BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Keperas (Puntius binotatus) - Studi Komparasi Jenis Makanan Ikan Keperas (Puntius binotatus) Di Sungai Aek Pahu Tombak, Aek Pahu Hutamosu Dan Sungai Parbotikan Kecamatan Batang Toru Tapanuli Selatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ikan Keperas (Puntius binotatus)

  Menurut Saanin (1984), Robert (1989) dan Kottelat et al., (1993), klasifikasi ikan

  Puntius binotatus adalah sebagai berikut :

  Kelas : Actinopterygii Subkelas : Teleostei Ordo : Cypriniformes Subordo : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Genus : Puntius Spesies : Puntius binotatus, C. V (1842) Nama lokal : Keperas

Gambar 2.1. Ikan Keperas (Puntius binotatus); (Foto : Toberni, 2013)

  Ikan ini dikenal juga dengan nama Spotted Barb karena memiliki ciri khusus berupa bintik hitam pada pangkal ekor dan di bagian depan pangkal sirip punggung

  (Roberts, 1989). Nama lokalnya adalah bunter (umum di Indonesia); bilak, klemar, dan wader tjakul (Jawa Tengah); benter, benteur, dan bunter (Bandung); sepadak, dan tanah (sumatera Selatan); bada putia (Padang); pujan (Kalimantan Selatan); dan tewaring (Kalimantan Timur) (Schuster and Djajadiredja, 1952). Menurut Saanin (1984) nama lokal adalah benteur, wader cakul, tanah, sepadak, tewaring, sunau, puyau, dan keperas.

2.2 Morfologi Keperas (Puntius binotatus)

  1 Ikan Puntius binotatus memiliki karakteristik morfologi memiliki 7 – 10 / 2 jari-jari

  1

  bercabang sirip punggung dan sirip duburnya memiliki 5 – 6 / 2 jari-jari bercabang. Jari-jari terakhir sirip dubur tidak mengeras. Jari-jari sirip punggung ada yang bergerigi, dan ada yang tidak bergerigi pada bagian belakangnya. Selain itu, ikan ini tidak memiliki duri di bagian manapun dari tubuhnya. mulutnya kecil, bibirnya halus, dan tidak ada tonjolan di ujung rahang bawah (Kottelat et al., 1993).

  Saanin (1984) menambahkan bahwa perutnya membundar, permulaan sirip punggung di depan permulaan sirip perut, dan sirip perut jauh ke belakang, di muka dubur. Ikan ini memiliki 2 pasang sungut, dan tidak bergigi pada kedua rahangnya. Ikan ini memiliki beberapa bercak dan seluruh tubuh berbisik.

  Menurut Roberts (1989), warnanya bervariasi, dari abu-abu keperakan sampai abu-abu kehijauan, agak gelap/kehitaman pada bagian punggung, terdapat tanda bintik atau pita pada tubuh anaknya yang akan menghilang saat ikan dewasa atau ukurannya besar, kecuali bintik pada pangkal ekor. Menurut Saanin (1984), ikan ini memiliki ukuran kepala 3,3 – 4,5 kali lebar mata, dan tinggi batang ekornya sama dengan

  1

  1 3 /

  • panjangnya dan /

  2 kepala. Menurut Roberts (1989), panjang maksimalnya bisa

  mencapai 20 cm. Ikan ini memiliki gurat sisik diatas gurat sisi, dan terdapat 12 buah sisik di sekeliling batang ekor.

2.3. Distribusi dan Habitat Ikan

  Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologi yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan, misalnya sebagai hewan yang hidup di air, baik itu perairan tawar maupun di perairan laut menyebabkan ikan harus dapat mengetahui kekuatan maupun arah arus, karena ikan dilengkapi dengan organ yang dikenal sebagai linea lateralis. Perbedaan konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuh memaksa ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya akibat difusi dan osmosis. Osmoregulasi ini menyebabkan ikan laut tidak menjadi ikan kering yang asin, sedangkan ikan air tawar dapat mengalami kematian akibat kelebihan air (Fujaya, 2002).

  Menurut Rifai et al, (1983), penyebaran ikan diperairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: faktor biotik, abiotik, faktor teknologi dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup atau jasad hidup, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Faktor abiotik mencakup faktor fisik dan kimia, yaitu cahaya, suhu, arus, garam-garam organik, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD.

  Ikan Puntius binotatus tergolong benthopelagik, hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran pH 6,0 - 6,5 dan suhu perairan 24 – 26 C (Roberts, 1989). Umumnya ikan ini dapat ditemukan diselokan-selokan, sungai, dan tambak. Ikan ini memiliki daerah penyebaran di perairan Indocina, Singapura, Philipina, Malaka, dan perairan Indonesia. Penyebaran ikan ini di perairan Indonesia meliputi Selat Sunda, Bali, Lombok, Sumatera, Nias, Jawa, Kalimantan, Bangka, dan Belitung (Kottelat et al., 1993).

