BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR - Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

BAB II BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR E. Sejarah Whistleblower Menurut sejarahnya, whistleblower sangat erat kaitanya dengan organisasi

  kejahatan ala mafia sebagai organisasi kejahatan tertua dan terbesar di Italia yang berasal dari Palermo, Sicilia, sehingga sering disebut Sicilian Mafia atau Cosa Kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh para Mafioso (sebutan Nostra. terhadap anggota mafia) bergerak dibidang perdagangan heroin dan berkembang di berbagai belahan dunia, sehingga kita mengenal organisasi sejenis diberbagai negara seperti Mafia di Rusia, Cartel di Colombia, Triad di Cina, dan Yakuza di Jepang. Begitu kuatnya jaringan organisasi kejahatan tersebut sehingga orang- orang mereka bisa menguasai berbagai sektor kekuasaan, apakah itu eksekusf,

   legislatif maupun yudikatif termasuk aparat penegak hukum.

  Meskipun para mafia dianggap sebagai sindikat nasional di Amerika Serikat (AS), tidak ada seorangpun saat itu yang berani berbuat sesuatu terhadap mafia. Barulah pada tahun 1950, seorang senator AS bernama Estes Kefauver akhirnya berani melakukan penyelidikan selama dua tahun terhadap para mafia tersebut. Dibentuklah Komisis Senat Khusus untuk Penyelidikan Kejahatan Perdagangan antar-Negara Bagian, yang lebih dikenal sebagai Komisi Kefauver 36 Eddy O.S. Hiariej,Legal Opini:Permohonan Pengujian Pasal 10Ayat(2)Undang-undang Nomor yang kemudian mengadakan dengar pendapat disebelas kota. Di tiap kota tersebut Komisi Kefauver menemukan bukti-bukti korupsi yang dilakukan oleh mafia.

  Tetapi sampai akhir penyelidikan, Komisi ini tidak mendapat banyak hasil karena

   para mafia menolak untuk memberikan informasi di depan para komisi.

  Pada tahun 1957, perhatian polisi AS terpaku pada peristiwa konferensi para gembong mafia di Apalichin, sebuah kota terpencil di daerah pegunungan di tengah kota New York. Mobil Patroli polisi merasa curiga ketika melintasi rumah tersebut terdapat banyak mobil limousine hitam terpakir di situ, dan ketika polisi memeriksa keadaan rumah tersebut belasan orang dengan pakaian bisnis mewah panik berlarian ke luar. Sebagian lari kepadang rumput buatan sebagian lagi lari ke hutan. Menjelang tengah malam akhirnya sebanyak lima puluh delapan orang berhasil diamankan. Kebanyakan dari orang-rang tersebut berasal dari New York, New Jersey dan Pennsylvannia, sebahagian yang lain berasal dari Florida, Texas, California, Illinois dan Ohio. Di kemudian hari pemerintah AS mengetahui konferensi Apalichin diprakarsai oleh Vito Genovese, yang baru saja menduduki posisi pimpinan Klan Kriminal Gambino di kota New York, setelah mantan bosnya Albert Anastasia yang ditakuti terbunuh di Manhattan. Genovese dilaporkan telah mengundang pimpinan setiap klan criminal ternama untuk secara bersama-sama memilih bos dari para bos (copo di tutti copi ). Para agen FBI menyelidiki dan mengusut pertemuan tersebut, tetapi masalah mengganjal bahwa 37 Supriyadi Widodo Eddyono, Berawal dari Melawan La Cosa Nostra: Lahirnya Witnes Security mereka (para mafia) tidak melanggar hukum hanya karena mengadakan pertemuan, oleh karena itu akhirnya pemerintah menuntut para mafia tersebut dengan tuduhan bersekongkol dalam “konspirasi untuk mengahalangi keadilan” karena mafia menolak untuk memberitahukan pada dewan juri mengapa mereka mengadakan pertemuan. Juri memutuskan mereka bersalah tetapi pengadilan

   banding membatalkan putusan tersebut .

  Mafia yang merupakan kejahatan terorganisir memiliki sumber kekuatan yang lebih baik daripada agen pemerintah. Sumber-sumber pengaman mafia ini tidak hanya terdiri dari polisi kotor tetapi juga hakim-hakim yang korup. Para mafia bahkan memiliki akses dan membayar orang-orang di lembaga pemerintah lainnya. Bukan hanya suap yang membuat para anggota mafia aman, tetapi juga setiap anggota mafia yang tertangkap selalu bungkam, menolak memberikan informasi, dan menjaga semua informasi yang disebut hukum tutup mulut yang berlaku dikalangan mafia (omerta). Satu-satunya cara untuk menghancurkan ini adalah dengan membawa orang dalam organisasi mafia untuk bersaksi

  omerta

  di pengadilan dengan menawarkan sebuah jalan keluar, menyediakan jaminan perlindungan hukum dan jaminan keamanan dari aksi pembalasan para gengster

   lainnya. Upaya pertama Pemerintah AS berhasil ketika seorang anggota Klan

   Kriminal Vito Genovese, yang bernama Joe Valachi bersedia berbicara secara rahasia kepada agen FBI mengenai kehidupannya di dalam kelompok mafia.

  Ringkasan hasil wawancara tersebut kemudian dilaporkan kepada presiden AS.

  

1.

  Pemerintah AS telah mencapai tahap yang diyakini sebagai terobosan besar untuk membuktikan adanya kejahatan terorganisir, oleh karena itu pemerintah dapat secara tegas menyatakan kepada publik bahwa sebuah organisasi kejahatan nasional memang benar-benar ada.

2. Nama yang sebenarnya dari kejahatan terorganisir tersebut bukanlah mafia, tetapi La Cosa Nostra (LCN) yang artinya “milik kami”.

