Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi

(1)

DAFTAR PUSTAKA

uku :

Al. Wi , Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara

Pidana), Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega. Bamba

.

Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

___________, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana (dalam Perspektif Kajian

Budiono Kusumohamidjojo, 1999, Ketertiban Yang Adil, Jakarta : Grasindo.

ungan Korban kejahatan, antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

vi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.

adari Djenawi Tahir, 2001, Pokok-pokok Pikiran dalam KUHAP, Bandung:

artini Kartono, 2003, Patologi Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Koalisi

Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta : Sinar Grafika.

Martim erbalik Dalam Kasus

Korupsi, Bandung : Mandar Maju.

B

snubroto, 2007

ng Waluyo, 2008, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan

Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang:

_

Perbandingan), Bandung: Citra Aditya Bakti.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlind

2007. E

H

Alumni. K

Perlindungan Saksi, Perlindungan Saksi Alas Tlogo Jakarta, 9 Januari 2007 Sabtu, 09 Juni 2007

M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan,


(2)

Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

ister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

udarto, 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap

__________, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni. __________, 1997, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

-Undangan:

ukum Acara Pidana

dang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

ternet :

Abdul

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2006, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice system), Bahan Kuliah, Semarang: Program Meg

S

Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru. _

_

Peraturan Perundang

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban H

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Un

In

Manan, “Silang Pendapat Perlindungan Saksi”,

http://jurnalis.wordpress.com/2006/01/31/.

Asian Human Rights Commission Indonesia, “Sebuah Tinjauan Kritis Mengenai Undang-Undang Perlindungan Saksi Dan Korban”,

http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/stbahasa/91/.

Eddy Suhartono, “Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi”,

http/www/google.com/korupsi.

Emerso berantasan Korups”i,

icw@antikorupsi.org

n Yuntho, “Khairiansyah dan Pem


(3)

Koordinator Divisi Perubahan Kebijakan Lembaga Bantuan Hukum Apik, dalam

Ibid, http://jurnalis.wordpress.com /2006/01/31/.

Juru bi indungan Saksi, dalam Ibid, http://jurnalis.wordpress.com

/2006/01/31/. cara Koalisi Perl

Okezone.com, “Alasan LPSK Beri Perlindungan untuk Susno”, http://hileud.com.

omli Atmasasmita, “Perlindungan Saksi Dalam Perkara Korupsi

R ”, HukumOn

udirman Said, “Undang-Undang Perlindungan Saksi,

Line Indonesia. S

http://www.transparansi.or.id, E-mail: mti@centrin.net.id.

utta Dharmasaputra, “UU Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah Momentum

Baru Penegakan Hukum”, http://www.google.com.

iva News.Com, “LPSK: Susno Bisa Ditempatkan di Sebuah Rumah”,

http://hileud.com/hileudnews

S

V


(4)

BAB III

B K

ENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI TINDAK PIDANA ORUPSI

Perlind

lindungan saksi dan tata cara perlindungan saksi dalam proses eradilan pidana.

korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik aupun

ungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi 

Pelaksanaan perlindungan saksi tidak terlepas dengan beberapa persoalan yakni; penegakan hukum perlindungan saksi, kapan dilakukan perlindungan saksi, bentuk-bentuk per

p

Penegakan Hukum Perlindungan Saksi

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau

m psikis dari pihak tertentu.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana. Kesaksian memang dibutuhkan dalam setiap pengadilan pidana, termasuk pengadilan militer. Saksi yang dimintai keterangan dalam penyidikan maupun persidangan, pada dasarnya sangat membantu berjalannya rangkaian proses


(5)

peradilan. Apalagi hasil yang diharapkan dari proses pengumpulan keterangan saksi u

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

n integral dalam rangka menjag

an hukum sebagai payung hukum bagi pa

ntuk memastikan peradilan yang jujur (fair trial).33

Dalam penegakan perlindungan saksi khususnya perlindungan hukum bagi saksi itu sendiri saat ini telah diatur oleh

Perlindungan Saksi dan Korban.

Sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran hak asasi manusia, adalah satu kesatua

a berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu.

Saksi dan Korban yang disahkan pada tanggal 11 Agustus 2006, diharapkan akan menolong negara ini keluar dari persoalan-persoalan hukum yang berkepanjangan seperti sulitnya memberantas korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan belum lagi tentang perlindungan hukum yang hanya mampu menyentuh bagi kalangan konglomerat, pejabat, dan lain sebagainya. Sehingga diperlukan perlindung

ra saksi dan korban di masa mendatang.

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan salah satu jawaban dari persoalan di atas. Perlindungan terhadap saksi dan korban harus diberikan bila menginginkan proses hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Hal ini dapat diperhatikan bahwa adanya fakta menunjukkan, banyak kasus-kasus pidana maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan adanya ancaman baik fisik atau psikis maupun


(6)

upaya kriminalisasi terhadap saksi dan korban ataupun keluarganya yang membuat at takut memberi kesaksian kepada penegak

ukum.

Syarat

korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai

Rekam

Korban menyatakan

Sak

permohonan secara tertulis

Lem ngan Saksi dan Korban segera melakukan pemeriksaan terhadap

Kep tertulis

paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. masyarak

h

dan Tata Cara Perlindungan Saksi

Menurut Pasal 28 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi dan/atau

berikut:

Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban.

Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.

Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban. jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.

Pasal 29 Undang-undang Perlindungan Saksi dan bahwa Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:

si dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan

kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. baga Perlindu

permohonan.


(7)

Bagi saksi dan/atau korban yang menghendaki perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, saksi dan/atau korban baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis

esediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi

saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses

an/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan

a ia berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi

annya di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan

ain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Kor

kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban lebih kongkrit menegaskan bahwa dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menerima permohonan saksi dan/atau korban, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban. Pernyataan k

dan korban memuat:

a. Kesediaan

peradilan.

b. Kesediaan saksi d keselamatannya.

c. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, selam

dan Korban.

d. Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa

pun mengenai keberada Saksi dan Korban, dan e. Hal-hal l


(8)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti persyaratan tersebut dalam Pasal 30. Perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban hanya dapat diberhentikan berdasarkan alasan-alasan seperti yang tercantum dalam Pasal

terhadapnya dihentikan

dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang

korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam

lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang mey

32 yaitu:

a. Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan

dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri.

b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap saksi

bersangkutan.

c. Saksi dan/atau

perjanjian; atau

d. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa saksi dan/atau

korban tidak akinkan.

Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur mengenai bantuan bagi saksi atau korban sebagaimana diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 sebagaimana penulis jelaskan sebagai berikut ini. Bantuan diberikan kepada seorang saksi dan/atau korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan menentukan kelayakan diberikannya bantuan


(9)

kepada saksi dan/atau korban. Dalam hal saksi dan/atau korban layak diberi bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menentukan jangka waktu dan besaran

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan etentuan yang berlaku.

Lem ng Terkait Dalam Perlindungan Saksi Pelapor Tindak Pidana  Kor

biaya yang diperlukan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan serta jangka waktu dan besaran biaya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengenai pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dan melaksanakan perlindungan dan bantuan, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan

k

baga Ya upsi 

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ini juga melahirkan lembaga baru sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang--undang ini. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan lembaga yang mandiri dalam arti lembaga yang independent, tanpa campur tangan dari pihak manapun. Lembaga


(10)

Perlindungan Saksi dan Korban juga berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indone

ban kepada Dewan Perwak

bali dalam j

dan Korban diatur dengan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi d

sia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangannya, dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Kor

ilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun.

Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. Masa jabatan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah 5 (lima) tahun. Setelah berakhir masa jabatan, anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat dipilih kem

abatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas Pimpinan dan Anggota, Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi


(11)

Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Lemba

si. Panitia seleksi terdiri atas 5 (lima) orang, dengan

an 2) 3 (t

ga Perlindungan Saksi dan Korban terbentuk.

Sehubungan dengan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ini belum ada komponen hukum yang mendukung untuk dilaksanakan, untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dilakukan oleh Presiden, dan dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan Presiden membentuk panitia selek

susunan sebagai berikut:

1) 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; d iga) orang berasal dari unsur masyarakat.

Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban


(12)

diatur dengan Peraturan Presiden. Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumla

alon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon a

enjadi anggota Lembaga Perlindungan nuhi syarat:

h 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan.

Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang. Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diterima. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan, dan Presiden mengajukan c

nggota yang tidak disetujui.

Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima. Presiden menetapkan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden. Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk dapat diangkat m


(13)

1) Warga negara Indonesia. 2) Sehat jasmani dan rohani.

3) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang

un dan paling tinggi 65 (enam

i bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10

ang tidak tercela; dan

8) Me

aga Perlindungan Saksi dan Korban diberhentikan karena:

hir.

dak dapat menjalankan tugas

emandirian dan kredibilitas Lembaga Perlindungan Saksi dan

dak pidana kejahatan yang ancaman ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.

4) Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tah puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan. 5) Berpendidikan paling rendah S 1 (strata satu).

6) Berpengalaman d

(sepuluh) tahun.

7) Memiliki integritas dan kepribadian y miliki nomor pokok wajib pajak.

Anggota Lemb 1) Meninggal dunia.

2) Masa tugasnya telah berak 3) Atas permintaan sendiri.

4) Sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan ti selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus.

5) Melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi k

Korban; atau


(14)

pid

Saksi dan Korban dibebankan kepada nggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Bentuk

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

(1) Seo

a. arga, dan harta

g, atau telah diberikannya. n.

.

gan kasus. engenai putusan pengadilan.

askan.

utuhan.

dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan ananya paling singkat 5 (lima) tahun.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan Peraturan Presiden. Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dalam hal keputusan tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan

A

 Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi 

Pasal 5 Undang-Undang Republik Perlindungan Saksi Dan Korban berbunyi:,

rang saksi dan korban berhak

Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, kelu

bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedan

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamana

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan d. Mendapat penerjema.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

f. Mendapatkan informasi mengenai perkemban

g. Mendapatkan informasi m

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibeb i. Mendapat identitas baru.

j. Mendapatkan tempat kediaman baru.

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan keb

l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya

hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

(2) Hak sebagaimana

keputusan LPSK.


(15)

hukum terhadap saksi termasuk saksi dalam tindak pidana korupsi adalah suatu bentuk perlindungan yang ditujukan bagi keamanan pribadi saksi itu sendiri, keluarga dan juga harta bendanya. Dengan adanya tiga objek yang harus diberikan perlindungan hukum kepada seorang saksi tersebut maka bentuk yang dipilih oleh instansi terkait dalam pelaksanaan perlindungan saksi tersebut diserahkan kepada

mbag

indungan hukum kepada seorang saksi termasuk dalam suatu

ungan

nsur dan Elisatris Gultom menjelaskan ada dua model

le a Perlindungan Saksi dan Korban.

Dengan adanya ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Republik Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, maka jelaslah undang-undang tersebut mengatur tentang bentuk yang diberikan dalam kerangka pelaksanaan perlindungan saksi. Dan dengan telah diaturnya bentuk tersebut dalam suatu peraturan perundang-undangan maka secara jelas pula di dalam prakteknya telah dilakukan. Artinya disebabkan undang-undang telah menjelaskan tentang bentuk perlindungan saksi maka ketentuan tersebut harus dijalankan dalam rangka memberikan perl

perkara korupsi.

Contoh yang diajukan dalam penelitian ini adalah perlindungan yang diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap Susno Duaji.

LPSK akan menawarkan berbagai bentuk perlindungan bagi Susno. 34 Dengan

demikian maka dapat jelas dilihat bahwa pengaturan tentang bentuk perlind saksi telah ada diatur di dalam undang-undang dan juga telah dipraktekkan.

Dikdik M. Arief Ma


(16)

perlindungan saksi yaitu:35

Pro

adilanpun makin besar karena roses persidangan bisa lama dan tidak sederhana.

. The

ai. Efek lain sulit memantau apakah pelayanan itu

1. cedural rights model

Model ini memungkinkan saksi berperan aktif dalam proses peradilan tindak pidana. Saksi diberikan akses yang luas untuk meminta segera dilakukan penuntutan, saksi juga berhak meminta dihadirkan atau didengarkan keterangannya dalam setiap persidangan dimana kepentingan korban terkait di dalamnya. Hal tersebut termasuk pemberitahuan saat pelaku tindak pidana dibebaskan. Model ini memerlukan biaya yang cukup besar dengan besarnya keterlibatan saksi dalam proses peradilan, sehingga biaya administrasi per

p

2 service model.

Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap saksi yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Misalnya pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi. Banyaknya pelayanan yang harus diberikan kepada saksi menyebabkan efisiensi pekerjaan dari penegak hukum tidak tercap

benar-benar diterima saksi.

Model yang bisa diterapkan di Indonesia adalah kombinasi keduanya, karena di Negara Indonesia paling susah adalah dalam hal koordinasi. Oleh karena itu, kedua model itu harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia, harus diukur sejauh mana saksi dan korban bisa terlibat dalam proses peradilan. Begitu pula

35

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban kejahatan, antara Norma dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 43.


(17)

tentang pemenuhan hak yang dapat diberikan kepada saksi dan korban. Undang-undang

n atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas

enentukan bentuk perlindungan serta

mbangan kasusnya genai putusan pengadilan

n

aru

kan penasihat hukum

3.Me

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah memuat perlindungan yang harus diberikan kepada saksi dan korban. 36

Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bentuk perlindungan saksi adalah sebagai berikut: 1. Perlindunga

dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan.

2. Ikut serta dalam proses memilih dan m

dukungan keamanan

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan

4. Mendapat penerjemah

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat 6. Mendapatkan informasi mengenai perke

7. Mendapatkan informasi men

8. Diberitahu ketika terpidana dibebaska 9. Mendapatkan identitas baru

10.Mendapatkan tempat kediaman b 11.Penggantian biaya transportasi 12.Mendapat

1 mperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan


(18)

Sasaran perlindungan yang diberikan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, terhadap saksi dan korban diatur dalam Pasal 5 bahwa hak diberikan uai

n

adi a Endin, publik jadi paham

mum, dan Hakim dalam Perkara

ak kejahatan. Ujung tombak lembaga perlindungan saksi ini adalah US Marsha

kepada saksidan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu ses dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Di negeri yang sistem hukumnya sangat rawan dan belum memberika kepastian hukum seperti Indonesia, nasib saksi pelapor memang belum mencerminkan kepastian hukum. Ambil contoh beberapa waktu lalu, Endin Wahyudin, yang melaporkan dugaan korupsi tiga hakim agung,37 malah menj terdakwa di persidangan. Belajar dari kasus yang menimp

bahwa negara belum menyediakan jaminan dan proteksi hukum yang memadai bagi para saksi pelapor tindak pidana korupsi.

Sejauh ini Indonesia memang baru memiliki produk perundangan-undangan untuk perlindungan saksi dalam kasus tindak pidana terorisme. hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut U

Tindak Pidana Terorisme. Sementara itu, untuk para saksi pelapor tindak pidana korupsi, proteksi hukum serupa belum tersedia.

Beberapa negara lain telah melangkah lebih jauh dalam memberikan perlindungan saksi. Di Amerika Serikat, misalnya, Undang-Undang Reformasi Keamanan Saksi tahun 1984 menjamin pemberian proteksi kepada para pelapor tind


(19)

38

Fasilitas untuk para pelapor ini mulai dari pemberian rasa aman hingga kelangsungan hidup pribadi dan keluarga. Semua kegiatan dan kebutuhan diatur melalui kantor operasi penegakan unit khusus perlindungan saksi yang berada di bawah Divisi Kriminal Departemen Kehakiman. Hal ini juga terjadi di Afrika Selatan.

Di Indonesia dewasa ini tidak adanya jaminan perlindungan bagi seorang saksi atau pelapor kasus korupsi. Praktik pengungkapan kasus biasanya mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari pihak-pihak yang diduga terlibat dalam praktik korupsi. Selama ini, pihak-pihak yang merasa dirugikan karena kasus korupsinya terungkap menggunakan ancaman kekerasan, intimidasi, atau pelapor kasus korupsi. Untuk hal yang tersebut maka perlu suatu perlindungan bagi saksi dan atau pelapor kasus korupsi.

Pengaturan tentang perlindungan terhadap saksi masih terpisah-pisah dalam beberapa peraturan perundang-undangan sesuai dengan masalah masing-masing. UU pemberantasan Korupsi dan UUKPK masih sangat minim mengatur megenai perlindungan saksi. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga mengatur tentang saksi termasuk saksi korban tidak cukup memberikan perlindungan jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap hak-hak tersangka ataupun terdakwa. KUHAP lebih melihat bahwa saksi hanya sebagai bagian dari alat bukti dan kurang mengatur tentang saksi sebagai pihak yang perlu dilindungi dan terutama korban dipulihkan hak-haknya. Baru pada pertengahan Bulan

37


(20)

E-Agustus 2006 kita memiliki UU Perlindungan Saksi dan Korban yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tetapi prosedu

tidak segera terwujud, proses legal terhadap pember

di berbagai lembaga pemeri

yang telah membuat negeri ini

r yang ditempuh agar seseorang yang berstatus sebagai saksi dan dapat dilindungi menjalani proses yang berbelit-belit.

Apalagi, sebenarnya banyak para pelapor yang bersedia membeberkan data, modus operandi penyelewengan kekuasaan, penyuapan, dan berbagai trik korupsi canggih lainnya. Mereka terdiri dari beberapa anak muda di berbagai lembaga pemerintah yang sudah geram dengan tingkah laku yang tidak baik para atasannya. Tapi, jika jaminan hukum

antasan korupsi terancam menemui jalan buntu karena para pelapor enggan bersaksi di depan persidangan.

