Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)
GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA
PADA PASANGAN PERNIKAHAN BEDA ETNIS
(BATAK TOBA-TAMIL)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
RATNA J. MALAU
071301055
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ganjil, 2012/2013
(2)
SKRIPSI
GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA
PADA PASANGAN PERNIKAHAN BEDA ETNIS
(BATAK TOBA-TAMIL)
Dipersiapkan dan disusun oleh :
RATNA J. MALAU 071301055
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 30 Januari 2013
Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Eka Ervika, M.Si., psikolog Penguji I
NIP. 197710142002122001 Merangkap pembimbing 2. Rahma Yurliani, M.Psi., psikolog Penguji II
NIP. 198107232006042004
3. Ari Widiyanta, M.Si., psikolog Penguji III NIP. 197410282000121001
(3)
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pasangan Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Januari 2013
RATNA J. MALAU NIM 071301055
(4)
Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pasangan Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)
Ratna J. Malau dan Eka Ervika
ABSTRAK
Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah. Menurut Markoff (1977), masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan konsep dari pernikahan, keputusan pasangan yang didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi dan persetujuan keluarga. Permasalahan lainnya dalam hubungan pernikahan beda etnis adalah reaksi keluarga, teman-teman dan kelompok masyarakat. Salah satu cara dalam menghadapi permasalahan tersebut adalah dengan tersedianya dukungan sosial.
Dukungan sosial terdiri dari kumpulan proses sosial, emosi, kognitif dan perilaku yang terjadi dalam hubungan personal dan jaringan sosial. Menurut Sarason (dalam Dalton, 2001), dukungan sosial dapat dipahami dalam dua bentuk yaitu dukungan umum (generalized support) dan dukungan khusus (specific support). Dukungan umum terjadi dalam hubungan interpersonal yang berlangsung terus menerus , baik ketika individu menghadapi stressor atau ketika individu sedang tidak mengalami masalah yang berarti. Dukungan umum terdiri dari dua jenis yaitu integrasi sosial (social integration) dan dukungan emosional (emotional support). Dukungan spesifik adalah bentuk dukungan yang diberikan untuk membantu individu menghadapi stressor tertentu. Ada tiga jenis dukungan yang termasuk specific support antara lain dukungan instrumental, informasional dan penghargaan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan sosial keluarga pada pasangan pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif tipe fenomenologi. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah empat orang (dua pasang suami istri). Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah pasangan suami-istri beda etnis; suami beretnis Tamil dan istri beretnis Batak Toba serta usia pernikahan maksimal 20 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua pasangan sama-sama menerima dukungan sosial khusus (specific support) berupa dukungan instrumental, informasional dan penghargaan dari keluarga. Namun, kedua pasangan masih membutuhkan dukungan umum (generalized support) berupa dukungan emosional dan integrasi sosial. Hanya saja, pasangan pertama mengharapkan dukungan instrumental sedangkan pasangan kedua mengharapkan dukungan penghargaan. Namun, kedua pasangan masih mengharapkan dan membutuhkan dukungan sosial umum yaitu dukungan emosional dan integrasi sosial dari kedua pihak keluarga.
(5)
Social Support From Family For Intercultural Couples (Batak Toba-Tamil) Ratna J. Malau dan Eka Ervika
ABSTRACT
Intercultural marriage almost face the same problems with intracultural marriage, but there is a difference in some area. Markoff (1977) identified that the problems include verbal and nonverbal communication, concept of marriage, decision making based on spouse‟s need or on family and tradition. Another problem is the response from family, friends and community. Without social support, intercultural relationship may experience obstacles and more susceptible to problems.
Social support represents a collection of social, emotional, cognitive, and behavioral processes occurring in personal relationship that provide aid that promotes adaptive coping (Sarason, 1990). Social support occurs in ongoing interpersonal relationship (generalized support) and also to help a person to cope with a particular stressor (specific support). Family members, particularly parents and spouse are important sources of support, generalized and specific (Dalton, 2001).
The purpose of this research was to find out the description of family social support in intercultural couple (Batak Toba-Tamil). This research used qualitative approachment type phenomenology. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is four people (two couple). Actually, the characteristic of this research was intercultural couple; husband is from Tamil ethnic and wife is from Batak Toba and the age of marriage maximum 20 years.
The result of this research showed that all respondent face problems internally and externally, but first couple face more internal problems and second couple confront more external problems. Social support from family was accepted all respondent in spesific term, like informational support, instrumental support and esteem support. But, all respondent still need social support in generalized term, like emotional support and companionship/social integration support. Keyword : social support, family, intercultural couple
(6)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Allah atas anugerah dan kasihNya yang memampukan penulis untuk mengerjakan dan menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada
Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil) ” . Skripsi ini merupakan suatu karya ilmiah yang disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis
menyelesaikan penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta Pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Psikologi USU.
2. Dosen pembimbing peneliti yaitu ibu Eka Ervika, M.Si., psikolog yang telah membimbing peneliti dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini.
3. Dosen penguji peneliti yaitu Kak Rahma Yurliani, M.Psi., psikolog sebagai penguji II dan Pak Ari Widiyanta, M.Si., psikolog sebagai penguji III yang telah memberikan saran untuk penyempurnaan penelitian ini.
4. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu, wawasan dan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti
(7)
5. Orangtua penulis, khususnya kepada bapak dan mamak yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
6. Saudara-saudari penulis, Bang Timbul, Bang Franky, Kak Lydia dan John yang selalu mendukung, memberikan perhatian dan mendoakan peneliti selama pengerjaan skripsi.
7. Kelompok Tumbuh Bersamaku, Ilokusi Newborn ; Kak Fenny, Kak Yoland, Pipin, & Desmi yang memberikan semangat, doa dan perhatian sejak 2007 sampai saat ini. Aku bersyukur semakin banyak belajar tentang kehidupan, baik suka dan duka bersama-sama dengan kalian. Hanya kasih Allah yang mengijinkan persekutuan kita ini terus berjalan sampai saat ini.
8. Sahabat seperjuangan angkatan 2007, para bobangerz ; Aurora, Desmi, Helen, Kak Sustri, Iren, Leny, Arini. Terimakasih untuk kehadiran kalian yang sangat bermakna bagiku, untuk setiap waktu dan kebersamaan yang kita lalui bersama-sama. I thanks God for our friendship, sist..
9. Teman-teman angkatan 2007 Psikologi USU : Tetty, Novita, Ramon, Kak Marni yang telah meluangkan waktunya untuk membantu memberikan ide & evaluasi, Noni, Ocik, Nuzul, Putrilia dalam proses pengerjaan revisi dan teman lainnya yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu.
10.Teman-teman angkatan 2008 yang menjadi teman seperjuangan bersama dalam penyelesaian skripsi ; Laura, Rentika, Erika, Lala, Siti, Asda & Eges. Selamat bersiap-siap memasuki dunia alumni..!!
(8)
11.Teman-teman nongkrong di kantin kampus, tempat kita bergabung, duduk bersama untuk membahas banyak hal yang tidak terlalu penting tapi menyenangkan serta memorable. Thanks for the old time, brother Edwin, ito Hitler, Armen, Agus, Martua, Roimer, Junias & Pangeran.