  3. Gambaran struktur organisasi LCN mengidentifikasikan bos-bos kejahatan dalam “ komisi nasional” mafia tersebut.

40 Joe Valachi yang berumur lima puluh empat tahuntelah menjadi penjahat selama tiga puluh

  

tahun, masuk keanggotaan mafia tahun 1930. Ia berperan sebagai tukang pukul, perampok, operator

nomor, pemaksa, dan pengedar obat bius. Meskipun ia adalah “prajurit” rendahan, atau dalam istilah

mafia disebut sebagai “orang tombol”, Valachi banyak dibicarakan dalam gossip mafia. Seperti

kebanyakan saksi mafia lainnya yang kemudian mengikuti jejaknya, Valachi mengaku bahwa ia tidak

akan menghianati kelompok mafia sampai mereka yang mengkhianatinya terlbih dahulu. Putusnya

Valachi dengan LCN dimulai pada tanggal 22 Juni 1962, ketika ia berada di penjara federal di Atalanta,

Georgia, dan memukul seorang tahanan dengan alat sampai mati. Lima belas menit kemudian ia baru

mengetahui bahwa ia telah membunuh orang yang salah. Ia sebenarnya mau membunuh Joseph

DiPalermo, seorang tukang pukul mafia. Namun ternyata yang ia bunuh Joseph Saupp, seorang pemalsu

yang tidak ada kaittannya dengan mafia, tetapi sangat mirip dengan DiPalermo. Valachi meyakini bahw

DiPalermo mencoba membunuhnya atas perintah dari bos criminal New York, Vito Genovese, yang

menuduh Valachi sebagai informan polisi.Ketika jaksa penuntut mengatakan akan menuntut hukuman

mati atas pembunuhan Saupp, Valachi menawarkan diri untuk “berbicara”, dengan imbalan ia diberikan

   4.

  Hanya orang Italia saja yang bisa masuk dalam keanggotaan mafia.

  5. Ada tiga belas aturan LCN yang harus diikuti, termasuk enam aturan utama yang apabila dilanggar, maka hukuman mati adalah hukumannya, yang meliputi: 1)

  Membocorkan informasi mengenai organisasi ini kepada orang luar, terutama kepada polisi.

  2) Membawa narkotika atau mendapatkan keuntungan dari penjualannya.(dalam praktek aturan ini yang paling sering dilanggar. Selama “bosnya’ mendapatkan bagian dari uang yang didapatkan, hukuman tidak akan dikenakan).

3) Terlibat affair dengan istri anggota yang lain.

  4) Terlibat dalam affair dengan saudara perempuan atau anak perempuan dari anggota yang lain.

  5) Mencuri dari anggota yang lain

  6) Melakukan tindak kekerasan terhadap anggota yang lain, kecuali disetujui sang bos.

  Pengakuan seorang tokoh mafia yakni Joe Valachi kepada agen FBI merupakan penghianatan terhadap omerta dan bos mafia. Penghianatan ini membuat Joe valachi menjadi sasaran tembak bagi seluruh jaringan mafia. Oleh karena itu Departemen Kehakiman kemudian memindahkan Valachi dari penjara 42 Dalam sebuah upacara rahasia, seorang bos akan menusuk jari seorang anggota baru dengan

  

jarum, membuat beberapa tetes darah keluar, dan menyuruhnya mengucapkan sumpah. Secarik kertas

seringkali dengan gambar orang suci, ditempatkan ditangan anggota baru tersebut dan kemudian

dibakar…sambil anggota baru tersebut mengucapkan dalam bahasa Italia, kata-kata berikut :”Dengan

sumpah ini aku berjanji bahwa jika aku menyalahi sumpah ini semoga aku akan terbakar seperti kertas

ini.” Anggota baru itu kemudian akan diperkenalkan oleh sang bos sebagai “temanbaru kita” dan negara bagian Manhattan ke Washington untuk keamanan. Laporan kepada presiden tersebut membuat Komisi McClellan bereaksi untuk membujuk Valachi agar mau bersaksi di depan komisi. Valachi akhirnya menyetujui untuk bersaksi di depan komisi dengan syarat pemerintah menempatkan Valachi dan kekasih Valachi di kepulauan Pasifik. Pemerintah menyetujui dan bersedia menempatkan Valachi dan kekasihnya di pulau Pasifik Barat. Kesaksian Valachi pada September 1963 di depan komisi McClellan ternyata sangat menghebohkan publik. Apalagi ia menceritakan mengenai pembunuhan berdarah dingin dimana Valachi terlibat di dalamnya. Dalam ceritanya Valachi mengaku membunuh

   empat puluh gangster lain atas suruhan mafia.

  Dalam sejarah perang melawan mafia di AS, Valachi dianggap sebagai pemberi informasi pertama untuk melawan omerta oleh anggota mafia. Tindakan Valachi membocorkan kegiatan organisasi LCN merupakan tindakan yang disebut yang merupakan bagian dari pelaku kejahatan tetapi bukan pelaku

  whistleblower utama.

  Istilah whistleblower pada mulanya berasal dari kebiasaan polisi Inggris membunyikan peluit sebagai tanda terjadinya suatu kejahatan. Kemudian

  

whistleblower dipakai untuk menyebut seseorang yang menginformasikan terjadinya praktek suatu kejahatan, termasuk tindakan manipulasi dan praktek

   korupsi.

  Keberadaan Whistleblower tidak hanya pada organisasi mafia, namun pada perusahaan-perusahaan baik swasta maupun lembaga-lembaga publik dapat memberikan informasi kepada aparat penegak hukum tentang telah terjadi suatu praktek-praktek manipulasi atau terjadinya suatu kejahatan dilingkungannya baik dia terlibat maupun tidak terlibat.

