BAB II LANDASAN TEORI A. DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA 1. Pengertian Dukungan Sosial - Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)

BAB II LANDASAN TEORI A. DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA 1. Pengertian Dukungan Sosial Pierce (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mendefinisikan dukungan sosial

  sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Dimatteo (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman kerja dan orang

  • – orang lainnya. Siegel (dalam Taylor, 1999) menggambarkan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, berharga dan dihargai serta merupakan bagian dari suatu jaringan sosial.

  Jabaran lain mengenai dukungan sosial juga disampaikan oleh Gottlieb (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapat karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Sarason (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal ini erat hubungannya dengan ketepatan dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan.

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai.

2. Sumber-sumber dukungan sosial

  Sumber-sumber dukungan sosial menurut Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu: a.

  Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dan mendukungnya. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami/istri) atau teman-teman dekat.

  b.

  Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai dengan waktu. Sumber ini meliputi teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan sepergaulan.

  c.

  Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan sosial dan memiliki peran yang sangat cepat berubah.

  Sumber dukungan yang dimaksud meliputi supervisor, tenaga ahli/profesional dan keluarga jauh.

  Menurut Burgess dan Locke (dalam DeGenova, 2008), keluarga adalah sekelompok orang yang disatukan dalam ikatan pernikahan, darah atau adopsi ; berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain di dalam peran sosial masing- masing (suami dan isteri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan) serta menciptakan dan memelihara budaya bersama. Keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya.

  Berdasarkan beberapa literatur di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah dukungan sosial yang bersumber dari sekelompok orang yang memiliki peran sosial sebagai ayah, ibu dan mertua bagi individu yang menerima bantuan. Bentuk bantuan dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai.

  3. Bentuk-bentuk dukungan sosial

  Menurut Sarason (dalam Dalton, 2001), dukungan sosial dapat dipahami dalam 2 (dua) bentuk yaitu generalized support dan specific support.

  1. Generalized Support (Dukungan Umum) Bentuk dukungan yang terjadi dalam hubungan interpersonal yang individu sedang tidak mengalami masalah yang berarti . Biasanya dukungan ini bersifat stabil dan berlangsung di sepanjang situasi kehidupan seseorang.

  Dukungan ini memberikan dasar yang aman bagi individu dalam menyelesaikan permalasahannya. Ada dua jenis yaitu integrasi sosial (social integration) dan dukungan emosional (emotional support).

  a.

  Integrasi Sosial (Social Integration)

  Social integration merujuk pada perasaan individu sebagai suatu bagian di

  dalam sebuah kelompok atau masyarakat (sense of belongingness). Hubungan persahabatan, pekerjaan dan keanggotaan dalam kegiatan agama atau lingkungan tempat tinggal merupakan contoh dimana social integration dapat terjadi. Menurut Cohen & Wills (dalam Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, rekreasional di waktu senggang. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif.

  b.

  Dukungan Emosional (Emotional Support)

  Emotional support merujuk pada pemberian perhatian dan kenyamanan dalam

  hubungan hubungan personal. Dukungan ini merupakan yang paling intim dan kuat dari semua bentuk dukungan dan biasanya hadir di dalam hubungan pernikahan, hubungan orangtua-anak atau persahabatan. Biasanya dukungan ini bersifat tak bersyarat dan berhubungan dengan kelekatan (attachment)

2. Spesific Support (Dukungan Spesifik)

  Dukungan spesifik adalah bentuk dukungan yang diberikan untuk membantu individu menghadapi stressor tertentu. Ada tiga jenis dukungan yang termasuk

  specific support antara lain : a.

  Dukungan penghargaan (Encouragement/Esteem Support) Dukungan penghargaan adalah dukungan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap kompetensi individu. Menurut Cutrona dan Russel (dalam Dalton, 2001), dukungan ini bersifat menentramkan dan menenangkan, namun bukan merupakan dukungan emosional yang lebih dalam. Dukungan ini biasanya berasal dari keluarga atau teman dekat, tetapi bisa juga berasal dari sumber dukungan yang kurang intim dengan individu seperti teman kerja.

  b.

  Dukungan Informasional (Informational Support) Dukungan informasional meliputi penmberian nasihat atau bimbingan. Secara umum, dukungan ini cenderung melibatkan kognitif daripada emosional dan biasanya pemberiannya disesuaikan dengan situasi yang spesifik yang dialami individu.

  c.

