BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan rasa aman,

  tenteram dan terlindungi. Terutama segala yang berkaitan dengan hubungan atau interaksi terhadap sesama, sekitar dan komunitasnya. Setiap manusia memiliki kepentingan namun jika kepentingan itu salah sasaran maka dapat merugikan atau bahkan membahayakan orang lain. Negara sebagai payung tempat masyarakat berteduh wajib memberikan solusi dan melindungi segala kepentingan masyarakat agar tidak mengganggu dan saling merugikan antara yang satu dengan yang lainnya.

  Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana telah dinyatakan dengan tegas dalam penjelasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

  

  (rechstaat), hendaknya dapat melindungi warga negaranya berdasarkan tujuan- tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea ke-4 (empat) Pembukaan Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.

  Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai,

  Moh. Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus,

  

  dan menjaga eksistensinya di dunia telah diakui. Pengertian tersebut didasarkan pada penglihatan hukum dalam arti kata materiil, sedangkan dalam arti kata formil, hukum adalah kehendak manusia ciptaan manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk tingkah laku tentang apa yang boleh dilakukan dan tentang apa yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dianjurkan untuk

   dilakukan.

  Perlindungan hukum dirasakan begitu pentingnya dewasa ini karena semakin maraknya permasalahan hukum, khususnya terjadinya tindak pidana.

  Tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan tata kehidupan sosial. Perkembangan tindak pidana menimbulkan dampak yang begitu besar kepada kehidupan masyarakat. Berbagai macam kualifikasi tindak pidana yang terjadi tengah- tengah masyarakat. Salah satu tindak pidana yang tidak jarang ditemukan adalah kejahatan terhadap ketertiban umum sebagaimana diatur dalam KUHP.

  Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan tindak kejahatan yang meresahkan dan mengganggu ketertiban umum dalam masyarakat. Hal ini tampak dari banyaknya kasus-kasus kejahatan yang diberitakan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Salah satu fenomena bentuk kejahatan yang sering terjadi seperti tawuran pelajar, pengeroyokan, pembegalan, kerusuhan dan sebagainya.

  Kerusuhan yang pernah terjadi ialah demonstrasi menuntut pemekaran daertah Sumatera Utara menjadi provinsi Tapanuli pada hari Selasa tanggal 3 Februari 2009 di Medan, yang berkembang menjadi kerusuhan, pemukulan 3 Jhonny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, (Bayumedia Publishing : Malang, 2005), hlm. 1. terhadap ketua DPRD Abd. Azis Angkat yang mengakibatkan kematiannya, perusakan gedung DPRD dan perabotnya. Kasus ini merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Pasal 170 KUHP, di

  

  samping delik lain yang dapat diterapkan sesuai dengan fakta di lapangan. Tidak hanya itu, selama kurun waktu 2012 hingga awal 2013 tercatat ada 10 kasus tindak kejahatan baik penganiayaan maupun pengeroyokan yang melibatka

  

atau begal yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Salah satu

  kasusnya terjadi pada tanggal 13 April 2012 pukul 01.35 WIB di Jalan RE Martadinata, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pelaku segerombolan pengendara motor dengan kurang lebih 200 orang dengan membawa parang, kayu, dan lain- lain datang dari arah Kemayoran ke RE Martadinata - Permai dan melintas depan Polsek Metro Tanjung Priok, selanjutnya ke Jalan Warakas I Gang 21 Belok kanan masuk ke Kampung Bahari, selanjutnya melintasi rel kereta api dan masuk ke Jalan RE Martadinata. Ada tiga korban, Nahrowi luka tusuk dibagian pinggang kanan dan kiri, Ramdani luka sobek pada tangan kanan dan kiri, dan Tuherman

   .

  luka bengkak pada muka akibat pukulan Kasus kejahatan yang lain adalah kejahatan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama di muka umum oleh beberapa orang di Lubuk Pakam yang menyebabkan seseorang luka parah karena adanya dendam belaka. Perbuatan pidana yang dilakukan tersebut dalam penerapan hukumnya menyatakan bahwa pelaku dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu disinilah dibutuhkan pelaksanaan dan penegakan hukum secara tegas, agar dapat memberantas tindak pidana yang meresahkan masyarakat 5 Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, (Sinar Grafika : Jakarta, 2009), hlm. 7.

