BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana perpajakan dewasa ini lagi semarak dikalangan pemerintahan

  maupun perusahaan baik dalam skala lingkup yang kecil maupun yang besar, dikarenakan lemahnya pengawasan dibidang perpajakan sehingga sering kali terjadi kecurangan-kecurangan dibidang perpajakan. Saat ini pemerintah sangat ekstra menjaga dan mengawasi dibidang perpajakan, dimana dampak tindak pidana perpajakan sangat dirasakan selain dapat menggangu pemasukan uang ke Kas Negara yang sangat diperlukan untuk pembiayaan pembangunan dan juga

  Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi

  1 sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  Pajak dalam prakteknya sering kali dinilai sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri atau oranglain dengan cara memanipulasi hasil penghitungan pajak terutang yang harus dibayarkan kepada Negara. Tindak pidana perpajakan tidak hanya berdampak buruk terhadap pendapatan Negara tetapi juga berdampak buruk kepada kemakmuran masyarakat.

  Langkah pemerintah untuk memperkecil atau menanggulangi kecurangan dibidang perpajakan yakni dengan cara melakukan perbaikan di dalam Undang-

                                                               1 Pasal 1 Undang-undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan undang perpajakan serta penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perpajakan tersebut. Sehingga sanksi atau hukuman untuk tindak pidana perpajakan lebih efektif dan memberikan efek jerah terhadap pelakunya.

  Pengaturan tindak pidana perpajakan diatur dalam Pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang RI No. 6 Tahun 1983 (selanjutnya disebut Undang- undang Perpajakan) tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 jo, Pasal 64 ayat (1) KUHP bahwa setiap orang yang karena kealpaannya: a.

  Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;atau b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak

  Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali

  2 jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.

  Adapun jenis-jenis perbuatan yang terdapat di dalam tindak pidana perpajakan melihat dari pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perpajakan yakni : “ setiap orang yang dengan sengaja : a.

  Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena pajak.

  b.

  Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.

                                                               2 Pasal 38 Undang-undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan d.

  Menolak untuk melakukan pemeriksaan e. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar f.

  Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memeperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau g.

  Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengn pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4

  3

  (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar Tindak pidana perpajakan tidak hanya dilakukan untuk kepentingan kekayaan tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum. Dengan demikian, disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif yang kemudian diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia memberikan perlindungan

  4 terhadap manusia. Konstruksi yang demikian itu disebut korporasi.

  Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, terlebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia tetapi juga mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan

                                                               3 4 Ibid, hal. 21 Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 67

  hukum. Dalam hal ini korporasi juga dapat dijadikan sarana untuk melakukan

  5 tindak pidana (crimes for corporation).

  Menurut Konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai

  6

  kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain, bersama-sama. Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi atau pengurusnya.

  Pemerintah menunjuk Direktorat Jenderal Perpajakan RI sebagai upaya untuk pihak yang terkait dalam sistem perpajakan itu sendiri baik di dalam ruang lingkup kantor-kantor pemerintahan, maupun perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.

  Direktorat Jenderal Pajak diberikan wewenang oleh pemerintah untuk memungut pajak dengan cara-cara yang telah ditentukan, yang mana pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh masyarakat kepada Negara tanpa mengharapkannya suatu imbalan.

  Pengaturan hukum pidana dalam suatu tindak pidana tidak hanya sebagai dampak penderitaan saja terhadap pelakunya, tetapi seringkali juga berisi nilai

                                                               5 6 Penjelasan Buku Kesatu angka 4 Konsep KUHP Baru.

  Dalam Penjelasan Pasal 48 Konsep KUHP Baru dijelaskan, bahwa kedudukan

fungsional diartikan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan mengambil putusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut.

Termasuk disini orang-orang tersebut berkedudukan sebagai orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tindak pidana tersebut. positif.

  7 Dalam perkembangannya terlihat antara lain dengan dimasukkannya

  pasal-pasal 14a-14f ke dalam W.v.S 1915 pada tahun 1926 (S.1926-251 jo. 486) beserta ordonansi pelaksanaannya (S.1926-487) tentang pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Pidana bersyarat bukanlah merupakan pidana pokok sebagaimana pidana pokok yang lain, melainkan merupakan cara penerapaan pidana, sebagaimana pidana yang tidak bersyarat.

