BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu fenomena sosial yang dinamakan korupsi merupakan realitas perilaku

  manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang serta membahayakan masyarakat dan negara. Perilaku tersebut dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat, bahkan termasuk oleh para koruptor itu sendiri sesuai dengan ungkapan “koruptor teriak koruptor”. Pencelaan masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis dimanifestasikan dalam rumusan hukum sebagai suatu bentuk tindak pidana

   yang perlu didekati secara khusus dan diancam dengan pidana yang cukup berat.

  Korupsi secara etimologisberasal dari bahasa latin yakni corruptio atau

  corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari

  bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris :coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda : corruptie atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Secara harafiahkorupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat

   disuap, tidak bermoral,penyimpangan dari kesucian.

  Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku 1 Elwi Danil, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1. 2 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.4.

  tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya

  

  dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga model. Pertama, Corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi. Apabila tidak korupsi atau melakukan penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.Kedua corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena keserakahan/ketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku krupsi tersebut cukup, tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi.Ketiga, corruption by chance, artinya

   korupsi terjadi karena adanya kesempatan.

  Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, defenisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan dan demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara defenitif diatur dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20

   Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Fenomena korupsi sudah sejak lama ada tetapi baru menarik perhatian dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua, dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.Korupsi juga sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya yang menunjukkan korupsi sudah ada pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti 3 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, 2010,hal.1. 4 5 Ibid.

  

Suyatno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hal. 16. oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.Setelah perang dunia kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang

   berkembang.

  Korupsi menyebabkan kehancuran lapisan sosial dan hajat hidup orangbanyak serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia.Korupsi semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terusmeningkat dari tahun ke tahun.Korpusi semakin terpola dan tersistematis sertaterorganisir, lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintasbatas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa

   (extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.

  Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatu bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat bahkan tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma sosial lainnya. Tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum pidana tergolong sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya baik terhadap masyarakat, maupun terhadap bangsa dan negara. Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan 6 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Solusi Publishing, Jakarta, 2010, hal.5. 7 Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal.1.

  pidana. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekedar

   kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.

  Tindak pidana korupsi disamping dapat merusak mental dan moral bangsa, juga dapat merusak sendi-sendi pemerintahan suatu negara dan akibat paling buruk yang dapat ditimbulkan oleh perilaku koruptif adalah kehancuran eksistensi pemerintahan negara sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman Republik Tiongkok di bawah pemerintahan rezim Kuo Min Tang setelah perang dunia II. Jatuhnya pemerintahan Republik Tiongkok banyak disebabkan karena merajalelanya korupsi di

   kalangan pejabat pemerintahan, sehingga rezim itu disingkirkan.

  Korupsi di Indonesia sudah tergolong extra ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluh lantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan nasional.Korupsi dalam pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial.Pola pemberantasannya harus dilaksanakan secara konprehensif dan bersama-sama oleh

   lembaga penegak hukum, lembaga masyarakat dan individu anggota masyarakat.

  8 9 Elwi Danil, Op.Cit., hal. 70. 10 Ibid ., hal. 71.

  Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Implikasi Putusan , Sinar Grafika, Jakarta, 2010. hal. 12.

  Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU-IV/2006)

   Korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain : 1.

  Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.

  2. Korupsi dapat terjadi karena latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.

  3. Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang

   akan mudah melakukan penggelapan keuangan.

  4. Penyebab korupsi ialah modernisasi, korupsi lebih banyak dijumpai pada masyarakat/negara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi yang cepat.

  5. Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi.

  Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dijumpai disetiap bidang kehidupan masyarakat baik dibidang ekonomi, hukum, sosial budaya maupun politik.Fakta adanya sejarah membuktikan bahwa hampir setiap negara dihadapkan pada masalah korupsi.Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang saat ini dirasakan semakin pesat perkembangannya seiring dengan semakin maju

  11 12 Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 12.

  ., hal. 18.

  Ibid pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat pula kebutuhan dan

   mendorong untuk melakukan korupsi yang menimbulkan ketidaksejahteraan.

  Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem pemerintahan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena masih membiarkan adanya praktek-praktek pemerintahan di mana kekuasaan dijalankan secara sewenang-wenang dan tidak berpihak pada rakyat. Perlu penjabaran lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar-benar dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktek-praktek pemerintahan yang terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan masyarakat secara luas, yang titik akhirnya adalah kesejahteraan secara nyata bagi masyarakat luas dengan berpedoman pada prinsip-prinsip keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan

   yang maha esa.

  Praktik tindak pidana korupsi bisa berlangsung dimanapun, dilembaga negara, lembaga privat, hingga dikehidupan sehari-hari. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi memerlukan penanganan dan penanggulangan secara terpadu dengan memfungsikan sistem hukum yang ada misalnya perangkat perundang-undangan dan

   kelembagaan hukum di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). 13 14 Evi Hartanti, Tindak pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 24.

  Ridwan, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume1 No.1, 2009, hal. 74. 15 Barda Nawawi Arief, Pokok-pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-undang

Pemberantasan Korupsi , Puerwakarto, 1999, hal. 29. (bahwa dalam rangka pemberantasan dan

penanggulangan korupsi kebijakan yang harus diambil bukanlah kebijakan yang pragmentaris, parsial dan represif saja, tetapi harus diarahkan pada upaya meniadakan atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya korupsi diperlukan pendekatan/strategi yang integral).

  Keseriusan pemerintah untuk memberantas dan menanggulangi tindak pidana korupsi dapat dilihat dilahirkannya UUPTPK yang membawa suatu perubahan yang memberikan kepastian hukum, menghilangkan berbagai penafsiran/interpretasi dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Undang-undang ini

  

  mengklasifikasi perbuatan yang dapat dikatakan tindak pidana korupsi. Klasifikasi tindak pidana korupsi diartikan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi pada semua sektor terkait keuangan negara maupun perekonomian negara termasuk didalamnyatindak pidana korupsi pada program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan, sehingga berpeluang besar untuk

   dijadikan lahan korupsi di Indonesia.

  Kasus tindak pidana korupsi di bidang konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan dapat dideskripsikan dalam penanganan kasus yang dilakukan oleh criminal justice system untuk menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan (fault

  

liability, liability based on fault principle ) sampai dengan pemidanaan terhadap

  pelaku yakni tindak pidana korupsi pada pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur pedesaan dengan modus operandi menyediakan bahan dan peralatan yang dibutuhkan Legiman dalam pembangunan perkerasan jalan Desa dan membuat bon-bon fakur pemakaian bahan material. Adapun deskripsi terjadinya tindak pidana korupsi dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut : 16 Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkualitas Indonesia, UNDIP, Semarang, 1988, hal. 22-23. 17 Dokumen Perkara Bonar (Putusan No. 709/ PID. B/2009/ PN. SIM)

  Sesuai kesepakatan dalam dokumen kontrak (perjanjian kerjasama operasioanal) No.84/PKPS BBM-IP/2005 tanggal 14 September 2005 antara saksi Legiman sebagai ketua organisasi masyarakat setempat Nagori Sidotani (selaku pihak ke-II) yang melakukan kerjasama operasional dengan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita direktur CV Bona Lestari pengusaha pengadaan bahan/peralatan (selaku pihak ke-III). Bonar selaku direktur CV Bona Lestrari melakukan penyediaan bahan dan peralatan yang dibutuhkan oleh saksi Legiman di alokasi pekerjaan seperti : pipa air minum, mesin pompa, batu pecah, batu padas, batu bata, semen, pasir, besi beton, aspal, seng, kayu, mesin gilas, dumptruk, graider, excavator, traktor, buldozer, dan material beserta peralatan lain yang dibutuhkan.