12.Adik junior angkatan 2011. Nenita, Desi, Frans, Adolf, Simson & Yunita dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberi dukungan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran serta masukan guna memperbaiki dan meyempurnakan skripsi ini agar ke depan menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Januari 2013
(9)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat teoritis ... 7
2. Manfaat praktis ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II LANDASAN TEORI A. Dukungan Sosial Keluarga 1. Pengertian Dukungan Sosial ... 10
(10)
3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial ... 12
B. Pernikahan Beda Etnis 1. Pengertian Pernikahan ... 14
2. Tahap-tahap Pernikahan ... 15
3. Pengertian Pernikahan Beda Etnis ... 19
4. Masalah-masalah dalam Pernikahan Beda Etnis ... 22
C. Dukungan Sosial Keluarga pada Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil) ... 23
BAB III METODE PENELITIAN A.Penelitian Kualitatif Fenomenologis ... 27
B. Subjek Penelitian ... 29
1. Karakteristik Subjek ... 29
2. Jumlah Subjek Penelitian ... 30
3. Teknik Pengambilan Subjek ... 31
4. Lokasi Penelitian ... 31
C. Metode Pengumpulan Data ... 31
(11)
1. Alat perekam (voice recorder) ... 32
2. Pedoman wawancara ... 33
E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian ... 33
F. Prosedur Penelitian ... 34
1. Tahap persiapan penelitian ... 34
2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 35
3. Tahap pencatatan data ... 37
4. Teknik dan proses pengolahan data ... 37
BAB IV HASIL ANALISIS DATA A. Deskripsi Data ... 40
B. Analisa Data ... 41
1. Masalah-masalah dalam pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil) .. 41
a. Pasangan Pertama (Harry & Mery) ... 41
b. Pasangan Kedua (Roy & Selly) ... 44
2. Dukungan Sosial Keluarga Yang Diterima ... 53
(12)
b. Pasangan Kedua (Roy & Selly) ... 54
3. Dukungan Sosial Keluarga Yang Dibutuhkan ... 60
a. Pasangan Pertama (Harry & Mery) ... 60
b. Pasangan Kedua (Roy & Selly) ... 63
C. Pembahasan ... 69
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 81
1. Masalah dalam Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil) ... 81
2. Dukungan Sosial Keluarga Yang Diterima ... 81
3. Dukungan Sosial Keluarga Yang Dibutuhkan ... 82
B. Saran 1. Saran Praktis ... 83
2. Saran untuk penelitian berikutnya... 84
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan Etnis di Kota Medan ... 3
Tabel 2. Gambaran Umum Responden Penelitian ... 40
Tabel 3. Rangkuman Analisis Dukungan Sosial Keluarga yang Diterima dan yang Dibutuhkan Pasangan Pertama (Harry & Merry) ... 66
Tabel 4. Rangkuman Analisis Dukungan Sosial Keluarga yang Diterima dan yang Dibutuhkan Pasangan Kedua (Roy & Selly) ... 68
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Pedoman Wawancara
LAMPIRAN B
Lembar Persetujuan Wawancara
LAMPIRAN C
(15)
Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pasangan Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)
Ratna J. Malau dan Eka Ervika
ABSTRAK
Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah. Menurut Markoff (1977), masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan konsep dari pernikahan, keputusan pasangan yang didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi dan persetujuan keluarga. Permasalahan lainnya dalam hubungan pernikahan beda etnis adalah reaksi keluarga, teman-teman dan kelompok masyarakat. Salah satu cara dalam menghadapi permasalahan tersebut adalah dengan tersedianya dukungan sosial.
Dukungan sosial terdiri dari kumpulan proses sosial, emosi, kognitif dan perilaku yang terjadi dalam hubungan personal dan jaringan sosial. Menurut Sarason (dalam Dalton, 2001), dukungan sosial dapat dipahami dalam dua bentuk yaitu dukungan umum (generalized support) dan dukungan khusus (specific support). Dukungan umum terjadi dalam hubungan interpersonal yang berlangsung terus menerus , baik ketika individu menghadapi stressor atau ketika individu sedang tidak mengalami masalah yang berarti. Dukungan umum terdiri dari dua jenis yaitu integrasi sosial (social integration) dan dukungan emosional (emotional support). Dukungan spesifik adalah bentuk dukungan yang diberikan untuk membantu individu menghadapi stressor tertentu. Ada tiga jenis dukungan yang termasuk specific support antara lain dukungan instrumental, informasional dan penghargaan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dukungan sosial keluarga pada pasangan pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif tipe fenomenologi. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Responden dalam penelitian ini berjumlah empat orang (dua pasang suami istri). Adapun yang menjadi karakteristik dari penelitian ini adalah pasangan suami-istri beda etnis; suami beretnis Tamil dan istri beretnis Batak Toba serta usia pernikahan maksimal 20 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua pasangan sama-sama menerima dukungan sosial khusus (specific support) berupa dukungan instrumental, informasional dan penghargaan dari keluarga. Namun, kedua pasangan masih membutuhkan dukungan umum (generalized support) berupa dukungan emosional dan integrasi sosial. Hanya saja, pasangan pertama mengharapkan dukungan instrumental sedangkan pasangan kedua mengharapkan dukungan penghargaan. Namun, kedua pasangan masih mengharapkan dan membutuhkan dukungan sosial umum yaitu dukungan emosional dan integrasi sosial dari kedua pihak keluarga.
(16)
Social Support From Family For Intercultural Couples (Batak Toba-Tamil) Ratna J. Malau dan Eka Ervika
ABSTRACT
Intercultural marriage almost face the same problems with intracultural marriage, but there is a difference in some area. Markoff (1977) identified that the problems include verbal and nonverbal communication, concept of marriage, decision making based on spouse‟s need or on family and tradition. Another problem is the response from family, friends and community. Without social support, intercultural relationship may experience obstacles and more susceptible to problems.
Social support represents a collection of social, emotional, cognitive, and behavioral processes occurring in personal relationship that provide aid that promotes adaptive coping (Sarason, 1990). Social support occurs in ongoing interpersonal relationship (generalized support) and also to help a person to cope with a particular stressor (specific support). Family members, particularly parents and spouse are important sources of support, generalized and specific (Dalton, 2001).
The purpose of this research was to find out the description of family social support in intercultural couple (Batak Toba-Tamil). This research used qualitative approachment type phenomenology. The collecting of data was conducted through interviewing method. The number of respondents in this research is four people (two couple). Actually, the characteristic of this research was intercultural couple; husband is from Tamil ethnic and wife is from Batak Toba and the age of marriage maximum 20 years.
The result of this research showed that all respondent face problems internally and externally, but first couple face more internal problems and second couple confront more external problems. Social support from family was accepted all respondent in spesific term, like informational support, instrumental support and esteem support. But, all respondent still need social support in generalized term, like emotional support and companionship/social integration support. Keyword : social support, family, intercultural couple
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Setiap manusia akan mengalami banyak perubahan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa lansia, sampai pada kematian. Salah satu di antara tahap tersebut adalah masa yang disebut dengan dewasa dini (Hurlock ,1999). Individu dewasa dini adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dewasa lainnya. Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa dini yaitu mulai memilih pasangan hidup dan kemudian membentuk sebuah keluarga. Biasanya, individu dewasa dini menginginkan hubungan cinta mereka dikokohkan dalam sebuah pernikahan (Kail & Cavanaugh, 2000).
Pernikahan beda budaya merupakan fenomena yang semakin marak di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang pluralistik dengan beragam suku dan agama. Kondisi keberagaman seperti ini memungkinkan terjadinya suatu interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda yang kemudian berlanjut pada hubungan perkawinan (Soimin, 2002). Salah satu kota di Indonesia yang memiliki penduduk dari berbagai suku dan agama adalah kota Medan, ibukota provinsi
(18)
Sumatera Utara. Mayoritas penduduk kota tersebut adalah suku Jawa, suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo) dan juga keturunan India dan Tionghoa (Wikipedia, 2012). Tabel berikut ini menunjukkan jumlah proporsi penduduk kota Medan yang berdasarkan pada etnis.