2.4 Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan Kebiasaan makanan ikan dipelajari untuk menentukan gizi alamiah ikan tersebut.

  Pengetahuan tentang kebiasaan makanan ikan dapat digunakan untuk melihat hubungan ekologi di antara organisme di perairan tempat mereka berada, misalnya bentuk pemangsaan, persaingan, dan rantai makanan. Jadi, makanan dapat merupakan faktor yang menentukan bagi keberadaan populasi (Effendie, 1997).

  Menurut Effendie (2002), makanan merupakan faktor pengendali yang penting dalam menghasilkan sejumlah ikan di suatu perairan, karena merupakan faktor yang menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan di suatu perairan. Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia bagi ikan dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam-macam ukuran dan umur ikan itu sendiri.

  Komoditas ikan tidak beda dengan hewan-hewan lainnya yaitu membutuhkan cukup makanan untuk hidup dan pertumbuhannya, sedangkan organisme yang dimakan disesuaikan dengan mekanisme perkembangan dari alat pencernaannya (Lagler et al., 1962). Pakan sendiri merupakan mekanisme utama yang mempengaruhi penyebaran ikan secara ekologis, khususnya ikan air tawar (Macpherson, 1981 dalam membutuhkan energi untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan juga reproduksi, energi tersebut berasal dari makanan. Pada dasarnya, organisme yang baru lahir akan menerima makanan dari induknya, namun selanjutnya akan diupayakan oleh organisme itu sendiri.

  Menurut Effendie (1997) kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Makanan alami ikan berasal dari berbagai kelompok tumbuhan dan hewan yang berada di perairan tersebut (Lagler, 1972). Suatu spesies ikan di alam memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan makanannya. Ketersediaan makanan merupakan faktor yang menentukan dinamika populasi, pertumbuhan, reproduksi, serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan. Beberapa faktor makanan yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, akses terhadap makanan, dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Adanya makanan di perairan selain terpengaruh oleh kondisi biotik seperti di atas ditentukan pula oleh kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan. Jenis-jenis makanan yang dimakan suatu spesies ikan biasanya tergantung pada kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, ukuran dan umur ikan, musim serta habitat hidupnya. Kebiasaan makan ikan meliputi jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan (Lagler,1972).

  Nikolsky (1963), menyatakan bahwa urutan kebiasaan makanan ikan terdiri atas: (1) makanan utama, yaitu makanan yang biasa dimakan dalam jumlah yang banyak; (2) makanan sekunder, yaitu makanan yang biasa dimakan dan ditemukan dalam ususnya dalam jumlah yang lebih sedikit; (3) makanan incidental, yaitu makanan yang terdapat pada saluran pencernaan dengan jumlah yang sangat sedikit; serta (4) makanan pengganti, yaitu makanan yang hanya dikonsumsi jika makanan utama tidak tersedia.

  Ikan memakan makanan yang tersedia di sekitarnya ataupun mencerna suatu jenis organisme makanan oleh ikan antara lain: (1) ukuran makanan, (2) ketersediaan makanan, (3) warna (terlihatnya) makanan, dan (4) selera ikan terhadap makanan. Jumlah makanan yang dibutuhkan oleh suatu spesies ikan tergantung kepada kebiasaan makanan, kelimpahan makanan, nilai konversi makanan, serta suhu air, juga kondisi umum dari spesies ikan tersebut (Beckman, 1962).

  Menurut Roberts (1989), ikan beunteur memakan zooplankton, larva serangga, dan akar beberapa jenis tanaman. Hasil penelitian Rahardjo (1987) di Rawa Bening menjelaskan bahwa ikan ini sangat menyukai detritus, selain memakan phytoplankton dan zooplankton serta larva serangga. Menurut Affandi et al. (2004), pada ikan herbivora tidak dimiliki lambung yang sesungguhnya suhingga fungsinya untuk menampung makanan digantikan oleh usus bagian depan. Usus bagian depan ini termodifikasi menjadi kantung yang membesar (menggelembung) dan selanjutnya disebut “lambung palsu”. Ikan mas meupakan contoh yang memiliki lambung palsu. Menurut Huet (1971), berdasarkan morfologi alat pencernaannya, ikan dapat digolongkan atas ikan herbivora, karnivora dan omnivora (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Perbedaan Struktur Anatomis Saluran Pencernaan pada Ikan-Ikan Herbivora, Karnivora, dan Omnivora

  Kategori ikan Organ Herbivora Karnivora Omnivora Tulang tapis insang Banyak, panjang, dan Sedikit, pendek, dan Tidak terlalu banyak, rapat kaku tidak terlalu panjang, dan tidak terlalu rapat