  Bersamaan dengan menyerahkan segala dokumen pendukung/bukti pengadaan atau penyediaan bahan/peralatan dari pihak ke-II serta pembayaran harga bahan/peralatan didasarkan kepada berita acara pemeriksaan atau bukti serah terima bahan/peralatan dan pembayarannya bersumber dari Dana PKPS BBM IP Desa/Nagori Sidotani dengan jangka waktu pelaksanaan pengadaan bahan/peralatan sejak tanggal 12 September 2005 sampai dengan 12 Desember 2005.

  Berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) No. 84/PKPS BBM-IP/2005 tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita meminta buku tabungan Dana PKPS BBM IP Desa/Nagori Sidotani kepada saksi Legiman sebagai jaminan.

  Selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita mendahulukan penyediaan bahan- bahan, material yang diperlukan serta membayarkan upah pekerja dalam pelaksanaan kegiatan Pembangunan.

  Pembangunan di Nagori Sidotani dengan dana yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Infrastruktur Pedesaan (PKPS BBM-IP) T.A 2005 dengan cara melibatkan warga masyakarat Nagori Sidotani dengan dikoordinir oleh para Gamot/Kepala Dusun masing-masing Huta di Nagori Sidotani (swakelola).Setelah penandatanganan surat Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) tersebut terdakwa Bonarlangsung mengantarkan bahan material dimasing-masing huta sesuai dengan peta lokasi kegiatan pembangunan perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani dengan membuat tanda terima penyerahan bahan material dari CV Bona Lestari dengan para Gamot masing-masing huta.

  Bonar selaku direktur CV Bona Lestari mengeluarkan beberapa faktur-faktur dan tanda terima barang tanpa diketahui oleh saksi Legiman dan tercatat dalam buku catatan harian tentang jumlah bahan material yang telah diterima dilokasi kegiatan dalam pembangunan perkerasan jalan Desa/Nagori Sidotani tersebut. Bonar membuat bon-bon faktur pemakaian bahan material berupa batu padas, pasir dan semen seolah-olah bon-bon faktur tersebut telah dipergunakan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan hal ini bertentangan dengan surat perjanjian rincian-rincian bon- bon faktur tersebut.

  Berdasarkan perbuatan terdakwa Bonar Zeitsel Ambarita memperkaya diri sendiri dengan cara mengeluarkan bon-bon faktur yang tidak sesuai dengan keadaan yang terpasang dilapangan mengakibatkan terjadi kerugian Negara sebesar Rp. 106.458.556,46 (seratus enam juta empat ratus lima puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen). Kerugian tersebut sesuai dengan hasil perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera Utara yang dituangkan dalam surat No. R-3280/PW02/5/2007, tanggal 30 Oktober 2007 tentang laporan hasil perhitungan kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi kegiatan PKPS BBM-IP di Kabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2005.

  Kerugian tersebut terjadi karena di dalam kegiatan pembangunan di Nagori Sidotani tersebut ditemukan adanya kekurangan fisik lapangan yang tidak dikerjakan sebesar Rp. 7.148.566,46 (tujuh juta seratus empat puluh delapan ribu lima ratus enam puluh enam rupiah koma empat puluh enam sen) dan adanya kelebihan pemakaian bahan sebesar Rp. 99.310.000,00 (sembilan puluh sembilan juta tiga ratus sepuluh ribu rupiah).

  Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID.B/2009/ PN.SIM terdakwa Bonar terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan subsidair yakni korupsi secara bersama sebagaimana diancam dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan terhadap putusan Pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Simalungun tersebut dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT- MDNdan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.

  Berdasarkan fakta-fakta persidangan menyangkut dakwaan primair dinyatakan oleh Majelis Hakim tidak terbukti sebagaimana diancam dengan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UUPTPK Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Alasan pertimbangan Majelis Hakim yaitu unsur memperkaya diri sendiri atau oranga lain atau suatu korporasi tidak terpenuhi, walaupun menurut jaksa penuntut umum unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain telah terpenuhi sehingga seharusnya dakwaan primair yang terbukti bukan dakwaan subsidair.

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas, akan dikaji mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011).