  Pasal 14a KUHP menyatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat berikut :

  1. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun, pidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan satu tahun. Yang menentukan bukanlah pidana yang dilakukan, tetapi pidana yang akan dijatuhkan.

  2. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini idak diadakan pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah satu tahun.

  3. Dalam hal menyangkut denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul- betul akan dirasakan berat oleh terdakwa.

  Selanjutnya dalam pasal 14b KUHP ditentukan masa percobaan selama tiga tahun bagi kejahatan dan bagi pelanggaran lainnya dua tahun. Dalam pasal 14c

                                                               7 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. (Bandung Penerbit Alumni. 1985) hal. 62

  KUHP ditentukan bahwa disamping syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan pidananya.

  Disamping itu dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. Syarat-syarat diatas tersebut tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi terpidana. Bilamana syarat umum atau khusus tersebut tidak dipenuhi, maka berdasar pasal 14f ayat (1) memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan supaya atas

  8 namanya diberikan peringatan pada terpidana.

  Sehubungan dengan asas-asas penerapan pidana bersyarat, tercakup satu hal yang sangat penting yakni manfaat yang diharapkan dari sanksi pidana bersyarat.

  Pidana bersyarat diharapkan dapat menjadi suatu kemungkinan pilihan yang sangat berguna dalam rangka rehabilitasi, khususnya bagi pelaku-pelaku tindak pidana pemula. Kontak-kontak yang teratur terhadap masyarakat akan sangat bermanfaat dan menghindarkan pelaku tindak pidana dari proses prisonisasi yang sangat berbahaya bagi kepribadian seseorang.

  Manfaat ini tidak hanya akan dirasakan baik oleh penguasa maupun masyarakat. Manfaat lain yang dapat disebut adalah dari segi ekonomi, yakni

                                                               8 Ibid, hal. 64

  sepanjang menyangkut pembiayaan, maka pembiayaan bagi pelaksanaan pidana bersyarat akan jauh lebih murah dibandingkan dengan sanksi pidana perampasan kemerdekaan, sekalipun misalnya saja sanksi pidana bersyarat tersebut akan dijalankan secara efektif. Manfaat selanjutnya adalah, bahwa pidana bersyarat akan mengurangi penderitaan anggota-anggota keluarga lain yang hidupnya tergantung kepada pelaku tindak pidana, sebab dengan pidana perampasan

  9 kemerdekaan jelas akan meniadakan sumber utama kehidupan suatu keluarga.

  Pidana bersyarat sebagai salah satu pidana alternatif daripada pidana perampasan kemerdekaan yang mempunyai keunggulan-keunggulan tersendiri disbanding pidana perampasan kemerdekaan lainnya, karena dalam hal ini kerugian-kerugian yang mungkin terjadi akibat penerapan pidana perampasan

  10 kemerdekaan dapat dihindari.

  Skripsi ini akan membahas dan menganalisa secara yuridis terkait dengan penerapan hukum pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan studi kasus Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012. Dengan Terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak yang bertindak sebagai Tax Manager Asian Agri Group (AAG) bertanggung jawab membuat Laporan Keuangan Konsolidasi (Neraca dan Laporan Rugi Laba) dan mempersiapkan, mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahuhan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Badan untuk seluruh perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group, pada tanggal 29 Maret 2003 sampai dengan tanggal 14 November

                                                               9 10 Ibid, hal. 193 Ibid, hal. 219

  2006 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006. Kesemuanya itu akan dirangkum dalam penulisan skripsi ini.

  Kasus tindak pidana perpajakan dalam Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012. Dengan terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak yang bertindak sebagai Tax Manager Asian Agri Group (AAG) Terdakwa melakukan beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran ada hubungannya sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, dengan sengaja menyampaikan lengkap atas nama PT. Dasa Anugrah Sejati, PT. Raja Garuda Mas Sejaati, PT.

  Saudara Sejati Luhur, PT. Indo Sepadan Jaya, PT. Nusa Pusaka Kencana, PT. Andalas Intiagro Lestari, PT. Tunggal Yunus Estate, PT. Rigunas Agri Utama, PT. Rantau Sinar Karsa, PT. Sispra Matra Abadi, PT. Mitra Unggul Pusaka, PT.