  Dukungan Instrumental (Tangible/Instrumental Support) Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan dalam bentuk nyata , biasanya mengarah pada sumber material seperti penyediaan benda-benda atau layanan (task) untuk memecahkan masalah praktis.

  1. Pengertian Pernikahan Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan

antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan

seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas

masing-masing sebagai suami dan istri. Suami dan istri membawa budaya dan

  kebiasaan asli mereka kemudian membangun budaya baru di dalam keluarga mereka sendiri di dalam pernikahan. Pasangan suami istri mendamaikan perbedaan nilai-nilai dan dan pemahaman yang telah mereka sosialisasikan di dalam perkembangan pribadi masing-masing (Godman & Nanba dalam Yabuki, 2005). Gardiner & Myers (dalam Papalia, 2007) menambahkan bahwa pernikahan

  

menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang,

pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional

seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.

  Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa

pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat

yang bukan lagi individu tunggal yang bebas, akan tetapi peran dan tanggung

jawabnya pun berubah, baik terhadap diri sendiri, pasangan atau lingkungannya.

  2. Tahap-Tahap Pernikahan

  Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers,

  (dalam Hoyer & Roodin, 2003) membagi tahap pernikahan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak & setelah keluarnya anak dari rumah. Sementara, Cole (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap pernikahan menjadi awal pernikahan, kelahiran & mengasuh anak & emptynest sampai usia tua.

a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)

  Berdasarkan family life cycle dari Duvall, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah & berakhir ketika anak pertama lahir. Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian utama (Hurlock, 1999), yaitu: a)

  Penyesuaian dengan pasangan Penyesuaian dengan pasangan merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan- kebiasaan. Dalam penyesuaian pernikahan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.

  b) Penyesuaian seksual

  Masalah ini merupakan salah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan tak dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami (Rubin, dalam Hurlock, 1999) c)

  Penyesuaian keuangan Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan pernikahannya. Suami dan istri harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasaan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi awal percekcokan antara suami dan istri

  d) Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

  Melalui pernikahan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek/kakek, yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan sering sekali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya. Suami istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.

b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)

  Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy & Shiff, dalam Sigelman & Rider, 2003).

  Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua (O‟ Brien, dalam Sigelman & Rider, 2003). Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orangtua walaupun sebagian besar orangtua menyatakan lebih puas terhadap pernikahan dan hubungan dengan anak-anak, namun anak-anak menyulitkan terhadap orangtua dengan memaksa orangtua untuk memberi waktu dan tenaga kepada mereka sehingga menambah stres orangtua. (Kurdek, 1999).

c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest)

  Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Istilah emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah (Hoyer & Roodin, 2003). Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan rata-rata ibu pada awal tahap ini sekitar 52 tahun dan 54 tahun untuk ayah, sedangkan menurut Hurlock (1999), tahap ini terjadi pada usia 40 sampai 49 tahun.

  Ketika remaja atau dewasa awal meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang dalam yang disebut sebagai Sindrom

  

Emptynest (Hoyer & Roodin, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Rubin

  (dalam Lefrancois, 1993) bahwa pada masa emptynest, wanita mengalami kesedihan, namun tidak ditemukan adanya depresi. Kenyataannya banyak orangtua yang memandang ketidakhadiran anak dalam keluarga sebagai saat untuk membangun kebebasan hidup sebagai orang dewasa. Tekanan yang berat dikarenakan kondisi ekonomi dan pekerjaan terjadi ketika anak-anak tidak benarbenar membuat masa emptynest terjadi sebagaimana diharapkan atau mereka kembali lagi ke rumah (Glick & Lin, dalam Lefrancois, 1993).

  Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Kebahagiaan dan kepuasan tertinggi terjadi pada tahap pertama semakin rendah ketika anak tertua memasuki usia remaja. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun ( Rollin & Feldman, dalam Lefrancois, 1993) dan usia tua (Foner & Schwab, dalam Lefrancois, 1993).

3. Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil) a.

  Pengertian Pernikahan beda etnis Menurut Tseng (dalam McDermott & Maretzki, 1977), pernikahan beda etnis (intercultural marriage) adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Di dalam perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, suku yang berbeda (Koentjaraningrat, 1981). Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga (Purnomo dalam Natalia & Iriani, 2002).

  Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda etnis adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Secara khusus, pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil) adalah perkawinan yang terjadi antara pria/wanita yang berasal dari latar belakang etnis Batak Toba dengan wanita/pria etnis Tamil.

  b.