  B. Perumusan Masalah

  Permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dirumuskan sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi menurut Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimanatindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No. 709/ PID. B/2009/ PN.

  SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011 ?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu : 1. Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo.

  Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Untuk mengkaji dan menganalisis tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi dari Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.

  709/ PID. B/2009/ PN. SIM, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 50/PID/2011/PT-MDN, dan Putusan MA No. 2093 K/Pid.Sus/2011.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan suatu manfaat bagi pembaca dan orang lain. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :

  1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbang saran dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya terutama mengenai masalah program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam penyelenggaraan literatur dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan kepustakaan serta perkembangan ilmu hukum pidana khusus tentang korupsi dalam program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan.

  2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

  Disamping itu tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat pada umumnya, agar mengetahui dan memahami prosedur hukum yang berlaku dalam program konpensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak infrastruktur perdesaan.

E. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Beberapa penelitian yang mengkaji tentang Pertanggungjawaban Tindak Pidana, diantaranya yaitu : 1.

  Yushfi Munif Nasution, 2008, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan.

2. Nurhafifah, 2006, Magister Ilmu Hukum, Pertanggungjawaban Pidana Oleh Pengurus Yayasan Terhadap Penyalahgunaan Dana Kekayaan Yayasan.

  Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru, keasliannya juga dapat dipertanggungjawabkan karena dilakukan dengan kejujuran, rasional, dan objektif.

F. Kerangka Teoretis Dan Konseptual

  1. Kerangka Teoretis

  Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan

  

  teoretis. Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang berguna untuk mencari pemecahan suatu masalah. Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa huku m yang terjadi. Teori huku m dalam sebuah penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam

  

  masalah penelitian. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1. Teori pertanggungjawaban pidana Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai toereken-

  

baarheid, criminal responsibility, criminal liability .Pertanggungjawaban pidana

  disini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang

   dilakukannya.

  Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang

  

  akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan. Pertanggungjawaban 18 19 M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80.

  Mukti Fajar Nur Dewanta dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 16. 20 S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem, Jakarta, 1996, hal. 245. 21 Romli Atmasasmita, Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Yayasan LBH, Jakarta, 1989, hal. 79. atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi falsafah hukum, seorang filososf besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan bahwa I … use simple word

  

“liability” for the situation where by one may exact legally and other is legally

subjected to the exaction . Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah

  sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah

   nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

  Adanya tindak pidana pada dasarnya adalah asas legalitas “nullum delectum

  

sine previa lege poenali” sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas

  kesalahan. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah kepada orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhkan, tergantung pada soal apakah dalam melakukan

   perbuatannya itu sipelaku juga mempunyai kesalahan.

  Hukum pidana Indonesia dikenal istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan (geen straf zonder schuld) yang merupakan dasar dari pertanggungjawaban hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana. Istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan tersebut memiliki ratio hukum bahwa barang siapa yang melakukan kesalahan di dalam hukum pidanawajib mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut di depan

  22 23 Ibid. hal. 35.

  Ibid, hukum dengan ancaman penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

   tersebut.

  Tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut adalah subjek hukum yang dapat berupa orang perseorangan dan/atau kelompok orang baik yang tergabung dalam suatu organisasi tertentu yang bertindak sebagai pengurus maupun pimpinan ataupun kelompok orang yang tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu.

  Tindak pidana dalam hal ini dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, maka pertanggungjawaban sanksi pidananya dibebankan kepada orang dalam organisasi perusahaan tersebut yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maupun

   orang yang bertindak sebagai pemimpin didalam organisasi perusahaan tersebut.

  Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan dapat pula dibebankan kepada orang yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana dan juga pemimpin dari organisasi perusahaan tersebut secara bersama-sama. Berbagai perumusan tindak pidana dalam KUHP selalu tercantum unsur sengaja (dolus) dan unsur kealpaan/kelalaian (culpa) yang mengandung arti bahwa pertanggungjawaban pidan dalam KUHP menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau asas culpabilitas. 24 25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 171. 26 Ibid.

  Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hal 111.

