Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)
PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN BEDA ETNIS
(BATAK TOBA – TIONGHOA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
RENTIKA SINAGA
081301051
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GENAP, 2012/2013
(2)
SKRIPSI
PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP
PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA PASANGAN BEDA
ETNIS (BATAK TOBA – TIONGHOA)
Dipersiapkan dan Disusun oleh: RENTIKA SINAGA
081301051
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 10 Juli 2013
Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog NIP. 195301311980032001
Tim Penguji 1. Liza Marini, M.Psi., psikolog Penguji I
NIP. 198105202005012003 Merangkap Pembimbing
2. Eka Ervika, M.Si., psikolog Penguji II NIP. 197710142002122001
3. Zulkarnain, Ph.D., psikolog Penguji III NIP. 197312142000121001
(3)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaedah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juli 2013
RENTIKA SINAGA NIM 081301051
(4)
Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)
Rentika Sinaga dan Liza Marini
ABSTRAK
Di awal tahun perkawinan, banyak hal baru yang harus dihadapi pasangan, salah satunya beradaptasi dengan perkawinan. Penyesuaian perkawinan adalah salah satu masalah yang paling sulit yang dialami pasangan ditambah dengan perbedaan latarbelakang budaya pasangan. Perbedaan sikap personal, nilai-nilai, latar belakang budaya dan kebiasaan dapat menyebabkan stress dan penyesuaian semakin sulit. Salah satu faktor yang mempengaruhi pasangan dalam penyesuaian perkawinan adalah dukungan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis. Jumlah sampel penelitian ini adalah 30 pasangan (Batak Toba-Tionghoa). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling secara incidental. Data dikumpulkan melalui dua buah skala yaitu skala dukungan sosial dan skala penyesuaian perkawinan. Skala dukungan sosial keluarga memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α) sebesar 0.928 dan skala penyesuaian perkawinan memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α) sebesar 0.922.
Hasil analisa statistik dengan menggunakan regresi linear sederhana diperoleh (R= 0.720, p= 0.000, F= 30.069). Hal ini menunjukkan ada pengaruh positif dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis. Ini berarti bahwa dukungan sosial dari keluarga yang diterima oleh pasangan, mendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba-Tionghoa) diamana dukungan sosial dapat membantu pasangan dalam menghadapi masalah-masalah dan masa-masa stress.
Kata kunci: Penyesuaian Perkawinan, Dukungan Sosial Keluarga, Perkawinan Beda Etnis
(5)
Impact of Family Social Support to Marital Adjustment in Interethnic Couples (Batak Toba – Tionghoa)
Rentika Sinaga and Liza Marini
ABSTRACT
In the early years of marriage, there are many things that must faced, one of them is marital adjustment. Marital adjustment is a difficult thing that couples faced moreover with the different of couples background. The different of personal attitude, values, custom, and cultural background was made stress and adjustment more difficult. Being a couple is a complex and difficult transition of family life. One of factors that influence marital adjustment is social support.
The purpose of this study is to examined the impact of family social support to marital adjustment in interethnics couples. The number of samples of this study were 30 couples (Batak Toba-Tionghoa). Sampling was using non-probability incidental sampling. Data were collected through two scales namely scale of family social support and scale of marital adjustment. The coefficient alpha (α) for scale of family social support was 0.928 and for marital adjustment scale was 0.922.
The result of statistic analysis were processed using a simple linear regression that obtained (R= 0.720, p= 0.000, F= 30.069). The results of this study showed that there was a positive influence of family social support to marital adjustment in interethnic. It’s mean, family social support that perceived by the couples will support the successfulness of marital adjustment in interethnic couples (Batak Toba-Tionghoa), which the social support can help them to faced their problems and stressing in family.
Key words: Marital Adjustment, Family Social Support, Interethnic Marriage
(6)
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, karunia dan kekuatan yang Dia berikan dalam penyelesaian skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)” untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Syukur kepada Tuhan Yesus untuk penyertaanNya kepada peneliti dalam menyelesaikan tahap demi tahap penyelesaian skripsi ini.
Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga peneliti, khususnya kepada bapak dan mama termasuk keluarga besar peneliti yang senantiasa berdoa, memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti selama kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Liza Marini, M.Si., Psikolog selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama proses mengerjakan tugas ini. Terima kasih atas
(7)
bimbingan, arahan, masukan, kesabaran, waktu dan tenaga yang telah ibu berikan kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini. 3. Ibu Ridhoi Meilona, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang
juga sebagai kakak dan orangtua bagi peneliti. Terima kasih atas bimbingan, arahan dan bantuan selama peneliti mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.
4. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog dan Bapak Zulkarnain, Ph.D., psikolog selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih untuk saran, masukan dan kritikan juga bimbingan yang telah diberikan kepada peneliti guna untuk membuat penelitian ini menjadi lebih baik.
5. Seluruh dosen di departemen Psikologi Perkembangan dan seluruh staf pengajar serta pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas bantuan telah diberikan kepada peneliti.
6. Kakak, abang dan adik kandung peneliti Kak Rey/Bang Rey, Kak Josua/Bang Josua, Bang Verry, Kak Luci, Bang Sardi, dan adek Sudi terimakasih atas setiap doanya, semangat dan dukungan yang diberikan, yang menguatkan peneliti untuk terus berjuang dan tidak mudah menyerah dari awal sampai pada akhir pengerjaan skripsi ini.
7. Kakak dan Abang yang membantu peneliti (Ka Ester, Kak Evelyn, Ka Vivin, Kak Monica, Kak Wiwik, Bg Evraim, Kak Juni, dan kakak/abang yang lainnya), para pekerja dan jemaat di Gereja-gereja yang membantu peneliti (GMI Anugerah, GBI Medan Plaza, Westly), terimakasih untuk bantuannya dan semangat yang diberikan juga kesediaannya menjadi subjek penelitian peneliti.
(8)
8. Teman-teman Tim Pendamping Psikologi (Erika, Asda, Laura, Hitler), adik-adik pengurus UKM KMK USU fakultas psikologi periode 2013 (Lia, Rani, Tina, Grace, Susi, Friska, Irvine, Rahel, Kristin, sahabat-sahabat ku (Siti, Friska, Kak Dewi, Susi, Eva), teman-teman kost (Septy, Tian, Eva, Novita, Helen, Kak Dewi, Kak Rolina), teman-teman stambuk 2008 dan Koord/wakord KMK USU 2012. Terimakasih buat bantuannya untuk mencari subjek penelitian peneliti, juga buat motivasi dan dorongan untuk tetap berjuang dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
9.Kelompok Tumbuh Bersama ku (Kak Yoland, Erika, Lastiarma), adik-adik kelompok kecil ku di Psikologi 2011 (Yunita, Christin), adik-adik kelompok 2012 (Jefri, Trishna Yodi, Yogi, Daniel), adik-adik kelompok FK, Kerenhapukh (Fenny, Herlita, Fina, Kezya, Thela). Terimakasih untuk setiap bantuan, semangat, doa, dan kesediaan kakak, teman-teman dan adik-adik untuk mendengarkan setiap curahan dan keluh kesah peneliti.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu peneliti terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi tercapainya penulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata, semoga Tuhan Yesus berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi saudara-saudara semua.