Tak syak lagi urgensi pengesahan UU Perlindungan Saksi menjadi valid bila kita melihat keberanian auditor BPK, Khairiansyah, dalam kasus dugaan korupsi Mulyana. Khairiansyah baru bisa bermunculan

ntah, korporasi, dan lembaga publik lainnya bila negara mampu memberikan proteksi hukum terhadap para saksi pelapor. 39

Kombinasi antara demam Khairiansyah yang melahirkan deretan para pelapor baru dan kepastian hukum untuk memberikan perlindungan akan menimbulkan harapan terhadap perang melawan korupsi. Bila fenomena ini sudah terbentang di depan mata, para pelaku korupsi, penegak hukum, pejabat yang korup, dan juga oknum lainnya akan berpikir ulang untuk melakukan praktek buruk mereka dalam menyelewengkan kekuasaan

son Yuntho, “Khairiansyah dan Pemberantasan Korups”i, icw@antikorupsi.org

39

Emer ,


(21)

terpuru

tegrity Award 2005 dari Transparency International,

seb an,

pa

ang saku. Kejaksaan Negeri

) sus korupsi. Hal itu dapat diartikan bahwa setiap orang

--

uap dan korupsi di KPU, bukan berarti dia kebal u

Berita buruknya adalah tidak adanya perlindungan hukum bagi seorang saksi k. Indonesia tidak cukup dengan satu Khairiansyah. Negara ini perlu ribuan Khairiansyah lain dalam perang melawan korupsi.

Perjalanan hidup Khairiansyah Salman, mantan auditor BPK yang bersama KPK membongkar kasus suap dan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada November 2005, tidak ubahnya seperti kincir angin. Itu terjadi setelah dia terpilih sebagai penerima In

uah orga-nisasi gerakan antikorupsi dunia yang bermarkas di Berlin, Jerm da 11 November 2005.40

Namun, selang sepuluh hari kemudian pada 21 November 2005, masyarakat kembali dikagetkan berita Khairiansyah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap Dana Abadi Umat (DAU) oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. 41 Dalam salinan surat tanda terima barang bukti Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat III disebutkan, saat memeriksa kasus DAU, Khairiansyah menerima uang Rp 39.842.500. Dana itu diterima 22 Oktober 2002-26 April 2004 dalam bentuk uang Lebaran, transpor, dan u

Jakarta Pusat selanjutnya menetapkan Khairiansyah sebagai tersangka bersama beberapa auditor BPK yang lain. Yakni, Tohari, Hariyanto, dan Mukrom As’ad. Kejaksaan Agung juga mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah-tangkal (cekal) Khairiansyah.

Bagi upaya pemberantasan korupsi, penetapan Khairiansyah sebagai tersangka kasus korupsi oleh kejakasan dapat menjadi berita baik sekaligus berita buruk. Berita baik adalah adanya kesamaan di hadapan hukum (equaty before the law

dalam penanganan ka

tanpa memperhatikan tingkatan, kedudukan, ataupun jasa yang telah diberikan harus patuh dan menjalani proses hukum apabila diduga terlibat dalam kasus korupsi. Idealnya, tidak ada kekebalan hukum bagi seseorang yang terbukti melakukan korupsi.

Dalam kasus Khairiansyah, meski dinilai telah memiliki jasa yang luar biasa dalam upaya membongkar s

atas dosa-dosanya di masa lalu atau dugaan korupsi yang dilakukan

sebelumnya. Proses hukum tetap harus dijalani Khairiansyah. Proses hukum it akan menunjukkan apakah Khairiansyah terbukti terlibat ataukah tidak dalam kasus korupsi suap DAU.


(22)

atau pelapor kasus korupsi. Status tersangka yang diterima Khairiansyah sebagai pengungkap kasus suap dan korupsi di KPU pada akhirnya membuat orang berpikir ulang untuk menjadi saksi/pelapor kasus korupsi. Tidak dapat dimungkiri, upaya kejaksaan menetapkan Khairiansyah sebagai tersangka kasus

si

k ada

lam n lam kasus yang sama maupun kasus yang lain, sangat sulit

a pihak yang merasa dirugikan

isikapi dari kasus yang saat ini tengah

r

ek, segala kebutuhan dan transpor ditanggung pihak yang akan

ya, kasus Khairinasyah dan korupsi DAU di Departemen n korupsi dapat menjadi preseden buruk bagi upaya membongkar praktik korup di Indonesia. Lemahnya pengaturan dan perlindungan tentang saksi dan korban secara yuridis menjadi saksi enggan untuk bersaksi.

Persoalan utama banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya disebabkan tida jaminan tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering

mengalami kriminalisasi atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Saksi akhirnya menjadi tersangka atau bahkan terpidana.

Justru tindakan itu menjadi shock therapy bagi calon pelapor atau saksi da kasus korupsi. Tanpa adanya jaminan status hukum, dalam arti tidak aka dituntut da

membongkar tuntas suatu praktik kasus korupsi. Biasanya, pelapor yang memberikan informasi atau kesaksian juga terlibat dalam kasus korupsi tersebut.

Tidak adanya jaminan perlindungan bagi seorang saksi atau pelapor kasus korupsi sering terjadi di Indonesia. Praktik pengungkapan kasus biasany mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari pihak-pihak yang diduga terlibat dalam praktik korupsi. Selama ini,

pihak-karena kasus korupsinya terungkap menggunakan ancaman kekerasan, intimidasi, atau mengadukan pencemaran nama baik ke kepolisian untuk membuat jera saksi atau pelapor kasus korupsi.

Ada beberapa hal yang penting untuk d

dialami Khairiansyah. Pertama, pentingnya suatu perlindungan bagi saksi dan atau pelapor kasus korupsi. Saat ini, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan saksi.

Dalam kasus korupsi, dalam catatan ICW, sedikitnya 12 orang saksi pelapo kasus korupsi justru diadukan pencemaran nama baik oleh pihak terlapor. Kedua, pembenahan di tubuh BPK. Bukan rahasia umum dan merupakan praktik yang selama ini terjadi bahwa apabila BPK akan mengaudit suatu instansi atau proy

diaudit. Pola itu telah berjalan selama bertahun-tahun di BPK yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya kolusi antara auditor BPK dan pihak yang diperiksa.

Dampak negatif yang ditimbulkan dari upaya kolusi adalah hasil pemeriksaan menjadi sangat tidak objektif dan cenderung mengikuti kemauan si penyuap. Yaitu, jika ditemukan kejanggalan, hal itu dianggap sebagai suatu kesalahan administrasi. Seharusn

Agama oleh pimpinan BPK dijadikan momentum untuk pembenahan sistem da pembersihan oknum BPK yang dapat meminimalisasi korupsi dan kolusi oleh jajaran di bawahnya.


(23)

Demikian juga halnya dengan praktek hukum pada Pengadilan Negeri Lubu Pakam belum menunju

k kkan interpedensi dan kemerdekaan seorang saksi dalam

n yang merupakan keadaan bagi terhalangnya penegakan hukum di bidang korupsi ini dimana kepada saksi pelapor kurang diberikan perlindungan hukum.

melaporkan terjadinya tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.


(24)

BAB IV

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN DIBERIKANNYA ADAP SAKSI PELA

PERLINDUNGAN TERH POR DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI

cara kritis tentang Perlindungan Hukum bagi Sa

rarti bahwa mereka

sus

Beberapa Catatan tentang Undang‐Undang Perlindungan Saksi 

Sebelum sampai pada pembahasan mengenai kebijakan formulasi peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum bagi saksi di masa yang akan datang, maka penulis mencoba mengkaji se

ksi dalam Proses Peradilan Pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan pengertian saksi itu sendiri sebagai seseorang yang “melihat, mendengar, atau mengalami” suatu tindak pidana. Pengertian yang sama dijumpai dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 ayat (1). Dalam beberapa kasus, orang masih banyak yang takut untuk melapor suatu tindak pidana. Seseorang yang mengetahui suatu tindak pidana dan bahkan memiliki bukti penting tetapi tidak masuk dalam kategori sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, tidak akan mendapatkan perlindungan saksi, yang mana be

dapat saja mengalami bentuk-bentuk intimidasi dan ancaman.

Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang dapat melaporkan sebuah kejahatan atau menyediakan bukti mendapatkan perlindungan seperti dalam ka terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, hal pokok termasuk keperluan untuk


(25)

menjaga aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat sipil lainnya

gan kasus t

lam rumah tangga tidak termasu

.