  Penangggulangan Kejahatan,

2. Teori sistem pembuktian

  Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti

   yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.

  Pembuktian dalam hukum pidana merupakan suatu sistem yang berada dalam kelompok hukum pidana formal (hukum acara). Sistem hukum pembuktian ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat-alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu penyelesaian dengan perbuatan materil yang dilakukan oleh terdakwa untuk pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya

  

  terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan pembuktian negatif berdasarkan peraturan perundang-undangan (negatief wettelijk overtuiging). Sistem pembuktian ini berlandaskan hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan hakim dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-

   undang.

  27 Setyo Utomo, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Sofmedia, Medan, 2014, hal. 154. 28 29 Ibid ., hal. 155.

  Lihat Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Pasal 184 KUHAP: Alat bukti yang sah adalah sebagai berikut :1. Keterangan saksi, 2.Keterangan ahli, 3. Surat, 4. Petunjuk, 5. Keterangan terdakwa. Keyakinan hakim ini harus didasari dengan minimum 2 alat bukti sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

   melakukannya”.

  Hukum pembuktian perkara pidana dalam KUHAP, pihak yang wajib membuktikan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan berada pada pihak jaksa penuntut umum. Pihak terdakwa pasif, dalam arti untuk menolak dakwaan dan membela diri adalah hak dasar yang dimilikinya.

  Membuktikan tentang kesahalan terdakwa bagi jaksa sifatnya imperatif, namun pembuktian tersebut bukanlah bersifat final.

  Hukum pembuktian korupsi khususnya mengenai pembebanan pembuktian ada perbedaan dengan ketentuan pada KUHAP, yakni dalam hal-hal tertentu dan tindak pidana tertentu terdapat penyimpangan, beban pembuktian tidak mutlak pada jaksa penuntut umum tetapi ada pada terdakwa atau kedua belah pihak yakni jaksa penuntut umum dan terdakwa secara berlawanan (sistem pembuktian semi terbalik). Jaksa membuktikan terdakwa bersalah, artinya secara positif sedangkan terdakwa atau penasihat hukum membuktikan tidak bersalah, atau secara negatif.Membuktikan tindak pidana korupsi selain menggunakan sistem semi terbalik, sistem pembebanan 30 ., Pasal 183.

  Ibid biasa pada jaksa penuntut umum juga tetap berlaku.Maksud sistem biasa adalah

   pembebanan pembuktian pada jaksa penuntut umum, seperti pada KUHAP.

  Hukum pembuktian tindak pidana korupsi ternyata sistem pembuktiannya menentukan tidak melulu pada jaksa penuntut umum, tetapi dalam hal didakwa selain tindak pidana korupsi juga harta benda terdakwa, maka beban pembuktian juga pada terdakwa, artinya pada kedua pihak.Pembuktian ini disebut sebagai sistem semi terbalik atau disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik. Pembebanan pembuktian pada sistem semi terbalik atau pembuktian berimbang terbalik, adalah pembuktian in casu membuktikan kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya, beban pembuktiannya berada pada terdakwa atau penasihat hukum dan sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan, maka keadaan tidak berhasil membuktikan itu akan digunakan oleh jaksa penuntut umum untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak

   pidana korupsi.

2. Kerangka Konseptual

  Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan 31 Adami Chazawi,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni, Bandung, 2008, hal. 9. 32 .

  Ibid

  

  analisis. Konsep adalah defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari

   hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.

  Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan defenisi operasional (operational

  

definition). Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan

   pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

  Berdasarkan landasan konsepsional tersebut maka agar terdapat persamaan persepsi mengenai defenisi atau pengertian yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan beberapa defenisi operasional sebagai berikut : a.

  Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana larangan tersebut disertai sanksi pidana tertentu bagi barang siapa yang

   melanggar aturan tersebut.

  b.

  Pertanggungjawaban Pidanaadalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak

  33 34 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 307.

  Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001 hal.

  79. 35 Lexy J. Moelong, Metode penelitian Kuantitatif ,Remaja Rosdakarya,Bandung, 2002, hal.