   Pelaksanaan hukum merupakan salah satu cara untuk menciptakan tata tertib, keamanan, ketentraman, dalam masyarakat. Pelaksanaan hukum ini, dapat melalui usaha penegakan, maupun usaha pemberantasan atau penindakan karena terjadinya pelanggaran hukum, dengan kata lain melalui upaya represif maupun preventif. Secara umum, hukum pidana berfungsi mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.

  Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum sebagaimana negara Indonesia adalah untuk mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu cara dalam mencapai tujuan tersebut adalah dengan menempatkan masalah hukum pada tempatnya, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Artinya, hukum dijadikan kaidah yang disepakati bersama sebagai alat untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat. Oleh karena itu harus ditaati bersama oleh seluruh lapisan masyarakat, terlebih oleh aparatur penegak hukum, dengan cara menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana mestinya.

  Pengadilan merupakan salah satu tempat mencari keadilan dan kebenaran dari suatu permasalahan hukum yang terjadi di negara Indonesia. Badan peradilan ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam sebuah negara hukum. Sebagaimana disebutkan pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, disebutkan bahwa tujuan Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :

  “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak- tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara tepat dan jujur dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”. Hukum pidana di Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau disebut sebagai KUHP telah memuat beberapa Pasal mengenai tindak pidana dan sanksi bagi para pelaku kejahatan maupun pelanggar terutama terhadap ketertiban umum. Ini semua tentu demi tercapainya masyarakat yang sejahtera dan merdeka, dalam arti bebas melaksanakan segala kepentingan namun tetap dalam koridor Undang-undang atau dengan kata lain tidak salah jalan.

  Hukum Acara Pidana juga berperan dalam mengatur dan menentukan bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan dari hukum acara pidana sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Jadi, hukum acara pidana ini memberikan pembatasan kekuasaan badan-badan pemerintah tersebut sehingga tidak terjadi kesewenangan, karena di lain pihak kekuasaan badan-badan tersebut juga merupakan jaminan bagi berlakunya hukum, sehingga hak asasi setiap warga negara terjamin.

  Upaya penegakan hukum ini, harus didukung dengan adanya kerjasama antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sesuai dengan tugasnya masing- masing sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang- undang. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memiliki kredibilitas dan moralitas yang tinggi dalam mewujudkan cita- cita hukum yang sebenarnya, supaya kiranya keadilan dapat terwujud. Dalam mengahadapi tugasnya, aparat penegak hukum diharapkan mampu melaksanakan tugas sebaik- baiknya. Tingkah laku penegak hukum dianggap menjadi panutan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aparat penegak hukum berbuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya yang mengakibatkan kerugian warga masyarakat, akan menurunkan citra dan wibawa penegak hukum itu sendiri.

  Hakim memegang peranan penting dalam memutus suatu perkara, karena kewajibannya menegakkan hukum di tengah- tengah masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Hakim harus selalu berpegang pada prinsip keadilan yang bebas dan tidak memihak seperti yang dituangkan dalam pasal 1 Undang- undang Nomor 4 tahun 2004 :

  “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

  Hakim harus memperhatikan keadilan berdasarkan Pancasila, yang tidak hanya didasarkan pada kodifikasi hukum saja, melainkan juga harus mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Pembuktian juga turut mempengaruhi dan menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam membuat putusannya. Unsur pembuktian menjadi unsur vital yang dijadikan bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan, apakah itu putusan bebas, pemidanaan, atau bahkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting

   dalam hukum acara pidana.

  Pertimbangan Hakim memegang peranan penting dalam memutuskan terdakwa dalam suatu perkara pidana yang membebaskan Terdakwa. Namun, 7 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), halaman 249. apakah selamanya pertimbangan Hakim tersebut sudah bisa diterima oleh terdakwa, Penuntut Umum, bahkan masyarakat? Hal ini perlu dicermati pula.