Tabel 1. Perbandingan etnis di Kota Medan pada tahun 1930, 1980, dan 2000
Etnis Tahun 1930 Tahun 1980 Tahun 2000
Jawa 24,89% 29,41% 33,03%
Batak 2,93% 14,11% 20,93%*
Tionghoa 35,63% 12,8% 10,65%
Mandailing 6,12% 11,91% 9,36%
Minangkabau 7,29% 10,93% 8,6%
Melayu 7,06% 8,57% 6,59%
Karo 0,19% 3,99% 4,10%
Aceh -- 2,19% 2,78%
Sunda 1,58% 1,90% --
Lain-lain 14,31% 4,13% 3,95%
Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut
*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun (0,69%), Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%
Tiap-tiap suku memiliki konsep dan aturan mengenai perkawinan yang berbeda satu sama lainnya, seperti mengenai pengaturan pembatasan jodoh, mahar, tata upacara dan sebagainya. Salah satu perbedaan yang mencolok ditemukan di dalam masyarakat suku Tamil dengan suku Batak Toba. Suku Tamil cenderung lebih adaptif dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara, salah satunya dengan adanya pernikahan eksogami dengan etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak Toba (Lubis, 2005). Lain halnya dengan suku Batak Toba yang memegang kuat norma endogami (Bangun, 1982). Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba (Bruner, 1994). Hal ini sesuai dengan
(19)
pernyataan seorang wanita Tamil yang memperoleh persetujuan dari orangtuanya untuk menikah dengan pria Batak Toba :
“…Orangtua saya fair, mereka welcome dengan suku lain..karena
sebelumnya kakak saya juga menikah dengan orang Jawa. Kata mereka, saya bisa menikah dengan siapa saja asal seiman, walau beda suku itu ga masalah, yang penting dia itu sayang saya dan sayang keluarga.”
(Komunikasi personal, 03 Desember 2011)
Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah. Menurut Markoff (1977), masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan nilai dan konsep pernikahan, keputusan pasangan yang didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga. Permasalahan lainnya adalah reaksi keluarga, teman dan masyarakat terhadap pernikahan beda etnis. Sung (1990) menambahkan bahwa streotip yang dipegang oleh masyarakat mengenai etnis individu dan pasangan merupakan salah satu tantangan dalam pernikahan beda etnis. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Arman (bukan nama sebenarnya), pria Tamil yang menikah dengan wanita Batak Toba :
“…Mertua saya sempat stres karena keluarga istri saya bertanya-tanya
kenapa anaknya mau menikah dengan orang India. Mereka bilang orang India itu peminum, pemabuk, semua perilaku yang negatif...padahal kan ga semua orang India peminum, salah satunya ya saya. Malahan orang Batak peminum juganya..”
(Komunikasi personal, 5 Juni 2012)
Pada umumnya, pasangan dalam pernikahan sama etnis maupun beda etnis akan melewati tahapan yang disebut family life cycle (Duvall dalam Lefrancois, 1993). Setiap tahap dalam siklus kehidupan keluarga tersebut mempunyai ciri
(20)
khusus dalam tugas dan tujuannya. Menurut Dalton (2001), dalam hubungan personal seperti pernikahan, dukungan sosial dapat berlangsung secara terus-menerus sepanjang waktu dengan kehadiran orang-orang yang berarti yang memberikan perhatian dan keterikatan (generalized support). Dukungan sosial juga dapat berupa perilaku menolong yang diberikan untuk individu dalam menghadapi stressor tertentu (specific support). Masa transisi menuju orangtua (parenthood) merupakan salah satu tahap dalam siklus kehidupan pernikahan yang dapat menimbulkan masalah (stressor) jika tidak dijalankan dengan baik. Hal ini disebabkan karena masa transisi tersebut membawa banyak perubahan dan penyesuaian, seperti pola, tanggung jawab dan rutinitas yang baru bagi pasangan suami istri (DeGenova,2008).
Dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan, baik dalam pernikahan maupun jaringan sosial (Pierce, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Dalam hubungan pernikahan, dukungan sosial telah dihubungkan dengan manfaat hubungan seperti kepuasan hubungan yang lebih besar dan stabilitas seperti kesehatan mental dan fisik. Dalam keluarga, dukungan sosial diasosiasikan dengan peningkatan hubungan anak-anak dan kepuasan hidup, kegembiraan, adaptasi dan keberfungsian sosial yang lebih baik (Gardner & Cutrona, 2004). Sepanjang rentang kehidupan, dukungan sosial penting untuk mempertahankan dan memelihara hubungan yang sehat di dalam keluarga (Leondari & Kiosseoglou, 2002).
(21)
Banyak pasangan beda etnis yang berhasil dan bertahan di dalam pernikahan meskipun mereka berpotensi menghadapi masalah di dalam maupun di luar hubungan tersebut. Salah satu hal yang mempengaruhi keberhasilan tersebut adalah tersedianya dukungan sosial dari keluarga, teman maupun masyarakat. Hubungan yang intim seperti hubungan dengan anggota keluarga dan teman-teman dekat cenderung akan lebih menyediakan dukungan daripada kenalan-kenalan (E. G., Dakof & Taylor, 1990). Anggota keluarga, khususnya orangtua dan pasangan adalah sumber utama dari dukungan sosial baik secara umum (generalized support) maupun secara khusus (specific support). Keluarga dan pasangan dinilai memiliki komitmen yang lebih besar dan memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengenai individu yang diberikan dukungan jika dibandingkan dengan sumber dukungan yang lain (Dalton, 2001). Hal ini sesuai dengan pernyataan Maya, seorang wanita Batak Toba yang menikah dengan pria Tamil :
“Namanya juga kalau masuk ke keluarga suami, yah saya jadi perlu harus belajar banyak tentang mereka, karena beda jauh dengan orang kita Batak…banyak hal yang berubah..bisa buat stres juga lah kalau ga ada orang yang mau bantuin kita..Keluarga saya dan suami lah memang, orang yang seharusnya bisa kita harapkan untuk membantu,yang bisa diajak untuk tukar pikiran, cerita-cerita kalau kita lagi senang atau susah.. ”
(Komunikasi personal, 12 September 2012)
Menurut Kane (dalam Friedman, 1998), dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya sehingga dalam proses ini akan terjadi interaksi atau hubungan timbal balik. Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang proses kehidupan dan memiliki jenis serta kuantitas dukungan sosial yang berbeda-beda dalam berbagai
(22)
tahap-tahap siklus kehidupan. Misalnya, jenis-jenis dan kuantitas dukungan sosial dalam fase perkawinan sangat berbeda dengan banyak dan jenis-jenis dukungan sosial yang dibutuhkan ketika keluarga sudah berada dalam fase kehidupan terakhir.
Dukungan sosial keluarga dapat membuat keluarga mampu berfungsi lebih baik serta meningkatkan kesehatan dan adaptasi keluarga di daalam semua tahap siklus kehidupan. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga juga melibatkan kewajiban yang lebih besar untuk adanya balasan (timbal-balik) dan memiliki potensi yang lebih besar untuk berkonflik (Dalton,2001). Keluarga dapat menjadi pemberi dukungan yang utama bagi seseorang dalam menemukan kualitas serta kuantitas bantuan yang didapatnya (Caplan dalam Maldonado, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, dilihat bahwa pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang lebih kompleks daripada pernikahan sama etnis, terkhusus dari keluarga dan masyarakat. Dukungan sosial dari keluarga dapat mempengaruhi bagaimana pasangan mengatasi hambatan dan tantangan di dalam pernikahannya. Dukungan sosial memberi pengaruh untuk keberhasilan dalam mempertahankan hubungan beda budaya. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana gambaran dukungan sosial keluarga pada pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil).
B. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah
(23)
penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu : “Bagaimana gambaran dukungan sosial keluarga pada pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil) ?” :
- Dukungan sosial apa sajakah yang diterima pasangan dari keluarga? - Dukungan sosial apa sajakah yang dibutuhkan pasangan dari keluarga?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dukungan sosial keluarga pada pasangan pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil).
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah diharapkan hasil penelitian ini akan mampu memberikan informasi di bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus akan mampu menambah khasanah ilmu pada bidang psikologi perkembangan terutama yang berkaitan dengan gambaran dukungan sosial keluarga pada pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil). Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti-peneliti lainnya yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai pasangan yang berlatar belakang etnis Batak Toba dengan etnis Tamil.
(24)
2. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pasangan beda etnis Batak Toba-Tamil untuk mengidentifikasi dukungan sosial yang diterima dari keluarga di dalam pernikahan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi keluarga pasangan beda etnis Batak Toba-Tamil agar mereka dapat memberikan dukungan sosial yang sesuai seperti yang dibutuhkan oleh pasangan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat khususnya bagi wanita atau pria yang belum menikah sebagai informasi penting jika ingin melaksanakan perkawinan beda etnis Batak Toba-Tamil.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian.