Medan, Juli 2013 Peneliti
(9)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang . ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Perkawina 1. Definisi Penyesuaian Perkawinan ... 17
2 Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Perkawinan ... 18
3. Kondisi yang Menyebabkan Kesulitan dalam Penyesuaian Perkawinan. ... 20
4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan ... 21
5. Faktor-faktor Pendukung Penyesuaian Perkawinan antar Etnis. ... 23
B. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial ... 25
2. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial ... 26
3. Dukungan Sosial Keluarga ... 29
C. Perkawinan Antar Etnis 1. Defenisi Perkawinan antar Etnis ... 30
2. Tahap-tahap Perkawinan ... 30
D. Etnis Batak Toba... ... 32
E. Etnis Tionghoa... ... 34
F. Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan Pasangan beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa). ... 37
G. Hipotesis... ... 40
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41
B. Definisi Operasional ... 41
1. Penyesuaian Perkawinan. ... 41
2. Dukungan Sosial Keluarga. ... 42
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 43
1. Populasi dan Sampel. ... 43
(10)
D. Metode Pengumpulan Data ... 45
E. Daya Beda Aitem, Validitas, Dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Validitas ... 48
2. Uji Daya Beda Aitem ... 48
3. Uji Reliabilitas ... 49
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 49
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Alat Ukur Penelitian ... 52
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 53
3. Tahap pengolahan data ... 53
H. Metode Analisis Data ... 54
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 56
1. Suku Bangsa dan Jenis Kelamin ... 56
2. Usia Perkawinan ... 57
3. Pendidikan ... 57
4. Jumlah Anak ... 58
B. Hasil Penelitian 1. Hasil uji asumsi ... 58
1. Uji Normalitas ... 59
2. Uji Linearitas ... 61
2. Hasil Utama . ... 62
1. Pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap Penyesuaian perkawinan ... 62
2. Pengaruh masing-masing bentuk dukungan sosial keluarga dengan penyesuaian perkawinan ... 64
3. Hasil Tambahan ... 65
1. Kategorisasi data penelitian ... 65
C. Pembahasan ... 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 75
1. Saran metodologis ... 75
2. Saran Praktis ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Blue print Skala Penyesuaian Perkawinan. ... 46
Tabel 2. Blue print Skala Dukungan Sosial Keluarga. ... 47
Tabel 3. Blue-Print Skala Penyesuaian Perkawinan Setelah Uji Coba... ... 50
Tabel 4. Blue-Print Skala Dukungan Sosial Keluarga Setelah Uji Coba. ... 51
Tabel 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa dan Jenis Kelamin. ... 56
Tabel 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Perkawinan. ... 57
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan ... 57
Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Anak ... 58
Tabel 9. Normalitas Sebaran Variabel Dukungan Sosial Keluarga dan Penyesuaian Perkawinan ... 59
Tabel 10. Linieritas Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Penyesuaian Perkawinan. ... 61
Tabel 11 Uji Regresi antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Penyesuaian Perkawinan ... 62
Tabel 12 Parameter-Parameter dalam Persamaan Garis ... 63
Tabel 13. Pengaruh Masing-Masing Bentuk Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan ... 64
Tabel 14. Deskripsi variabel Dukungan Sosial Keluarga dan Penyesuaian Perkawinan ... 65
Tabel 15. Kriteria Jenjang Kategorisasi Variabel Dukungan Sosial Keluarga dan Penyesuaian Perkawinan ... 67
(12)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Grafik Normalitas Variabel Dukungan Sosial ... 60 Gambar 2. Grafik Normalitas Variabel Penyesuaian Perkawinan ... 61
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran A Data Tryout dan Reliabilitas Alat Ukur...82 Lampiran B Data Penelitian dan Hasil Pengolahan Data Penelitian...93 Lampiran C Skala Penelitian Dukungan Sosial Keluarga dan Penyesuaian
(14)
Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)
Rentika Sinaga dan Liza Marini
ABSTRAK
Di awal tahun perkawinan, banyak hal baru yang harus dihadapi pasangan, salah satunya beradaptasi dengan perkawinan. Penyesuaian perkawinan adalah salah satu masalah yang paling sulit yang dialami pasangan ditambah dengan perbedaan latarbelakang budaya pasangan. Perbedaan sikap personal, nilai-nilai, latar belakang budaya dan kebiasaan dapat menyebabkan stress dan penyesuaian semakin sulit. Salah satu faktor yang mempengaruhi pasangan dalam penyesuaian perkawinan adalah dukungan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis. Jumlah sampel penelitian ini adalah 30 pasangan (Batak Toba-Tionghoa). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non probability sampling secara incidental. Data dikumpulkan melalui dua buah skala yaitu skala dukungan sosial dan skala penyesuaian perkawinan. Skala dukungan sosial keluarga memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α) sebesar 0.928 dan skala penyesuaian perkawinan memiliki nilai reliabilitas koefisien alpha (α) sebesar 0.922.
Hasil analisa statistik dengan menggunakan regresi linear sederhana diperoleh (R= 0.720, p= 0.000, F= 30.069). Hal ini menunjukkan ada pengaruh positif dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis. Ini berarti bahwa dukungan sosial dari keluarga yang diterima oleh pasangan, mendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba-Tionghoa) diamana dukungan sosial dapat membantu pasangan dalam menghadapi masalah-masalah dan masa-masa stress.
Kata kunci: Penyesuaian Perkawinan, Dukungan Sosial Keluarga, Perkawinan Beda Etnis
(15)
Impact of Family Social Support to Marital Adjustment in Interethnic Couples (Batak Toba – Tionghoa)
Rentika Sinaga and Liza Marini
ABSTRACT
In the early years of marriage, there are many things that must faced, one of them is marital adjustment. Marital adjustment is a difficult thing that couples faced moreover with the different of couples background. The different of personal attitude, values, custom, and cultural background was made stress and adjustment more difficult. Being a couple is a complex and difficult transition of family life. One of factors that influence marital adjustment is social support.
The purpose of this study is to examined the impact of family social support to marital adjustment in interethnics couples. The number of samples of this study were 30 couples (Batak Toba-Tionghoa). Sampling was using non-probability incidental sampling. Data were collected through two scales namely scale of family social support and scale of marital adjustment. The coefficient alpha (α) for scale of family social support was 0.928 and for marital adjustment scale was 0.922.
The result of statistic analysis were processed using a simple linear regression that obtained (R= 0.720, p= 0.000, F= 30.069). The results of this study showed that there was a positive influence of family social support to marital adjustment in interethnic. It’s mean, family social support that perceived by the couples will support the successfulness of marital adjustment in interethnic couples (Batak Toba-Tionghoa), which the social support can help them to faced their problems and stressing in family.
Key words: Marital Adjustment, Family Social Support, Interethnic Marriage
(16)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang akan melewati masa-masa penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial yang baru. Seperti halnya orang dewasa melakukan penyesuaian dengan peran baru dimana orang dewasa diharapkan memainkan peran baru sesuai harapan-harapan masyarakat, seperti peran suami/istri, orang tua, pencari nafkah, mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan sesuai dengan tugas-tugas baru (Hurlock, 1999).
Salah satu tugas yang dihadapi orang dewasa adalah memilih teman hidup yang merupakan keputusan paling penting selama masa kehidupan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan teman hidup. DeGenova, 2008; Dressel, Rogler dan Steven., 1980 mengemukakan bahwa individu cenderung menikah dengan orang-orang yang memiliki kesamaan dengan mereka dalam hal usia, ketertarikan fisik, kepribadian, kemampuan kognitif, pendidikan dan latar belakang sosial. Perbedaan dan ketidaksamaan akan mengarahkan pada penghindaran interaksi sosial (Matsumoto, 2008). Kecenderungan untuk memilih teman hidup yang sama dengan dirinya disebut homogamy, dan yang memilih teman hidup berbeda disebut heterogamy.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa (multietnik) dimana dalam keberagaman ini akan terdapat kontak sosial yang semakin beragam. DeGenova, 2008; Blau, Schwartz, 2007 menyatakan bahwa
(17)
semakin beragam kontak sosial bberarti semakin beragam potensi mencari teman hidup, dan akan mengarahkan peningkatan perkawinan berbeda budaya. Meningkatnya interaksi antar budaya akan membuat individu akan tertarik satu dengan yang lainnya, jatuh cinta, menikah dan memiliki keluarga. Tantangan sosial terhadap pasangan yang berbeda budaya pun akan muncul. Meningkatnya hubungan antar budaya dan antar etnik juga dapat meningkatkan ketegangan, frustasi, ketakutan dan kesenjangan (Jahja, 2011).
Rug (2008) menyatakan hukum negara Indonesia tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Seperti yang disampaikan oleh Duvall & Miller (1985) bahwa perkawinan adalah suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan (memiliki anak) dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan.
Perkawinan dimana pasangan berasal dari latar belakang etnis yang berbeda disebut dengan interethnic (Muller, 2004). Melalui perkawinan campur, individu dari latar belakang etnik yang berbeda dapat saling membantu dalam memperkenalkan tradisi yang berlangsung dalam kelompok etniknya (Duvall 1985; Wicaksono, 2007). Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berlainan jenis kelamin.
Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dengan beragam suku-suku seperti Jawa, Tapanuli Utara (Batak), Tionghoa, Mandailing dan Minang adalah kelompok etnik yang terbanyak. Dari kelima etnis tersebut, empat
(18)
diantaranya (Jawa, Tapanuli Utara, Mandailing, dan Minang) oleh masyarakat umum disebut pribumi, sementara etnis Tionghoa yang menempati urutan ketiga terbanyak masih disebut sebagai non pribumi yang berkonotasi pendatang (Nasution, 2012). Kota Medan tidak mempunyai kebudayaan dominan sehingga setiap etnis mempertahankan budayanya masing-masing. Masing-masing etnis mengembangkan gaya hidup dan sikap esklusif antara satu dengan yang lainnya dan diantara etnik yang ada, etnis Batak Toba dan etnis Tionghoa dikatakan lebih dominan memegang peranan (Lubis, 1999).
Budaya yang berbeda melahirkan standar masyarakat yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan perkawinan dan adat istiadat. Perbedaan juga terdapat dalam keluarga yang dikarakteristikkan melalui perbedaan dalam struktur keluarga, tujuan dan filosopi, struktur kekuasaan, peran gender, hubungan suami istri, nilai-nilai dan perilaku seksual, dan pola-pola pengasuhan anak (DeGenova, 2008).
Perkawinan antar budaya akan mengalami banyak masalah atau konflik seperti yang disampaikan oleh Markoff (1977) bahwa ada beberapa area masalah dalam perkawinan antar budaya atau etnis. Masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai, perbedaan konsep akan pernikahan dimana keputusan pasangan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga. Seperti halnya dalam cara berkomunikasi, orang Batak Toba adalah dua kata yang dikenal oleh orang diluar suku Batak sebagai gambaran orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif,
(19)
dan memiliki keberanian untuk membela kepentingan seluruh keluarga dan sanak saudara (Irmawati, 2007).