Secara khusus, seseorang yang karena menyediakan informasi tanpa adanya itikad baik tidak mendapatkan perlindungan diatur pada Pasal 10 ayat (3). Dengan menghindari klarifikasi pada siapa yang berhak memberikan penilaian semacam itu dan atas dasar apa seseorang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku pelanggar. Masyarakat internasional menyambut baik dengan dimasukkannya anggota keluarga saksi dan korban ke dalam skema perlindungan saksi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, akan tetapi, sebagai tambahan, seluruh saksi yang dapat menyediakan bukti-bukti, tanpa melihat hubungan mereka den

53

ersebut, seharusnya juga dapat dimasukkan ke dalam undangundang ini. Seseorang yang dimasukkan ke dalam program perlindungan saksi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, harus mendapat kepastian bahwa mereka akan diproses secara tepat waktu, dimana Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan waktu selama 7(tujuh) hari untuk menanggapi, tetapi tidak ada ketentuan apapun yang dikeluarkan untuk mempercepat persyaratan-persyaratan tersebut dalam kasus-kasus yang sifatnya darurat, seperti pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan pembunuhan oleh aparat militer atau personil kepolisian. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah, hak untuk mendapatkan asistensi medis dan rehabilitasi psikologi hanya dapat diterapkan pada korban pelanggaran hak asasi manusia saja, sementara korban kekerasan da


(26)

Perlindungan dalam undang-undang dipahami dalam bahasa yang kabur, seperti “memberikan rasa aman“ sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban termasuk ”segala jenis ancaman yang be

erlindungan diperjelas dengan penjelasan prosedural atau petunju

buka segala macam

ksi, kebanyakan saksi tidak bersedia membe

rhubungan dengan kesaksian”.

Pada Pasal 5 mengatur tentang ketentuan spesifik termasuk hak saksi atau korban untuk memperoleh identitas baru, relokasi, nasihat hukum, dan bantuan biaya hidup sementara, tetapi tidak secara mutlak memerlukan relokasi ke luar negeri atau mendapatkan pekerjaan baru bagi saksi atau korban sebagaimana lazim terjadi di yurisdiksi negara lain. Tidak satupun ketidakjelasan yang berada dalam daftar bentuk-bentuk p

k pelaksanaan.

Pada kenyataannya, implementasi perlindungan itu sendiri menjadi sebuah kunci penting bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, bahkan tidak tersentuh dalam Undang-undang tersebut dan dengan demikian mem

interpretasi atasnya dan pelaksanaan yang sewenang-wenang.

Lebih jauh lagi, tata letak dalam ruang persidangan Indonesia yang menempatkan korban, secara simbolis, terjebak dalam posisi antara penuntut umum dan terdakwa, sambil menghadap ke arah Majelis Hakim, sedikit banyak mempengaruhi “rasa aman”-nya, dan dapat, sebagaimana dalam kasus-kasus di negara lainnya, memberikan dampak yang layak dipertimbangkan bagi kesediaan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan. Kenyataannya, dengan atau tanpa Undang-undang Perlindungan Sa


(27)

Citra bersaksi di ruang persidangan cukup “menakutkan” bagi para saksi, mereka akan berpikir dua kali apabila mereka ingin bersaksi dalam proses peradilan pidana. Ketentuan yang dibuat tidak ada untuk memberikan perlindungan bagi para saksi dari aparat bersenjata untuk menjamin keamanan secara fisik, maupun tidak ada indikasi apapun menunjukkan kepada siapa yang berwenang untuk m

ersenjata, departe

anjangan dan masalah prosedural yang berbelit-belit hampir pasti ak

engambil langkah seperti itu.

Hanya pada Pasal 36 ayat (1) yang memberikan mandat kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk “bekerjasama dengan instansi berwenang lainnya yang terkait”, akan tetapi, instansi seperti itu hanya diwajibkan melaksanakan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sesuai dengan kewenangannya. Instansi yang dimaksud seperti kepolisian, angkatan b

men tertentu seperti Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum.

Di Indonesia, indikasi semacam ini tidak ada ketentuan yang jelas. Undang-undang Perlindungan saksi yang ada saat ini hanya menghindari untuk mengklarifikasi prosedur komunikasi dan tugas antar instansi. Oleh karena itu, birokrasi yang berkep

an dihadapi.

Persyaratan yang disebutkan dalam undang-undang bagi para anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak ada dalam hal pelatihan profesional, padahal Pasal 11 ayat (3), menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban akan memiliki perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Jika hal tersebut membuat kepolisian terlibat dalam perlindungan sebagaimana disyaratkan dalam Undang-undang, keselamatan para saksi hampir pasti tidak


(28)

dapat terjamin, secara khusus dimana kebanyakan pelaku dalam kasus pelanggaran hak asa

kepolisian di daerah biasanya menjadi pelaku pelangg

arkan peraturan mengatur mengenai pengan

si manusia adalah kepolisian.

Pendirian kantor cabang, di atas segalanya, tentu diperlukan di daerah-daerah tertentu dimana pelanggaran hak asasi manusia serius sering terjadi, seperti Aceh, Papua Barat, Maluku, dan Sulawesi. Undang-undang juga tidak merujuk pada hak apapun bagi para korban atau saksi untuk memilih divisi lain di kepolisian untuk melaksanakan langkah-langkah perlindungan, begitu juga kepolisian ditugaskan untuk melaksanakan tugas perlindungan. Hal ini penting dalam kasus dimana petugas

aran hak asasi manusia.

Perlindungan saksi yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong Independent Commission against Corruption (ICAC), sebagai contoh pelaksanaannya dilakukan oleh divisi khusus tersendiri. Pasal 13 ayat (1) menentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggungjawab kepada Presiden, sehingga dengan kewenangan dalam seleksi untuk pertama kali dan juga penetapan anggota sebagaimana diatur pada Pasal 19, dimana satu-satunya pejabat yang diberikan kewenangan untuk mengelu

gkatan dan pemberhentian anggota.42

Dengan demikian di bawah ketentuan tersebut, Presiden sendiri bahkan dapat memecat anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berdasarkan wewenang diskresinya. Mengingat Presiden diberikan kekuasaan untuk

42

Al. Wisnubroto, 2007, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), Jakarta: PT. Galaxy Puspa Mega, hal. 78.


(29)

menentukan pemegang mandat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang tersebut jelas mengandung kelemahan ketika dihadapkan pada kasus dimana terjadinya konflik kepentingan dari Presiden atau pejabat senior lainnya, di bawah

emiliki tanggung jawab atas 235 juta penduduk Indone

perlindungannya.

Dengan uraian di atas, tentu menjadi bahan diskusi yang panjang dalam hal perlindungan saksi, jika tidak adanya “political will” dari pemerintah akan menyebabkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak berdaya sekalipun jumlah kasus yang dihadapi sedikit jumlahnya. Ketujuh (7) anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban m

sia.

Sekretaris Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang diangkat oleh Menteri Sekretaris Negara harus mampu merekrut anggota lembaga dalam jumlah yang memadai. Undang-undang tersebut menyediakan pada setiap warga negara hak yang sama untuk permohonan perlindungan. Lebih dari ratusan kasus diharapkan dapat ditangani oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan setiap dari kasus-kasus tersebut memerlukan penilaian kualitatif dan menyeluruh. Hanya dalam ketentuan seperti itulah kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban akan berjalan secara efektif. Namun sangat disayangkan hingga saat ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sendiri belum banyak diketahui oleh masyarakat mengenai tugas dan fungsinya oleh masyarakat, terlebih baru saja terbentuk sejak Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban diundangkan dalam Lembaran Negara sejak Tanggal 11 Agustus 2006. Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah mengenai ketentuan pendanaan yang masih belum


(30)

jelas. Minimnya persiapan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih belum secara tulus berkomitmen untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tersebut.

Keb rlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan  Pid

kan pada proses pembah

egara lain dan dengan melaku

ijakan Formulasi Hukum Tentang Pe ana Di Masa Yang Akan Datang 

Memahami lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia yang berlatar belakang pentingnya perlindungan saksi sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia bagi semua orang yang bersaksi dalam proses peradilan pidana, maka jika ditinjau dari perjalanan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut tidak jauh berbeda jika dibanding

asan Undang-undang ini juga sangat alot diperdebatkan.

Dalam kebijakan formulasi Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban dimasa yang akan datang, dapat dilakukan dengan berbagai metode baik itu melalui metode komparasi maupun metode evaluasi. Metode komparasi misalnya dapat dilakukan dengan cara membandingkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang lain sedangkan metode evaluasi yaitu dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan sebuah undang-undang. Apabila ditinjau dari dua metode di atas, bahwa Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, jika dibandingkan dengan Undang-undang di negara-n

kan evaluasi akan penulis uraikan dibawah ini.43

Mengutip pembahasan sebelumnya, bahwa perhatian masyarakat internasional terhadap korban kejahatan nampak dengan diadakannya kongres

43

Bambang Waluyo, 2008, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 103.