  Rongga mulut Sering tidak bergigi Umumnya bergigi kuat Bergigi kecil dan tajam Lambung Tidak berlambung/ Berlambung dengan Berlambung dengan berlambung palsu bentuk yang bervariasi bentuk kantung Usus Ukurannya sangat Pendek, kadang- Sedang 2-3 kali dari panjang, beberapa kali kadang lebih pendek panjang tubuhnya dari panjang tubuhnya dari panjang tubuhnya

  Berdasarkan jumlah variasi makanan, ikan dapat dibagi menjadi: eurofagik yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan, stenofagik yaitu ikan pemakan makanannya terdiri dari satu macam saja. Ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja (Moyle & Cech, 2004). Menurut Effendie (2002), kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan lebih lanjut, bagaimana cara ikan memperoleh makanannya.

  Jenis makanan yang akan dimakan oleh ikan tergantung ketersediaan jenis makanan di alam, dan juga adaptasi fisiologis ikan tersebut misalnya panjang usus, sifat dan kondisi fisologis pencernaan, bentuk gigi dan tulang faringeal, bentuk tubuh dan tingkah lakunya (Welcomme, 2001). Ikan herbivora secara sederhana hanya memiliki kemampuan untuk mencerna material tumbuhan, oleh karena itu ikan herbivora memiliki usus yang lebih panjang karena material tumbuhan memerlukan waktu yang lama untuk dicerna, sedangkan ikan karnivora memiliki usus yang lebih pendek dan hanya memakan daging. Ikan omnivora memiliki kondisi fisiologis yang merupakan gabungan antara ikan karnivora dan ikan herbivora.

  Makanan merupakan faktor penentu bagi jumlah populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan di suatu perairan (Lagler, 1961). Effendie (2002) mengatakan bahwa makanan merupakan salah satu faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan. Kelimpahan makanan di dalam suatu perairan selalu berfluktuasi dan hal ini disebabkan oleh daur hidup, iklim dan kondisi lingkungan. Menurut Lagler et al., (1977), pengetahuan mengenai makanan suatu jenis ikan dapat digunakan untuk mengetahui kedudukan ikan tersebut, sebagai predator atau kompetitor, serta makanan utama dan makanan tambahan ikan tersebut.

  Relung makanan adalah kebiasaan makan suatu spesies ikan terhadap satu atau beberapa jenis makanan yang mengindikasikan adanya perbedaan sumberdaya makanan yang dimanfaatkan oleh suatu organisme (Pianka, 1981 dalam Anakotta, 2002). Luas relung makanan yang besar mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan lebih beragam. Sebaliknya jika luas relung makanannya sempit atau kecil berarti ikan cenderung melakukan seleksi terhadap makanan tertentu. Organisme yang memakan sejumlah sumberdaya makanan dengan luas relungnya akan meningkat walaupun sumberdaya yang tersedia rendah (Anakotta, 2002).

  Relung ekologi suatu organisme memiliki pengertian yang luas, tidak hanya ruang fisik yang diduduki organisme tersebut, tetapi peranan fungsionalnya dalam masyarakatnya seperti posisi trofiknya, serta posisinya dalam gradient suhu, pH, dan keadaan lain dari keberadaannya atau secara analogi, relung ekologi dapat dikatakan sebagai profesi dari organisme tersebut. Luas relung makanan yang besar mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan lebih beragam. Sebaliknya jika luas relung makannya sempit atau kecil berarti ikan cenderung melakukan seleksi terhadap makanan tertentu. Organisme yang memakan sejumlah sumberdaya makanan diduga luas relungnya akan meningkat walaupun sumberdaya yang tersedia rendah (Anakotta, 2002).

  Tumpang tindih relung adalah penggunaan bersama suatu sumberdaya atau lebih oleh satu spesies ikan atau lebih. Dengan kata lain, tumpang tindih relung makanan adalah daerah ruang relung yang dihuni oleh dua penghuni relung atau lebih. Penyeleksian makanan yang dikonsumsi dapat terjadi jika beberapa tipe mangsa hadir secara bersamaan, dan adanya satu individu yang diperebutkan oleh banyak pemangsa.

2.6. Faktor Kondisi

  Faktor kondisi didefinisikan sebagai keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan data panjang dan berat. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan, baik dilihat dari segi kapasitas fisik untuk hidup dan reproduksi (Effendie, 1997). Di dalam penggunaan secara komersial, maka kondisi ikan ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging yang tersedia untuk dimakan. Kebutuhan ikan usia muda terhadap makanan cukup tinggi yang berguna untuk bertahan hidup dan melangsungkan pertumbuhannya sehingga faktor kondisi ikan yang berukuran kecil relatif tinggi dan akan menurun ketika ikan bertambah besar (Effendie, 1997).