  Hari Sawit Jaya, PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Gunung Melayu yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara sebesar Rp. 1.259.977.695.652,- (satu trilyun dua ratus lima puluh sembilan milyar sembilan ratus tujuh puluh tujuh juta enam ratus

  11 sembilan puluh lima ribu enam ratus lima puluh dua rupiah).

  Jaksa Pununtut Umum dalam dakwaannya pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanggal 19 Desember 2011 menuntut Terdakwa dipidana penajara selama 3

                                                               11 http://www .Mahkamah Agung.go.id. diakses pada hari senin, tanggal 29 April 2013 pukul 12.30

  (tiga) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar Terdakwa segera ditahan, ditambah dengan denda sebesar

  12 Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan .

  Selanjutnya dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tanggal 23 Juli 2012 menerima permohonan banding Jaksa Penuntut Umum yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian sebagai upaya hukum luar biasa kasus ini di putus oleh Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dengan masa percobaan 3 (tiga) tahun dengan syarat khusus selama 1 (satu) tahun 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan diwakili Terdakwa membayar 2 (dua) kali pajak terhutang milyar sembilan ratus lima puluh juta tiga ratus Sembilan puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah) secara tunai.

  Kasus-kasus seperti ini penting untuk disoroti oleh kacamata publik dikarenakan sangat meresahkan masyarakat, dan merugikan Negara. Mengingat tindak pidana perpajakan secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem perekonomian nasional dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Negara.

  Disamping itu juga menarik untuk ditelaah berbagai peraturan yang terkait dengan tindak pidana perpajakan, maupun tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana itu sendiri.

                                                               12 Opcit, hal. 24

B. Perumusan Masalah

  Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana dalam tindak pidana perpajakan di

  Indonesia? 2. Bagaimanakah penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan pada Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka yang menjaadi tujuan penelitian ini antara lain : Menganalisa dan mengkaji ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana perpajakan yang dapat menjerat pelaku pidana perpajakan tersebut.

  2. Menganalisa dan mengkaji penerapan hukum pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh para pelaku pidana perpajakan dengan melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam perkara dengan Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012.

  D. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan tindak pidana perpajakan sehingga kemungkinan untuk terjadinya ketidak- selarasan hukum dapat diminimalisir.

2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugasnya memperjuangkan keadilan yang sebenarnya serta mewujudkan tujuan hukum yang di cita-citakan.

  E. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi mengenai Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung No: 2239 K/Pid.Sus/2012) berdasarkan pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan. secara pribadi tanpa ada penipuan, penjiplakan, atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak tertentu. Oleh karena itu skripsi ini adalah hasil dari karya penulis sendiri yang disusun dengan cara mempelajari, membaca, mengutip data- data yang ada pada buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan perundang- undangan dan pihak lain yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.

  F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana

  Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari Strafbaar feit. Tidak ditemukannya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada

  13 keseragaman pendapat .

  Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang tersebut

  14 merupakan tindak pidana atau tidak.

  

15

Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya

  ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk

  

(strafbaar feit) . Namun apa yang dimaksud dengan “starfbaar feit” tidak

  dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian maupun batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, namun adakalanya pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang.

  Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif ) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Pompe mengatakan, bahwa menurut teori (defenisi menurut teori) strafbaar feit

                                                               13 C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-undang Nasional, (Jakarta, Jala Permata Aksara. 2009) hal. 1 14 Mohammad Eka Putra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Medan, USU Press. 2010) hal.

  73-74 15 Ibid, hal. 75 itu adalah perbuatan, yang bersifat melaean hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar

  feit) . Untuk penjatuhan pidana tidak cukup, dengan adanya tindak pidana, akan

  16 tetapi selain itu harus ada orang yang dapat dipidana.

  Pembentuk Undang-undang menggunakan kata “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana, di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan tentang “strafbaar feit”. Oleh karena itu muncul di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud

  17

  dengan “strafbaar feit”. Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningwatbaar) atau schuldfahig.

  Penjelasan Pasal 37 Konsep KUHP Baru menyebutkan bahwa dalam

  18

  pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan sebagaimana ditetapkan dalam suatu peraturan perundangan saja. Apakah pembuat tindak pidana yang telah melakukan perbuatan yang dilarang dan kemudian dijatuhi pidana, sangat tergantung pada persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut pembuat tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, apakah pembuat

                                                               16 17 Ibid, hal. 81 18 Ibid, hal. 78 Ibid, hal. 83

  tindak pidana mempunyai kesalahan. Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alas an pemaaf.