Bab III : Metode Penelitian
Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif,
(25)
pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.
Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi Data
Bab ini menjabarkan hasil dari analisis data ke dalam bentuk penjelasan yang lebih terperinci dan runtut disertai dengan data yang mendukungnya.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai dukungan sosial kelurga pada pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil). Kesimpulan berisi jawaban dari pertanyaan penelitian sebagaimana yang telah dituangkan dalam perumusan masalah penelitian. Saran berupa saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
(26)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA 1. Pengertian Dukungan Sosial
Pierce (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Dimatteo (1991) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman kerja dan orang – orang lainnya. Siegel (dalam Taylor, 1999) menggambarkan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, berharga dan dihargai serta merupakan bagian dari suatu jaringan sosial.
Jabaran lain mengenai dukungan sosial juga disampaikan oleh Gottlieb (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapat karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Sarason (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Menurut Sarason (dalam Dalton, 2002),
(27)
dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal ini erat hubungannya dengan ketepatan dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai.
2. Sumber-sumber dukungan sosial
Sumber-sumber dukungan sosial menurut Kahn & Antonoucci (dalam Orford, 1992) terbagi menjadi 3 kategori, yaitu:
a. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dan mendukungnya. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami/istri) atau teman-teman dekat.
b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai dengan waktu. Sumber ini meliputi teman kerja, tetangga, sanak keluarga dan sepergaulan.
c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan sosial dan memiliki peran yang sangat cepat berubah.
(28)
Sumber dukungan yang dimaksud meliputi supervisor, tenaga ahli/profesional dan keluarga jauh.
Menurut Burgess dan Locke (dalam DeGenova, 2008), keluarga adalah sekelompok orang yang disatukan dalam ikatan pernikahan, darah atau adopsi ; berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain di dalam peran sosial masing-masing (suami dan isteri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan) serta menciptakan dan memelihara budaya bersama. Keluarga merupakan pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya.
Berdasarkan beberapa literatur di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah dukungan sosial yang bersumber dari sekelompok orang yang memiliki peran sosial sebagai ayah, ibu dan mertua bagi individu yang menerima bantuan. Bentuk bantuan dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu, atapun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan, dan bernilai.
3. Bentuk-bentuk dukungan sosial
Menurut Sarason (dalam Dalton, 2001), dukungan sosial dapat dipahami dalam 2 (dua) bentuk yaitu generalized support dan specific support.
1. Generalized Support (Dukungan Umum)
Bentuk dukungan yang terjadi dalam hubungan interpersonal yang berlangsung terus menerus , baik ketika individu menghadapi stressor atau ketika
(29)
individu sedang tidak mengalami masalah yang berarti . Biasanya dukungan ini bersifat stabil dan berlangsung di sepanjang situasi kehidupan seseorang. Dukungan ini memberikan dasar yang aman bagi individu dalam menyelesaikan permalasahannya. Ada dua jenis yaitu integrasi sosial (social integration) dan dukungan emosional (emotional support).
a. Integrasi Sosial (Social Integration)
Social integration merujuk pada perasaan individu sebagai suatu bagian di dalam sebuah kelompok atau masyarakat (sense of belongingness). Hubungan persahabatan, pekerjaan dan keanggotaan dalam kegiatan agama atau lingkungan tempat tinggal merupakan contoh dimana social integration dapat terjadi. Menurut Cohen & Wills (dalam Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, rekreasional di waktu senggang. Dukungan ini dapat mengurangi stress dengan memenuhi kebutuhan afiliasi dan kontak dengan orang lain membantu mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang mengganggu serta memfasilitasi suatu suasana hati yang positif.
b. Dukungan Emosional (Emotional Support)
Emotional support merujuk pada pemberian perhatian dan kenyamanan dalam hubungan hubungan personal. Dukungan ini merupakan yang paling intim dan kuat dari semua bentuk dukungan dan biasanya hadir di dalam hubungan pernikahan, hubungan orangtua-anak atau persahabatan. Biasanya dukungan ini bersifat tak bersyarat dan berhubungan dengan kelekatan (attachment) yang terjadi dalam suatu hubungan yang dekat.
(30)
2. Spesific Support (Dukungan Spesifik)
Dukungan spesifik adalah bentuk dukungan yang diberikan untuk membantu individu menghadapi stressor tertentu. Ada tiga jenis dukungan yang termasuk specific support antara lain :
a. Dukungan penghargaan (Encouragement/Esteem Support)
Dukungan penghargaan adalah dukungan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap kompetensi individu. Menurut Cutrona dan Russel (dalam Dalton, 2001), dukungan ini bersifat menentramkan dan menenangkan, namun bukan merupakan dukungan emosional yang lebih dalam. Dukungan ini biasanya berasal dari keluarga atau teman dekat, tetapi bisa juga berasal dari sumber dukungan yang kurang intim dengan individu seperti teman kerja.
b. Dukungan Informasional (Informational Support)
Dukungan informasional meliputi penmberian nasihat atau bimbingan. Secara umum, dukungan ini cenderung melibatkan kognitif daripada emosional dan biasanya pemberiannya disesuaikan dengan situasi yang spesifik yang dialami individu.
c. Dukungan Instrumental (Tangible/Instrumental Support)
Dukungan instrumental adalah dukungan berupa bantuan dalam bentuk nyata , biasanya mengarah pada sumber material seperti penyediaan benda-benda atau layanan (task) untuk memecahkan masalah praktis.
(31)
1. Pengertian Pernikahan
Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Suami dan istri membawa budaya dan kebiasaan asli mereka kemudian membangun budaya baru di dalam keluarga mereka sendiri di dalam pernikahan. Pasangan suami istri mendamaikan perbedaan nilai-nilai dan dan pemahaman yang telah mereka sosialisasikan di dalam perkembangan pribadi masing-masing (Godman & Nanba dalam Yabuki, 2005). Gardiner & Myers (dalam Papalia, 2007) menambahkan bahwa pernikahan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang bukan lagi individu tunggal yang bebas, akan tetapi peran dan tanggung jawabnya pun berubah, baik terhadap diri sendiri, pasangan atau lingkungannya.
2. Tahap-Tahap Pernikahan
Dalam setiap pernikahan, setiap pasangan akan melewati urutan perubahan dalam komposisi, peran, dan hubungan dari saat pasangan menikah hingga mereka meninggal yang disebut sebagai Family Life Cycle (Hill & Rodgers, dalam Sigelman & Rider, 2003). Secara umum, Anderson, Russel & Schumn
(32)
(dalam Hoyer & Roodin, 2003) membagi tahap pernikahan menjadi tahap sebelum kehadiran anak pertama, kehadiran anak & setelah keluarnya anak dari rumah. Sementara, Cole (dalam Lefrancois, 1993) membagi tahap pernikahan menjadi awal pernikahan, kelahiran & mengasuh anak & emptynest sampai usia tua.
a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)
Berdasarkan family life cycle dari Duvall, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah & berakhir ketika anak pertama lahir. Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri biasanya harus melalui beberapa penyesuaian utama (Hurlock, 1999), yaitu:
a) Penyesuaian dengan pasangan
Penyesuaian dengan pasangan merupakan penyesuaian yang paling pokok dan pertama kali dihadapi oleh keluarga baru. Tidak mudah menyatukan dua orang yang berlainan jenis, kepribadian, sifat dan juga kebiasaan-kebiasaan. Dalam penyesuaian pernikahan yang jauh lebih penting adalah kesanggupan dan kemampuan suami istri untuk berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta.
b) Penyesuaian seksual
Masalah ini merupakan salah satu penyesuaian yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan tak dapat dicapai dan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan dikarenakan wanita
(33)
sejak masa bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya dan tidak dapat dengan segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami (Rubin, dalam Hurlock, 1999)
c) Penyesuaian keuangan
Uang dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang dewasa dengan pernikahannya. Suami dan istri harus mampu menyesuaikan pemasukan dan pengeluaran dengan kebiasaan-kebiasaan karena sering kali permasalahan keuangan menjadi awal percekcokan antara suami dan istri
d) Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan
Melalui pernikahan, setiap orang dewasa akan secara otomatis memperoleh sekelompok keluarga yaitu anggota keluarga pasangan dengan usia yang berbeda, mulai dari bayi hingga nenek/kakek, yang kerap kali mempunyai minat dan nilai yang berbeda, bahkan sering sekali sangat berbeda dari segi pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya. Suami istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak menginginkan hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.
b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)
Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall,dalam Lefrancois, 1993). Rata-rata masa awal menjadi orangtua
(34)
merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy & Shiff, dalam Sigelman & Rider, 2003).