  Salah seorang whistleblower paling terkenal dalam sejarah adalah Jeffrey S. Wigand. Laporannya yang mengungkap skandal perusahaan rokok raksasa di Amerika bahkan diabadikan dalam film berjudul The Insider. Bekas vice president pada Divisi Riset dan Pengembangan Brown & Williamson (Kentucky) itu dipecat lantaran mengetahui informasi rahasia tentang kebusukan internal

   perusahaan.

  Wigand menyatakan Kepada stasiun televisi CBS bahwa Brown & Williamson telah memanipulasi campuran tembakau dalam rokok dengan menaikkan kadar nikotin. Ini dilakukan guna meningkatkan efek kecanduan.

   Gara-gara pengakuannya itu, ia menerima sejumlah ancaman pembunuhan.

  Whistleblowe r lainnya yaitu Chintya Cooper, seorang internal audit yang

  mengungkap kasus Worldcom dielu-elukan sebagai pahlawan. Chintya Cooper 44 Metta Dharmasaputra, Direktur Eksekutif Katadata, Peniup Peluit dan Suap Pajak, Tempo.Com tanggal 12 juni 2012 diakses pada 20 September 2012. telah menjadi agent of change yang sukses. Keberhasilan Chintya mengantarkannya termasuk salah seorang People of The Year versi Majalah Time, Chintya bersama dengan whistleblower lainnya telah menyelamatkan

.

perusahaan dari kemungkinan lebih buruk

  Sejarah perkembangan para peniup peluit di Amerika pun menunjukkan, tidak sedikit di antara mereka harus rela menanggung risiko kehilangan pekerjaan hingga beberapa tahun. Beberapa peniup peluit kesulitan mendapat pekerjaan baru karena dipandang sebagai trouble maker atau biang kerok yang dikhawatirkan akan melakukan hal yang sama pada perusahaan atau institusi yang akan ditempatinya.

  Perlindungan bagi peniup peluit sangat dibutuhkan, sehingga sejumlah undang-undang di Amerika telah mengaturnya. Salah satu yang tertua adalah undang-undang federal The False Claims Act atau Lincoln Law yang lahir pada 1863. Undang-undang ini awalnya diciptakan untuk memerangi manipulasi oleh para pemasok amunisi senjata dan obat-obatan selama perang saudara (1861- 1865). Langkah terobosan ini juga diperlukan guna mendobrak keengganan para jaksa di Departemen Kehakiman mengusut kasus-kasus manipulasi. Berdasarkan konstitusi ini, seorang whistleblower tidak hanya dilindungi keselamatannya, tapi juga mendapat imbalan yang dikenal dengan sebutan qui tam, yaitu 15-30 persen

   dari uang yang terselamatkan. Undang-undang ini terbukti ampuh. Setelah diamendemen pada 1986, setahun kemudian pemerintah berhasil menyelamatkan uang negara hampir US$ 22 miliar. Dari uang yang diselamatkan itu, sekitar US$ 1 miliar dibagikan kepada ratusan whistleblower. Sistem inilah yang kemudian juga diadopsi oleh Internal

   Revenue Service, lembaga pajak pemerintah Amerika.

  Di Indonesia banyak tokoh yang tergolong dalam whistleblower sosok seperti Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI. Susno Duadji merupakan orang yang pertama kali membeberkan adanya praktik ma

  fia hukum yang menyeret Gayus H.P. Tambunan dkk kepada publik. Gayus Tambunan adalah pegawai Direktorat Keberatan dan Banding pada Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat kasus

   pencucian uang dan korupsi puluhan miliaran rupiah.

  Dalam testimoninya yang disiarkan media massa, Susno Duadji mengungkapkan telah terjadi skandal rekayasa perkara yang membebaskan Gayus dari dakwaan pencucian uang. Skandal Gayus itu sendiri melibatkan seorang hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang, jaksa senior, seorang petinggi

   Polri yang menjadi bekas bawahannya, dan ‘asisten’ Wakil Kepala Polri saat itu.

  49 50 Ibid., 51 Syahrin lumbantoruan, Loc. Cit., Hoplen Sinaga, Tesis, Perlindungan Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower)

  Endin Wahyudin, pelapor kasus penyuapan tiga hakim agung, dipenjara

  

  karena dianggap mencemarkan nama baik hairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan, yang melaporkan kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum, dijadikan tersangka dengan tuduhan korupsi atas Dana Abadi

53 Umat Rp 10 juta.

  Lebih ironis lagi nasib Vincentius Amin Sutanto. Pelapor dugaan megaskandal pajak Asian Agri Group milik taipan Sukanto Tanoto senilai Rp 1,3 triliun ini malah dijerat dengan dakwaan pencucian uang. Ia divonis 11 tahun penjara dan tak ada pengurangan keringanan hukuman, seperti yang dijanjikan dalam undang-undang. Begitu juga kisah Agus Condro yang mengungkap skandal Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia Miranda Gultom. Agus Condro sama sekali tidak mendapat perlindungan bahkan dirinya dipidana penjara 1 Tahun 3

   Bulan dan hanya mendapat keringanan 3 bulan dibanding tersangka lainnya.

  Dengan kisah-kisah tragis tokoh yang tergolong whistleblower di Indonesia tersebut, banyak kalangan baik akademisi, politisi bahkan para pakar hukum membahas apa yang dinamakan whistleblower tersebut. Kajian tentang perlu adanya perlindungan terhadap saksi pelapor akhirnya melahirkan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan harapan baru bagi saksi pengungkap fakta atau whistleblower di Indonesia. Kemudian 52

  http://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/perlindungan-bagi-whistle-blower/diakses pada 25 Desember 2012 secara tegas SEMA No.4 tahun 2011 mengatur tentang whistlblower dan justice

  collaborator

  . Namun baik UU No.13 Tahun 2006 maupun SEMA No.4 Tahun 2011 belum cukup memberikan perlindungan hukum terhadap whistle blower dan

  justice collaborator .