  Kemudian, setelah putusan bebas ini ditetapkan oleh Hakim, masih ada hal yang perlu diteliti, yaitu sesuai tidaknya putusan tersebut dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, karena kemungkinan itu selalu ada. Karena putusan tersebut tidak diterima oleh Penuntut Umum, maka Penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, untuk mengetahui apakah sudah benar putusan yang telah dijatuhkan sebelumnya. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut permasalahan mengenai apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim baik di Pengadilan Negeeri maupun di Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan kepada pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dan menuangkannya dalam skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana

  

Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum di dalam KUHP (Studi Putusan

Mahkamah Agung No. 1914/K/Pid/2012)” .

B. Perumusan Masalah

  Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam KUHP?

  2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 1914 K/PID/2012 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum menurut KUHP.

  2. Untuk menganalisa dan mengkaji putusan Mahkamah Agung No. 1914 K/PID/2012 mengenai penerapan sanski pidana bagi pelaku tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum atas Terdakwa bernama Jufri Antono. Penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk : 1. Manfaat Secara Teoritis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikirana secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya berkaitan dengan pengaturan- pengaturan penjatuhan hukuman tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum.

  2. Manfaat Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan penegak hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.

D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1914 K/PID/2012) berdasarkan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.

  Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis dalam mencari keterangan-keterangan yang berkaitan dengan judul baik berupa buku-buku maupun internet, peraturan perundang-undangan dan pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan pertama dan asli adanya.

E. Tinjauan Pustaka 1. Pertanggungjawaban Pidana

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

  Seseorang dapat dihukum sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat

   dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar).

  Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai

  

toerekeningsbaarheid , criminal responsibility, criminal liability ,

  pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah Jan Remmelink, Hukum Pidana, (PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2003), hlm. seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak

  

terhadap tindakan yang dilakukannya itu.

  Pertanggungjawaban pidana adalah pertangungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi

   terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.

  Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempat-tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti ‘rightfully sentenced’ tetapi juga ‘rightfully accused’. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidan. Kemudian pertangungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat- syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal

  

consequensces ) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga merupakan

  bagian dari aspek represif hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana 9 S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (Alumni Ahaem-Peteheam : Jakarta, 1996), hlm. 245.

  Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada berhubungan dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan

   konsekuensi hukum atas adanya hal itu.

b. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

  Pelaku tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan dapat dipertanggungjawabkan pidana. Sedangkan jika pelaku tidak memenuhi salah satu unsur mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dipidana. Adapun

  

  unsur-unsur pertanggungjawaban pidana pidana adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana ;

  2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab ;

  3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan ; 4. Tidak adanya alasan pemaaf.

  Ad. 1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan yang melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap melakukan perbuatan pidana. Sifat melawan hukum dari tindak pidana yang terdapat pada KUHP merumuskan delik tersebut secara tertulis dan juga tidak tertulis. Jika rumusan delik tidak mencantumkan adanya sifat melawan hukum suatu perbuatan pidana, maka unsur delik tersebut dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika pelaku perbuatan dapat membuktikan tidak adanya sifat

  

11 Ibid., hlm. 63-64.

  Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Bina Aksara : Jakarta, 1983, hlm. 71.

  Sifat melawan hukum dibedakan antara sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil, maksudnya adalah semua bagian yang tertulis dalam rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua

  

  syarat tertulis untuk dapat dipidana). Sedangkan sifat melawan hukum materil, maksudnya adalah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik

   tertentu.

  Ad. 2. Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur yang diwajibkan guna memenuhi pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, yang

  

  menjadi dasar adanya kemampuan bertanggungjawab adalah :

  1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

  2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

  KUHP tidak memberikan batasan tentang “mampu bertanggung jawab” (teorekeningsvatbaarheid). Yang ada dalam KUHP ialah sebaliknya, pengertian negatifnya yakni “tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Batasan-batasan mengenai perbuatan pidana (dader) dianggap tidak mampu bertanggungjawab

  

  menurut KUHP adalah :

  14 15 Sahetapy, Hukum Pidana, (Liberty : Yogyakarta, 2003), hlm. 39. 16 Ibid.