Seiring bertambahnya usia anak, maka orangtua perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dikatakan oleh Crnic & Booth (dalam Sigelman & Rider, 2003) bahwa stress dan ketegangan merawat anak-anak lebih besar daripada merawat bayi dan lahirnya anak kedua akan menambah tingkat
stres orangtua (O‟ Brien, dalam Sigelman & Rider, 2003). Semakin dewasa usia
anak maka timbul konflik-konflik baru antara anak dan orangtua walaupun sebagian besar orangtua menyatakan lebih puas terhadap pernikahan dan hubungan dengan anak-anak, namun anak-anak menyulitkan terhadap orangtua dengan memaksa orangtua untuk memberi waktu dan tenaga kepada mereka sehingga menambah stres orangtua. (Kurdek, 1999).
c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest)
Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Istilah emptynest sendiri berarti suatu keadaan atau kondisi keluarga setelah keluarnya anak terakhir dari rumah (Hoyer & Roodin, 2003). Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993). Usia
(35)
rata-rata ibu pada awal tahap ini sekitar 52 tahun dan 54 tahun untuk ayah, sedangkan menurut Hurlock (1999), tahap ini terjadi pada usia 40 sampai 49 tahun.
Ketika remaja atau dewasa awal meninggalkan rumah, beberapa orangtua mengalami perasaan kehilangan yang dalam yang disebut sebagai Sindrom Emptynest (Hoyer & Roodin, 2003). Hal ini didukung oleh penelitian Rubin (dalam Lefrancois, 1993) bahwa pada masa emptynest, wanita mengalami kesedihan, namun tidak ditemukan adanya depresi. Kenyataannya banyak orangtua yang memandang ketidakhadiran anak dalam keluarga sebagai saat untuk membangun kebebasan hidup sebagai orang dewasa. Tekanan yang berat dikarenakan kondisi ekonomi dan pekerjaan terjadi ketika anak-anak tidak benarbenar membuat masa emptynest terjadi sebagaimana diharapkan atau mereka kembali lagi ke rumah (Glick & Lin, dalam Lefrancois, 1993).
Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Kebahagiaan dan kepuasan tertinggi terjadi pada tahap pertama semakin rendah ketika anak tertua memasuki usia remaja. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun ( Rollin & Feldman, dalam Lefrancois, 1993) dan usia tua (Foner & Schwab, dalam Lefrancois, 1993).
(36)
3. Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil) a. Pengertian Pernikahan beda etnis
Menurut Tseng (dalam McDermott & Maretzki, 1977), pernikahan beda etnis (intercultural marriage) adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki dalam hal nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya. Di dalam perkawinan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, suku yang berbeda (Koentjaraningrat, 1981). Latar belakang yang berbeda ini dapat menimbulkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan tersebut dapat mengakibatkan konflik, baik tentang kebiasaan, sikap perilaku dominan, maupun campur tangan keluarga (Purnomo dalam Natalia & Iriani, 2002).
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda etnis adalah perkawinan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Secara khusus, pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil) adalah perkawinan yang terjadi antara pria/wanita yang berasal dari latar belakang etnis Batak Toba dengan wanita/pria etnis Tamil.
b. Etnis Tamil
Sejak pertengahan abad ke-19, buruh-buruh dari Cina, India, Arab dan pulau Jawa didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Migran dari India yang
(37)
datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil) dan juga orang Bombay serta Punjabi (Mani, 1980). Sebuah laporan menyebutkan bahwa penduduk Tamil yang berjumlah kira-kira 30.000 jiwa di Medan dan sekitarnya, terbagi atas 66 % yang menganut agama Hindu, 28 % agama Budha, 4,5 % beragama Katolik dan Kristen, dan 1,5 % yang beragama Islam (Napitupulu, 1992).
Suku Tamil memiliki hubungan yang harmonis dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara karena latar belakang budaya dan ekonomi yang tidak terlalu berbeda. Hal ini disebabkan karena proses-proses adaptasi sosial budaya komunitas Tamil di Medan berlangsung lebih intensif dengan komunitas-komunitas tempatan jika dibandingkan dengan orang-orang Punjabi. Kenyataan bahwa orang-orang Tamil lebih terfragmentasi berdasarkan agama membuat mereka lebih terbuka untuk berubah sehingga sehingga identitas ke-Tamil-an mereka berangsur-angsur memudar. Salah satu contoh adaptasi tersebut antara lain pernikahan eksogami dari dua generasi terakhir suku Tamil di kota Medan dengan kelompok suku lain seperti etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak Toba (Lubis, 2005).
Pernikahan dalam suku Tamil dipercaya menjadi suatu ikatan dan hubungan seumur hidup sehingga mereka tidak mudah memutuskan untuk bercerai. Suku Tamil lebih menyukai pernikahan yang sederhana dan seadanya dibandingkan suku India lainnya. Hal yang terutama dalam pernikahan Tamil adalah kehadiran semua keluarga, teman dan tetangga untuk mendoakan kebahagiaan pengantin pria dan wanita di masa yang akan datang. (Gopal, 2010)
(38)
c. Etnis Batak Toba
Masyarakat di luar suku Batak menggambarkan orang Batak Toba sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani, rentenir, preman, suka minum tuak, suka main catur, pandai main gitar, inang-inang, dan perantau (Irmawati, 2007). Suku Batak Toba merupakan masyarakat patrilineal dan menarik garis kekeluargaan dari pihak ayah juga memiliki aturan dan adat pernikahan. Suku ini mengenal bentuk perkawinan eksogami marga yaitu perkawinan dengan orang di luar kelompok/klan marga (Bangun, 1982).
Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba. Jika seorang yang bukan masyarakat Batak Toba ingin menikah dengan orang Batak Toba, maka terlebih dahulu diberikan marga. Pemberian marga kepada laki-laki disebut manampe marga dan kepada perempuan disebut marboruhon (Bruner, 1994).
Pernikahan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral. Hal ini dikarenakan pemahaman bahwa pernikahan bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan (parboru) yang memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yaitu pihak pengantin pria (paranak). Kedua pihak akan menjadi besan sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau) yang kemudian mejadi santapan dalam pesta pernikahan. (Bangun, 1982).
(39)
4. Masalah-masalah dalam Pernikahan Beda Etnis
Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah. Menurut Markoff (1977), masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan nilai dan konsep pernikahan, keputusan pasangan yang didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga. Markoff juga mengindikasikan sumber konflik lainnya dalam pasangan antar budaya adalah level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan (Tseng , dalam McDermott & Maretzki, 1977). Sung (1990) menambahkan bahwa streotip yang dipegang oleh masyarakat mengenai etnis individu dan pasangan merupakan salah satu tantangan dalam pernikahan beda etnis.