Etnis Batak Toba juga adalah etnik yang terbuka, empati, lebih komunikatif dengan sesama etniknya. Hal ini membuat mereka untuk cenderung blak-blakan dalam menyatakan sesuatu. Etnis Batak Toba selalu merasa positif, berusaha menjaga kesamaan dan tidak mencari perbedaan dengan etnik lainnya. Sama halnya dengan etnis Batak Toba, etnis Tionghoa sendiri lebih empati dan memelihara keseimbangan dengan sesama etniknya, tapi mereka memiliki perasaan positif dengan etnik lainnya (Lubis, 1999).
Orang Batak juga memiliki prinsip hidup bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tua, dimana kewajiban anak-anak terhadap orang tua baik sebelum maupun sesudah menikah harus tetap berbakti kepada orang tua, begitu juga dengan hubungan sosial yang penting dalam keluarga sesuai dengan etika hubungan sosial saudara laki-laki terhadap saudara perempuan dan hubungan suami istri (Vergowen, 2004). Tidak jauh berbeda dengan budaya Batak Toba, etnis Tionghoa juga mencintai dan hormat dengan orangtua dan keluarga mereka dan mereka lebih ditekankan untuk lebih unggul daripada penduduk pribumi, sehingga mereka dikenal sebagai etnis yang rajin, pekerja keras dan berprestasi baik di bidang bisnis, olahraga, maupun akademis (As’adi, 2011). Tan (1987) menambahkan bahwa etnis Tionghoa juga baik dalam hal perencanaan keluarga, seperti halnya perencanaan jumlah anak dan pendidikan masa depan anak-anak mereka.
(20)
Bagi masyarakat Batak Toba sendiri, perkawinan itu adalah di mana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan hukum adat Batak. Seorang laki-laki pada masyarakat Batak Toba adalah menjadi penerus marga (Saragih, 1980). Bruner (1994) juga menyatakan bahwa pada masyarakat Batak Toba, perkawinan harus dilakukan dengan orang diluar dari marga sendiri, dan tidak boleh melakukan perkawinan secara timbal balik. Apabila terjadi perkawinan dalam satu marga, perkawinannya disebut kawin sumbang. Jika seorang yang bukan masyarakat Batak Toba ingin menikah dengan orang Batak Toba, maka terlebih dahulu diberikan marga. Pemberian marga kepada laki-laki disebut manampe marga dan kepada perempuan disebut marboruhon.
Orang Batak Toba, untuk dapat membangun satu rumah tangga yang berbahagia, suami dan istri itu harus mempunyai modal berupa harta perkawinan yang dapat digunakan untuk membiayai kehidupan mereka dimana harta kekayaan keluarga baru terpisah dari harta kekayaan orangtuanya yang disebut dengan manjahe. Keluarga baru mempunyai tempat tinggal sendiri dan terpisah dari rumah orang tuanya (Lubis, 1999).
Dalam keluarga Batak Toba, suami adalah kepala keluarga, yang memerintah rumah, penguasa atas anak-anak, istri dan harta benda dan menangani perkara pengadilan. Suami menyebut istrinya na hutuhor (yang saya beli) karena perempuan pada Batak Toba dibeli oleh pihak laki-laki, sedangkan istri melaksanakan pekerjaan rumah tangga akan tetapi istri juga disebut sebagai raja
(21)
rumah apalagi jika memiliki banyak anak (laki-laki dan perempuan). Istrilah yang membina rumah, mempersiapkan makanan untuk tamunya, dia yang pertama memetik hasil panen, dan jika ada pesta di rumah istrilah yang membukanya dengan tarian. Pada saat si istri mengandung dan melahirkan, maka suami mulai memberi kejutan untuk menyenangkan istrinya dan suami akan memandang istrinya dengan rasa hormat. Masalah dan percecokan dalam rumah tangga atau perlakuan yang kasar terhadap istri harus dapat diterima sampai batas tertentu (Vergowen, 2004).
Vergowen (2004) menambahkan bahwa dalam hubungan dengan anggota keluarga, ada sejumlah larangan yang harus dipatuhi seperti mertua laki-laki dan menantu perempuan dilarang untuk bertegur sapa juga antara saudara laki-laki yang lebih tua dan istri saudara laki-laki yang lebih muda. Pasangan yang sudah menikah juga dilarang untuk saling menyebut nama pasangan atau anggota keluarga.
Etnis Tionghoa sendiri menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan menentukan jalannya ruah tangga. Dalam keluarga Tionghoa, ayah mempunyai peranan dan kekuasaan yang besar. Selain sebagai pemimpin keluarga, ia juga menjadi pemimpin dalam upacara pemujaan pada leluhurnya. Semua anggota keluarga harus menghormatinya. Ayah berhak merendahkan bahkan mengusir bahkan mengucilkan anak yang tidak menghormatinya. Anak-anak Tionghoa ini juga dengan cepat tidak menjadi tanggung jawab orang tua lagi dan ajaran konfusius yang dianut mengajarkan anak-anak mereka harus berbakti dan hormat kepada
(22)
orangtua yang ditunjukkan melalui kerjanya yang baik, apabila orang tua masih hidup harus dapat merawat dan menyenangkan orangtua dan apabila telah tiada harus melakukan pemujaan sebagai tanda bakti (Lubis, 1999).
Markoff (1977) menambahkan bahwa prasangka dan stereotipe juga memainkan peran dalam konflik perkawinan yang menyebabkan penyimpangan terhadap peran dan kepribadian pasangan. Banyak perbedaan yang ditemukan pada etnis Tionghoa dibandingkan dengan orang-orang pribumi baik dari aspek agama, fisik maupun tradisi. Etnis Tionghoa, walaupun sudah lama tinggal dan berbaur dengan orang pribumi, tradisi yang diwariskan dari nenek moyang mereka tidaklah ikut luntur. Sikap yang suka menyendiri timbul karena orang Tionghoa termasuk etnik yang mampu mempertahankan tradisi dan kepercayaan yang sudah ada. Berbakti kepada orang tua atau leluhur (generasi yang diatasnya) sudah menjadi tradisi di kalangan orang Tionghoa. Budaya Tionghoa masih memegang beberapa tradisi sepert imlek, pemujaan dewa dan tradisi lainnya. Karena perbedaan-perbedaan itu, maka etnis Tionghoa relatif memiliki cara hidup yang lebih “eksklusif”. Mereka juga lebih sering di anggap pelit, egois, dan galak oleh pribumi sedangkan etnis Tionghoa merasa bahwa diri mereka diperlakukan tidak adil oleh orang pribumi (As’adi, 2011).
Banyak penduduk pribumi yang memiliki stereotipe kepada etnis Tionghoa sebagai “komunitas tertutup”. As’adi, (2011) menambahkan bahwa orang Tionghoa memilih untuk berkumpul dengan sesama etnisnya dikarenakan orang Tionghoa lebih nyaman berada pada komunitas yang sama. Prasangka terhadap etnis Tionghoa, mengakibatkan orangtua etnis Tionghoa melarang
(23)
anaknya untuk menikah dengan seorang etnis pribumi. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan orang Tionghoa untuk menikah dengan kalangan mereka sendiri daripada etnis pribumi, mereka memilih sekolah yang banyak orang-orang sesama keturunan Tionghoa atau memilih rumah makan yang lebih banyak diramaikan oleh orang Tionghoa.
Ada perbedaan nilai sosial yang dimiliki oleh etnis Batak Toba dan Tionghoa diantaranya adalah prinsip hormat dimana rasa hormat pada etnis Batak Toba berdasarkan pada kedudukan dan posisinya didalam susunan hierarkis keluarga atau masyarakat. Sedangkan etnis Tionghoa berdasarkan pada usia dan hubungan keluarga. Demikian pula mengenai nilai tentang perkawinan dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang bersangkutan, sedangkan pada etnis Tionghoa nilai perkawinan menyangkut keluarga besar (Lubis, 1999).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (1999) yang menunjukkan bahwa orang Batak Toba menilai etnis Tionghoa sebagai etnis yang merasa dirinya sangat unggul yang memiliki sifat-sifat positif, sebaliknya orang Tionghoa mengakui bahwa etnik Batak Toba mempunyai kelebihan sifat yaitu tidak egois, jujur dan lugu, sukarela dan bersahabat, serta lebih loyal dari etnik lainnya. Penilain positif ini memungkinan etnik Batak toba dan etnik Tionghoa ini untuk menikah.
Di tahun-tahun awal perkawinan banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang yang salah satunya adalah beradaptasi dengan perkawinan. Duffy (dalam Wicaksono, 2007) menyatakan bahwa fleksibilitas dan keinginan untuk
(24)
berubah dari setiap pasangan disebut dengan istilah penyesuaian perkawinan (marital adjustment). Hurlock (1999), juga mengemukakan bahwa penyesuaian perkawinan adalah sebagai proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri. Tahun pertama dan kedua perkawinan, pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan karena masing-masing membawa nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan, dan gaya penyesuaian sendiri-sendiri ke dalam perkawinan tersebut. Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap perkawinan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya.