  Menurut Konsep KUHP Baru, tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materil. Pasal

  11 Konsep KUHP Baru menyebutkan : 1.

  Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

  2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat masyarakat.

3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

  Penjelasan Pasal 11 Konsep KUHP Baru menyebutkan bahwa hukum pidana Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya (daad-dader-

strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan.

  Dengan demikian maka tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana memperoleh kontur yang jelas. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan sebagai ukuran untuk menentukan suatu perbuatan yang disebut tindak pidana. Perbuatan yang dimaksudkan meliputi baik perbuatan melakukan (aktif) maupun tidak melakukan (pasif) yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan dan diancam pidana. Pencegahan akibat dari tindak pidana pada dasarnya merupakan kewajiban menurut hukum, kecuali terdapat alasan yang meyakinkan dan diterima berdasarkan pertimbangan akal yang wajar. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka seemakin besar pula kemungkinan aspek keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktek dapat diatasi dengan memberikan penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian-kejadian kongkrit. Apabila dalam penerapan dalam kejadian kongkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan mengutamakan keadilan diatas kepastian

  19 hukum.

   Tindak Pidana Perpajakan

  Tindak pidana ialah perbuatan yang memenuhi perumusan yang diberikan dalam ketentuan pidana. Perlu dipahami bahwa ketentuan pidana tidak semata- mata terdapat dalam KUHP saja, melainkan dapat juga dijumpai dalam undang- undang lain seperti Undang-undang Pajak, Undang-undang Bea dan Cukai, dan sebagainya. Agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana, perbuatan tersebut harus sesuai dengan perumusan yang diberikan dalam

  20 ketentuan undang-undang.

  Kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum pajak untuk mengarahkan pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain agar mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini didasarkan bahwa hukum pajak tidak dapat memberikan suatu kegunaan bila

                                                               19 20 Ibid, hal. 88

T.N. Syamsah, Tindak Pidana Perpajakan. (Bandung, P.T. Alumni, 2011), hal. 1

  pihak-pihak dalam kedudukan sebagai stakeholder tidak memilki rasa keadilan dalam menunaikan atau melaksanakan tugas maupun kewajiban hukum masing-

  21 masing.

  Pasal 38 huruf b jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 jo, Pasal 64 ayat (1) KUHP merumuskan bahwa : “ setiap orang yang karena kealpaannya :

  a.) Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;atau

  b.) Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah

  22 pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.

  Secara yuridis, kejahatan dibidang perpajakan menunjukkan bahwa kejahatan ini merupakan substansi hukum pajak karena terlanggarnya kaidah hukum pajak.

  Kejahatan dibidang perpajakan dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, melakukan perbuatan atau

                                                               21 Muhammad Djafar Saidi, Kejahatan dibidang perpajakan. (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada 2012), hal. 1 22 Pasal 38 Undang-undang No. 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan tidak melakukan dibidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan dibidang

  23 perpajakan karena memenuhi rumusan kaidah hukum pajak.

  Tindak pidana lazimnya dikelompokkan dalam :

  a) Pelanggaran

  Pelanggaran adalah tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan (culpoos) artinya bahwa tindak pidana itu dilakukan tidak dengan sengaja, melainkan terjadi karena pelakunya alpa, kurang memerhatikan keadaan atau khilaf (pasal 38 KUP, dan pasal 24 UU PBB. UU No. 12 Tahun 1994).

  b) Kejahatan

  Kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (doleus) dan yang merugikan oranglain atau masyarakat.

  Suatu perbuatan itu termasuk “pelanggaran” atau “kejahatan” ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 38 dan 39 UU No. 28 Tahun 2007. Sanksi tindak pidana “kejahatan” adalah lebih dari sanksi “pelanggaran”. Sanksi pidana untuk tindak pidana dibidang perpajakan dalam Undang-undang Perpajakan tidak ada yang berupa hukuman mati atau hukuman seumur hidup, tetapi hanya hukuman penjara yang tidak lebih dari 6 (enam) tahun. Perlu diperhatikan bahwa ketentuan hukum pidana umum yang tercantum dalam pasal 1 sampai dengan 85 berlaku juga untuk fakta tindak pidana yang diatur dalam UU lain (seperti UU Pajak, Bea dan Cukai, dan Imgrasi).