F. Kriteria Whistleblower dan Justice Collaborator.

1. Whistleblower

  Secara umum pengertian orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik, maladministrasi atau korupsi disebut whistleblower (Inggris artinya : peniup peluit).

   Whistleblower

  didefinisikan sebagai seorang yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan di bawah sumpah yang dapat mengungkap suatu kejahatan dimana orang tersebut terlibat dalam kejahatan tersebut atau suatu kejahatan lainnya.

   Dalam istilah bahasa Inggris orang yang mengungkapkan fakta kepada publik

  mengenai sebuah skandal, bahaya mal praktek atau korupsi disebut sebagai

  

Whistleblower (Peniup Peluit : Disebut demikian karena seperti wasit dalam

  pertandingan sepakbola atau olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta telah terjadinya pelanggaran, atau seperti polisi lalulintas yang hendak menilang seseorang di jalan raya karena orang itu melanggar aturan lalulintas, 55 Koalisi Perlindungan Saksi, Pengertian Saksi dan Perlindungan bagi Para Pelapor haruslah diperluas, www.antikorupsi.org1, diakses tanggal 28 Dsember 2012. atau seperti pengintai dalam peperangan zaman dahulu yang memberitahukan kedatangan musuh dengan bersiul, dialah yang bersiul, berceloteh, membocorkan atau

  

  mengungkapkan fakta kejahatan, kekerasan, atau pelanggaran ). Sementara itu Mardjono Reksodiputro memberikan pengertian whistleblower adalah pembocor

   rahasia atau pengadu.

  Menurut Sudut pandang Hadistanto, Whistleblower merupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan, atau pekerja anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang

   berwenang. Ketentuan yang dilanggar merupakan ancaman bagi kepentingan publik.

  a.

   Internal Whistleblower Internal whistleblower yaitu seorang pekerja atau karyawan di dalam suatu

  perusahaan atau institusi yang melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum kepada karyawan lainnya atau atasannya yang juga ada didalam perusahaan

   tersebut.

  Pada umumnya, whistleblower akan melaporkan kejahatan di lingkungannya kepada otoritas internal terlebih dahulu. Namun seorang whistleblower tidak berhenti melaporkan kejahatan kepada otoritas internal ketika proses penyelidikan laporannya mandeg. Whistleblower dapat melaporkan kejahatan kepada otoritas 57 Quentin Dempster, Whistleblowers Para Pengungkap Fakta, Hal.1, ELSAM cetakan pertama Juli 2006. 58 Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam perspektif Hukum, Penaku

Januari 2012 Hal.7. Mardjono mengaharapkan kejahatan dan pelanggaran hukum yang terjadi berhenti

  

dengan cara mengundang perhatian public. Sementara informasi yang dibocorkan berupa informasi

yang bersifat rahasia dikalangan lingkungan informasi itu berada. 59 Ibid.,hal.8

  yang lebih tinggi, seperti langsung ke dewan direksi, komisaris, kepala kantor, atau

   kepada otoritas publik di luar organisasi yang berwenang serta media massa.

  Langkah ini dilakukan supaya ada tindakan internal organisasi atau tindakan hukum terhadap para pelaku yang terlibat. Hanya saja terdapat kecenderungan yang tak dapat ditutupi pula bahwa jika terjadi sebuah kejahatan dalam organisasi, maka otoritas tersebut bertindak kontraproduktif. Alih-alih membongkar, terkadang

   malah sebaliknya, menutup rapat-rapat kasus.

  b. External Whistle Blower

  External whistleblower adalah pihak pekerja atau karyawan di dalam suatu

  perusahaan atau organisasi yang melaporkan suatu pelanggaran hukum kepada

  

  pihak di luar institusi, organisasi atau perusahaan tersebut. Karena skandal kejahatan selalu terorganisir, maka seorang whistleblower kadang merupakan bagian dari pelaku kejahatan atau kelompok ma

  fia itu sendiri. Dia terlibat dalam skandal lalu mengungkapkan kejahatan yang terjadi kepada pihak luar baik instansi berwenang maupun media massa.

  Pengungkapan kepada publik merupakan alat pendesak kepada pemerintah atau instansi yang berwenang agar bertindak demi kepentingan umum. Seorang pengungkap fakta Fanny K (nama disamarkan) dari Queensland, memberikan contoh bahwa sebagai pekerja di Basil Stafford Center, sebuah fasilitas milik pemerintah untuk orang-orang yang cacat kecerdasannya, ia menyatakan telah 61 Abdul Haris semendawai et al, Memahami Whistle Blower, LPSK 2011 Hal.2 menyaksikan berbagai tindakan pelecehan terhadap pasien. Ia pergi ke berbagai jaringan resmi sejak tahun 1986 hingga November 1990, mencari tindakan dari pihak berwenang untuk menghentikan tindakan pelecehan, pelukaan dan penghilangan nyawa yang terjadi di pusat rehabilitasi cacat tersebut. Namun usahanya mengungkapkan fakta belum ada yang memperhatikan malah dirinya mendapatkan ancaman dan pelecehan termasuk pengerusakan rem mobilnya.

  Akhirnya ia pergi ke program Hinch di TV dan acara bincang-bincang di radio Hayden Sergeant di Brisbane. Tekanan dari media membuat pemerintah menunjuk Komisi Peradilan Pidana atas kasus tersebut. Dan hasilnya pusat rehabilitasi

   tersebut ditutup secara paksa setelah melalui proses penyelidikan.

  c.

  Whistleblower Terlibat Kasus.