Tanpa memperhatikan tipe keluarganya, penyesuaian status perkawinan akan menjadi salah satu masalah yang paling sulit yang harus dialami pasangan muda. Latar belakang budaya akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan dimana semakin sama latar belakang suami dan istri, semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri dan semakin berbeda pandangan hidup, maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan (Hurlock, 1999). Setelah mereka melakukan penyesuaian satu dengan yang lainnya, dengan anggota keluarga dan dengan kawan-kawan, maka perlu menyesuaikan dengan kedudukan mereka sebagai orangtua (Hurlock, 1999). Orang menikah bukan hanya mempersatukan diri, tetapi juga seluruh keluarga besarnya (Anjani & Suryanto, 2006).
(25)
Penyesuaian pernikahan berhubungan dengan penyesuaian pasangan, penyesuaian seksual, penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga pasangan dan kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan bisa digunakan untuk menilai tingkat penyesuaian perkawinan seseorang yaitu kebahagiaan suami istri, hubungan yang baik antara orangtua dan anak, penyesuaian yang baik dari anak-anak, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan (Hurlock, 1999).
Menjadi seorang pasangan adalah salah satu transisi yang kompleks dan sulit dari siklus kehidupan keluarga (McGoldrick 1989; Muller, 2004). Perbedaan sikap personal, nilai-nilai, dan kepercayaan dapat menyebabkan stress dalam sistem keluarga, terutama jika pasangan tidak memiliki sumber-sumber untuk mengatur perbedaan. Masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang dialami pasangan melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk, dalam Sigelman & Rider, 2003). Masa-masa merawat anak-anak menjadi sumber stress dan ketegangan yang lebih besar bagi pasangan dan seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003). Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall, 1985; Lefrancois, 1993). Masing-masing memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda, tentu saja ada perbedaan dalam susunan nilai serta tujuan yang ingin dicapai, untuk itulah perlu dilakukan penyesuaian
(26)
sehingga kebutuhan dan harapan masing-masing pasangan dapat terpenuhi dan memuaskan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi penyesuaian perkawinan dalam pernikahan antar budaya sepertihalnya nilai-nilai dan tujuan hidup, harapan yang realistis dari perbedaan budaya yang mengharapkan bahwa akan ada konflik-konflik, self esteem dan self-worth (dalam masing-masing pasangan), peran suami dan istri dan salah satunya adalah dukungan dari keluarga, teman dan masyarakat (Soncini 1997; Muller, 2004)
Cohen dan Wills (1985) menyebutkan bahwa seseorang yang tengah mengalami kesulitan membutuhkan orang lain untuk dapat menolongnya, membangkitkan kembali semangat serta rasa percaya dirinya dalam menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi, merasa dipedulikan demikian halnya pasangan yang tengah menghadapi masa-masa penyesuaian dalam perkawinannya membutuhkan orang lain yang dapat membuatnya merasa dicintai, dihargai, diperhatikan, tidak merasa sendirian dalam menghadapinya dan menjadi bagian dari kelompok. Salah satu faktor yang membuat masa penyesuaian itu menjadi sulit adalah jika tidak memperoleh bantuan atau dukungan dari orang tua atau siapa pun dalam menyelesaikan masalahnya (Jahja, 2011).
Dukungan sosial didefenisikan sebagai “transaksi interpersonal’’ yang menghasilkan perhatian emosi, bantuan instrumental, informasi atau informasi yang relevan terhadap evaluasi diri (House dalam Goldsmith, 2004). Cutrona, Reis & Sprecher dalam Goldsmith (2004) juga menyatakan dukungan sosial adalah harapan dari hubungan personal dan kemampuan interpersonal yang
(27)
dirasakan serta kepuasan yang diterima dari teman-teman, keluarga, dan pasangan.
Dukungan sosial dihubungkan dalam berbagai situasi kehidupan diantaranya kesepian, isolasi sosial, stress, harga diri, penyesuaian dan kelekatan dalam keluarga dan strategi coping (Toepfer, 2010). Berbagai dukungan sosial dapat diterima dari lingkungan berupa emotional support (dukungan emosi), network support (dukungan kebersamaan), esteem support (dukungan penghargaan), tangible support (dukungan berupa bantuan langsung), dan informational support (dukungan informasi) akan membantu pasangan dalam mengurangi stress dan dalam proses penyesuaian perkawinan (Cutrona & Russell, 1990)
Dukungan sosial diatas menjelaskan kelengkapan atau tersedianya bantuan dari seseorang kepada yang lain. Dukungan sosial akan menjadi efektif dalam menghadapi dan mengurangi efek dari stress, sejauh bentuk dari bantuan sesuai dengan tuntutan stress (Cutrona &Russell, 1990). Keefektifan dukungan sosial ditentukan apakah dukungan sosial sesuai dengan dukungan yang dibutuhkan dan diinginkan melalui kejadian stress dan tekanan yang dialami individu (Taylor, Kim & Sherman., 2008).
Dukungan sosial dalam keluarga dihubungkan dengan peningkatan hubungan anak-anak dan kepuasan hidup, pertahanan, kegembiraan, adaptasi dan keberfungsian sosial yang lebih baik dan meningkatnya kepuasan hubungan suami istri dan di dalam perkawinan, dukungan sosial juga dihubungkan dengan kepuasan hubungan yang lebih besar, stabilisasi dalam kesehatan mental dan fisik
(28)
(Gardner & Cutrona, 2004). Cutrona (1990) menambahkan bahwa dukungan sosial berkontribusi terhadap kepuasan perkawinan dimana dengan adanya dukungan sosial dapat mencegah emosi atau depresi selama mengalami masa-masa stress dan mecegah konflik dalam keluarga.
Anggota keluarga, khususnya orangtua dan pasangan adalah sumber utama dari dukungan sosial baik secara umum (generalized support) maupun secara khusus (specific support). Weiss (1974; Lerner, Easterbrooks & Mistry., 2003 mengembangkan sebuah teori tentang persediaan dukungan dari famili dan dari nonfamili. Teman-teman diharapkan menyediakan persahabatan dan intervensi krisis dalam jangka pendek, sedangkan anggota keluarga diharapkan menyediakan sumber-sumber yang lebih signifikan pada area-area seperti masalah keuangan, kesehatan, tugas sehari-hari, diskusi akan masalah-masalah keluarga ketika diperlukan, dan dukungan dalam jangka lama. Larson dalam Lerner, Easterbrooks & Mistry (2003) menambahkan bahwa anggota keluarga lebih responsif akan penyediaan dukungan fisik dan emosional hari ke hari.
Dapat dilihat bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial yang baik tidak akan rentan terhadap kejadian-kejadian negatif seperti depresi, cemas dan mengalami masalah kesehatan yang menunjukkan bahwa perubahan sosial negatif yang terjadi pada individu dikarenakan oles tress kehidupan juga kuranganya dukungan yang diterima (Rook dalam Lerner, Easterbrooks & Mistry, 2003).
Demikian halnya dalam pernikahan pasangan yang berbeda etnis (Batak Toba-tionghoa) akan mengalami masa krisis dan kesulitan dalam proses
(29)
penyesuaian perkawinan mereka didukung dengan perbedaan latar belakang budaya masing-masing. Pasangan yang beda etnis ini juga membutuhkan dukungan dari orang-orang sekitarnya khususnya keluarga mereka dan secara penelitian ini khusus membahas perkawinan beda etnis pada pasangan Batak Toba-Tionghoa.
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin meneliti tentang bagaimana pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan etnis Batak Toba - Tionghoa dan penelitian ini juga hendak melihat seberapa besar pengaruh antara bentuk-bentuk dukungan sosial dengan penyesuaian perkawinan pada pasangan etnis Batak Toba - Tionghoa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan etnis Batak Toba - Tionghoa?
2. Bagaimana pengaruh bentuk-bentuk dukungan sosial terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan etnis Batak Toba - Tionghoa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba - Tionghoa) dan mengetahui seberapa besar pengaruh bentuk-bentuk dukungan sosial terhadap penyesuaian perkawinan pasangan (Batak Toba - Tionghoa).
(30)
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan, terutama yang berkaitan dengan pengaruh dukungan sosial terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis Batak Toba - Tionghoa.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi informasi pada masyarakat, khususnya bagi individu yang belum menikah mengenai masalah-masalah yang terjadi dalam penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis khususnya pasangan etnis Batak Toba - Tionghoa, sehingga penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi mereka dalam menentukan, dan memilih pasangan hidup mereka.
b. Memberi informasi pada masyarakat dan pasangan yang sudah menikah mengenai faktor dukungan sosial khususnya dukungan dari keluarga yang mempengaruhi keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan pada pasangan beda etnis dalam hal ini pasangan etnis Batak Toba – Tionghoa.