                                                               23 Muhammad Djafar Saidi, Opcit, hal. 2

  Dengan demikian, ketentuan (perumusan dan sanksi) tentang percobaan (poging Pasal 53-54 KUHP) turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum (medeplichtig, deelneming, Pasal 55-62 KUHP), tentang gabungan perbuatan yang dapat dihukum (samenloop starfbare feiten Pasal 63 KUHP dan seterusnya.),

  24 berlaku juga untuk tindak pidana yang diatur dalam undang-undang perpajakan.

3. Sanksi Pidana Bersyarat

  Muladi mengemukakan bahwa pidana bersyarat adalah suatu pidana, dimana terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat merupakan

  25 penundaan terhadap pelaksanaan pidana.

  Sanksi pidana bersyarat dan bentuk-bentuk pemidanaan lain yang bersifat non-institusional merupakan hasil perkembangan yang sangat menonjol di dalam administrasi peradilan pidana. Perkembangan ini seharusnya mendapatkan tanggapan yang responsif dari perundang-undangan, dalam bentuk pelembagaan sanksi pidana bersyarat dalam peraturan-peraturan tentang standar pelaksanaan pidana bersyarat, sesuai dengan kondisi perkembangan zaman, berdasarkan pendekatan teoritis dan praktis. Hal ini berarti bahwa harus selalu dihindari semaksimal mungkin pidana perampasan kemerdekaan yang secara tidak alamiah

                                                               24 25 T.N. Syamsah, Opcit, hal. 27-30 Marlina, Hukum Penitensir (Bandung, PT. Reflika Aditama. 2011) hal. 135 mengisolasi narapidana dari masyarakat yang terbukti akan berakibat fatal, baik

  26 bagi dirinya maupun bagi masyarakat.

  Pengaruh pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan berupa perlindungan masyarakat terlihat pada tujuan negatif pidana bersyarat, yakni untuk menyelamatkan terpidana dari penderitaan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan segala akibatnya. Alasan ini sangat penting bilamana benar-benar tidak perlu dikhawatirkan bahwa yang bersalah akan mengulangi suatu tindak pidana yang agak berat. Dengan menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan, maka masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat, dengan

  27 masyarakat, yang secara fakultatif dapat dbantu oleh lembaga kemasyarakatan.

  Pidana bersyarat dalam hukum pidana Indonesia merupakan salah satu alternatif yang sangat penting dari pidana perampasan kemerdekaan, karena penerapan pidana bersyarat mengandung beberapa keutungan, yakni : a.

  Memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di dalam masyarakat.

  b.

  Memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan sehari-hari sebagai manusia, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

  c.

  Mencegah terjadinya stigma.

  d.

  Memberikan kesempatan bagi terpidana untuk berpartisipasi dalam pekerjaan- pekerjaan, yang secara ekonomis menguntungkan masyarakat dan keluarganya.

                                                               26 27 Muladi, Opcit.hal. 191 Ibid, hal. 230

  e.

  Biaya efektif lebih murah dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan.

  f.

  Dengan pembinaan diluar lembaga, maka para petugas Pembina dapat menggunakan segala fasilitas yang ada dimasyarakat untuk mengadakan

  28 rehabilitasi terpidana.

  Fungsi-fungsi pemidanaan berupa pencegahan umum dan pengimbalan hanya dapat terpenuhi, apabila tindak pidana terasa begitu berat, sehingga pidana

  29 dapat ditentukan sebagian bersyarat dan tidak bersyarat.

  Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai KUHP menayatakan, bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan tidak dapat dikenakan pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan. Dalam menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin

  30 bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh terpidana.

  Syarat umum daripada pidana bersyarat yakni, terpidana bersyarat tidak boleh melakukan pelanggaran hukum selama masa percobaan. Disamping itu pengadilan dapat membebankan syarat-syarat khusus yang berkaitan dengan keadaan masing-

                                                               28 29 Ibid, hal. 236 30 Ibid, hal. 238 Marlina, Opcit, hal. 142 masing perkara. Adapun syarat-syarat khusus ini adalah bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek daripada masa percobaannya harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Disamping itu juga dapat pula ditetapkan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaannya. Adapun syarat yang dijatuhkan oleh pengadilan tersebut diarahkan untuk membantu terpidana bersyarat menaati hukum, dalam kerangka rehabilitasi dan tidak terlalu membatasi kemerdekaannya aatau bertentangan dengan kebebasannya beragama dan berpolitik, dan juga

  31 persyaratan tersebut tidak boleh terlalu samar-amar sehingga tidak jelas.