  Pada umumnya whistleblower merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang terjadi karena memang whistleblower sangat dekat dengan kejahatan itu sendiri dan mengetahui secara langsung tentang pelanggaran yang terjadi., tetapi seorang bukan merupakan pelaku utama. Kejahatan yang terjadi biasanya

  whistleblower

  merupakan sebuah skandal atau merupakan suatu jaringan sindikat sehingga betul-betul mengetahui secara pasti kejahatan itu terjadi dan dapat

  whistleblower membantu penegak hukum untuk membuktikan kejahatan tersebut.

  Perlu dicermati bahwa sesorang yang melaporkan terjadinya suatu kejahatan yang dirinya merupakan bagian dari pelaku dilandasi oleh kesadaran dan mau 64 Quentin Dempster, Op. Cit., hal. 247. mengembalikan apa yang telah dinikmatinya dari hasil kejahatan yang telah

   dilakukan.

  d.

  Whistleblower Tidak Terlibat Kasus.

  Tidak semua whistleblower merupakan bagian dari pelaku. Sesorang yang melaporkan kejahatan yang terjadi yang dia ketahui dikarenakan ada berbagai

  

  pertimbangan yaitu : 1.

  Landasasan nilai-nilai agama (religious value), dalam melaporkan suatu kejahatan yang diketahuinya baik di lingkungan tempatnya berkerja atau di tempat lain motifnya karena nilai-nilai agama atau kepercayaan yang dianut. Misalnya melaporkan terjadinya suatu kejahatan atau pelanggaran hukum adalah dalam rangka untuk menegakkan kebenaran yang merupakan suatu ibadah.

  2. Landasan Etika Profesional (professional ethics), biasanya pelapor merupakan karyawan yang berprestasi, jujur dan didorong oleh pemikiran untuk

66 Ibid contoh kasus yaitu Hamka Yandhu dan Agus Condro adalah dua contoh whistleblower:

  .,

saksi kunci atau orang yang melaporkan penyimpangan yang terjadi dalam suatu lembaga atau perusahaan. Keduanya bisa dilihat dari dua sisi: sebagai “martir” yang dengan sadar berkorban demi kepentingan publik–penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Atau, dapat pula dipandang sebagai

orang yang “mencuri” kesempatan untuk memburu ketenaran dan popularitas di tengah skandal keterlibatan mereka. Hamka Yandhu bersaksi di pengadilan bahwa 52 anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 menerima dana BI dalam jumlah yang beragam. Dua di antaranya kini menjadi anggota kabinet, yakni Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Sementara itu, Agus Condro mengaku menerima cek pelawat senilai total Rp 500 juta dari Deputi Gubernur Senior

Bank Indonesia Miranda S. Goeltom, yang memenangi pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada Juni 2004. Agus Condro menyebut sejumlah nama Fraksi PDIP, di antaranya Tjahyo Kumolo, Emir Moeis, dan Panda Nababan, diduga turut menerima uang “pelicin” tersebut. menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan atau dari prakttik-praktik kotor yang dapat merugikan perusahaan atau negara.

  3. Landasan Sosial (social responsibility), pertimbangan whistleblower ini untuk kepentingan masyarakat yang merupakan rasa tanggungjawab kepada kepentingan masyarakat. Pelanggaran hukum terjadi dapat merugikan kepentingan umum dan masyarakat sehingga perlu dibongkar dan dilaporkan kepihak yang berwenang atau publik.

  Dari beberapa krietria whistleblower tersebut perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

1. Menguji Motif sesorang whistle blower.

  Pengujian motif seorang whistleblower perlu diteliti secara mendalam dikarenakan untuk menjadi seorang whistleblower harus dibayar dengan resiko yang cukup tinggi. Whistleblower dalam melaporkan suatu pelanggaran hukum didorong oleh berbagai motivasi atau niat antara lain sebagai ajang balas dendam, untuk menjatuhkan seseorang atau perusahaan dikarenakan persaingan bisnis, untuk mendapatkan imbalan atau hadiah, dan untuk mencari popularitas atau ada kepentingan politik tertentu.

  Motif seperti ini akan menjadi pertimbangan bagi aparat penegak hukum dalam rangka memberikan pertimbangan perlu tidaknya seorang whistleblower mendapat hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan. Meskipun demikian terlepas dari niat dan motivasi seorang whistleblower dalam melaporkan suatu tindak pidana, laporan tersebut akan sangat berguna bagi penyidik dan penuntut umum untuk mengungkap suatu pelanggaran tindak pidana korupsi khususnya yang sulit pembuktiannya.

  Whistleblower memiliki suara hati yang memberi petunjuk kuat mengenai pentingnya sebuah skandal diungkap. Seperti pernah dialami seorang Jeffrey Wigand.

  Dalam situasi yang sulit dengan berbagai tekanan, Wigand pada akhirnya mau mengungkap dugaan pelanggaran atau kejahatan itu.

  Je ffrey Wigand jelas menekankan aspek moralitas dalam memberikan laporan atau kesaksian mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan. Hal ini tersurat dari pernyataannya yang cukup terkenal bahwa, “kita sebenarnya adalah manusia biasa yang berada dalam situasi luar biasa. Namun, kita telah melakukan sesuatu yang benar

  

  yang seharusnya dilakukan oleh semua orang.” 2.

  Meneliti data-data yang diberikan secara akurat, bukti-bukti yang sesuai dan relevan terhadap kasus yang dituduhkan.

  Seorang whistleblower akan gugur atau dicabut hak-haknya jika data-data yang diberikan tidak relevan, pelanggaran yang dituduhkan tidak mempunyai bukti-bukti yang kuat yang mengarah kepada fitnah dan merupakan pembunuhan karakter seseorang. Lembaga yang berwenang seperti polisi dan jaksa serta lembaga perlindungan saksi harus melakukan investigasi dan mengevaluasi terhadap bukti-bukti yang diajukan oleh seorang whistleblower sebelum dirinya diberikan perlindungan.