  Moeljatno, Op. Cit., hlm. 165. Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU

  1. Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalyaa (Pasal 44 ayat (1) KUHP) ; 2. Anak yang belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

  Dasar ketentuan KUHP tersebut di atas menyatakan bahwa pelaku perbuatan pidana (dader) tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan perbuatan pidana.

  Satochid Kartanegara mengatakan, bahwa dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsyabaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan pertanggunggjawaban adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya Satochid mengatakan, seseorang dapat

  

  dipertanggungjawabkan jika :

  a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya itu, juga akan mengerti akibatnya.

  b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.

  c. Orang itu sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat dan tata susila.

  Roeslan Saleh mengatakan dalam hal kemampuan bertanggung jawab

  

  ada 2 faktor yaitu :

  1. Akal 2. Kehendak.

  Ibid., hlm. 31. Akal atau daya pikir menentukan orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan dengan kehendak atau kemauan atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Kemudian Roeslan Saleh lebih lanjut mengatakan bahwa adanya kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Dengan akal dapat membedakan antara perbuatan yang diperoleh atau tidak diperbolehkan, sedangkan faktor kehendak bukan faktor yang menentukan mampu bertanggung jawab melainkan salah satu faktor dalam menentukan kesalahan karena faktor kehendak adalah

  

tergantung dan kelanjutan dari faktor akal.

  Ad. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan atau “schuld” merupakan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld ;actus non fasit reum nisi mens sir rea).

  Menurut Moeljatno, perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan, jika : Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihhat dari segi masyarakat dapat tercela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya

   dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian.

  Sedangkan menurut Simons sebagaimana dikutip dari bukunya Moeljatno, kesalahan adalah “keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut

  Ibid., hlm. 33. dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat

  

  tercela karena melakukan perbuatan tadi.” Pertanggungjawaban pidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alasan pemaaf atau

  verontschukdiginsgrond . Alasan pemaaf menurut teori hukum adalah alasan yang

  menghapus kesalahan. Menurut Moeljatno, kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan (alasan pemaaf), maka masih ada perbuatan pidana, tetapi orangnya tidak dipidana (tidak dapat dipertanggungjawabkan). Dampak yang terjadi akibat adanya alasan pemaaf bagi seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Menurut Andi Zainal Abidin mengemukakan sebagai berikut : “Ketidakmampuan bertanggungjawab menghapuskan kesalahan dalam

   arti luas dan oleh karena itu termasuk alasan pemaaf”.

  Ad. 4. Tidak adanya alasan pemaaf Sudarto berpendapat, alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau tidak dipidananya seseorang karena 2

  

  (dua) hal, yaitu :

  a. Meskipun perbuatan itu telah mencocoki rumusan delik, namun tidak merupakan suatu tindak pidana karena tidak bersifat melawan hukum 22 (ingat ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materil) ; 23 Ibid., hlm. 168.

  Andi Zainal Abidin, Azas-Azas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Alumni : Bandung, 1997), hlm. 223. Sudarto dan Wonosusanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum b. Meskipun perbuatannya itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, namun orangnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, karena padanya tidak ada kesalahan.

c. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana

  Pertanggungjawaban pidana bisa terhapus karena adanya sebab, baik yang berkaitan dengan perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab yang berkaitan dengan pembuat delik. Adapun terhapusnya pertanggungjawaban pidana karena adanya alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang. Hal ini berdasarkan pada dua alasan yaitu :

25 Hukum pidana membedakan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf.

  Mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf, sebenarnya pembedaan ini tidak

  1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang tersebut ;

  2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorant yang terletak di luar dari diri orang tersebut.