  Pidana bersyarat secara otomatis berhenti dengan berhasilnya terpidana pengadilan dengan mengeluarkan surat keterangan tentang penghentian tersebut, dan sebuah turunan surat keterangan tersebut harus diberikan kepada berkas terpidana bersyarat. Pengadilan yang menjatuhkan pidana bersyarat memiliki wewenang untuk menghentikan pidana bersyarat setiap saat, wewenang yang dilakukan mendahului jangka waktu berakhirnya pidana bersyarat, sebagaimana yang telah ditentukan dalam keputusan pengadilan ini harus didasarkan atas kenyataan bahwa terpidana bersyarat telah dapat melakukan penyesuaian dengan baik dan bahwa pengawasan serta pengenaan syarat-syarat lain tidak lagi

  32 diperlukan.

                                                               31 32 Muladi, Opcit, hal. 249-250 Ibid, hal. 251

G. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

  Penelitian dalam penulisan skripsi ini diarahkan kepada penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan penerapan pidana pidana bersyarat dalam tindak pidana perpajakan dengan menelaah Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 atas nama terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui sebagai Tax Manager Asian Agri Group dan terdaftar sebagai pegawai di PT. Inti Indosawit Subur.

  Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang

  33 dianggap pantas.

  Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normative bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi

  34 focus penelitian.

                                                               33 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2004) hal. 118 34 Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika

keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara

kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini

adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah- kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, Teori dan metodelogi penelitian hukum normative, Malang, Bayumedia Publishing, 2006, hal.321

2. Sumber Data

  Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka (data sekunder).

  35 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja.

  36 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.

  37

  a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari; 1.

  Norma Kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945; 2. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang

  Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah di ubah dengan Perubahan Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000, dan telah di ubah dan menjadi Perubahan Terakhir Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009; 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

  Penghasilan sebagaimana telah di ubah dan terakhir dengan Undang- undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan; 5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 Tentang pajak

  Pertambahan Nilai Barang dan Jasadan Pajak Penjualan Atas Barang

                                                               35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2009) hal. 12 36 Amiruddin dan Zainal Asikin, Opcit, hal. 31 37 Ibid, hal. 118

  Mewah, sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir menjadi Undang- undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Pajak Pertambahan 1984; 6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak

  Daerah dan Retribusi Daerah; 7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan

  Penyelesaian Sengketa Pajak; 8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang

  Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung awab Keuangan Negara; 9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang 10.

  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001; 11. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1998 tentang Hukum

  Acara Pidana; 12. Kitab Undang-undang Hukum Pidana; 13. Putusan Mahkamah Agung No. 2239 K/Pid.Sus/2012 Tanggal 18 Desember 2012 atas nama terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui.

14. Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

  b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya;

1. Buku-buku yang terkait dengan hukum; 2.

  Artikel di jurnal hukum; 3. Komentar-komentar atas putusan Mahkamah Agung; 4. Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum; 5. Karya dari kalangan praktisi hukum, maupun akademisi yang yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

  c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hokum primer dan sekunder, diantaranya;

1. Kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia; 2.

  Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini; Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana perpajakan.

3. Pengumpulan Data

  Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.

  38 Studi kepustakaan

  yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan tindak pidana perpajakan beserta penerapan hukumnya, termasuk juga bahan- bahan lainnya yang ada kaitannt\ya dan dibahas dalam skripsi ini.

                                                               38 Ibid, hal. 63

4. Analisis Data

  Patton mengemukakan, analisis data adalah proses mengatur urutan data,

  39 mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.

  Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari

  40

  berbagai sumber. Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode pendekatan kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.

   Sistematika Penulisan.

  Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4 (empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut:

Dokumen yang terkait

Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)

2 88 115

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 12

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Di Indonesia(Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/Pn.Jkt.Tim)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 1 26