3. Menentukan dugaan pelanggaran hukum secara spesifik.

  Seseorang whistleblower harus betul-betul mengetahui jenis tindak pidana yang dilaporkan khususnya tindak pidana korupsi yang memang merupakan jenis tindak pidana khusus atau kejahatan luar biasa ( ordinary crimes). Jika yang dilaporkan merupakan pelanggaran atau tergolong pidana ringan atau hanya merupakan kesalahan administrative tanpa unsur kesengajaan, pelapor belum dapat dinyatakan sebagai seorang whistleblower.

  Glazer dan Glazer yang sebagian dikutip oleh Ahmad Zainal Arifin dalam tulisanya Fenomena Whistleblower dan pemberantasan korupsi yang dimuat kompas tanggal 6 Februari 2008, melakukan studi terhadap 55 peniup peluit untuk mengungkapkan motif mereka meniup peluit meski mereka sadar akan risiko yang harus dibayar. Hasilnya, mayoritas peniup peluit mengungkapkan bahwa para peniup peluit memutuskan untuk meniup peluit berdasar keyakinan individual. Para peniup peluit berasumsi, "suatu sistem yang korup hanya akan terjadi bila para individu yang menjalankan sistem itu juga korup." Dalam hal ini, para peniup peluit hanya dihadapkan pada dua pilihan, menjadi bagian dari proses korupsi itu atau menjadi

   kekuatan yang menentangnya.

70 Ana Radelat juga memaparkan kajian menarik tentang fenomena para peniup

  peluit. Berdasar survei terhadap 233 peniup peluit, di mana 90 persen dari mereka harus kehilangan pekerjaan setelah meniup peluit, hanya 16 persen yang menyatakan berhenti untuk meniup peluit, sementara sisanya mengungkapkan akan tetap meniup peluit lagi bila mereka mendapat kesempatan melakukannya. Selain itu, mayoritas dari mereka bukan pegawai yang ingin sekadar mencari popularitas dengan meniup peluit, tetapi mereka adalah para pegawai berprestasi, memiliki komitmen tinggi dalam bekerja dan rata-rata berangkat dari latar belakang agama yang kuat. Selain itu, kajian ini juga menggambarkan beberapa tahap yang biasanya dilalui para peniup peluit. Setidaknya terungkap tujuh tahap yang harus dijalani para peniup peluit, mulai dari penemuan kasus penyimpangan, refleksi terhadap langkah-langkah yang akan diambil, konfrontasi dengan atasan mereka, risiko balas dendam dari pihak yang dilaporkan, proses hukum yang panjang, berakhirnya kasus, hingga tahap memasuki kehidupan yang baru setelah kehilangan pekerjaan. Memang, tidak semua tahap akan mudah dilalui para peniup peluit, bahkan terkadang karena terlalu panjangnya tahapan yang harus dilalui tidak jarang di antara peniup peluit sampai harus mengalami pertolongan psikiatris maupun medis akibat tekanan-tekanan psikis yang harus penuip peluit tanggung.

  Kondisi dan situasi sedikit mengalami perubahan ketika penderitaan sang peniup peluit mendapatkan perhatian luas dari media, masyarakat, maupun pemerintah. Di Amerika telah muncul berbagai institusi, baik dari kalangan pemerintah maupun profesional, yang memperjuangkan nasib para peniup peluit.

  Salah satu institusi yang cukup lama memperjuangkan hak-hak para peniup peluit adalah GAP (Government Accountability Project) yang bermarkas di Washington DC.

  Kiprah GAP sebagai institusi independen cukup membantu para peniup peluit dalam menghadapi tingginya risiko yang harus mereka bayar, bahkan tidak sedikit para peniup peluit akhirnya memperoleh insentif dari kasus korupsi yang terungkap dan

   mendapat kembali pekerjaan yang sebelumnya harus peniup peluit tinggalkan.

2. Justice Collaborator

  Pengertian Justice Collaborator berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 Tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice adalah sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan

  Collaborator

  pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam

   proses peradilan .

  Konsep dasar Justice Collaborator adalah upaya bersama untuk mencari kebenaran dalam rangka mengungkap keadilan yang hendak disampaikan kepada masyarakat. Pencarian kebenaran secara bersama-sama itulah konteks collaborator

   dari dua sisi yang diametral berlawanan: penegak hukum dan pelanggar hukum.

  Untuk menjadi seorang Justice collaborator mempunyai syarat antara lain pelaku bukan pelaku utama dalam kasusnya, yang bersangkutan mengembalikan asset yang diperoleh, dan keterangan yang diberikan haruslah jelas dan memiliki korelasi yang dinilai layak untuk ditindaklanjuti. Ketiga hal yang umum ini bukan tidak mengundang persoalan. Terhadap yang pertama, bila si “Fulan” diterima sebagai pihak justice collborator, maka secara tidak langsung telah “divonis awal” 71 72 Ibid.,

  SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakukan bagi Whistle Blower dan Justice Collaborator. bahwa si Fulan bukan pelaku utama. Kedua, si Fulan mengembalikan asset yang diperoleh; ini berarti telah ada klarifikasi hukum mana harta yang diperoleh dari hasil kejahatan dan mana yang bukan. Ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan sebab system hukum di Indonesia belum atau tidak menganut asas khusus yang

   menunjang dalam proses hukum tindak pidana terutama korupsi.

  Dalam surat keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung menyebutkan bahwa justice collaborator adalah seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan asset hasil korupsi apabila asset itu ada pada dirinya.

  Untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator menurut SEMA No.4 Tahun 2011 adalah sebagai berikut : 1.

  Seseorang yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tersebut, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

  2. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya, yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan asset-aset atau hasil suatu tindak pidana.