E. Sistematika Penulisan
BAB I : LATAR BELAKANG
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
(31)
BAB II : LANDASAN TEORI
Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai defenisi penyesuaian perkawinan, bentuk-bentuk penyesuaian dalam perkawinan, faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan, kriteria penyesuaian perkawinan, defenisi dukungan sosial, dukungan sosial keluarga, sumber-sumber dukungan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial, perkawinan beda etnis, dan faktor-faktor penyesuaian perkawinan beda etnis.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian tentang pendekatan kuantitatif, identifikasi variabel, responden dan lokasi penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel dan analisis data dan hasil uji coba alat ukur. BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang uraian singkat tentang hasil analisis data yang diperoleh, meliputi subjek penelitian, hasil uji asumsi meliputi uji normalitas dan linieritas, hasil utama penelitian, deskripsi data penelitian dan hasil tambahan serta pembahasan hasil penelitian. BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dijelaskan di bab sebelumnya dan saran-saran yang meliputi saran metodologis dan praktis.
(32)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penyesuaian Perkawinan
1. Defenisi Penyesuaian Perkawinan
Penyesuaian perkawinan didefenisikan sebagai “proses-proses yang dianggap perlu untuk mencapai sebuah hubungan perkawinan yang berfungsi dan harmonis dan dihubungkan dengan perundingan yang dilakukan terus-menerus, komunikasi, dan proses adaptasi” (Muller, R., 2004). Hurlock (1999) menyatakan, bahwa penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.
DeGenova (1990) juga mendefenisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses dari modifikasi, adaptasi, dan mengubah pola-pola perilaku individual dan pasangan dan interaksi untuk mencapai kepuasan maksimum dalam hubungan. Senada dengan Lasswel & Lasswel (1987) yang menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan berarti kedua individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing yang berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan.
Tokoh lain menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan termasuk persetujuan pada tugas-tugas dan prioritas dari masing-masing tugas. Termasuk juga persetujuan akan fleksibilitas masing-masing pasangan dalam memainkan perannya seperti latar belakang sosial ekonomi, stabilitas emosi dalam
(33)
perkawinan, penyesuaian seksual, perubahan dalam sistem nilai, komunikasi, dan lainnya (Dimpka 2010; Clayton 1978).
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah proses dimana suami istri melakukan adaptasi, akomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pasangan untuk mendapatkan kepuasan maksimum dalam hubungan perkawinan.
2. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Pernikahan
Hurlock (1999) mengemukakan ada bentuk-bentuk penyesuaian yang paling umum dan paling penting dalam pernikahan yaitu:
1. Penyesuaian dengan pasangan
Masalah yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri maupun suaminya). Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal dan membantu pasangan memenuhi kebutuhan tersebut. Degenova (2008), menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan didalam pernikahan meliputi kebutuhan psikologis (cinta, perasaan, penerimaan dan pemenuhan diri), kebutuhan sosial (persahabatan dan pengalaman yang baru bersama pasangan) dan kebutuhan seksual (secara fisik dan psikologis). Pasangan juga harus saling memainkan perannya masing-masing. Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian
(34)
dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan.
2. Penyesuaian seksual
Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja.
3. Penyesuaian keuangan
Uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung memiliki sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga.
4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan
Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang
(35)
dengan latar belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.
3. Kondisi yang Menyebabkan Kesulitan dalam Penyesuaian Perkawinan Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian pernikahan yaitu:
1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan
Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan manajemen uang.
2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu. 3. Pernikahan dini
Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual.
(36)
Orang dewasa yang belajar di perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.
5. Perkawinan campuran,
Perkawinan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda dan dapat mempersulit dalam penyesuaian.
6. Pacaran yang dipersingkat.
Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu, sehingga pasangan memiliki sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.
7. Romantika perkawinan
Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan.
4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan
Hurlock (1999), mengemukakan kriteria keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan yang digunakan untuk menilai tingkat penyesuaian perkawinan, yaitu:
1. Kebahagiaan Suami-Istri
Suami istri memperoleh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama. Mereka juga memiliki cinta yang matang dan teguh satu dengan yang lainnya. Mereka
(37)
juga dapat melakukan penyesuaian seksual yang baik serta menerima peran sebagai orangtua.
2. Hubungan yang baik antara orangtua dan anak
Hubungan yang baik antara anak dan orang tuanya mencerminkan keberhasilan penyesuaian perkawinan terhadap masalah dengan anak. Jika hubungan antara anak dan orangtuanya buruk, maka suasana rumah tangga akan diwarnai oleh perselisihan yang menyebabkan penyesuaian perkawinan menjadi sulit
3. Penyesuaian yang baik dari anak-anak
Penyesuaian yang baik dari anak-anak adalah apabila anak dapat menyesuaikan dirinya dengan teman-temannya, dan sangat disenangi oleh teman sebayanya, ia akan berhasil dalam belajar dan merasa bahagia dalam sekolah. Ini merupakan bukti keberhasilan proses penyesuaian kedua orangtuanya terhadap perkawinan dan perannya sebagai orangtua.
4. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat diantara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan yaitu ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masing-masing anggota keluarga mencoba untuk saling mengerti pendapat orang lain. Dalam jangka panjang hanya kemungkinan yang ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan jangka dalam penyesuaian perkawinan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat juga mengurangi ketegangan. 5. Kebersamaan
(38)
Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun perkawinan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah menikah dan membangun rumah atau usahanya sendiri.
6. Penyesuaian yang baik dengan keuangan
Bagaimanapun besarnya pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atau usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya.
7. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan
Suami istri yang mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percecokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.
5. Faktor-faktor Pendukung Penyesuaian Perkawinan Antar Etnis
Tseng (1977) percaya bahwa kualitas dasar dari kesuksesan penyesuaian perkawinan, seperti masing-masing pasangan memiliki kemampuan menjadi diri sendiri dan orang lain, masing-masing pasangan fokus akan kasih sayang orang lain, dan masing-masing memperoleh kesenangan dari perkawinan. Soncini, 1997; Muller, 2004) juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyesuaian perkawinan dalam pernikahan antar budaya: berbagi nilai-nilai dan
(39)
tujuan hidup, kesadaran akan cross-cultural; menyukai budaya pasangan; memiliki sebuah harapan yang realistis dari perbedaan budaya yang mengharapkan bahwa akan ada konflik-konflik dan kekurapahaman; self esteem dan self-worth (dalam masing-masing pasangan); rasa humoris; dan dukungan sosial dari keluarga, teman dan masyarakat. Chan dan Wethington (dalam Muller, 2004) menambahkan faktor dukungan yaitu social network (pasangan yang memiliki jaringan sosial yang luas dimana berpotensi akan menyediakan dukungan).
Tseng (1977) menunjukkan beberapa pola-pola penyesuaian antar budaya: 1. One-way adjustment
Salah satu pasangan mengadopsi pola-pola budaya dari yang lainnya, seperti ketika salah satu pasangan berubah pada keyakinan yang lainnya.
2. Alternative adjustment.
Pasangan tidak dapat menemukan jalan untuk menyatukan kedua budaya mereka. Solusinya adalah mengadopsi pola-pola budaya dari masing-masing pasangan pada waktu yang berbeda.
3. A ‘mid-point compromise”
Pasangan mendiskusikan perspektif mereka dan sampai pada sebuah solusi yang didasarkan pada kompromi. Masing-masing pasangan dapat mengekspresikan ide-ide dan kebutuhan mereka, dan yang lainnya dapat belajar dan memahami lebih lagi akan budaya pasangan.
4. The “mixing” adjustment
(40)
5. A “creative” adjustment
Masing-masing pasangan berdiskusi untuk menyerahkan aspek-aspek tertentu dari budayanya, dan keduanya mengembangkan hal baru, budaya ketiga dari budaya pasangan.
B. Dukungan Sosial
1. Defenisi Dukungan Sosial
DiMatteo (1991) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman sekerja dan orang lain yang berpotensi mendukung individu menghadapi kondisi-kondisi atau kejadian stress. Sarafino (2006) juga menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya, atau menghargainya.
Dukungan sosial juga didefenisikan sebagai “transaksi interpersonal’’ yang menghasilkan perhatian emosi, bantuan instrumental, informasi, atau informasi yang relevan terhadap evaluasi diri (House, 1981). Cutrona, 1990; Reis, 1988 & Sprecher; Goldsmith, 2004 menyatakan bahwa dukungan sosial adalah harapan dari hubungan personal dan kemampuan interpersonal yang dirasakan serta kepuasan yang diterima dari teman-teman, keluarga, rekan dan pasangan romantis. Cutrona dan Russell (1990) menambahkan dukungan sosial sebagai bantuan penanganan individu dan didasarkan melalui interaksi interpersonal yang memaksimalkan kesesuaian penanganan perilaku.
(41)
Tokoh lain Thoits (dalam Lyons, 1997) menyatakan dukungan sosial sebagai derajat kebutuhan sosial dasar seseorang (penghargaan, kasih sayang, indentitas, perlindungan, dll) yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. Menurut (Sarason & Pierce, 1990; Toepfer, 2010), dukungan sosial sebagai penilaian kognitif umum seorang individu akan dukungan melalui anggota-anggota penting dari jaringan sosial seperti keluarga, teman-teman, dan yang penting lainnya. Tidak jauh berbeda, dukungan sosial didasarkan pada “informasi yang mengarahkan subjek untuk percaya bahwa dia dicintai, dipedulikan, dihargai dan termasuk dalam jaringan komunikasi bersama (Cobb dalam Cohen, Underwood, & Gottlieb 2000).