(31)

seperti di Milan tanggal 26 Agustus sampai tanggal 6 September 1985 yaitu United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke VII dengan tema "Pencegahan Kejahatan, untuk Kebebasan, Keadilan, Kedamaian dan Pembangunan", salah satu topik yang dibicarakan secara mendalam adalah masalah korban kejahatan. Pada kesempatan itu dihasilkan sebuah draft Deklarasi yang di dalamnya memuat rekomendasi agar korban kejahatan diberi hak "to be present

ai keseluruhan mempunyai tanggung jawab atas korban

Tanggung jawab itu dihubungkan dengan keadaan bahwa penguasa

perbuatan-perbuatan itu, maka

and to be heard at all critical stages of judicial proceeding".

Pada tahun 1963 di New Zealand juga ada peraturan yang memberikan landasan bahwa orang yang menjadi korban dari tindak pidana kekerasan dapat memperoleh ganti rugi, ialah "Criminal Injuries Compensation Act". Di Negara bagian Ontario misalnya ada "Ontario Criminal Injuries Compensation Scheme".

Di negeri Belanda diundangkan "Wet voorlopige schandenfons

geweld-misdrijven".44 Peraturan ini membentuk suatu dana yang membayar sejumlah uang sebagai penawar kepada mereka yang menjadi korban dari kejahatan kekerasan yang dilakukan dengan sengaja atau apabila korban itu meninggal dunia kepada keluarganya. Dana tersebut merupakan badan hukum dan menjadi beban dalam anggaran belanja Departemen Kehakiman. Menteri Kehakiman Belanda memberi alasan mengapa masyarakat sebag

dari kejahatan kekerasan.

Tanggung jawab itu didasarkan atas tiga hal :

menyatakan beberapa perbuatan tertentu sebagai pelanggaran berat dan penyerangan terhadap ketertiban hukum yang berat. Sebagai kelanjutan dari pengancaman dengan pidana terhadap


(32)

dapat dipikirkan adanya suatu tugas dari penguasa untuk meringankan atau menghilangkan akibat perbuatan itu.

sifat lebih filsafati; masyarakat dapat dipandang sebagai jaringan halus dari perbuatan manusia, sehingga setiap orang dalam arti manusiawi pada umumnya "ikut bersalah" atas apa yang menjelma seb

Ber

agai kesalahan

Per

ka iklim social-psikologis menjadi baik untuk memperlakukan si pembuat dengan cara yang paling meguntungkan dari

n aktifitas kepolisian dapat saja menghadirkan ancaman dari pada pe

kan keteran

seorang oknum yang melakukan tindak pidana. Singkatnya di sini ada solidaritas dengan orang yang menjadi korban kejahatan.

timbangan yang penting untuk politik hukum; peraturan itu dipandang mempunyai pengaruh mendamaikan atau menyelesaikan konflik

("conflictoplossing"): apabila ada penggarapan khusus demi para korban dari tindak pidana ma

sudut prevensi sosial.45

Di pengadilan negara-negara Asia, pemberian keterangan saksi lebih dititik beratkan, dan perlindungan saksi dan korban adalah hal krusial ketika berhadapan dengan korupsi dan penyiksaan oleh polisi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya. Orang-orang yang ditawarkan perlindungan oleh kepolisian biasanya khawatir karena mereka tidak akan tahu apakah polisi yang baik atau yang buruk yang akan melindungi mereka. Dalam beberapa contoh, aparat kepolisian dipandang buruk da

rlindungan.

Di negara lain, ketidak hadiran sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi yang efektif telah menyebabkan hilangnya kualitas penyidikan dan jalannya persidangan. Beberapa kasus diketahui bahwa para saksi dibunuh untuk menghentikan mereka bersaksi di persidangan. Di Filipina, kondisi serupa juga terjadi. Berharap agar para saksi hadir di persidangan untuk memberi

gan di bawah kondisi semacam itu jelas merupakan hal yang langka55. Bagaimana publik dapat diberitahu mengenai akses dan

ketentuan-45


(33)

ketentuan mengenai lembaga baru tersebut, Undang-undang yang telah disahkan hanya menyediakan permohonan tertulis yang dapat dipertimbangkan oleh lembaga perlindungan saksi, padahal lembaga perlidungan saksi itu sendiri belum terbentuk dan efektif di setiap daerah. Presiden sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan bagaimana lembaga ini akan bekerja dan beroperasi, secara khusus dalam hal pengangkatan dan pemberhentian anggotanya. Lembaga perlindungan saksi yang sedemikian erat dengan kekuasaan presiden sudah barang tentu perlu adanya kontrol dari semua pihak. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mandat pengawasan lebih dalam harus diberikan kepada pemegang saham

mbah panjang deretan

dari kalangan organisasi non-pemerintah.

Berdasarkan Pasal 27 Undang-undang Perlindungan Saksi Pendanaan harus dibiayai dari anggaran Negara, untuk saat ini tidak ada ketersediaan sumber daya yang disediakan bagi lembaga untuk memulai pekerjaannya. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebagai contoh, telah mengalami beberapa permasalahan dalam kerjanya karena mendapatkan dana yang minim dari pemerintah dan oleh karena itu belum mampu secara optimal melakukan tugas-tugasnya, sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menghadapi kendala yang sama, maka hal itu hanya akan mena

permasalahan sebuah peraturan yang tidak implementatif.

Kebijakan formulasi yang perlu dilakukan dengan memperhatikan dari persoalan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diundangkan atau ditetapkan sebagai payung hukum dalam penegakan perlindungan saksi yaitu dengan memperhatikan formulasi Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban


(34)

yang telah ada saat ini. Selain itu harus memahami bahwa hukum adalah merupakan sebuah sistem yang saling mempengaruhi dalam satu sistem atau satu kesatuan hukum. Pembaharuan hukum adalah bagian dari suatu sistem hukum itu sendiri, sehingga dalam pembaharuan hukum perlindungan saksi itu sendiri hendaknya disertai dengan penyedian komponen hukum dalam rangka melaks

lindungan Saksi dan Korban serta aturan-aturan pelaksana dari undang

eg” di Dewan Perwakilan Rakyat yang menghabiskan waktu

sekitar

anakan formulasi hukum perlindungan saksi.

Kebijakan formulasi hukum tentang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana di masa yang akan datang, tentu tidak terlepas dengan bagaimana Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Dalam hal ini adalah kaitannya dengan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang saat ini berlaku. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai payung hukum mengenai perlindungan saksi belum dapat dikatakan mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Hal ini didasarkan dengan belum efektifnya komponen-komponen hukum yang harus disediakan seperti Lembaga Per

-undang ini.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, secara formal juga tidak maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban karena masih banyak kelemahan disana sini. Hal tersebut tidaklah mengherankan melihat perjalanan lahirnya undang-undang itu yang sangat alot dan terkesan hanya untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan proses pembahasannya

yang sempat “mand


(35)

Berdasarkan catatan, pada tahun 2006 setidaknya masih terdapat saksi dan korban yang harus menjalani proses hukum pidana karena dilaporkan balik karena mencemarkan nama baik ataupun digugat secara perdata. Beberapa di antaranya juga masih diproses pasca lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, selain itu masih tercatat pula beberapa saksi yang mendapat kekerasan fisik. Hal lain yang menjadi catatan bahwa dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah tidak adanya upaya memaksa tentang ganti rugi dari pelaku kepada si korban yaitu tidak mengatur mengenai pembayaran ganti rugi dari pelaku kepada saksi atau korban, padahal korban sebagai saksi yang dirugikan akibat perbuatan melanggar hukum seseorang, tetapi tidak terlindungi. Untuk itu, hendaknya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban mengacu pada Konsep/Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mencantumkan pembayaran ganti kerugian dari pelaku terhadap korban sebagai salah satu bentuk perlindungan.

Demikian halnya dengan adanya perubahan paradigma hukum pidana saat ini yang berorientasi pada pelaku tetapi berdasarkan perkembangan paradigma tersebut mulai ditinggalkan beralih paradigma yang berorientasi pada korban. Dalam mempersiapkan, membuat, serta merumuskan perundangundangan pidana yang baik serta agar dapat dilaksanakan, maka dapat menggunakan pendapat Marc Ancel sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, menyatakan, bahwa "modem criminal science" terdiri dari tiga komponen "Criminology", "Criminal Law", dan

"Penal Policy". Dikemukakannya, bahwa "Penal policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan


(36)

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada penyelenggara atau pelaksa

Usa turan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan

Keb

g terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa

ta merumuskan perundang-undangan pidana yang baik se

na putusan.46

Selanjutnya menurut Sudarto, Politik Hukum adalah : ha untuk mewujudkan pera

dan situasi pada suatu saat.

ijakan Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yan

yang dicitacitakan.47

Dasar pengertian yang demikian itu, selanjutnya Sudarto menyatakan, bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung makna, bagaimana mempersiapkan, membuat ser

rta dapat dilaksanakan.

Kaitannya dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, karena merupakan lembaga yang diatur oleh undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, maka untuk formulasi hukum seharusnya undang-undang memberikan kerangka yang

46

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hal. 41.