  3. Atas bantuan tersebut hakim dalam memutus perkara terhadap justice collaborator tersebut dapat mempertimbangkan menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara paling ringan dari terdakwa lainnya.

3. Perbedaan Whistleblower dan Justice Collaborator.

  Pengertian Whistleblower kerap dicampuradukan dengan justice collaborator bahkan ada beberapa tulisan yang memuat whistleblower sebagai justice . Memang secara sepintas bahwa whistleblower dan justice

  collaborator

  sama-sama melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum

  collaborator dalam memberikan informasi penting terhadap kasus hukum yang diungkap.

  Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM dalam diskusi di Auditorium Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 16 Mei 2012 mengatakan bahwa whistleblower tidak terlibat dalam kasus pidana yang diungkapkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan bagian dari pelaku

   atau kelompok kejahatan yang terjadi.

  Senada dengan Denny Indrayana, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa whistleblower bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang diungkapkannya, tetapi jika dia merupakan bagian dari pelaku yang diungkapkannya maka dirinya merupakan justice collaborator. Abdul Haris 75 Kompas.com, Beda whistleblower dan justice collaborator, 17 Mei 2012, diakses pada 19

  

September 2012. Denny menjelaskan bahwa kekliruan selama ini berkembang terkait sebutan

whistleblower terhadap agus Condro Mantan Anggota DPRI periode 1999-2004 yang terlibat dalam menjelaskan bahwa Susnoduadji merupakan contoh whistleblower, meskipun Susno Duadji menjadi pelaku kejahatan tetapi pada kasus yang bebeda dengan fakta yang diungkapnnya. Menurut Abdul Haris penyidik kurang memperhatikan waktu (timing)-nya menjerat Susno Duadji dalam kasus Arwana dan Pilkada Jawa Barat, karena penetapan Susno Duadji menjadi tersangka dapat membungkam kehadiran whistleblower lainnya karena pengusutan kasus Susno Duadji dapat diduga merupakan pembalasan oleh oknum pelaku yang dilaporkan oleh Susno Duadji. Meskipun demikian Susno Duadji diberlakukan sebagai Justice

  Collaborator karena hukummnya diringankan oleh Hakim menjadi 3,5 tahun, yang

   semula dituntut 7 tahun oleh penuntut umum.

  Mencermati kedua pendapat tersebut, maka apabila kita lihat dari sejarahnya sangatlah bertolak belakang. Jenis kejahatan yang diungkap oleh pengungkap fakta merupakan kejahatan yang terorganisir seperti kasus korupsi yang terjadi saat ini melibatkan oknum-oknum beberapa lembaga seperti legislatif dan ekskutif bahkan lembaga yudikatif , untuk mencari seorang whistleblower yang tidak terlibat mengetahui secara pasti dan mempunyai bukti-bukti yang kuat untuk diungkapkan sangatlah sulit. Kejahatan yang terorganisir tersebut yang merupakan tergolong

  extra ordinary crimes merupakan kejahatan yang sangat sulit pembuktiannya sehingga memerlukan orang dalam yang terlibat.

76 Hasil wawancara penulis dengan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai saat melakukan

  Dalam SEMA No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice

  collaborator ), jelas disebutkan bahwa Whistleblower adalah sebagai seorang

  pelapor pelaku tindak pidana tertentu artinya whistleblower merupakan bagian dari pelaku, tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.

  Berbeda dengan Justice Collborator, seorang justice collaborator sesungguhnya merupakan seorang yang terlebih dahulu dijadikan tersangka korupsi tetapi dia mau bekerjasama untuk memberikan informasi kepada penyidik tentang pelaku-pelaku lain yang terlibat bahkan mengungkapkan pelaku utamanya dengan harapan mendapat konvensasi keringanan hukuman. Tawaran untuk menjadi justice collaborator tersebut dapat saja dilakukan oleh penyidik atau tersangka. Sementara whistleblower dengan kesadaran sendiri untuk membocorkan informasi kepada penyidik baik dia terlibat dalam kasus tersebut atau tidak terlibat dan statusnya bukan sebagai tersangka.

  Dari kriteria dan definisi di atas dapat dibedakan posisi dan kedudukan

  

whistleblower dan justice collaborator. Dilihat persamaannya bahwa whistleblower

  bagian dari pelaku dan justice collaborator merupakan bagian dari pelaku kejahatan dan mau bekerjasama. Sedangkan perbedaan whistleblower dan justice collaborator adalah terletak pada statusnya yaitu bahwa whistleblower tidak menjadi tersangka saat mengungkapkan fakta sedangkan justice collaborator merupakan statusnya sebagai tersangka dan mau bekerjasama untuk mengungkapkan fakta kejahatan yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut dapat digambarkan pada table berikut ini :

  Tabel I o

  Whistleblower Justice Collaborator

  Sebagai Pelapor, pengungkap fakta, bukan sebagai tersangka Sebagai tersangka, mau bekerjasama untuk mengungkap fakta.

  Bagian dari pelaku, bukan pelaku utama. Bagi yang terlibat kasus mengakuai perbuatannya dan mengembalikan asset/hasil dari tindak pidana.

  • Bukan bagian dari pelaku.
  • Bagian dari pelaku bukan pelaku utama

  Mengakui perbuatannya dan mengembalikan asset/hasil dari tindak pidana.

  G.

  Kondisi Perlindungan Whistleblower di Berbagai Negara

  Whistleblower

  berkembang diberbagai Negara dengan seperangkat aturan masing-masing. Sejak awal 1990-an banyak negara di dunia telah membuat peraturan perundangan-undangan yang melindungi pegawai yang “mengungkapkan” untuk kepentingan publik maupun privat. Peraturan perundang-undangan yang melindungi whistleblower ini telah diatur dalam Undang-undang korporasi, Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Konsumen dan Keuangan. Negara-negara ini antara lain Australia, Kanada, Perancis, India, Jepang, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.