  Etnis Tamil Sejak pertengahan abad ke-19, buruh-buruh dari Cina, India, Arab dan pulau Jawa didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil) dan juga orang Bombay serta Punjabi (Mani, 1980). Sebuah laporan menyebutkan bahwa penduduk Tamil yang berjumlah kira-kira 30.000 jiwa di Medan dan sekitarnya, terbagi atas 66 % yang menganut agama Hindu, 28 % agama Budha, 4,5 % beragama Katolik dan Kristen, dan 1,5 % yang beragama Islam (Napitupulu, 1992).

  Suku Tamil memiliki hubungan yang harmonis dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara karena latar belakang budaya dan ekonomi yang tidak terlalu berbeda. Hal ini disebabkan karena proses-proses adaptasi sosial budaya komunitas Tamil di Medan berlangsung lebih intensif dengan komunitas- komunitas tempatan jika dibandingkan dengan orang-orang Punjabi. Kenyataan bahwa orang-orang Tamil lebih terfragmentasi berdasarkan agama membuat mereka lebih terbuka untuk berubah sehingga sehingga identitas ke-Tamil-an mereka berangsur-angsur memudar. Salah satu contoh adaptasi tersebut antara lain pernikahan eksogami dari dua generasi terakhir suku Tamil di kota Medan dengan kelompok suku lain seperti etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak Toba (Lubis, 2005).

  Pernikahan dalam suku Tamil dipercaya menjadi suatu ikatan dan hubungan seumur hidup sehingga mereka tidak mudah memutuskan untuk bercerai. Suku Tamil lebih menyukai pernikahan yang sederhana dan seadanya dibandingkan suku India lainnya. Hal yang terutama dalam pernikahan Tamil adalah kehadiran semua keluarga, teman dan tetangga untuk mendoakan c.

  Etnis Batak Toba Masyarakat di luar suku Batak menggambarkan orang Batak Toba sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani, rentenir, preman, suka minum tuak, suka main catur, pandai main gitar, inang- inang, dan perantau (Irmawati, 2007). Suku Batak Toba merupakan masyarakat patrilineal dan menarik garis kekeluargaan dari pihak ayah juga memiliki aturan dan adat pernikahan. Suku ini mengenal bentuk perkawinan eksogami marga yaitu perkawinan dengan orang di luar kelompok/klan marga (Bangun, 1982).

  Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba. Jika seorang yang bukan masyarakat Batak Toba ingin menikah dengan orang Batak Toba, maka terlebih dahulu diberikan marga. Pemberian marga kepada laki-laki disebut manampe marga dan kepada perempuan disebut marboruhon (Bruner, 1994).

  Pernikahan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral. Hal ini dikarenakan pemahaman bahwa pernikahan bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan (parboru) yang memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yaitu pihak pengantin pria (paranak). Kedua pihak akan menjadi besan sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau) yang kemudian mejadi santapan dalam pesta pernikahan. (Bangun, 1982).

4. Masalah-masalah dalam Pernikahan Beda Etnis

  Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah.

  Menurut Markoff (1977), masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan nilai dan konsep pernikahan, keputusan pasangan yang didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga. Markoff juga mengindikasikan sumber konflik lainnya dalam pasangan antar budaya adalah level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan (Tseng , dalam McDermott & Maretzki, 1977). Sung (1990) menambahkan bahwa streotip yang dipegang oleh masyarakat mengenai etnis individu dan pasangan merupakan salah satu tantangan dalam pernikahan beda etnis.

  Penelitian menunjukkan bahwa secara umum, orang sering memiliki sikap yang negatif terhadap pernikahan beda budaya kususnya jika hal ini melibatkan anak laki-laki atau anak perempuan mereka sendiri (Davidson & Schneider dalam Shute, 2003). Beberapa keluarga tidak setuju jika anggota keluarga mereka menikah dengan orang di luar kelompok ras atau etnis mereka. Keluarga dari pasangan sering menolak dan melarang hubungan pernikahan ini. Ketika pasangan beda etnis menikah, sesuatu yang lumrah jika ada beberapa atau bahkan seluruh anggota keluarga tidak menghadiri pernikahan tersebut . Banyak orangtua tidak menerima pernikahan beda budaya pada awalnya, tetapi ketika orangtua semakin mengenal pasangan suami-istri maka mereka pun mulai menerima memutuskan sikap antipati mereka terhadap menantu perempuan atau laki-laki ketika mereka menyadari bahwa mereka mungkin akan kehilangan kontak dengan anak dan cucu mereka (Kouri & Lasswell, 1993).