47

Sudarto, 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, Bandung, hal. 11.


(37)

jelas tentang bentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sehingga anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak kebingungan dalam menjalankan tugasny

sebagai satu esatuan hukum sehingga tidak ada disharmonisasi hukum.

C.  ak  

erlu dib

13

i dan/atau korban tindak pidana dengan

d. Hasil analisis tim medis atau psikologi terhadap saksi dan/atau korban.

e. n.

arkan alasan sebagaimana yang

pe

upkan Susno. Ketiga, LPSK menilai adanya ancaman atau teror ang dialami Susno dimana Susno dan istrinya diikuti oleh orang yang tidak

a.

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam melakukan formulasi hukum hendaknya tetap memperhatikan sebuah sistem hukum

k

 F tor‐Faktor Yang Menyebabkan Diberikannya Perlindungan Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi  

Adapun alasan saksi dalam perkara termasuk tindak pidana korupsi p

erikan perlindungan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Nomor Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban yang berbunyi:

Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saks

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) diberikan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

b. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban.

c. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban.

Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korba

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 di atas maka dapat dilihat bahwa alasan saksi dalam perkara termasuk tindak pidana korupsi perlu diberikan

perlindungan telah ada diatur di dalam peraturan perundang-undangan, dan disebabkan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maka setiap pemberian perlindungan saksi harus berdas

diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah alasan dari LPSK memberikan rlindungan terhadap Susno Duaji yaitu:

Pertama, Susno telah mengajukan permohonan perlindungan secara tertulis. Kedua, keterangan Susno dinilai penting untuk mengungkap kasus yang pernah diti


(38)

d

adap

erhadap saksi yang melaporkan

1. Kepentingan lembaga-lembaga terkait dalam pemberantasan korupsi dimana

dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi pelapor maka akan memberikan efektivitas bagi kinerja instansi tersebut. Artinya dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi maka lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pemberantasan korupsi akan dapat lebih maksimal bertugas dan mencari keterangan melalui saksi-saksinya karena undang-undang melakukan perlindungan atas saksi mereka, dan masyarakat luasnya tidak akan takut lagi untuk melakukan kerjasama dengan pihak terkait karena mereka dilindungi oleh undang-undang.

2. Bagi pelapor sendiri, dimana dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi pelapor maka ia tidak akan khawatir terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirinya di belakang hari, seperti kekerasan, atau ia dituntut ke depan pengadilan, dan lain-lainnya, karena dengan adanya perlindungan saksi maka hal tersebut berarti si saksi pelapor merasakan dirinya dilindungi undang-undang. Atau dengan perkataan lain bahwa dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi maka masyarakat tidak akan takut lagi menjadi pelapor atau

ikenal.48

Ada banyak alasan yang menyebabkan diberikan perlindungan terh saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi di Indonesia yang kesemuanya bermuara pada upaya agar dapat dibukanya dan diangkatnya kasus-kasus korupsi dengan adanya seseorang yang bersedia melaporkan peristiwa perbuatan pidana berupa korupsi tersebut dan agar masyarakat mengetahui bahwa di Indonesia diberikan perlindungan t

adanya suatu tindak pidana korupsi. Dengan demikian ada dua keadaan penting yang menjadi alasan atau sebab utama diberikannya perlindungan terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi yaitu :

48

Okezone.com, “Alasan LPSK Beri Perlindungan untuk Susno”, http://hileud.com, Diakses tanggal 7 Maret 2011.


(39)

saksi dalam kasus korupsi karena mereka dilindungi undang-undang.

Perlindungan saksi merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini disebabkan dengan seseorang yang bersedia menjadi saksi pelapor khususnya dalam

rkaitan dengan sebuah

ahyudin menjad

perkara korupsi maka keadaan yang menjadi hambatan khususnya dalam pengungkapan kasus korupsi tersebut dapat dihindari, sehingga pelaku korupsi dapat dibuktikan memang benar-benar bersalah.

Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi adalah juga korban pihak yang dirugikan dari peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat menjelaskan rangkaian kejadian yang be

peristiwa yang menjadi obyek pemeriskaan di muka persidangan. Saksi, bersama alat bukti lain, akan membantu Hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan obyektif berdasarkan fakta-fakta hukum yang dibeberkan.

Nasib pelapor korupsi tak selalu baik di Indonesia. Endin W

i contoh. Maksud hati melaporkan dugaan suap di lingkungan Mahkamah Agung, ia malah diadili atas tuduhan pencemaran nama baik. Ada juga saksi yang diancam, rumahnya dilempar bom, akibat melaporkan dugaan korupsi.49

Realitas itu coba diperbaiki. Rapat Paripurna DPR, Selasa 17 Juli 2005, menyetujui Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. RUU ini diyakini dapat memperkecil ancaman yang dihadapi saksi pelapor. Sebuah kabar menggembirakan, tentunya. Dan dalam kenyataannya kemudian pada


(40)

tanggal 11 Agustus 2006 disyahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006. Berdasarkan dokumen yang

dihimpun Indonesian Corruption Watch serta Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, sedikitnya ada 39 saksi, korban, atau pelapor yang diadukan dengan pencemaran nama baik atau mendapatkan berbagai ancaman sejak 1996-2006. Seluruh fraksi di DPR mendukungnya. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, dalam pemandangan akhir yang dibacakan Yasonna Laoly, berkeyakinan UU ini bisa membuka tabir kejahatan yang justru banyak terjadi di lembaga penegak hukum, seperti di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, yang selama ini sulit dibongkar. "Inilah kado DPR untuk KPK agar kian gigih mengungkap perkara korupsi," ucap Lukman Hakim Saifuddin, juru bicara Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Fraksi Partai Amanat Nasional juga memberi apresiasi. F-PAN yakin UU ini akan mengoptimalkan proses peradilan karena memperbesar partisipasi masyarakat. "Fakta kebenaran yang sesungguhnya akan banyak terungkap. Tidak akan ada lagi fakta dan kebenaran yang tidak terungkap hanya karena ketiadaan saksi," ucap Arbab Paproeka, juru bicara F-PAN.

Pemerintah yang selama ini menaruh perhatian pada pemberantasan korupsi pun menaruh harapan besar. UU ini menjadi momentum dan membawa pengaruh besar dalam penegakan hukum di Indonesia, demikian pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhyono yang dibacakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin dalam rapat paripurna. Kalangan LSM yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban yang banyak memberikan masukan dan aktif mengawal pembahasan, kendati tidak terlalu puas dengan rumusan pasal


(41)

yang ada, mengakui ada kemajuan dengan adanya perlindungan pada pelapor (whistle

orban; jenis perlindungan dan bantuan yang diberikan; lembaga berwenang yang memberikan perlindungan dan bantuan; syarat dan tata cara pe

atu perkara pidana yang ia dengar sendiri,

mendapat identitas baru,

blower) serta tidak adanya pembatasan perlindungan saksi/korban berdasarkan tindak pidana. Dengan begitu, akan makin banyak pihak yang berani membongkar kejahatan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 secara umum mengatur lima materi pokok, yaitu kriteria saksi, k

mberian perlindungan dan bantuan; serta sanksi pidana kepada setiap orang yang melakukan ancaman.

Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mendefinisikan saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang su

ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Adapun korban didefinisikan sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan suatu tindak pidana.

Hak seorang saksi dan korban meliputi: keamanan pribadi, keluarga, harta benda, bebas dari ancaman berkenaan dengan kesaksiannya, ikut serta dalam menentukan bentuk perlindungan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat penerjemah, bebas dari pertanyaan menjerat, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, mendapat informasi mengenai putusan pengadilan, mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan,


(42)

mendap

eringankan pidana. Di sini ter

atkan tempat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan, mendapat nasihat hukum, serta memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas perlindungan berakhir (Pasal 5).

Hak itu diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Korban pelanggaran HAM berat, bahkan juga berhak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psiko-sosial, serta mengajukan kompensasi dan restitusi ke pengadilan melalui LPSK. Dalam proses persidangan, saksi maupun korban yang merasa dirinya diancam, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir di pengadilan dan memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan kepada pejabat berwenang dengan membubuhkan tanda tangan pada berita acara, atau dapat pula didengar kesaksiaannya melalui sarana elektronik dengan didampingi pejabat berwenang. Seorang saksi yang juga tersangka, dalam UU ini juga diatur, dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam m

jadi perbedaan dengan Koalisi LSM. Mereka menghendaki, saksi tersangka tidak menjadi target hukum. Alasannya, kasus kejahatan luar biasa umumnya dapat dibongkar saksi pelaku sehingga perlu diberi penghargaan.