   Pada umumnya, dikeluarkannya peraturan perundang-undangan terkait ini didasari oleh pentingnya memberikan perlindungan kepada

  whistleblower

  setiap orang yang mau mengungkapkan terjadinya korupsi, praktik curang, penipuan, maladministrasi, kelalaian dan kesalahan yang dilakukan pejabat-

   pejabat, baik yang bekerja pada sektor publik maupun privat.

  Saat ini, telah ada konsensus internasional yang terus berkembang untuk perlindungan whistleblower. Banyak negara di Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika Selatan telah mengadopsi dan menerapkan ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan whistleblower untuk segmen yang lebih besar. Beberapa instrumen internasional, termasuk perjanjian-perjanjian multinasional, peraturan lembaga internasional dan kode etik sudah memberikan perlindungan terhadap

  , seperti Organization for Economic Co-operation and Development

  whistleblower

  (OECD) Principles of Corporate Governance, dan Commit ee of Sponsoring (COSO) Internal Control Integrated

  Organization of the Treadway Commission

  • – 2003

  Framework dan United Nations Convention Against Corruption

   (UNCAC).

  1. Whistleblower di Amerika Serikat Peraturan tentang whistleblower mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya

  UU Reformasi Pegawai Negeri 1978 (Civil Service Reform Act of 1978). UU ini 78 Latimer dan AJ Brown, Whistleblower Laws : International Best Practices, University of

  

South Wales Law Journal Volume 31 (3) 2008. 42. Dikutip dari Abdul Haris Semendawai et merupakan bagian utama dari UU yang melindungi pegawai federal yang mengungkapkan informasi (whistleblowing) terhadap kesalahan yang dilakukan

80 Pemerintah.

  Perlindungan yang diberikan dalam UU Reformasi Pegawai Negeri semakin menguat dengan diundangkannya Whistleblower Protection Act pada 1989, yang dikenal sebagai WPA. UU ini melarang pembalasan terhadap pegawai federal yang mengungkap terjadinya pelanggaran hukum dan perundang-undangan, mismanajemen, pemborosan anggaran, penyalahgunaan kekuasaan, atau bahaya

   khusus dan substansial bagi kesehatan dan keselamatan public.

  Berdasarkan UU Perlindungan Whistleblower, pengungkapan dapat dilakukan terhadap pihak manapun. Proses pengungkapan (whistleblowing) akan dilindungi, apabila pengungkapan tersebut tidak secara khusus dilarang oleh hukum, dan informasi tersebut tidak secara khusus diperintahkan untuk dirahasiakan demi

   kepentingan pertahanan nasional atau pelaksanaan urusan luar negeri.

  Terhadap whistleblower yang dikenai sanksi atau tindakan kepegawaian tertentu sebagai akibat dari tindakannya mengungkapkan informasi, seperti pemindahan/mutasi, skorsing, diganti, atau tindakan serupa lainnya yang dianggap sebagai hukuman, whistleblower tersebut dapat mengadukannya kepada Merit

80 Whistleblower Protection Laws (1989), Robert G. Vaughn, http://www.enotes.com/major-acts congress/whistleblower-protection-laws.

  Systems Protection Board (sejenis pengadilan administratif Pengadilan Tata Usaha

83 Negara di Indonesia).

  UU Perlindungan Whistleblower juga mengatur dan memberikan hak kepada untuk mendapatkan pemulihan, termasuk pembayaran kembali dan

  whistleblower ganti kerugian atas kerusakan yang timbul setelah dilakukan pengungkapan.

  Lembaga yang bertugas untuk melaksanakan perlindungan terhadap whistleblower

  

  ini adalah Kantor Penasihat Khusus (Oce of the Special Counsel).

  Kantor Penasihat Khusus diberi kewenangan oleh UU untuk mengeluarkan tindakan disipliner terhadap pejabat federal yang melakukan pembalasan terhadap

  

whistleblower . Berdasarkan kewenangan ini, sejumlah pejabat federal telah

  diberhentikan atau di-skors. Selain itu, Penasehat Khusus juga dapat meminta Kepala Instansi terkait untuk menanggapi tuduhan yang dibuat oleh seorang

   whistleblower .

  Diundangkannya UU Perlindungan Whistleblower ini telah meningkatkan perlindungan terhadap whistleblower. Perubahan yang paling penting adalah kemudahan bagi pegawai federal untuk membuktikan bahwa mereka telah mengalami pembalasan atas pengungkapan yang dilakukannya. Pegawai federal hanya perlu menunjukkan bahwa tindakan kepegawaian tersebut dilakukan sebagai akibat dari pengungkapan. Sehingga, tindakan kepegawaian tersebut dapat diduga

   sebagai suatu pembalasan. 83 84 Ibid., Ibid., Pegawai negeri dan karyawan swasta merupakan sumber informasi yang penting berkaitan dengan praktik korup pejabat Pemerintah dan penipuan dana- dana publik. Diundangkannya The Federal False Claims Act, setelah amandemen pada 1986, telah mendorong pengungkapan oleh para pegawai swasta dan publik dengan nominal pengembalian uang negara miliaran dolar yang dihasilkan dari

   praktik curang pejabat pemerintah.

  sendiri berisi ketentuan untuk melindungi para pegawai

  The False Claims Act

  dan karyawan yang berusaha untuk mengungkapkan tindakan penipuan dan kejahatan. Tindakan mendorong pengungkapan tidak hanya melalui perlindungan

  whistleblower , tapi juga dengan meng

  ijinkan mereka (para whistleblower), dalam beberapa keadaan, untuk menerima persentase dari dana-dana Pemerintah yang

   berhasil dikembalikan.