Penelitian menunjukkan bahwa secara umum, orang sering memiliki sikap yang negatif terhadap pernikahan beda budaya kususnya jika hal ini melibatkan anak laki-laki atau anak perempuan mereka sendiri (Davidson & Schneider dalam Shute, 2003). Beberapa keluarga tidak setuju jika anggota keluarga mereka menikah dengan orang di luar kelompok ras atau etnis mereka. Keluarga dari pasangan sering menolak dan melarang hubungan pernikahan ini. Ketika pasangan beda etnis menikah, sesuatu yang lumrah jika ada beberapa atau bahkan seluruh anggota keluarga tidak menghadiri pernikahan tersebut . Banyak orangtua tidak menerima pernikahan beda budaya pada awalnya, tetapi ketika orangtua semakin mengenal pasangan suami-istri maka mereka pun mulai menerima pasangan itu, khususnya setelah kelahiran cucu-cucu mereka. Seringkali orangtua
(40)
memutuskan sikap antipati mereka terhadap menantu perempuan atau laki-laki ketika mereka menyadari bahwa mereka mungkin akan kehilangan kontak dengan anak dan cucu mereka (Kouri & Lasswell, 1993).
C. Dukungan Sosial Keluarga Pada Pernikahan Beda Etnis (Batak Toba-Tamil)
Tiap-tiap suku memiliki konsep dan aturan mengenai perkawinan yang berbeda satu sama lainnya, seperti mengenai pengaturan pembatasan jodoh, mahar, tata upacara dan sebagainya. Salah satu perbedaan yang mencolok ditemukan di dalam masyarakat suku Tamil dengan suku Batak Toba. Suku Tamil cenderung lebih adaptif dengan kelompok etnis lain di Sumatera Utara, salah satunya dengan adanya pernikahan eksogami dengan etnis Jawa, Karo, Nias, Tionghoa dan Batak Toba (Lubis, 2005). Lain halnya dengan suku Batak Toba yang memegang kuat norma endogami (Bangun, 1982). Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba (Bruner, 1994).
Pernikahan beda etnis menghadapi masalah yang hampir sama dengan pernikahan sama etnis, namun ada perbedaan pada beberapa area masalah. Masalah-masalah tersebut meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan konsep dari pernikahan keputusan pasangan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan, atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga. Prasangka dan stereotip juga memainkan peran dalam konflik
(41)
pernikahan seperti ketika masing-masing pasangan memandang yang lainnya sebagai perwakilan dari budayanya yang menyebabkan penyimpangan terhadap peran dan kepribadian pasangan. Markoff juga mengindikasikan sumber konflik lainnya dalam pasangan antar budaya adalah level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan (Tseng , dalam McDermott & Maretzki, 1977).
Banyaknya perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan beda budaya di dalam tahap pernikahan menuntut kemampuan pasangan untuk mengatasi tantangan tersebut demi keberhasilan hubungan mereka. Salah satu cara yang dapat membantu pasangan dalam menghadapi permasalahan pernikahan adalah dengan tersedianya dukungan sosial, baik dari keluarga, teman dan masyarakat. Dengan demikian, pasangan mungkin akan lebih mampu mengatasi hambatan-hambatan tersebut karena adanya dukungan yang mereka terima dari orang lain, keluarga, teman-teman, rekan kerja, atau bahkan masyarakat (DeGenova, 2008).
Dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan (Pierce, dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Dukungan sosial yang disediakan oleh teman-teman dan anggota keluarga menimbulkan kenyamanan fisik dan psikologis (Baron & Byrne, 2000). Menurut Sarason (1990), dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal ini erat hubungannya dengan ketepatan
(42)
dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya, karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan.
Orang-orang yang menerima dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, bernilai, dan bagian dari jaringan sosial (Caplan, 1974; Procidano, 1978 & 1983). Newcomb & Vaux (dalam Colarossi, 2003) menambahkan bahwa dukungan sosial yang diberikan pada seseorang dapat mengembangkan perasaan berharga dan meningkatkan self efficacy pada orang tersebut. Menurut Cobb (dalam Sarafino, 1994) seseorang yang mendapat dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dari suatu kelompok sebagai sebuah keluarga atau komunitas. Hal ini senada dengan pendapat Smet (1994), jika seorang individu merasa didukung oleh lingkungannya, maka segala sesuatu akan terasa mudah ketika ia mengalami kejadian-kejadian yang menegangkan. Individu yang mempunyai dukungan sosial yang tinggi lebih optimis dalam menghadapi situasi kehidupannya saat ini maupun masa depan, mempunyai harga diri yang lebih tinggi dengan tingkat kecemasan yang lebih rendah.
Tersedianya dukungan sosial dapat membantu individu dalam menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi dan membantu individu dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Anggota keluarga, khususnya orangtua dan pasangan adalah sumber utama dari dukungan sosial baik secara umum (generalized support) maupun secara khusus (specific support). Keluarga dan pasangan dinilai memiliki komitmen yang lebih besar dan
(43)
memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengenai individu yang diberikan dukungan jika dibandingkan dengan sumber dukungan yang lain (Dalton, 2001).
(44)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Penelitian Kualitatif Fenomenologis
Secara umum, penelitian kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretif dan fenomenologis yang antara lain : (1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterprestasikan, bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu ; (2) manusia tidak secara sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan didasarkan pada pengetahuan sehari-hari, bersidat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta (4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan sosial (Sarantakos, 1993).
Penelitian fenomenologis adalah salah satu jenis penelitian kualitatif yang melihat secara dekat interpretasi individual tentang pengalaman-pengalamannya. Peneliti fenomenologis berusaha memahami makna dari sebuah pengalaman dari perspektif partisipan. Peneliti memperkenalkan cara yang berbeda untuk menginterpretasikan pengalaman yang sama dan tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui apa makna sesuatu bagi orang yang diteliti. Penelitian ini juga menghargai bahwa pengalaman bervariasi dan kompleks sehingga peneliti mengumpulkan sejumlah data melampaui waktu dari partisipan (Emzir, 2011)
Menurut Patton (1990), asumsi tentang esensi serupa dengan asumsi etnografer tentang keberadaan budaya dan penting menjadi karakteristik tertentu dari studi fenomenologis. Keinginan untuk memahami pengalaman manusia dan bagaimana pengalaman diinterpretasikan secara berbeda oleh orang yang berbeda
(45)
akan menjadi suatu alasan yang pantas untuk melakukan suatu penelitian fenomenologis. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menggunakan penelitian fenomenologis dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan menginterpretasi pengalaman individu mengenai dukungan sosial keluarga pada pasangan suami-istri beda etnis (Batak Toba-Tamil).
Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk menangkap apa (what) dan bagaimana (how) sesuatu terjadi. Peneliti berharap dengan menggunakan metode penelitian fenomenologis, peneliti dapat mendapatkan gambaran luas dan mendalam mengenai gambaran dukungan sosial keluarga pada pasangan beda etnis (Batak Toba-Tamil), apa dan bagaimanakah dukungan sosial yang diberikan atau disediakan oleh keluarga yang dibutuhkan oleh pasangan serta bagaimana sikap, perasaan dan perubahan yang dialami oleh pasangan suami-istri beda etnis (Batak Toba-Tamil) yang akan berbeda pada tiap individunya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sensitif dan akan melahirkan reaksi-reaksi emosional tertentu, sehingga kemampuan untuk membaca reaksi emosional yang tersirat (non verbal) dan tersurat (verbal) mutlak diperlukan guna menunjang kualitas hasil penelitian.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan penelitian fenomenologis sebagai metode dalam meneliti gambaran dukungan sosial keluarga pada pasangan beda etnis sehingga hasil yang didapat dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran dan dinamika yang luas tentang proses kognitif yang dialami subjek.
(46)
B. Subjek Penelitian B.1. Karakteristik Subjek
Pemilihan subjek dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa karakteristik tertentu, antara lain:
a. Pasangan suami istri beda etnis (Batak Toba-Tamil) ; suami beretnis Tamil dan istri beretnis Batak Toba
Beberapa pasangan beda etnis mengalami suatu tekanan atau konflik dengan keluarga pasangan mereka karena sikap etnosentris keluarga yang dapat menimbulkan masalah pada pasangan. (Arnett & Pugh, Killian, Rosen dalam Shute, 2003). Secara khusus pada masyarakat suku Batak Toba yang menganggap bahwa perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang dilakukan sesama orang Batak Toba. Perkawinan dengan orang yang bukan Batak tidak akan diakui dalam adat Batak Toba (Bruner, 1994). Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana dukungan sosial keluarga jika perkawinan yang terjadi adalah perkawinan yang tidak ideal, seorang perempuan Batak Toba menikah dengan pria bukan Batak Toba, khususnya Tamil.
b. Usia pernikahan maksimal 20 tahun
Menurut Duvall (1993), tahap childrearing dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat bagaimana
(47)
dukungan sosial dari pihak keluarga yang diberikan pada pasangan suami-istri beda etnis yang juga berperan sebagai orangtua.
