menggunakan tindak kekerasan. Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai penyimpangan jamak. (Narwoko, 2013:98)

  Perilaku menyimpang dapat dibedakan atas dua bentuk, yakni: 1. Perilaku Menyimpang Primer (Primary Deviance)

  Penyimpangan yang dilakukan seseorang dimulai dari penyimpangan- penyimpangan kecil yang mungkin tidak disadarinya. Penyimpangan ini dialami oleh seseorang mana kala ia belum memiliki konsep sebagai penyimpang atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang. Bentuk penyimpangan primer ini biasanya dialami oleh seseorang yang tidak menyadari bahwa perilakunya dapat menjurus ke arah penyimpangan yang lebih berat.

2. Perilaku Menyimpang Sekunder (Secondary Deviance)

  Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai pada tahap Secondary Deviance. Tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan (reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang. Bentuk penyimpangan sekunder itu juga berasal dari hasil penguatan penyimpangan primer. (Narwoko, 2013:106)

2.4 Teori Kontrol Sosial

  Penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung hukum. Teori kontrol sosial pada dasarnya beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama yakni berperilaku menyimpang dan tidak menyimpang. Benar dan salahnya perilaku manusia sangat bergantung pada kondisi masyarakat serta kesepakatan masyarakat atas standard perilaku manusia itu sendiri yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

  Teori kontrol sosial yang dikembangkan oleh Nye (dalam Syamsi 2008:135), sebagai pelopor teori kontrol mengungkapkan bahwa ada kekuatan pendorong pada diri manusia untuk melakukan deviasi. Nye semata-mata mendasarkan diri pada teori S Freud yang mengatakan bahwa manusia memiliki instink hewaniah menjadi satu- satunya pendorong. Bahwa semua manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan pelanggaran norma, akan tetapi tidak semua melakukan, karena ada kontrol sosial. Masyarakat melakukan kontrol sosial untuk menahan kecenderungan terjadinya deviasi sehingga individu menjadi patuh terhadap negara. Jika kontrol sosial lemah, maka deviasi akan terjadi. Ada beberapa tipe atau bentuk teori kontrol sosial, yaitu (1) Kontrol internal yang berjalan secara langsung, sosialisasi melalui nilai-nilai, norma oleh orang tua kepada anak-anaknya dan menginternalisasikan menjadi kata hatinya. (2) Kontrol internal tidak langsung, apabila hubungan afektif antara orang tua atau orang dewasa dan anak-anak sudah merupakan kontrol tidak langsung. (3) Kontrol eksternal yang langsung, dipercayakan pada institusi-institusi seperti para guru, polisi, jaksa, hakim, penegak hukum yang lain. Misalnya dapat berupa ancaman, ejekan, penjara atau pengucilan.

   2014, pkl 23.52 WIB).

  Nye memandang hubungan individu secara sosiologik tentang bagaimana masyarakat melakukan kontrol sosial terhadap individu (faktor eksternal). Sementara itu, Hirschi memandang hubungan individu dengan individu lain secara psikologik bagaimana individu mengikatkan diri dengan masyarakat. Ia mengajukan beberapa proposisi teoritisnya, yaitu: 1.

  Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasi individu warga masyarakat untuk bertindak konform terhadap aturan atau tata tertib yang ada; 2. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku kriminal, merupakan bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap konform, seperti: keluarga, sekolah, atau institusi pendidikan dan kelompok-kelompok dominan lainnya;

  3. Setiap individu seharusnya belajar untuk konform dan tidak melakukan tindakan menyimpang atau kriminal;

4. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal.

  Ada empat unsur utama di dalam kontrol sosial internal, yaitu attachement (kasih sayang); commitment (tanggung jawab); involvement (keterlibatan atau partisipasi), dan believe (kepercayaan/keyakinan). sosialisasi di dalam kelompok primernya, sehingga individu punya komitmen kuat untuk patuh pada aturan.

  Commitment atau tanggung jawab yang kuat pada aturan dapat memberikan

  kerangka kesadaran tentang masa depan. Misalnya, adanya kesadaran bahwa masa depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang.

  Involvement , artinya dengan adanya kesadaran tersebut, maka individu akan

  terdorong berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat.

  Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan pada norma-norma sosial

  atau aturan masyarakat pada akhirnya akan tertanam kuat pada diri seseorang dan itu berarti aturan sosial bagi setiap individu telah semakin kokoh. (Setiadi, 2011:241- 243)

2.5 Sosialisasi

  Sosialisasi sebagai proses dimana seseorang memperoleh pengetahuan, kemampuan dan dasar yang membuat mereka mampu atau tidak mampu menjadi anggota dari suatu kelompok. Pengertian ini memandang sosialisasi sebagai suatu proses belajar dimana individu belajar dan mendapatkan nilai dari kelompok- kelompok yang dimasukinya. Sosialisasi juga merupakan suatu kemampuan individu untuk dapat berinteraksi secara baik dengan lingkungan dan memperoleh nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungannya. Sosialisasi ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu berada tentang tingkah laku mana yang harus dilakukan dan yang tidak harus dilakukan di dalam masyarakat, dan mengetahui peranan masing-masing. Jadi, ketertiban sosial itu tidak terwujud dengan sendirinya (secara kodrati), tapi harus ada proses transfer nilai dan norma sosial melalui proses sosialisasi, serta melakukan kontrol sosial.