  101. 36 Evi Hartanti, Op.Cit.,hal. 7. hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah

   nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

  c.

  Tindak Pidana Korupsiadalah perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain, yang

   mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

  d.

  Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban . tersebut e. Kerugian negara/daerahadalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik

   sengaja maupun lalai.

  f.

  Konpensasimerupakan segala sesuatu yang diterima dapat berupa fisik maupun non fisik dan harus dihitung dan diberikan kepada seseorang yang umumnya merupakan obyek yang dikecualikan daripendapatan. Kompensasi 37 38 Ibid.

  Martiman Prodjohamidjojo, “Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik Korupsi”, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.14. 39 40 Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

  Pasal 1 angka merupakan hal ya dan dapat dipertanggungjawabkan serta

  

  g.

  Infrastrukturmerupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Pengertian ini merujuk pada infrastruktur sebagai suatu sistem.

  Infrastruktur dalam sebuah sistem adalah bagian-bagian berupa sarana dan prasarana (jaringan) yang tidak terpisahkan satu sama lain. Infrastruktur sendiri dalam sebuah sistem menopang sistem sosial dan sistem ekonomi sekaligus menjadi penghubung dengan sistem lingkungan. Ketersediaan infrastruktur

  memberikan dampak terhadap sistem sosial dan sistem ekonomi yang ada di

   masyarakat.

  h.

  Pedesaandidefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,

  

  pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Meskipun pendekatan peraturan umumnya menggunakan pendekatan administratif, pengertian dalam undang- undang tersebut merujuk pada definisi secara fungsional. Sehingga, dalam 41 T. Hani Handoko,Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia, Edisi 2, BPFE- Yogyakarta, Yogyakarta, 1987, hal. 7. 43 Di akses tanggal 08 Juni 2014.

  Undang-undang No. 26 Tahun 2007, Pasal 1 ( angka 23) tentang Penataan Ruang. lingkungan Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sendiri, dikenal istilah perkotaan kabupaten meskipun bentuk struktur pemerintahannya menggunakan desa.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan. Penelitian yuridis normatif merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan

   kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

  Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktik dari hasil penelitian di lapangan, bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat, termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum

   positif yang menyangkut permasalahan di atas.

  44 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,UMM Press, Malang, 2007, hal. 57. 45 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63.

2. Sumber Bahan Hukum

  Penelitian hukum normatif menitik beratkan pada studi kepustakaan yang berdasarkan pada bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder terdiri dari : a.

  Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

  

  artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Putusan Nomor: 709/ Pid. B/2009/PN. Sim, Putusan PT No. 50/PID/2011/PT-Mdn, Putusan MA No. 2093 K/Pid. Sus/2011, dan peraturan-peraturan lain yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi.

  b.

  Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan

  

  penjelasan mengenai bahan hukum primer , yaitu terdiri dari buku-buku teks yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi, hasil-hasil seminar atau karya ilmiah, dokumen pribadi, dan pendapat lain dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek penelitian yang ditelaah.

  c.

  Bahan hukum tersier merupakan bahan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

  46 47 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 141.

  Ibid .,hal. 142. seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan internet yang relevan dengan penelitian ini.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan studi dokumen yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan (library research) yang berupa bahan hukum sekunder. Studi kepustakaan digunakan untuk menggumpulkan bahan-bahan hukum melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, dokumen resmi dan hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

  4. Analisis Data

  Analisis data adalah proses penyederhanaandata ke dalam bentuk yang lebih

  

  mudah dibaca dan diinterprestasikan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

   orang dan perilaku yang diamati.

  Data yang diperoleh selanjutnyaakan dianalisis secara deduktif. Prosedur deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui 48 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta2008, hal. 263. 49 Lexy. J. Moleong, Op. Cit., hal. 3.

  

  dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus , sehingga pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijawab.

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 12

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Di Indonesia(Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/Pn.Jkt.Tim)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

0 1 33

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

0 0 52