B.2. Jumlah Subjek Penelitian
Menurut Strauss (dalam Irmawati, 2002) tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah responden yang harus dipenuhi pada pendekatan kualitatif. Sarantakos (dalam Poerwandari, 2007) mengatakan bahwa prosedur penentuan subjek dan/atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik seperti :
a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada menampilkan kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c. Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah/peristiwa acak) melainkan pada kekecocokan kriteria.
Dengan karakteristik tersebut, jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas diawal penelitian. Dalam penelitian ini peneliti merencanakan jumlah responden sebanyak 2 (dua) pasang suami istri dengan jumlah total 4 (empat) orang . Alasan pengambilan jumlah sampel tersebut dengan pertimbangan tujuan utama dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran yang menyeluruh.
(48)
B.3 Teknik Pengambilan Subjek
Patton ( dalam poerwandari, 2001) menyatakan pengambilan subjek dalam penelitian kualitatif harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel bola salju/berantai (snowball/ chain sampling). Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya. (Poerwandari, 2001).
B.4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Medan dan sekitarnya. Pengambilan daerah penelitian dilakukan sesuai dengan data demografis penyebaran etnis Batak Toba dan Tamil di daerah Sumatera Utara dan memberi kemudahan bagi peneliti dalam mendapatkan responden penelitian.
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Hal ini sesuai dengan pendapat Padgett (1998) yang mengatakan bahwa ada tiga bentuk dasar metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu: (a) observasi, (b) wawancara dan (c) analisis dokumen. Namun metode observasi dan analisis dokumen tidak dijadikan metode pengumpulan data dalam penelitian ini karena peneliti mempertimbangkan faktor efektifitas dan keterbatasan peneliti.
(49)
Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab antara pewawancara dengan subjek atau orang yang diwawancarai (Bungin, dalam Poerwandari, 2001). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister, 1994).
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara
berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai
dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).
(50)
D. Alat Bantu Pengambilan Data 1. Alat perekam (voice recorder)
Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Peneliti menggunakan aplikasi perekam suara (voice recorder) pada smartphone dengan seizin subjek penelitian.
2. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001). Peneliti menggunakan pedoman wawancara yang berkaitan dengan dukungan sosial yang diterima dan dibutuhkan pasangan beda etnis (Batak Toba-Tamil) tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.
(51)
E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian
Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.
Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan :
1. Memilih calon partisipan yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah pasangan beda etnis ; suami Tamil istri Batak Toba dan memiliki usia pernikahan maksimal 20 tahun.
2. Membangun rapport dengan partisipan agar ketika proses wawancara berlangsung partisipan dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada saat wawancara.
3. Membuat pedoman wawancara berdasarkan jenis-jenis dukungan sosial, kemudian melakukan standarisasi pedoman wawancara dengan dosen pembimbing. Professional judgement di dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing penelitian ini.
4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.
5. Melibatkan dosen pembimbing untuk berdiskusi, memberikan saran dan kritik mulai dari awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian.
(52)
Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.
F. Prosedur Penelitian
F.1.Tahap persiapan penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian :
a. Mengumpulkan data
Peneliti mengumpulkan berbagai informasi, teori-teori dan resensi yang berhubungan dengan dukungan sosial keluarga pada pernikahan beda etnis, kemudian menguraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan fenomena tersebut berdasarkan teori yang relevan.
b. Menyiapkan Pedoman wawancara
Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori dan dimensi yang ada untuk menjadi pedoman wawancara agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian.
c. Persiapan untuk mengumpulkan data
Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediannya untuk menjadi partisipan dan mengumpulkan informasi tentang calon partisipan tersebut.
d. Membangun Rapport dan menentukan Jadwal Wawancara
Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan membangun rapport sekaligus melakukan
(53)
informed consent dimana peneliti menjelaskan penelitian secara umum meliputi tujuan dan manfaat penelitian serta aktivitas dan peran partisipan dalam penelitian ini, apa yang diharapkan dari partisipan dan disampaikan bahwa informasi yang mereka berikan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian serta dujamin kerahasiaannya. Setelah itu, peneliti dan partisipan mengadakan kesepakatan tentang pelaksaan penelitian yang meliputi waktu dan lokasi wawancara.
F.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian antara lain :
a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara
Sebelum wawancara dilakukan peneliti mengkonfirmasikan ulang waktu dan tempat wawancara yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan subjek. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan subjek dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara. Setelah ada kesepakatan waktu dan tempat, peneliti melakukan wawancara. Penelitian secara umum bersifat saling kerja sama antara peneliti dan subjek. Mereka meluangkan waktu dan bersedia menjawab semua pertanyaan peneliti sehingga berjalan dengan lancar.
b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Sebelum melakukan wawancara peneliti meminta subjek untuk menandatangani Lembar Persetujuan Wawancara yang menyatakan bahwa
(54)
subjek mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu, serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap subjek.
c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti menindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2001).
d. Melakukan analisa data
Bentuk transkrip verbatim yang sudah selesai kemudian dibuatkan salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing membaca verbatim berulang-ulang untuk mendapat gambaran yang lebih jelas. Setelah itu verbatim wawancara disortir untuk memperoleh hasil yang relevan dengan tujuan dan diberi kode.
e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran
Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan, kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan
(55)
data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.
F.3. Tahap Pencatatan Data
Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada subjek untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Setelah wawancara yang dilakukan lalu peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut yang dapat dilihat dalam lampiran.
F.4. Teknik dan Proses Pengolahan Data
Data akan dianilisis menurut prosedur penelitian kualitatif, dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif. Menurut Poerwandari (2001) proses analisa data adalah sebagai berikut :
a. Organisasi Data
Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti berkewajiban untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan pengumpulan data dan analisis.
(56)
b. Koding dan analisis
Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan medetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya.
c. Pengujian terhadap dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut.
d. Strategi analisis
Analisis terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek sendiri maupun konsep yang dkembangkan oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Analisa yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap subjek terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan subjek.
(57)
Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2001), interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.
(58)
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA
Pada bab ini akan diuraikan analisa hasil wawancara dengan para responden penelitian dalam bentuk narasi. Pada bab ini juga akan dikemukakan deskripsi data responden, data wawancara, dan interpretasi data. Data akan dijabarkan dan dianalisa tiap responden untuk mempermudah pembaca dalam memahami gambaran dukungan sosial keluarga pada pasangan pernikahan beda etnis Batak Toba-Tamil. Selanjutnya pada bab ini akan terdapat kutipan dalam setiap bagian analisa yang akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diinterpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah RA. W.1/b.27-29/hal.5, maksud kode ini adalah kutipan pada responden A, wawancara pertama, baris 27 sampai 29, verbatim halaman 5.