  

C. Dukungan Sosial Keluarga Pada Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-

Tamil)

  Tiap-tiap suku memiliki konsep dan aturan mengenai perkawinan yang berbeda satu sama lainnya, seperti mengenai pengaturan pembatasan jodoh, mahar, tata upacara dan sebagainya. Salah satu perbedaan yang mencolok ditemukan di dalam masyarakat suku Tamil dengan suku Batak Toba. Suku Tamil cenderung lebih adaptif dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara, salah satunya dengan adanya pernikahan eksogami dengan etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak Toba (Lubis, 2005). Lain halnya dengan suku Batak Toba yang memegang kuat norma endogami (Bangun, 1982). Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba (Bruner, 1994).

  Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah.

  Masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan konsep dari pernikahan keputusan pasangan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan, atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial pernikahan seperti ketika masing-masing pasangan memandang yang lainnya sebagai perwakilan dari budayanya yang menyebabkan penyimpangan terhadap peran dan kepribadian pasangan. Markoff juga mengindikasikan sumber konflik lainnya dalam pasangan antar budaya adalah level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan (Tseng , dalam McDermott & Maretzki, 1977).

  Banyaknya perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan beda budaya di dalam tahap pernikahan menuntut kemampuan pasangan untuk mengatasi tantangan tersebut demi keberhasilan hubungan mereka. Salah satu cara yang dapat membantu pasangan dalam menghadapi permasalahan pernikahan adalah dengan tersedianya dukungan sosial, baik dari keluarga, teman dan masyarakat. Dengan demikian, pasangan mungkin akan lebih mampu mengatasi hambatan-hambatan tersebut karena adanya dukungan yang mereka terima dari orang lain, keluarga, teman-teman, rekan kerja, atau bahkan masyarakat (DeGenova, 2008). Dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan (Pierce, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Dukungan sosial yang disediakan oleh teman-teman dan anggota keluarga menimbulkan kenyamanan fisik dan psikologis (Baron & Byrne, 2000). Menurut Sarason (1990), dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya, karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan.

  Orang-orang yang menerima dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, bernilai, dan bagian dari jaringan sosial (Caplan, 1974; Procidano, 1978 & 1983). Newcomb & Vaux (dalam Colarossi, 2003) menambahkan bahwa dukungan sosial yang diberikan pada seseorang dapat mengembangkan perasaan berharga dan meningkatkan self efficacy pada orang tersebut. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 1994) seseorang yang mendapat dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dari suatu kelompok sebagai sebuah keluarga atau komunitas. Hal ini senada dengan pendapat Smet (1994), jika seorang individu merasa didukung oleh lingkungannya, maka segala sesuatu akan terasa mudah ketika ia mengalami kejadian-kejadian yang menegangkan. Individu yang mempunyai dukungan sosial yang tinggi lebih optimis dalam menghadapi situasi kehidupannya saat ini maupun masa depan, mempunyai harga diri yang lebih tinggi dengan tingkat kecemasan yang lebih rendah.

  Tersedianya dukungan sosial dapat membantu individu dalam menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi dan membantu individu dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Anggota keluarga, khususnya orangtua dan pasangan adalah sumber utama dari dukungan sosial baik secara umum (generalized support) maupun secara khusus (specific memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengenai individu yang diberikan dukungan jika dibandingkan dengan sumber dukungan yang lain (Dalton, 2001).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)

2 53 96

Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)

4 69 112

BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Perkawinan 1. Defenisi Penyesuaian Perkawinan - Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)

0 2 24

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)

0 0 16

Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Minat Berwirausaha 1. Definisi Minat Berwirausaha - Hubungan Persepsi Terhadap Dukungan Sosial Dengan Minat Berwirausaha Pada Etnis Tionghoa

0 0 18

BAB II LANDASAN TEORI A. PENYESUAIAN SOSIAL A.1. Pengertian Penyesuaian Sosial - Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi

0 1 35

BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial - Gambaran Dukungan Sosial Ibu Tiri Terhadap Anak Tiri

0 1 14

BAB II Landasan Teori A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial - Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Dukungan Sosial Keluarga 2.1.1. Pengertian Dukungan Sosial - Efektivitas Solution Focused Family Therapi Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome (Application of Solution Focused Fami

1 2 22