  Kedua alasan di atas menimbulkan kesan bahwa pembuat undang-undang dengan tegas merujuk pada penekanan tidak dapat dipertanggungjawabkannya orang, tidak dapat dipidananya pelaku / pembuat, bukan tidak dapat dipidananya tindakan / perbuatan. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 58 KUHP :

  “Keadaan diri yang menyebabkan penghapusan, pengurangan atau penambahan hukumannya hanya boleh dipertimbangkan terhadap yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan itu atau diri si pembantu saja”.

  M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana : Teori dan Studi Kasus, (Refika Aditama : penting bagi pembuat sendiri, karena jika ternyata ada alasan penghapusan pidana, maka teranglah tidak akan dipidana.

  Alasan penghapus pidana adalah alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewewangan yang diberikan undang-undang kepada

   hakim.

  Alasan penghapus pidana dapat dibagi dua ditinjau dari sudut pandang

  

  doktrin, yaitu :

  1. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden) Alasan pembenar adalah alasan-alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan. Oleh karena alasan penghapus pidana ini menyangkut tentang perbuatan, maka alasan ini berlaku untuk semua orang yang melakukan perbuatan tersebut. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang.

  Adapun yang termasuk dalam alasan pembenar adalah :

  a. Keadaan darurat (noodtostand) Diatur dalam Pasal 48 KUHP. Yang dimaksud keadaan darurat ialah karena :

  Ibid., hlm. 27.

  1. Terdapat pertentangan antara dua kepentingan hukum / hak (conflicht vanrechtplichten) ;

  2. Terdapat pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum (conflicht van rechtsbelang on rechtsplicht) ;

  3. Terdapat pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (conflicht van rechtsbelangen).

  b. Pembelaan darurat / terpaksa (noodweer) Diatur dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai noodweer, yaitu :

  1. Harus ada serangan :

  a) yang seketika (ogenblikkelijk)

  b) mengancam secara langsung (onmiddelijkdreigend)

  c) melawan hak

  2. Ada pembelaan :

  a) sifatnya mendesak (noodzakelijk)

  b) pembelaan itu menunjukkan keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilanggar dan kepentingan hukum yang dibela (geboden)

  c) kepentingan hukum yang dibela hanya badan, kehormatan , harta sendiri maupun orang lain.

  c. Menjalankan peraturan perundang-undangan (wettelijkkvoorshrift) Diatur dalam Pasal 50 KUHP yang menentukan bahwa apa yang diperintahkan oleh undang-undang atau wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang untuk melakukan suatu hal tidak dianggap seperti suatu peristiwa pidana. Yang dimaksud dengan peraturan hukum di sini ialah segala peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa yang berhak menetapkan peraturan di dalam batas wewenangnya.

  d. Menjalankan perintah jabatan yang sah / berwenang (ambtelijkbevel) Diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP. Perlu diketahui dan diingat bahwa dalam menjalankan perintah jabatan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum publik. Perintah yang diberikan untuk seorang majikan kepada bawahannya di dalam hubungan hukum perdata tidak termasuk dalam Pasal 51 KUHP ini.

  2. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) Alasan pemaaf adalah alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari si pelaku / terdakwa. Artinya tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memafkannya. Oleh karena alasan ini menyangkut tentang kesalahan pelaku, maka alasan penghapus pidana ini berlaku hanya untuk diri piribadi si pelaku / terdakwa. Adapun yang termasuk alasan pemaaf adalah :

  a. Ketidakmampuan bertanggungjawab (ontoerekeningsvatbaarheid) Diatur dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP menentukan bahwa orang yang menyebabkan peristiwa tidak dipidana karena :

  1. Jiwa / akal yang tumbuhnya tidak sempurna (gebrekkige

  outwikelling ). Orang yang jiwanya tidak sempurna sebenarnya tidak

  sakit, akan tetapi karena cacat yang dibawa sejak lahir

  2. Jiwa yang diganggu oleh penyakit, pada waktu lahirnya sehat, akan tetapi kemudian dihinggapi penyakit seperti penyakit gila dan sebagainya. Menurut Memorie van Toelichting (MVT), seseorang itu dikatakan tidak mampu bertanggungjawab apabila : a) keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti akan harga dan nilai sikap tindaknya ; b) ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadp sikap tindaknya ; c) ia tidak dapat menginsyafi bahwa sika tindak itu terlarang.

  b. Daya paksa (overmacht) Diatur dalam Pasal 48 KUHP menentukan bahwa suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang karena terpaksa tidak dapat dihukum.