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah derajat bantuan, perhatian, kenyamanan, penghargaan, informasi yang diperoleh dan dirasakan seseorang melalui transaksi interpersonal dengan orang lain. Dari defenisi di atas juga dapat disimpulkan bahwa sumber dukungan sosial didapatkan dari interaksinya dengan orang lain seperti pasangan hidup, orangtua, teman-teman, tetangga, rekan kerja dan lainnya.
2. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Cutrona & Russell (1990) membedakan lima bentuk dari dukungan sosial antara lain:
1. Emotional support
Emotional support mencakup kemampuan untuk memperoleh kenyaman dan perlindungan dari orang lain selama masa-masa stress, mengarahkan orang
(42)
lain merasakan bahwa dia diperhatikan oleh orang lain. Menurut Tolsdorf & Wills (dalam Orford, 1992), tipe dukungan ini lebih mengacu kepada pemberian semangat, kehangatan, cinta, kasih, dan emosi. Sarafino (2006) menambahkan bahwa dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian orang yang bersangkutan.
2. Network support
Network support merupakan perasaan seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok yang mana anggota-anggota memiliki ketertarikan dan fokus yang sama. Menurut (Cohen & Wills, 1985; Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, rekreasional di waktu senggang. Barren & Ainlay (dalam Orford, 1992) menambahkan bahwa dukungan ini dapat meliputi membuat lelucon, membicarakan minat, melakukan kegiatan yang mendatangkan kesenangan.
3. Esteem support
Esteem support mencakup dukungan atau sokongan akan rasa kemampuan seseorang atau harga diri, pujian dan penghargaan dari orang lain. Menurut (Cohen & Wills, 1985; Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada seseorang bahwa dia dihargai dan diterima, sehingga harga diri seseorang dapat ditingkatkan.
4. Tangible Support
Tangible support merupakan bantuan instrumental yang nyata, dapat berupa jasa, waktu atau uang. Dimatteo (1991), menyatakan tangible
(43)
support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak, dll.
5. Informational support
Informational support mencakup nasehat, saran-saran, petunjuk-petunjuk atau panduan yang memungkinkan menyelesaikan sebuah masalah. Dimatteo (1991), menyatakan informational support merupakan dukungan sosial dengan menasehatkan tindakan-tindakan alternatif yang dapat membantu menyelesaikan masalah yang dapat menghasilkan stress.
Bentuk dukungan sosial yang digunakan adalah menurut Cutrona & Russell (1990) yaitu, emotional support, network support, esteem support, tangibel support, dan informational support. Meskipun fungsi-fungsi dukungan dapat dibedakan secara konseptual, tetapi dalam naturalnya mereka tidak selalu terpisah. Seseorang adalah mungkin memiliki pertemanan sosial yang lebih menerima bantuan instrumental dan dukungan esteem (Cohen & Wills, 1985).
Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial antara lain:
1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan
2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu 3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti
(44)
4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya.
3. Dukungan Sosial Keluarga
Menurut Gunarsa (1993), keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh terhadap keturunan dan lingkungan.
Weiss, 1974; Lerner, Easterbrooks & Mistry, 2003 dalam teorinya tentang persediaan dukungan dari family dan nonfamily, bahwa ada perbedaan peran dari keluarga dan teman-teman. Teman-teman menyediakan persahabatan dan intervensi krisis dalam jangka pendek, sedangkan anggota keluarga diharapkan menyediakan sumber-sumber yang lebih signifikan pada area-area seperti masalah keuangan, kesehatan, tugas sehari-hari, diskusi masalah-masalah keluarga ketika diperlukan, dan dukungan jangka lama. Anggota keluarga seperti orangtua dan pasangan adalah sumber dukungan yang penting dalam beberapa konteks seperti masa sekolah, dewasa muda, dan wanita yang mengalami kanker payudara. Orang dewasa yang tidak memiliki keluarga atau hubungan yang lemah dengan keluarga memiliki level well-being yang lebih rendah daripada yang lainnya (Thompson & heller dalam Lerner, Easterbrooks & Mistry., 2003).
Dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, keluarga kerap kali menjadi sorotan
(45)
saat seseorang berhasil atau gagal dalam menghadapi masalahnya. Keluarga adalah pendukung utama bagi individu yang mengalami masalah.
Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari keluarganya.
C. Perkawinan antar Etnis
1. Defenisi Perkawinan antar Etnis
Perkawinan yang mana pasangan dengan latar belakang yang berbeda dari ras, agama, retnis, dan atau budaya disebut dengan intermarriage, sedangkan perkawinan dimana pasangan berasal dari latarb elakang etnis yang berbeda disebut dengan interethnic (Muller, 2004).
Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya.
2. Tahap-Tahap Perkawinan
Dalam perkawinan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers, dalam Sigelman & Rider, 2003). Cole (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap perkawinan menjadi awal perkawinan, kelahiran & mengasuh anak & emptynest sampai usia tua.
(46)
a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)
Berdasarkan family life cycle dari Duvall (Lefrancois, 1993), tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah & berakhir ketika anak pertama lahir.
b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)
Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993). Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy & Shiff, dalam Sigelman & Rider, 2003).
Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua dimana semakin dewasa anak maka akan timbul konflik-konflik baru antara orang tua dan anak seperti memberikan waktu dan tenaganya kepada anak-anak yang akan menimbulkan stress orang tua (O’ Brien, dalam Sigelman & Rider, 2003).
(47)
c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest)
Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993).
Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun (Rollin & Feldman, dalam Lefrancois, 1993) dan usia tua (Foner & Schwab, dalam Lefrancois, 1993).
D. Etnis Batak Toba
Etnis Batak Toba merupakan salah satu dari enam sub etnis Batak yang mendiami pulau Sumatera Utara. Orang Batak Toba ialah mereka yang karena status kelahirannya mengikuti status ayah yang berasal dari wilayah kabupaten Tapanuli Utara (Lubis, 1999). Secara geografis, daerah asli yang didiami oleh etnis Batak Toba (Kabupaten Tapanuli) meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, adalah pusat Tanah Batak dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen (Harahap dan Siahaan, 1987).
Masyarakat Batak Toba memegang nilai-nilai fisafat hidup sebagai orang Batak Toba yaitu, hagabeon ‘anak’, hamoraon ‘kekayaan’ dan hasangapon ‘kehormatan’ yang menjadi tujuan dan pedoman hidup ideal orang Batak Toba.
(48)
Sebagai pedoman hidup, maka hagabeon, hamoraon, hasangapon adalah sebuah nilai atau value bagi etnik Batak Toba (Irmawati, 2002).
Bagi masyarakat Batak Toba, perkawinan itu adalah di mana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan hukum adat Batak. Seorang laki-laki pada masyarakat Batak Toba adalah menjadi penerus marga (Saragih, 1980). Sedangkan mengenai nilai tentang perkawinan, dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang bersangkutan.
Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Batak Toba:
Harahap dan Siahaan (1987) mengelompokkannya menjadi tujuh nilai yang dapat dianggap sebagai nilai utama, yaitu :
1. Kekerabatan.
Nilai kekerabatan berada di tempat yang paling utama. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak terwujud dalam pelaksanaan adat ’Dalihan Na Tolu’ (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru).
2. Agama.
Ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, seperti Angkola-Mandailing, ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen seperti Batak Toba, dan ada wilayah yang penganutnya berimbang, seperti wilayah Batak Simalungun. 3. Hagabeon.
(49)
Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, punya anak, bercucu, dan baik-baik. Kebahagiaan bagi orang Batak belum lengkap jika belum mempunyai anak, terlebih lagi anak laki-laki.
4. Hamoraon.
Adapun nilai kehormatan menurut adat Batak terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan materil yang ada pada diri seseorang.
5. Uhum dan Ugari.
Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari ketaatan pada ugari (habit) serta dengan padan (janji). Setiap orang Batak yang menghormati uhum, ugari, dan janjinya dipandang sebagai orang Batak yang sempurna.
6. Pengayoman.
Prinsipnya semua orang menjadi pengayom dan mendapat pengayoman dari sesamanya adalah pendirian yang kokoh dalam pandangan adat Batak. 7. Marsisarian.
Artinya saling mengerti, menghargai, dan membantu. Prinsip ini merupakan antisipasi dalam mengatasi konflik atau pertikaian.
E. Etnis Tionghoa
Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “tionghoa” untuk merujuk pada orang Cina dan “tiongkok” untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1951-an (Liem, 2000). Etnis Tionghoa menurut Purcell (dalam Liem, 2000) adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari
(50)
kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, kaitan erat dengan budaya tiongkok.
Etnis Tionghoa, suatu kelompok dengan elemen-elemen budaya yang dikenal sebagai atribut dari Tionghoa, secara sosial anggota-anggota dari kelompok mengidentifikasi dan diidentifikasikan orang lain sebagai suatu kelompok yang berbeda dari yang lainnya (Tan, 1987).
Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk melakukan hubungan dagang. Hubungan ini cukup berlangsung lama, sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur (Lubis, 1999). Jumlah warga masyarakat Cina lebih sedikit dari penduduk asli, dan kehadiran mereka musah ditandai dengan melihat pemukiman yang terletak di pusat perkotaan atau pusat perdagangan dengan menggunakan dialek Cina dalam percakapan sehari-hari. Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul diantara mereka sendiri, membuat perkampungan dan memakai bahasa sendiri. Inilah awal esklusifime orang Tionghoa (Lubis, 1999).
Orang Cina Medan mengalami kesulitan berbaur dengan etnis pribumi lainnya dikarenakan kota Medan yang heterogen, sehingga komunikasi dengan etnis lainnya tidak mudah sementara mereka biasa menggunakan bahasa daerah.
(51)
Di Medan sendiri, etnis Cina termasuk kelompok masyarakat yang berhasil yang dapat menguasai industri, pertokoan, dan perbankan. (Lubis, 1999).
Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha, Taoisme, dan Konfusionisme dimana ajaran Konfisionisme lebih dominan dianut oalh Tionghoa dimanamengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat (Lubis, 1999).
Nilai-nilai Sosial Budaya Tionghoa: 1. Hakekat Hidup
Tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah memperoleh kedudukan sebagai orang yang “arif bijaksana”, suatu tingkat yang pribadinya sudah “sama” dengan alam semesta.
2. Hakekat kerja
Etos kerja banyak dipengaruhi oleh ajaran konfusius yang disebut hubungan segitiga, hubunan antara konfusianisme, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama kali harus terjadi dalam keluarga, dan membaur hubungan yang serasi dengan masyarakat. Etos kerja terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak.
(52)
Dalam ajaran Tao manusia harus hidup menurut hukum alam yaitu memilih kesederhanaan seperti air yang selalu memilih tempat rendah dan terlemah tapi dapat menembus batu-batuan.
4. Persepsi mengenai Waktu
Kebudayaan Tionghoa cenderung memiliki orientasi kepada masa mendatang, tetapi jangka waktu akan pendek yang bersifat praktis. Orang Tionghoa berani mengubah sesuatu demi kelangsungan hidup di masa yang datang.
5. Hubungan antara Manusia dan Sesamanya
Seluruh umat manusia merupakan satu keluarga dan keluarga adalah dasar bagi terbentuknya masyarakat. Manusia harus bermurah hati yang terwujud dalam sikap suka menolong.
F. Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba - Tionghoa)
Cobb (dalam Cohen, Underwood & Gottlieb., 2000) menyatakan bahwa transisi dan krisis dalam kehidupan (kehamilan, peran orangtua) menempatkan orang dalam situasi beresiko. Menjadi seorang pasangan adalah salah satu transisi yang kompleks dan sulit dari siklus kehidupan keluarga dimana perbedaan sikap personal, nilai-nilai, dan kepercayaan masing-masing pasangan dapat menyebabkan stress dalam sistem keluarga yang baru (Carter & McGoldrick 1989; Muller, 2004).
(53)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Toepfer (2010) menunjukkan bahwa ketika dukungan sosial dari keluarga tersedia maka kebutuhan pasangan akan dukungan informasi, feedback dan dukungan lainnya akan terpenuhi dan dapat mengatur konflik dengan cara yang lebih tepat.
Hasil penelitian lain dari Rostamil (2013), menunjukkan bahwa harapan dari peran budaya, stress dalam keluarga (konflik diantara pasangan, tugas rumah tangga, dan tanggung jawab pengasuhan) dan stress kerja berperan sebagai stressor dalam hubungan perkawinan. Dilihat bahwa, dukungan sosial dari orang-orang terdekat adalah faktor yang dapat membantu pasangan untuk menangani efek negative stress tersebut dalam perkawinan mereka.
Demikian halnya perbedaan nilai sosial yang dimiliki oleh etnis Batak Toba dan Tionghoa diantaranya adalah prinsip hormat dimana rasa hormat pada etnis Batak Toba berdasarkan pada kedudukan dan posisinya didalam susunan hierarkis keluarga atau masyarakat. Sedangkan etnis Tionghoa berdasarkan pada usia dan hubungan keluarga. Demikian pula mengenai nilai tentang perkawinan dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang bersangkutan, sedangkan pada etnis Tionghoa nilai perkawinan menyangkut keluarga besar. Dalam hal bekerja, etos kerja pada masyarakt Batak Toba bertujuan untuk memperoleh kekayaan, kehormatan dan kebahagiaan sedangkan etos kerja terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak (Lubis, 1999).
Berbagai perbedaan akan terdapat banyak konflik-konflik pasa pasangan beda etnis, seperti hasil penelitian Cottrell dalam Matsumoto & Juang (2008) yang
(54)
menunjukkan konflik-konflik dalam pernikahan berbeda budaya seperti ekspresi akan cinta dan keintiman, sikap dan komitmen, pola pengasuhan. Area-area konflik lainnya bagi pasangan yang menikah beda budaya termasuk tatacara makan, persahabatan dan jaringan sosial, keuangan, perbedaan keyakinan, penyesuaian seksual, dan lainnya (Ho 1990; Muller, 2004). Markoff (1977) menyatakan konflik lainnya seperti meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan dalam nilai-nilai, perbedaan dalam pengambilan keputusan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga dan prasangka, stereotipe dapat memainkan konflik dalam perkawinan dan level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan atau hubungan dengan keluarga besar.
Banyaknya perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan beda etnis (Batak Toba - Tionghoa) di dalam tahap perkawinannya, kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan tersebut mungkin dapat mempengaruhi keberhasilan hubungan mereka. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan beda etnik ini adalah dukungan dari keluarga seperti yang disampaikan oleh Soncini (dalam Muller, 2004). Tanpa dukungan dari keluarga, teman dan masyarakat, hubungan perkawinan beda etnis akan mengalami hambatan dan lebih rentan terhadap masalah.
Keluarga adalah salah satu sumber utama dari dukungan sosial, seperti yang disampaikan oleh Larson (dalam Lerner, Easterbrooks & Mistry., 2003) bahwa anggota keluarga lebih responsif dalam penyediaan dukungan fisik dan emosional hari ke hari dan berkontribusi terhadap kesejahteraan.
(55)
G. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan dan analisa atas teori-teori tersebut maka hipotesa penelitian yang diajukan adalah “ada pengaruh positif antara dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis (Batak Toba - Tionghoa)”.
(56)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah penelitian kuantitatif dengan metode regresi untuk melihat kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara pengamatan terhadap akibat yang ada dengan melihat faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu (Suryabrata, 2008). Jadi, dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel tergantung : Penyesuaian Perkawinan 2. Variabel bebas : Dukungan Sosial Keluarga
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Penyesuaian Perkawinan
Penyesuaian perkawinan adalah proses dimana suami istri melakukan adaptasi, akomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pasangan untuk mendapatkan kepuasan maksimum dalam hubungan pernikahan. Penyesuaian perkawinan diukur dengan skala yang dirancang sendiri oleh peneliti berdasarkan kriteria penyesuaian perkawinan yang dikemukakan Hurlock (1999) yaitu kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari
(57)
perbedaan pendapat, penyesuaian yang baik dari anak-anak, hubungan yang baik antara orangtua dan anak, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.
Penyesuaian perkawinan dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada skala penyesuaian perkawinan. Skor yang tinggi pada skala penyesuaian perkawinan menunjukkan bahwa pasangan berhasil dalam penyesuaian perkawinannya, sebaliknya skor yang rendah pada skala penyesuaian perkawinan menunjukkan pasangan gagal dalam penyesuaian perkawinannya.
2. Dukungan Sosial Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah derajat bantuan, perhatian, kenyamanan, penghargaan, informasi yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari keluarganya. Pengukuran pada dukungan sosial ini didasarkan pada kualitas dukungan sosial yang diterima, sebagaimana yang dipersepsikan individu penerima dukungan. Dukungan sosial diukur dari bentuk-bentuk dukungan sosial yang dikemukanan Cutrona & Russell (1990) yang terdiri dari, Emotional support, Network support, Esteem support, Tangible Support dan Informational support.
Dukungan sosial keluarga dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada skala dukungan sosial. Skor tinggi pada skala dukungan sosial yang diperoleh pasangan menunjukkan bahwa pasangan mendapatkan dukungan sosial yang tepat, sebaliknya skor rendah pada skala dukungan sosial menunjukkan bahwa pasangan kurang mendapatkan dukungan sosial.
(58)
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data penelitian. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah pasangan etnis Batak Toba -Tionghoa.
Mengingat keterbatasan penulis untuk menjangkau seluruh populasi, maka penulis hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian yaitu yang lebih dikenal dengan nama sampel.
Karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Usia pernikahan 20 tahun kebawah
Masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan dalam Sigelman & Rider, 2003). Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat stres orangtua (O’ Brien, dalam Sigelman & Rider, 2003). Semakin dewasa usia anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orang tua. Ini berlangsung kurang lebih selama 20 tahun (Duvall, 1985).