  (Narwoko, 2013:74) Setiap individu dalam masyarakat yang berbeda, mengalami proses sosialisasi yang berbeda pula, karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Jadi, sosialisasi dititikberatkan soal individu dalam kelompok melalui pendidikan dan perkembangannya. Oleh karena itu, proses sosialisasi melahirkan kepribadian seseorang terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. (Hartomo, 2008:117)

  Tanpa mengalami proses sosialisasi yang memadai, maka nyaris mustahil individu dapat hidup sewajarnya dalam masyarakat karena ia takkan memiliki pemahaman mengenai nilai dan norma sosial yang berlaku sehingga pada akhirnya mengalami kesulitan menyesuaikan pola perilakunya.

2.5.1 Agen Sosialisasi

  Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu menerima nilai-nilai atau tempat di mana seorang individu belajar terhadap segala sesuatu yang kemudian menjadikannya dewasa. Ada beberapa media sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa. (Narwoko, 2013:92)

  Pada awal kehidupan manusia, agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Namun, dalam masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas, agen sosialisasi juga mencakup paman, bibi, kakek, dan nenek. Keluarga merupakan institusi paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia. Hal ini dimungkinkan karena berbagai kondisi yang dimiliki oleh keluarga.

  

Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu tatap

  muka di antara anggotanya, sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga menimbulkan hubungan emosional. Ketiga, adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap proses sosialisasi anak. (Narwoko, 2013:92)

  Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak melalui pengasuhannya tersebut merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian maupun tingkah laku anak selanjutnya. Orang tua juga berperan membentuk sistem interaksi yang intim dan berlangsung lama ditandai oleh loyalitas pribadi, cinta kasih, dan hubungan yang penuh kasih sayang. Peran orang tua adalah membenahi mental anak.

  Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam membentuk pola-pola perilaku seseorang, baik yang berasal dari kerabat, tetangga, maupun teman sekolah. Di dalam kelompok bermain, individu akan mempelajari berbagai kemampuan baru yang berbeda dengan apa yang mereka pelajari dari keluarganya, mempelajari nilai-nilai dan norma-norma, kultural, peran, dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu untuk memungkinkan partisipasinya efektif di dalam kelompoknya.

  (Narwoko, 2013:94)

2.5.1.3 Sekolah

  Di sini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orangtuanya. Sekolah merupakan suatu peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memper- kenalkan aturan baru yang diperlukan bagi anggota masyarakat, dan aturan baru tersebut sering berbeda dan bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung di rumah. (Sunarto, 2004:25)

  Melalui lembaga pendidikan ini, individu diasah kecerdasan dan keahliannya. Dalam lingkungan pendidikan, sosialisasi lebih diarahkan seorang peserta didik dikenalkan dengan nilai dan norma yang bersifat resmi. (Setiadi, 2011: 179)

2.5.1.4 Media Massa

  Media massa merupakan media sosialisasi yang kuat dalam membentuk keyakinan-keyakinan baru atau mempertahankan keyakinan yang ada. Proses sosialisasi melalui media massa, ruang lingkupnya lebih luas dari media sosialisasi yang lainnya. Media massa yang terdiri dari media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi, film, internet) merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Iklan-iklan yang ditayangkan media massa, misalnya, menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi, bahkan gaya hidup warga masyarakat. (Narwoko, 2013:96)

  Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media massa dapat mengarahkan khalayak ke arah perilaku prososial dan antisosial, menyampaikan informasi terkini, menyebarluaskan nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat, memperkenalkan masyarakat dengan nilai dan norma yang dianut bangsa-bangsa atau masyarakat di belahan dunia lain sehingga dapat membantu terjadinya perubahan sosial. Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan, nilai dan norma selalu berkaitan. Bedanya secara umum, norma mengandung sanksi yang relatif tegas terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan-peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor pendorong bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan. (Basrowi, 2005:88)

  Setiap masyarakat memiliki sistem norma sebagai pedoman setiap anggota masyarakat untuk berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat tersebut. Norma adalah aturan-aturan yang berisi petunjuk mengenai tingkah laku yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia, dan sifatnya mengikat. Manusia wajib menaati norma yang berlaku di dalam masyarakat. Norma sangat diperlukan untuk memberi pedoman bagi masyarakat dalam bertingkahlaku agar tercipta ketertiban, ketenteraman, keamanan, dan keharmonisan dalam masyarakat. Pada awalnya, norma-norma di masyarakat terbentuk secara tidak disengaja. Namun, lama-kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Norma- norma yang ada di dalam masyarakat memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat daya ikatnya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya. (Soekanto, 2009:174)

  Untuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara sosiologis dikenal ada empat bagian norma-norma sosial, yaitu cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), adat-istiadat (custom), akan tetapi oleh menjadi lima jenis.