  Menurut Memorie van Toelichting, yang dimaksud dengan overmacht yaitu tiap kekuatan, tiap dorongan, tiap paksaan yang tidak dapat dielakkan. Perkataan keterpaksaan bukan saja berarti fisik / jasmani, tetapi jua tekanan psikis dan rohani. Menrut J. E. Jonkers, overmacht itu berwajah tiga rupa :

  1. Overmacht yang bersifat mutlak (vis absoluta). Dalam hal ini orang terpaksa tidak mungkin dapat berbuat lain.

  2. Overmacht dalam arti sempit yang bersifat nisbi (vis compulsiva) atau berat lawan. Orang yang terpaksa masih ada kesempatan untuk memilih berbuat yang lain, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan. Perbedaannya dengan

  overmacht mutlak adalah dalam overmacht mutlak, orang yang

  memaksa itulah yang berbuat. Sedangkan dalam overmacht relatif, orang yang dipaksa itu yang berbuat.

  3. Overmacht dalam arti noodtoestand atau keadaan darurat.

  c. Noodweer Excess Diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP menentukan bahwa pembelaan yang melampaui batas merupakan perbatan yang terlarang, akan tetapi karena perbuatan tersebu akibat dari suatu goncangan rasa yang disebabkan oelah serangan misalnya naik darah, maka perbuatan tersebut dapat dimaafkan oleh undang-undang.

  d. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (ambtelijk bevel) Diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP. Orang yang melaksanakan perintah tidak sah tidak dapat dipidana bila memenuhi syarat-syarat : 1. jika ia dengan itikad baik mengira bahwa perintah itu sah ; 2. jika perintah itu terletak dalam lingkungan kekuasaan orang yang diperintah. Perlu diingat bahwa di dalam menjalankan perintah jabatan antara yang memerintah dan yang diperintah harus ada hubungan yang didasarkan pada hukum publik.

2. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

  Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu : a. Perbuatan yang dilarang b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu

  c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu Kata “perbuatan yang dilarang” dalam hukum pidana mempunyai banyak istilah dengan pengertiannya masing-masing, karena merupakan istilah yang berasal dari bahasa Belanda : “strafbaarfeit” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, antara lain :

28 Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan yang diancam dengan

  pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubung dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab.

  1. Tindak Pidana

  2. Peristiwa Pidana

  3. Delik

  4. Pelanggaran Pidana

  5. Perbuatan yang boleh dihukum

  6. Perbuatan yang dapat dihukum

  7. Perbuatan pidana Istilah dan pengertian tentang hal ini dapat dihindari dengan menggunakan istilah “tindak pidana”. Dalam peraturan perundang-undangan

  Indonesia tidak ditemukan defenisi tindak pidana, tetapi pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.

  Pengertian tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli hukum adalah:

  1. Simons

  

28 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (USU Press : Medan, 2013), hlm.

  73.

  2. Van Hamel Tindak pidana (strafbaarfeit) adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan

   dengan kesalahan.

  3. Schaffmeister Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkup

   rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.

  4. Pompe Suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-

   Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

  5. Indriyanto Seno Adji Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

   diharuskan oleh hukum).

  Pengertian tindak pidana dapat disimpulkan adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana

  30 31 Ibid.

  Ibid., hlm. 26. Mohammad Ekaputra, Op. Cit., hlm. 81 Tindak pidana dapat dibagi menjadi dua kelompok dalam KUHP, yaitu :

   Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang

melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut

dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. Pelaku adalah orang yang

  melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaanatau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang- Undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang- Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena digerakan oleh pihak ketiga.