Khusus tentang perlindungan pada pelapor, dalam UU juga diatur bahwa Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Yang dimaksud dengan pelapor di atas adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Namun, ketentuan itu tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan


(43)

tidak dengan itikad baik, antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Di sini, Koalisi LSM berbeda pandangan. Pelapor tidak cukup hanya dibebaskan dari jerat hukum, tetapi juga berhak mendapat perlind

itkan dengan alasan perlunya diberikan terkait seperti LPSK dan pemeri

ungan seperti halnya saksi dan korban. Usulan ini tidak diterima karena dianggap membuat cakupan UU ini jadi melebar dan berkonsekuensi pada anggaran.

Suatu hal yang perlu dika

perlindungan terhadap saksi adalah peranan dari lembaga

ntah serta masyarakat dalam hal pelaksanaan perlindungan saksi, seperti yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Lembaga perlindungansaksi dan korban (LPSK)

LPSK bersifat mandiri, berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan apabila diperlukan. Anggotanya terdiri dari tujuh orang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang HAM, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan HAM, akademisi, advokat, atau LSM. Untuk pertama kali, seleksi dan pemilihannya dilakukan Presiden dengan membentuk panitia seleksi yang terdiri dari dua unsur pemerintah dan tiga unsur masyarakat. Panitia seleksi mengusulkan 21 calon kepada Presiden untuk kemudian dipilih sebanyak 14 orang dan diajukan kepada DPR untuk disetujui menjadi 7 orang. Masa jabatan LPSK ini lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Biaya LPSK ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Perlindungan terhadap saksi dan korban itu sendiri diberikan dengan mempertimbangkan: sifat pentingnya keterangan, tingkat


(44)

ancaman, hasil analisis tim medis atau psikolog, serta rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan. Tata cara pemberian perlindungan bisa dilakukan atas inisiatif sendiri

saksi dan korban, UU juga mengatur sejumlah sanksi pidana kepada setiap orang yang mengancam saksi maupun korban. Sanksi pidana itu mulai dari denda Rp 40 juta sampai Rp 500 juta serta kurungan satu tahun hingga seumur hidup.

at

nnya

am melakukan pengamatan sampai pada pelaporan (pengaduan) tindak pidana yang di

maupun atas permintaan pejabat berwenang. Berdasarkan itu, LPSK melakukan pemeriksaan. Paling lambat tujuh hari sejak permohonan perlindungan diajukan, LPSK harus sudah memberikan jawaban tertulis.

Sebaliknya, saksi atau korban pun harus menyatakan kesediaan menjalankan sejumlah syarat: kesediaan memberikan kesaksian dalam proses peradilan, menaati aturan berkenaan dengan keselamatannya, tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya yang dilindungi LPSK, dan hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Sebagai bentuk perlindungan terhadap

2. Pemerintah dan masyarak

Dengan adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maka dituntut kesigapan pemerintah mengimplementasika dengan dukungan masyarakat.

Pada kapasitas ini pemerintah diharapkan mengedepankan perannya dalam memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada rakyat, yang memang kurang


(45)

lakukan bila memang ada indikasi korupsi. Lalu dari segi perlindungan saksi, harus lebih di tingkatkan lagi, karena selama ini yang terjadi, pelapor enggan untuk

melapo akan

rena

pulkan segala persyaratan untuk pembuktian suatu kasus tipikor. Intinya harus ada kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam setiap program yang dilakukan.

rkan segala bentuk tindak pidana (umum terlebih lagi korupsi) dikaren tidak terjaminnya perlindungan yang diberikan kepada pihak pelapor juga saksi.

Kemudian, pemerintah harus dapat memperluas jaringan badan yang mengawasi tindak pidana korupsi, jangan hanya terpaut pada KPK semata, ka terlalu banyak yang literatur yang harus dilakukan dalam hal pembuktian tindak pidana korupsi, dari mulai pengumpulan bukti hingga saksi. Jika hal tersebut mampu diwujudkan, maka akan mempermudah KPK dalam mengum


(46)

BAB V

tas permohonan tersebut LPSK akan melakukan

i itu sendiri. Sedangkan bentuk perlindungan hukum terhadap saksi

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Proses perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya

dilakukan dengan prosedur tertentu yang dimulai dari adanya pengajuan permohonan dari saksi atau lembaga terkait diikuti oleh pemeriksaan oleh LPSK. Permohonan dapat diberikan setelah melihat kepentingan saksi atas sebuah kasus korupsi. A

penelitian dan pendataan tentang perlu tidaknya memberikan perlindungan terhadap saksi tersebut.

2. Bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi di

Negara Indonesia adalah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dimana saksi diberikan perlindungan oleh suatu lembaga yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk dapat dipergunakan dalam proses peradilan tindak pidana korups

tersebut akan diserahkan sepenuhnya kepada LPSK dengan kerjasama saksi.


(47)

adalah karena:

a. Kepentingan lembaga-lembaga terkait dalam pemberantasan korupsi

ainnya, karena dengan adanya perlindungan saksi maka hal tersebut berarti si saksi pelapor merasakan dirinya dilindungi undang-undang.

n pula perbaikan ekonomi

m terhadap saksi pelapor dapat dimana dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi pelapor maka akan memberikan efektivitas bagi kinerja instansi tersebut.

b. Bagi pelapor sendiri, dimana dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi pelapor maka ia tidak akan khawatir terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirinya di belakang hari, seperti kekerasan, atau ia dituntut ke depan pengadilan, dan lain-l

76

B. Saran

1. Melihat bahwa perbuatan-perbuatan korupsi itu lebih banyak dilakukan

oleh pegawai negeri dan sebagaimana juga adanya perbuatan-perbuatan kriminal lainnya tidak dapat diberantas dengan tuntas hanya dengan sarana hukum belaka, maka sebagai langkah preventif agar perbuatan korupsi tersebut berkurang/ terhapus, perlu kiranya diperbuat penyuluhan-penyuluhan hukum dan memperhatika

masyarakat, sehingga kebutuhan yang diperlukan dalam mengimbangi perkembangan kehidupan dapat terpenuhi.

2. Hendaknya pemberian perlindungan huku

diberikan secara maksimal termasuk perlindungan terhadap keluarga saksi pelapor, harta bendanya dan lain-lainnya.


(48)

paling tinggi adalah seumur hidup dan denda Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta) menurut penulis adalah kurang berat mengingat adanya perubahan nilai uang serta kwalitas daripada korupsi yang terjadi sekarang. Sekiranya hal ini menjadi bahan perhatian bagi pihak yang berkompeten khususnya dalam denda tersebut.


(49)

BAB II

PROSES PERLINDUNGAN SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perkembangan Perlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana 

Mengutip buku Nyoman Serikat Putra Jaya,16 bahwa perhatian masyarakat internasional terhadap korban kejahatan nampak dengan diadakannya kongres seperti di Milan tanggal 26 Agustus sampai tanggal 6 September 1985 yaitu United Nation Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke VII dengan tema "Pencegahan Kejahatan, untuk Kebebasan, Keadilan, Kedamaian dan Pembangunan". Salah satu topik yang dibicarakan secara mendalam adalah masalah korban kejahatan. Pada kesempatan itu dihasilkan sebuah draft Deklarasi yang di dalamnya memuat rekomendasi agar korban kejahatan diberi hak "to be present and to be heard at all critical stages of judicial proceeding".

Selanjutnya di jelaskan bahwa, pada tahun 1963 di New Zealand juga ada peraturan yang memberikan landasan bahwa orang yang menjadi korban dari tindak pidana kekerasan dapat memperoleh ganti rugi, ialah "Criminal Injuries Compensation Act". Di negara bagian Ontario misalnya ada "Ontario Criminal Injuries Compensation Scheme". Di negeri Belanda diundangkan "Wet voorlopige schandenfons geweld-misdrijven"17. Peraturan ini membentuk suatu dana yang membayar sejumlah uang sebagai penawar kepada mereka yang menjadi korban dari kejahatan kekerasan yang dilakukan dengan sengaja atau apabila korban itu meninggal dunia kepada keluarganya. Dana tersebut merupakan badan hukum dan


(50)

menjadi beban dalam anggaran belanja Departemen Kehakiman.

Menteri Kehakiman Belanda memberi alasan mengapa masyarakat sebagai keseluruhan mempunyai tanggung jawab atas korban dari kejahatan kekerasan. Tanggung jawab itu didasarkan atas tiga hal:

Pertama, tanggung jawab itu dihubungkan dengan keadaan bahwa penguasa menyatakan beberapa perbuatan tertentu sebagai pelanggaran berat dan penyerangan terhadap ketertiban hukum yang berat. Sebagai kelanjutan dari pengancaman dengan pidana terhadap perbuatan-perbuatan itu, maka dapat dipikirkan adanya suatu tugas dari penguasa untuk meringankan atau menghilangkan akibat perbuatan itu.

Kedua, yang bersifat lebih filsafati, masyarakat dapat dipandang sebagai jaringan halus dari perbuatan manusia, sehingga setiap orang dalam arti manusiawi pada umumnya ikut bersalah atas apa yang akhirya menjelma sebagai kesalahan seorang oknum yang melakukan tindak pidana. Singkatnya di sini ada solidaritas dengan orang yang menjadi korban kejahatan.