2. Memiliki anak
Sesuai dengan yang disampaikan oleh Hurlock (1999), bahwa salah satu kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan adalah hubungan yang baik antara
(59)
orang tua dan anak, dan penyesuaian yang baik dengan anak-anak yang dapat dilihat dari keberhasilan penyesuaian pasangan.
3. Pasangan Batak Toba - Tionghoa
Sesuai dengan Hurlock (1999) bahwa pernikahan campuran, latar belakang budaya yang berbeda dapat mempengaruhi penyesuaian dalam pernikahan.
2. Metode Pengambilan Sampel
Metode sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang mewakili populasi (Hadi, 2000).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan non probability sampling. Teknik non probability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Metode incidental berarti tidak semua individu dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dapat dipilih menjadi anggota sampel, hanya individu-individu yang kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai saja yang diteliti dan sesuai dengan kriteria penelitian (Hadi, 2000). Alasan menggunakan teknik sampling ini adalah mengingat subjek yang akan diteliti sulit untuk ditemukan, dan ada kemungkinan akan mendapat penolakan sehingga peluang tidak semua orang mau menjadi subjek penelitian sangat besar.
Teknik pengambilan sampel ini sesuai untuk penelitian mengingat jumlah populasi yang tidak memiliki jumlah data yang jelas dalam arti tidak ada sumber data yang pasti mengenai jumlah populasi penelitian. Besarnya sampel yang
(1)
keluarga yang diterima subjek penelitian. Juga dapat melakukan uji perbedaan pada masing-masing bentuk dukungan sosial untuk melihat signifikansi perbedaan pengaruh pada masing-masing dukungan sosial sehingga dapat dilihat dukungan mana yang akan diberikan sesuai dengan kondisi.
d. Peneliti selanjutnya dapat mengontrol subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, tempat tinggalnya, dan mempertimbangkan pemberian skala penelitian pada pasangan dengan diisi bersama-sama.
2. Saran Praktis
a. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa dukungan sosial keluarga berpengaruh terhadap penyesuaian perkawinan pada pasangan beda etnis yaitu Batak Toba - Tionghoa. Oleh karena itu hendaknya individu yang menikah beda etnis berusaha untuk membangun dan meningkatkan kualitas hubungan dan interaksinya dengan orang lain terutama kepada keluarga yang berpotensi dapat memberikan dukungan kepada pasangan sehingga dapat melakukan penyesuaian dalam pernikahan dengan baik.
b. Pasangan beda etnis yaitu Batak Toba - Tionghoa dapat terus mempelajari budaya dari masing-masing pasangan dan semakin memahami perbedaan-perbedaan yang dialami sehingga dapat meminimalisir konflik dan tingkat stress dalam keluarga.
(2)
c. Bagi keluarga pasangan Batak Toba - Tionghoa untuk dapat memberikan dukungan penuh kepada pasangan didalam membangun keluarga dan dialam masa-masa penyesuaian pasangan dapat berupa perhatian, rasa nyaman, memberikan masukan dan saran-saran dalam menghadapi perbedaan dan perannya dalam keluarga, penghargaan dan pujian dan menerima pasangan sebagai bagian dari keluarga khususnya dalam hal esteem support. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga akan sangat membantu pasangan didalam menghadapi masa-masa sulit atau stress dalam masa penyesuaian perkawinannya. d. Bagi masyarakat untuk tidak memberikan stereotype kepada masing-
masing etnis yang mana hal itu bisa mempersulit pasangan dalam beradaptasi. Masyarakat bisa melihat hal-hal positif yang dimiliki masing-masing etnik yang dapat saling membangun satu sama lainnya.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Anjani, C & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Jurnal Fakultas psikologi Universitas Airlangga, 8(3), 198-210
As’adi. (2011). Membaca karakter orang berdasarkan etnisnya. Yogyakarta: Najah
Azwar, S. (2001). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2009). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Belajar Azwar, S. (2010). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar Burgess & Locked. (1960). The family (2-nd edition). Canada: Van Nostrand
Reinhold Co
Cutrona, C. E., & Russell, D. W. (1990). Type of social support and specific stress: Toward a theory of optimal matching. New York:Wiley.
Cohen, S., Underwood, & Gottlieb, B. (2000). Social support measurement and intervension. New York: Oxford University Press
Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support and the buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98, 310-357
DeGenova, M. K. (2008). Intimate, Relationship, Marriage & Families. Seventh Edition. New York : McGraw Hill Companies
DiMatteo, M. R. (1991). The psychology of health, illness, and medical care. California: Brooks/Cole Publishing Company
Dimkpa, I. (2010). Marital adjustment roles of couples practicing child adoption. European Journal of Social Sciences, 13(2), 194-200
Duvall, E.M.,& Miller, B.C. (1985). Marriage and family development. 6th Edition. New York : Harper & Row Publishers.
Gardner, K. A., & Cutrona, C. E. (2004). Social support communication in families. Mahway, NJ: Erlbaum
Goldsmith, J. (2004). Communicating social support. New York: Cambridge University Press
(4)
Gregory, R., Barbara, R. & Irwin G. (1996). Handbook of social support and the Family. New York: Plenu Press
Gunarsa, D. (1993). Psikologi praktis anak, remaja dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia
Hadi, S. (2000). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Offset.
Harahap, I. H & Siahaan, M. (1987). Orientasi nilai-nilai budaya batak. Jakarta : Sanggar William Iskandar.
House, J. S. (1981). Work stress and social support. Reading, MA: Adison-Wesley
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Irmawati. (2002). Motivasi berprestasi dan pola pengasuhan pada suku bangsa Batak Toba di Desa Parparean II dan suku Bangsa Melayu di Desa Bogak (tesis). Jakarta. Fakultas Psikologi UI
Jahja. Y. (2011). Psikologi perkembangan: Jakarta. Kencana
Joshi, S., & Thingujam, N. (2009). Perceived emotional intelligence and marital adustment: examining the mediating role of personality and social desirability. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. 35 (1), 79-86
Koerner, A. F., & Maki, L. (2004). Family communication patterns and social support in families of origin and Aault childrens subsequent intimate relationships. Paper presented at the International Association for Relationship Research Conference, Madison, WI, 1-39
Lahey, B. (2007). Psychology an introduction. New York: McGraw Hill Companies
Lasswell, M. & Lasswell, T. (1987). Marriage and the family. Los Angeles, CA : Woodsworth Publishing Co
Lefrancois. (1993). The life span(4thedition). Belmont California Wadsworth: Publishing Company
Lerner, Easterbrooks & Mistry. (2003). Development psychology. Handbook of psychology. [online]. Diakses 24 Desember 2011
(5)
Lubis, S. (1999). Komunikasi antar budaya: Studi kasus etnik batak Toba dan etnik Cina. Medan : USU Press.
Lyons. (1997). General strain theory and social support. Thesis. Case Western University
Markoff, R. (1977). Intercultural marriage: Problem areas. Honolulu, HI: The University Press of Hawaii
Matsumoto. D & Juang. L. (2008). Culture & psychology (4-th edition). USA: Thomson wadsworth.
Muller, D. (2004). Relationship dynamics in Latino-White intercultural marriages: A three group comparison. USA: Seton Hall University
Nasution, M. (2012). Hubungan antara virtue dengan kepuasan hidup pada etnis tionghoa di Kota Medan. Skripsi. Fakultas Psikologi USU
Orford, J. (1992). Community psychology: Theory and practice. England: John Wiley & Sons
Rostamil, A. (2013). Marital Satisfaction: The Differential Impact of Social Support Dependent on Situation and Gender in Medical Staff in Iran. Global Journal of Health Science; 5(4), 151-164
Rug, O. (2008). Perkawinan beda suku dan agama.www.lawskripsi.com. [online] di akses 18 Januari 2012
Sarafino, E. P. (2006). Health psychology. 5th edition. New Jersey: John Wiley &
Sons, Inc.
Saragih, Djaren. (1980). Hukum perkawinan adat Batak. Bandung: Tarsito
Sigelman, K & Rider, E. (2003). Life span human development (4thedition). Belmont california. Wadsworth publishing Company
Suryabrata, S. (2008). Metodologi penelitian. Jakarta: Grafindo Persada
Tarigan, T. E., & Tambunan, E. (1974). Struktur organisasi masyarakat Toba. Ende: Bea Nusa Indah
Tan, M. (1987). The role ethnic minority in development: The indonesian case. Southeast Asian Studies. 25(3), 363-382
Taylor, Kim & Sherman. (2008). Culture and social support. American Psychological Association. 63(6), 518-526
(6)
Toepfer, M. (2010). Family social support and family intrusiveness in young adult women. Family Science Review, 15(2), 57-65
Tseng, W., McDermott, J., & Maretzki, T. (1977). Adjustment in intercultural marriage. Honolulu, HI: The University Press of Hawaii
Vergouwen. (2004). Masyarakat dan hokum adat Batak Toba. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara
Wicaksono, J. A. (2007). Penyesuaian diri dalam perkawinan pada wanita suku batak yang menikah dengan pria suku jawa. Skripsi. Universitas Gunadarma