  1. Kejahatan (seperti yang termuat dalam buku II dari Pasal 104 sampai Pasal 488)

  2. Pelanggaran (seperti yang termuat dalam buku III dari Pasal 489 sampai

  Pasal 569)

b. Pelaku Tindak Pidana

  Pengertian pelaku terbagi atas :

  1. Pelaku menurut doktrin

   Pelaku tindak pidana menurut KUHP adalah sebagai berikut :

  2. Pelaku menurut KUHP

  

  34 Moch. Lukman Fatahullah Rais, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar, (Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1997), hlm. 5. 35 Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Fakultas Hukum Undip : Semarang, 1984), hlm. 37.

  Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Sinar Grafika :

  a. Orang yang melakukan

  b. Orang yang menyuruh melakukan c. Orang yang turut serta melakukan

  d. Orang yang membujuk melakukan ad.a. Orang yang Melakukan (plegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang secara langsung melakukan semua unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya orang tersebutlah yang melakukan tindak pidana sebenarnya. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana terbagi dua, yaitu pelaku dalam arti sempit (hanya orang yang melakukan tindak pidana) dan pelaku dalam arti luas (orang yang melakukan, orang yang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, dan orang yang membujuk

   melakukan tindak pidana tersebut).

  ad.b. Orang yang Menyuruh Melakukan (doen plegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini, orang tersebut tidak melaksanakan sendiri. Paling sedikit harus ada dua orang, yaitu orang yang menyuruh melakukan dan orang yang disuruh melakukan. Orang yang menyuruh melakukan tindak pidana itu tidak melakukan secara langsung unsur-unsur dari suatu tindak pidana, tetapi orang yang disuruhlah yang melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana tersebut. Dan orang yang disuruh itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (orang yang dikecualikan dari hukuman). Dengan demikian, meskipun orang yang menyuruh ini tidak secara langsung melakukan tindak pidana, akan tetapi dialah yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

   dilakukan oleh orang yang disuruhnya tersebut.

  ad.c. Orang yang Turut Serta Melakukan (medeplegen) Pelaku tindak pidana ini adalah seseorang yang bersama-sama dengan orang lain melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang yang secara sadar bersama-sama melakukan tindak pidana tertentu. Dengan demikian, mereka juga secara bersama-sama dapat

   dipertangungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan tersebut.

  ad.d. Orang yang Membujuk Melakukan (uitlokking) Pelaku tindak pidana ini adalah orang yang membujuk, menggerakkan orang lain untuk melakukan unsur-unsur dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini juga paling sedikit ada dua orang pelaku tindak pidana, yaitu orang yang membujuk dan orang yang dibujuk untuk melakuan tindak pidana tertentu. Orang yang membujuk memberikan sarana atau cara-cara yang telah ditentukan secara limitatif di dalam undang-undang (lihat Pasal 55 ayat (1) sub (2)) kepada orang yang dibujuk agar mau melakukan tindak pidana tersebut. Dan orang yang dibujuk tersebut adalah orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, orang yang dibujuklah yang secara langsung melakukan tindak pidana tersebut dan pertanggungjawaban orang yang membujuk / menggerakkan adalah pada apa yang digerakkannya, artinya apabila perbuatan tersebut melebihi apa yang digerakkan oleh orang yang membujuk, maka perbuatan tersebut

   dipertanggungjawabkan oleh orang yang dibujuk. 38 Ibid., hlm. 96 Ibid., hlm. 98

3. Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum

a. Pengertian Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum

  Kata kejahatan terhadap ketertiban umum atau misdrijven tegen de

  

openbare orde telah dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagaimana

  kumpulan bagi kejahatan-kejahatan, yang oleh pembentuk undang-undang telah

   diatur dalam Buku II Bab V KUHP.

  Apabila orang melihat ke dalam Buku II Bab KUHP, maka segera orang akan mengetahui, bahwa kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP sebenarnya mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, bahkan dengan tepat Simons telah mengatakan, bahwa hubungan antara kejahatan yang satu dengan kejahatan yang lain di dalam Buku II Bab V KUHP sifatnya

  

uiterst gering atau hampir tidak ada hubungannya sama sekali antara yang satu

   dengan yang lain.