Ketiga, pertimbangan yang penting untuk politik hukum; peraturan itu dipandang mempunyai pengaruh mendamaikan atau menyelesaikan konflik

("conflictoplossing"): apabila ada penggarapan khusus demi para korban dari tindak pidana maka iklim social-psikologis menjadi baik untuk memperlakukan si pembuat dengan cara yang paling meguntungkan dari sudut prevensi sosial.18

Di pengadilan negara-negara Asia, pemberian keterangan saksi lebih dititik beratkan, dan perlindungan saksi dan korban adalah hal krusial ketika berhadapan dengan korupsi dan penyiksaan oleh polisi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya. Orang-orang yang ditawarkan perlindungan oleh kepolisian biasanya khawatir karena mereka tidak akan tahu apakah polisi yang baik atau yang buruk yang akan melindungi mereka. Dalam beberapa contoh, aparat kepolisian dipandang buruk dan aktifitas kepolisian dapat saja menghadirkan ancaman dari

17Ibid, hal. 54.

18


(51)

pada perlindungan.19

Di negara lain, ketidakhadiran sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi yang efektif telah menyebabkan hilangnya kualitas penyidikan dan jalannya persidangan. Di Sri Lanka, beberapa kasus diketahui bahwa para saksi dibunuh untuk menghentikan mereka bersaksi di persidangan. Di Filipina, kondisi serupa juga terjadi.

Berdasarkan keadaan di atas maka saksi hadir di persidangan untuk memberikan keterangan di bawah kondisi semacam itu jelas merupakan hal yang langka20. Di Indonesia kehadiran Undang-undang perlindungan saksi, merupakan suatu hal yang membahagiakan bagi saksi, mengingat masih banyaknya keluhan masyarakat mengenai perlu dan pentingnya perlindungan saksi. Persoalan saat ini adalah kehadiran undang-undang ini ternyata terkesan hanya isapan jempol belaka, hal ini dapat dibuktikan bahwa sejak lahirnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tanggal 11 Agustus 2006, namun hingga saat penyusunan tesis ini belum mampu menjawab persoalan masyarakat karena belum terbentuknya komponen hukum lainnya kaitannya dengan perlindungan saksi.

Perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana adalah merupakan fenomena hukum acara pidana Indonesia, dimana dalam penegakannya akan selalu bersinggungan dengan para penegak hukum itu sendiri.

19

Asian Human Rights Commission Indonesia, “Sebuah Tinjauan Kritis Mengenai


(52)

B. Ide Dasar Formulasi Undang-Undang Perlindungan Saksi

Pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi tidak terlepas dengan Lembaga Perlindungan Saksi, yang mana Lembaga Perlindungan Saksi hendaknya lembaga itu berdiri independen seperti “US Marshall21” di Amerika Serikat, karena jika lembaga ini diserahkan ke polisi, akan terhambat oleh rantai birokrasi yang panjang, sehingga menjadi perdebatan dalam pembahasannya.

Hal lain yang dinilai berpotensi menjadi perdebatan adalah jenis perlindungan dan kompensasi, termasuk kompensasi bagi saksi untuk tidak digugat secara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Khairiansyah, salah satu perlindungan yang mestinya dipertimbangkan adalah, saksi yang membuka kasus korupsi dibebaskan dari tuduhan kasus lain.

Menurut Azis Syamsuddin dalam Abdul Manan22, bahwa pembebasan

tuntutan dapat dimungkinkan, akan tetapi harus dilihat motifnya. Kalau yang bersangkutan menerima uang korupsi untuk menjebak, itu memang bagian dari perlindungan saksi, namun, kalau dia melapor karena menyesal, dan akhirnya kasusnya diperiksa, ada unsur pemaaf, nanti bisa mengurangi hukuman saksi itu. Agus Purnomo mempunyai pandangan berbeda, menurutnya bisa saja saksi pelapor dibebaskan dari tuntutan jika akibat dari kesaksiannya negara memperoleh keuntungan besar, seperti kembalinya aset-aset negara merupakan kompensasi maksimal yang bisa diberikan atau minimal mengurangi hukumannya.

Rachlan Nasidik menilai, pembebasan tuntutan itu hanya bisa untuk kasus

21

Abdul Manan, “Silang Pendapat Perlindungan Saksi”,

http://jurnalis.wordpress.com/2006/01/31/, Diakses tanggal 27 Pebruari 2011. 22


(53)

pelanggaran hak asasi manusia, misalnya seseorang yang terlibat kasus pelanggaran hak asasi karena pembiaran, akan tetapi untuk yang by commission

tidak bisa apalagi kalau dia terlibat aktif. Artidjo Alkostar tak setuju jika ada seseorang bebas dari tuntutan atas kesalahan yang dilakukannya hanya karena telah memberi kesaksian, karena menurutnya jika itu yang dilakukan, maka keadilan rakyat yang tersinggung.23

Dalam hubungannya dengan masalah korban, Sudarto,24 pernah

mengemukakan bahwa kedudukan korban menjadi hanya sebagai suatu unsur saja dari ketertiban hukum, maka suatu tindak pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang yang mempunyai darah, daging, dan perasaan, akan tetapi sebagai suatu yang melawan hukum, bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan ketertiban hukum ("inbreuk op de rechtsorde").

Dengan pertumbuhan yang demikian ini maka orang yang dirugikan tidak mempunyai arti; ia ini diabstrakkan, sehingga dalam proses perkara pidana seolah-olah ia "tidak dimanusiakan"; ia hanya merupakan saksi (biasanya saksi pertama) yang hanya penting untuk memberi keterangan tentang apa yang dilakukan si pembuat guna dijadikan alat bukti tentang kesalahan si pembuat ini. Dalam proses selanjutnya ia tidak diperhitungkan lagi pada pembacaan keputusan tentang pidana yang dijatuhkan, apabila dinyatakan bersalah ia tidak hadir, karena memang tidak diperlukan kehadirannya.

Para ahli kriminologi saat ini tidak hanya mencurahkan perhatiannya kepada para penjahat, tetapi mulai memperhatikan pula orang-orang lain selain


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

- Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.

- Bapak Berlin Nainggolan, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis. - Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(2)

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2011 Penulis

Ivan M Marpaung NIM : 070200267


(3)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAKSI... v

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

F. Metodologi Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan... 12

BAB II. PROSES PERLINDUNGAN SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI... 15

A. Perkembangan Perlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana ... 15

B. Ide Dasar Formulasi Undang-Undang Perlindungan Saksi ... 18

C. Formulasi Undang-Undang Perlindungan Saksi ... 22

D. Proses Perlindungan Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 27 BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


(4)

SAKSI TINDAK PIDANA KORUPSI... 32

A. Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi ... 32

B. Lembaga Yang Terkait Dalam Perlindungan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi... 37

C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi ... 42

BAB IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN DIBERIKANNYA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI... 53

A. Beberapa Catatan tentang Undang-Undang Perlindungan Saksi ... 53

B. Kebijakan Formulasi Hukum Tentang Perlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana Di Masa Yang Akan Datang ... 59

C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Diberikannya Perlindungan Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 66

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 76

A. Kesimpulan... 76

B. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA


(5)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

W

WIILLLLIIAAMMSSAARRIIPPUURRBBAA NIM. 070200429

Korupsi adalah suatu masalah yang besar dalam merusak pembangunan. Oleh sebab itu maka keberadaan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi ini sangat penting. Persoalan utama banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya disebabkan tidak ada jaminan yang memadai, terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering mengalami gugatan balik atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi, bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi dan bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan diberikannya perlindungan terhadap saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi?

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan metode yuridis normative. Dan dalam pelaksanannya menggunakan penelitian kepustakaan (library research).

Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui proses perlindungan saksi dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya menekankan prosedur tertentu yang dimulai dari adanya pengajuan permohonan dari saksi atau lembaga terkait diikuti oleh pemeriksaan oleh LPSK. Permohonan dapat diberikan setelah melihat kepentingan saksi atas sebuah kasus korupsi. Bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi di Negara Indonesia adalah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dimana saksi diberikan perlindungan oleh suatu lembaga yaitu


(6)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk dapat dipergunakan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi itu sendiri. Alasan saksi dalam perkara tindak pidana korupsi perlu diberi perlindungan adalah karena: Kepentingan lembaga-lembaga terkait dalam pemberantasan korupsi dimana dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi pelapor maka akan memberikan efektivitas bagi kinerja instansi tersebut. Bagi pelapor sendiri, dimana dengan adanya pelaksanaan perlindungan saksi pelapor maka ia tidak akan khawatir terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirinya di belakang hari, seperti kekerasan, atau ia dituntut ke depan pengadilan, dan lain-lainnya, karena dengan adanya perlindungan saksi maka hal tersebut berarti si saksi pelapor merasakan dirinya dilindungi undang-undang.