  2.6.1 Cara (Usage)

  Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibandingkan dengan norma yang lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan-hubungan antar individu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadap norma tersebut, seseorang hanya mendapatkan sanksi-sanksi yang ringan, seperti berupa cemoohan atau celaan dari individu lain yang dihubunginya. Perbuatan seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan berdiri, dan lain-lain. (Abdulsyani, 2007: 55)

  2.6.2 Kebiasaan (Folkways) Folkways dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh norma-norma sosial

  yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku yang selalu diikuti oleh orang- orang kebanyakan dalam kehidupan sehari-harinya karena dipandang sebagai suatu hal yang lazim. Walaupun folkways itu semula merupakan sesuatu kebiasaan dan kelaziman belaka, namun karena dikerjakan secara berulang- ulang maka berangsur-angsur terasa kekuatannya sebagai hal yang bersifat standar dan wajib dijalani. norma folkways, pastilah dia akan tersisih dari kontak-kontak sosial dan dipandang sebagai orang yang aneh, eksentrik, dan sulit dimengerti. Kalau sudah tersisih demikian, pasti dia akan menghadapi kehidupan sosial yang agak sulit, baik dalam kehidupan fisiknya maupun dalam kehidupan mental dan rohaninya. Sanksi-sanksi folkways itu relatif tidak berat, dan sifatnya tidak formal, terencana, dan teratur, melainkan bersifat informal, seperti berupa sindiran, pergunjingan, atau olok-olok. (Narwoko, 2013:48-50)

2.6.3 Tata Kelakuan (Mores)

  Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih menunjukkan fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan memiliki kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi, berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah ditetapkan. Bentuk hukumannya biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin terjadi pengusiran dari tempat tinggalnya. (Basrowi, 2005:89)

  Mores itu dipandang lebih esensial bagi terjaminnya kesejahteraan

  masyarakat. Oleh karena itu selalu dipertahankan oleh ancaman-ancaman sanksi yang jauh lebih keras. Mores yang dirumuskan dalam bentuk larangan disebut tabu, contohnya larangan perkawinan antara orang-orang yang

  2013:51)

  2.6.4 Adat Istiadat (Custom)

  Adat istiadat pola-pola kelakuan yang tidak tertulis, tetapi memiliki kekuatan mengikat kepada para anggotanya, sehingga bagi yang melanggar adat istiadat tersebut akan menderita sanksi yang lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat, akan mendapatkan sanksi umum, baik formal dan informal. Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum, misalnya pemerkosaan. Sedangkan, sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan masyarakat. (Basrowi, 2005:89)

  2.6.5 Hukum (Law)

  Di samping adanya folkways dan mores, diperlukan pula adanya kaidah lain, yang lazim disebut hukum, untuk menegakkan keadaan tertib sosial.

  Berbeda halnya dengan folkways dan mores, pada hukum didapati adanya organisasi, politik khususnya, yang secara formal dan berprosedur bertugas memaksakan ditaatinya kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Dibandingkan dengan folkways dan mores, hukum tertulis itu adalah jauh lebih terpikir dan lebih terlafalkan secara tegas. Hukum tertulis betul-betul merupakan hasil suatu perencanaan dan pikiran-pikiran yang sadar sehingga karenanya memperoleh

  Hukum merupakan salah satu norma yang memiliki alat kelengkapan, seperti undang-undang, aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim, pengadilan, penjara, sekolah, hukum, dan sebagainya, sedangkan norma lainnya tidak memiliki unsur-unsur yang ada pada hukum.

2.7 Nilai Sosial

  Menurut Horton dan Hunt, nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima, kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu dilakukan. (Setiadi, 2011:119)

  Nilai sosial merupakan tolok ukur, patokan, anggapan, dan keyakinan yang dianut oleh sebagian besar anggota dalam suatu masyarakat tertentu mengenai yang benar, pantas, luhur, serta baik untuk diamalkan. Nilai menjadi orientasi bagi setiap tindakan melalui interaksi sosial. Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan memengaruhi perubahan folkways dan mores. Di wilayah pedesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan televisi swasta yang mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai, misalnya nilai dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu. (Narwoko, 2013:55)

Dokumen yang terkait

BAB II PENGATURAN IZIN USAHA PETERNAKAN DI KOTA MEDAN A. Pengertian Usaha Peternakan - Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan)

0 3 21

Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah pada Beberapa Varietas dan Pemberian Pupuk NPK

0 0 31

Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah pada Beberapa Varietas dan Pemberian Pupuk NPK

0 0 14

Faktor-faktor yang Memengaruhi Bidan dalam Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Medan Tahun 2013

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vitamin - Faktor-faktor yang Memengaruhi Bidan dalam Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Medan Tahun 2013

0 0 16

Faktor-faktor yang Memengaruhi Bidan dalam Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Medan Tahun 2013

0 0 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Pemanfaatan Modal Sosial dan Kekuasan Dalam Strategi Pemenangan Kepala Desa (Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)

0 2 25

BAB I PENDAHULUAN - Pemanfaatan Modal Sosial dan Kekuasan Dalam Strategi Pemenangan Kepala Desa (Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)

0 0 14

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DAN KEKUASAAN DALAM STRATEGI PEMENANGAN KEPALA DESA (Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)

0 1 9