  Simons menyebutkan kata kejahatan terhadap ketertiban umum yang sifatnya kurang jelas atau vaag atau yang menurut sifatnya dapat diartikan secara lebih luas dari arti yang sebenarnya menurut pembentuk undang-undang telah dipakai untuk menyebutkan sekumpulan kejahatan, yang menurut sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi maatschappelijke orde en rust, atau dapat

   mendatangkan bahaya bagi ketertiban dan ketenteraman umum.

41 P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara , (Sinar Grafika : Jakarta, 2010), hlm. 445.

  Ibid. Van Bemmelen dan Van Hattum telah menyebut kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP sebagai kejahatan terhadap berfungsinya

   masyarakat dan negara.

  Ketertiban umum di dalam Memorie van Toelichting diartikan dengan kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat (maatschappelijke leven) dan yang dapat menimbulkan bagi ketertiban alamiah di dalam masyarakat (‘de natuurlijke orde der maatschappij). Adapun kejahatan yang diatur dalam Buku II Bab V bukanlah kejahatan yang secara langsung

  

  ditujukan terhadap :

  1. Keamanan dari negara ;

  2. Tindakan-tindakan dari alat-alat perlengkapannya ; 3. Tubuh atau harta kekayaan dari seseorang tertentu.

b. Bentuk-Bentuk Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum

  Bentuk-bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Buku II Bab V KUHP adalah sebagai berikut:

  1. Tindak pidana penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan lambang Negara ;

  2. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah ;

  3. Tindak pidana menyatakan perasaan tak baik terhadap golongan tertentu ;

  4. Tindak pidana menyelenggarakan pemilihan anggota untuk suatu lembaga kenegaraan asing ;

  5. Tindak pidana menghasut di muka umum ;

  6. Tindak pidana menawarkan bantuan untuk melakukan tindak pidana ; Ibid.

  7. Tindak pidana pembujukan (Uitlokking) melakukan suatu tindak pidana yang gagal ;

  8. Tindak pidana tidak melaporkan akan adanya tindak pidana tertentu ;

  9. Tindak pidana merusak keamanan di rumah (Huisvrede-Breuk) ;

  10. Tindak pidana memasuki dengan paksa suatu ruangan dinas umum (Openbare Dienst) ;

  11. Tindak pidana turut serta dalam perkumpulan terlarang ;

  12. Tindak pidana mengganggu ketentraman ;

  13. Tindak pidana mengganggu dan merintangi rapat umum ;

  14. Tindak pidana menggangg upacara agama dan upacara penguburan jenazah ;

  15. Tindak pidana mengenai kuburan atau mayat ; F.

   Metode Penelitian Tinjauan 1. Jenis Penelitian

  Penelitian dalam penulisan ini diarahkan kepada penelitan hukum normatif dengan studi kasus. Kasus yang diteliti berkaitan dengan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dalam menganilis putusan Mahkamah Agung No. 1914/K/Pid/2012.

  Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-

  

  kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsi hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang- undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma

   yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.

2. Sumber Data

  Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan

  

  pustaka (data sekunder). Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal

  

  data sekunder saja. Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer ;

   bahan hukum sekunder ; dan bahan hukum tersier.

  a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :

  1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ; 3. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor Perkara

  346/Pid.B/2012/PN.LP ; 4. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 1914/K/Pid/2012.

  b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya :

  1. 46 Buku-buku yang terkait dengan hukum ; 47 Johnny Ibrahim, Op. Cit., hlm. 321.

  Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2004), hlm. 18. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , (PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2009), hlm. 12.

  Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit., hlm. 18.

2. Artikel di jurnal hukum ; 3.

  Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

  c) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya :

   1.

  Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia 2. Ensiklopedia ; 3. Indeks kumulatif, dan seterusnya.

  3. Teknik Pengumpulan Data

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah (Studi Putusan Hakim No. 945/PID.B/2010/PN.TK)

0 4 71

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/Pn.Dps)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 12

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Di Indonesia(Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/Pn.Jkt.Tim)

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16