A. Deskripsi Data
Tabel 2. Gambaran Umum Responden Penelitian
Keterangan Pasangan Pertama Pasangan Kedua
Nama (bukan sebenarnya)
Harry Merry Roy Selly
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Usia 39 tahun 39 tahun 31 tahun 23 tahun
Suku Tamil Batak Toba Tamil Batak Toba
Agama Kristen Kristen Hindu Hindu
Status Pendidikan
S-1 teologi S-1 Ilmu Komunikasi
SMA SMA
Pekerjaan Pendeta Ibu
rumahtangga
Wiraswasta Ibu
rumahtangga Usia pernikahan 14 tahun 14 tahun 2 tahun 2 tahun
(59)
B. Hasil Analisis Data
1. Masalah-masalah dalam pernikahan beda etnis (Batak Toba-Tamil) a. Pasangan pertama (Harry dan Merry)
Saat ini, pernikahan Harry dan Merry sudah berjalan selama 14 tahun. Mereka dikaruniai dua orang anak perempuan yang berusia 13 tahun dan 10 tahun. Selama menjalani hidup bersama, ada masalah-masalah dalam rumah tangga Harry yang disebabkan perbedaan budaya Batak Toba dan Tamil. Salah satunya adalah masalah perbedaan kebiasaan makanan antara Harry dan Merry. Harry memiliki kebiasaan harus mengkonsumsi kari, masakan khas India setiap hari, tetapi Merry belum mahir untuk memasak makanan kari. Harry juga ingin agar kedua anaknya mengikuti kebiasaan memakan kari, tetapi Merry tidak setuju. Hal ini diungkapkan Harry sebagai berikut :
“..Satu hal yang perlu diketahui kalau orang India itu makanannya harus makanan kari, yang pakai rempah-rempah itu. Jadi, ikan pun bisa dimasak kari, udang dikari, pokoknya seafood itu ada jenis-jenis karinya. Kami harus makan itu. Karena saya menikah dengan suku lain, jadinya istri saya belum mahir memasak makanan seperti ini.”
(RA.W1/b.121-129/hal.3)
“…Masalahnya kan biasanya karena anak, saya kan berupaya agar anak
-anak saya harus makan kari karena kalau makan kari itu kan sehat, karena itu rempah. Tapi menurut istri saya itu tidak bisa, kan rempah-rempah itu panas, bisa buat panas dalam, anak-anak jadi sakit.”
(RA.W1/b.205-211/hal.5)
Merry juga menganggap bahwa perbedaan kebiasaan makanan ini merupakan suatu masalah karena dia yang berasal dari suku Batak Toba merasa kurang familiar dengan makanan kari khas India. Selain itu, kondisi fisik Merry yang tidak tahan mengonsumsi makanan pedas membuat Merry tidak begitu
(60)
menyukai makanan favorit suaminya, Harry. Hal ini diungkapkan Merry sebagai berikut :
“... masalah makanan. Orang India ini memang sangat memegang sekali adatnya terkhusus dalam makanan. Jadi, memang hari-hari mereka tidak terlepas dari makanan yang namanya kari. Sayur dikari, daging dikari, ikan dikari. Memang itulah yang menjadi kebiasaannya sehari-hari. Dan memang di dalam pesta-pesta adat mereka juga, yah makanan kari itu harus ada.”
(RB.W1/b.252-260/hal.26)
“Kalau suami saya dan keluarganya, kari itu harus ada setiap hari…
Makanya kalau menikah dengan orang India harus bisa masak kari..(sambil tertawa) Tapi masalahnya, saya gak tahan makan kari. Soalnya pedas dan perut saya suka sakit makan yang pedas-pedas.”
(RB.W1/b.264-273/hal.26-27)
Selain perbedaan kebiasaan makanan, Harry dan Merry juga memiliki cara yang berbeda dalam berkomunikasi satu sama lain akibat perbedaan latar belakang budaya antara Batak Toba dan Tamil. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam menyesuaikan komunikasi dengan pasangannya. Merry cenderung lebih ekspresif dan terbuka dalam berkomunikasi dibandingkan dengan Harry. Hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan pada diri Merry. Merry merasa bahwa Harry dan keluarga tidak terbuka dan cenderung menutup-nutupi suatu masalah. Berbeda dengan keluarga inti Merry yang selalu berdiskusi bersama untuk menyelesaikan permasalahan keluarga. Hal ini diungkapkan Merry sebagai berikut :
“Kita kan orang Batak yang tidak bisa menyembunyikan sesuatu atau membicarakannya di belakang. Kita langsung ke forum. Kalau bagi orang India, itu tidak sopan. Jadi mereka lebih cenderung menahan diri untuk tidak menyakiti orang.”
(1)
Smet, Bart. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo
Soimin, Soedharyo . (2002). Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika
Sung, B. L. (1990). Chinese American intermarriage. Journal of Comparative Family Studies, 21, 337-353.
Taylor, SE. 1999. Health Psychology, 4th, Boston : McGraw Hill
Wikipedia. (2007). Kota Medan. [on-line].
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan. Tanggal akses: 20 Okt0ber 2011.
Wisnubroto, A. P. (2007). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Seksual.http://www.blogger.com/feeds/8165832961149233876/posts/defa ult. [Online] Tanggal Akses 12 Desember 2011.
Yabuki, R. (2005). Cultural identity construction strategy of Japanese wives in Japanese – American intermarriage – the wife‟s choice of family name
indicates a new positioning as a “Strategie”. The Japanese Journal of
(2)
LAMPIRAN A
(3)
Pedoman Wawancara
Pernikahan Beda Etnis (Toba-Tamil)
1. Apakah alasan anda menikah dengan seorang yang beda etnis (Toba/Tamil)?
2. Bagaimana pendapat anda (sikap, pemikiran dan pengalaman) terhadap suku (Batak Toba/Tamil)
3. Respon keluarga terhadap pernikahan :
- Bagaimanakah pendapat / tanggapan keluarga sebelumnya terhadap keputusan anda untuk menikah beda etnis?
- Bagaimanakah respon keluarga setelah anda menikah? 4. Hubungan dengan keluarga sesudah menikah :
- Bagaimanakah cara anda menghabiskan waktu bersama keluarga? - Bagaimana kedekatan anda dengan anggota keluarga?
5. Sumber konflik dalam pernikahan (eksternal & internal)
- Bagaimana pengaruh perbedaan budaya masing-masing terhadap rumah tangga anda?
- Masalah apakah yang anda alami dalam pernikahan? (komunikasi, finansial, mengasuh anak)
- Bagaimana level keterlibatan keluarga terhadap masalah/konflik dalam pernikahan anda?
Bentuk Dukungan Sosial Yang Diterima (setelah menikah) a. Dukungan instrumental (instrumental/tangible support)
1. Ketika anda mengalami suatu masalah dalam pernikahan anda, apakah dukungan/bantuan secara nyata yang diberikan keluarga? Apakah berupa benda/materi? Atau hadir secara langsung untuk menyelesaikan masalah anda?
(4)
b. Dukungan informasional (informational support)
1. Bagaimana pihak keluarga pasangan mengenalkan budaya (Batak Toba/Tamil) kepada anda?
c. Dukungan penghargaan (esteem support)
1. Bagaimana keluarga (inti dan pasangan) memandang/menilai anda sebagai seorang anak/menantu/saudara/ipar?
2. Apakah pendapat keluarga terhadap pekerjaan anda saat ?
3. Bagaimana respon keluarga terhadap prestasi dan pencapaian yang anda dapatkan?
d. Dukungan emosi (emotional support)
1. Bagaimanakah keluarga (orangtua & mertua) menunjukkan perhatian dan kasih sayang terhadap anda?
2. Apa sajakah bentuk perhatian yang anda terima dari keluarga? e. Dukungan integrasi sosial (network support)
1. Berapa sering anda menghabiskan waktu bersama-sama dengan keluarga (orangtua & mertua)? Dalam liburan/rekreasi dan juga acara keluarga?
2. Kegiatan atau komunitas apa yang anda ikuti setelah menikah?
Bentu Dukungan Sosial Keluarga Yang Dibutuhkan
1. Ketika menghadapi masalah-masalah dalam rumah tangga anda, sebenarnya kontribusi atau bantuan apakah yang anda harapkan dari keluarga?
(5)
LAMPIRAN B
LEMBAR PERSETUJUAN
WAWANCARA
(6)
INFORMED CONSENT
Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden
Judul Penelitian : Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pasangan Pernikahan Beda Etnis (Toba-Tamil)
Peneliti : Ratna J. Malau
NIM : 071301055
Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.
Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai partisipan dalam penelitian mengenai dukungan sosial keluarga pada pasangan pernikahan beda etnis Toba-Tamil.
Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.
Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.
Medan, Juni 2012