  2.7 Indeks Pilihan Makanan (Index of Electivity)

  Effendi (1997) mengatakan populasi spesies mangsa yang padat pada satu habitat tidak selalu membentuk satu bagian penting di dalam diet ikan pemangsa. Dalam beberapa hal, ikan selektif terhadap sesuatu yang dimakannya, biasanya sekali ikan itu mulai makan terhadap makanan tertentu, ia cenderung meneruskan makanan itu.

  Pernyataan Rahardjo (1987), mengenai makanan ikan benteur di Rawa Bening membuktikan bahwa jenis makanan ikan akan berbeda pada tempat dan waktu yang berbeda (Larger, 1972 dan Effendi, 1997). Penilaian kesukaan ikan terhadap makanannya sangat relatif. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam hubungan ini ialah penyebaran organisme makanan ikan, ketersediaan makanan, pilihan ikan terhadap makanannya, serta faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perairan (Effendi, 1997).

  2.8. Faktor Fisik Kimia Perairan

  Faktor fisik dan kimia yang mempengaruhi kehidupan ikan pada suatu perairan diantaranya adalah : Suhu merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan, termasuk dari jenis ikan (Michael, 1994). Selanjutnya Rifai et al., (1983) dan Asdak (1995) menjelaskan bahwa secara umum kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktifitas fisiologis organisme ikan. Disamping itu perubahan suhu perairan sekitarnya merupakan faktor pemberi tanda secara alamiah yang menentukan mulainya proses pemijahan, ruaya dan pertumbuhan bibit ikan.

  Menurut Van hoffs, kenaikan temperatur sekitar 10 C akan meningkatkan aktifitas fisiologis organisme sebesar 2 – 3 kali lipat. Peningkatan laju respirasi akan mengakibatkan konsentrasi oksigen meningkat dengan menaiknya temperatur, akan mengakibatkan kelarutan oksigen menjadi berkurang (Barus, 2004). Organisme akuatik seringkali mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan temperatur (Odum, 1994). Kenaikan suhu yang relatif tinggi ditandai dengan munculnya ikan- ikan dan hewan lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen (Fardiaz, 1992).

  Menurut Sastrawijaya (1991), suhu juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen dalam air, apabila suhu naik maka kelarutan oksigen didalam air menurun. Peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan aktifitas metabolisme organisme akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen bagi organisme ikan juga akan meningkat.

  b. Total Dissolved Solid (TDS) Total Dissolved Solid merupakan jumlah kandungan zat padat terlarut dalam air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan perairan.

  Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya matahari akan berkurang, akibatnya proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya mengurangi tingkat produktifitas perairan (Sastrawijaya, 2000). Kejernihan badan air sangat dipengaruhi oleh partikel-partikel terlarut dan lumpur. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat (Levinton, 1982). Menurut Romimohtarto menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesis.

  c. Derajat Keasaman (pH)

  Derajat keasaman merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basah perairan. Air dikatakan basa apabila pH > 7 dan dikatakan asam apabil pH < 7. Secara alamiah pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi CO dalam proses fotosintesis yang menghasilkan O

  2

  2

  dalam air, suasana ini menyebabkan pH air meningkat. Malam hari fitoplankton dan tanaman air mengkonsumsi O

  2 dalam proses respirasi yang menghasilkan CO 2 , suasana ini menyebabkan pH air menurun (Arie, 1998).

  Sastrawidjaya (1991) menyatakan bahwa pH air turut mempengaruhi kehidupan dari ikan, pH air yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,5 – 7,5. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Nilai pH air kurang dari 6 atau lebih dari 8,5 perlu diwaspadai karena mungkin ada pencemaran, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ikan.

  d. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

  Oksigen merupakan salah satu faktor penting dalam setiap perairan. Oksigen diperlukan organisme untuk melakukan respirasi aerob. Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael,1994).

  Ikan merupakan mahkluk air yang membutuhkan oksigen tertinggi. Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan biota beriklim terlalu rendah akan menyebabkan ikan-ikan dan binatang lainnya akan mati (Fardiaz, 1992). Barus (2004), menyatakan bahwa kelarutan maksimum oksigen pada perairan

  o

  tercapai pada temperatur O C yaitu sebesar 14,16 mg/l oksigen konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan meningkatnya temperatur air.

  e. Biological Oxygen Demand (BOD) Biological Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

  mikroorganisme di dalam lingkungan air untuk mendegradasi bahan buangan yang ada dalam air lingkungan. Pada umumnya air lingkungan mengandung mikroorganisme yang dapat memakan, memecah, menguraikan bahan buangan organik. Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Michael, 1994).