Mereka Bicara Tentang STBM Cerita dokume

programme
for sanitation
hygiene and water
in East Indonesia

M ereka Bicara
Tentang

STBM

Cerita dokumentasi berdasarkan kesaksian warga Desa Puna
dan Loli, Kecamatan Polen, Timor Tengah Selatan dan warga
Desa Du dan Hepang, Kecamatan Lela, Sikka, mengenai
Program Sanitasi Total Berbasis M asyarakat.

M ereka Bicara
Tentang

STBM

Cerita dokumentasi berdasarkan kesaksian warga Desa Puna

dan Loli, Kecamatan Polen, Timor Tengah Selatan dan warga
Desa Du dan Hepang, Kecamatan Lela, Sikka, mengenai
Program Sanitasi Total Berbasis M asyarakat.

© 2014 by SIM AVI SHAW Program
M ereka Bicara Tentang STBM
Cerita dokumentasi berdasarkan kesaksian warga Desa Puna dan Loli, Kecamatan
Polen, TTS dan warga Desa Du dan Hepang, Kecamatan Lela, Sikka, mengenai
Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.

Penulis, Fotografer & Desainer Grafis:
Putri Yunifa
Supervisor:
Galuh S. Wulan

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.

Lead agency

Partners


YAYASAN DIAN DESA

Jalan Panjang M enuju STBM

S

IMAVI melalui Program Sanitation, Hygiene and Water (SHAW), mendukung Program
Pemerintah Indonesia yaitu Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Lima Pilar sejak tahun
2010, bersama dengan lima Organisasi Non Pemerintah di sembilan kabupaten di wilayah
Indonesia bagian Timur. Strategi Nasional STBM ini dicanangkan melalui Keputusan Menteri
Kesehatan No 852/Menkes/SK/IX/2008 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No 3 tahun 2014. Sebagai sebuah program, STBM memiliki lima aspek penting, yaitu:

1.
2.
3.
4.
5.


Stop buang air besar sembarangan (BABS),
Cuci tangan pakai sabun (CTPS),
Pengolahan air minum dan penyimpanan yang aman di rumah tangga,
Pengelolaan sampah rumah tangga, dan
Pengelolaan limbah cair rumah tangga.

Program yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan status
kesehatan masyarakat pedesaan - terutama ibu dan anak - secara berkelanjutan dengan bertitik
berat pada perubahan perilaku di tingkat individu dan rumah tangga, telah dilaksanakan melalui
empat tahapan, yaitu 1) persiapan, 2) pemicuan, 3) dukungan tindak lanjut, dan 4) pemantauan
dan evaluasi sebelum dan setelah deklarasi. Hingga Juni 2014, berdasarkan Laporan Kemajuan
SHAW jumlah total penerima manfaat di wilayah Program SHAW sebanyak 1.462.988 orang yang
berada di 1.042 desa, di 114 kecamatan, dan Simavi mencatat bahwa 479 desa dan 39 kecamatan
telah mendeklarasikan 100% STBM 5 Pilar. Namun penelitian tentang Manfaat yang Diperoleh dari
STBM 5 Pilar di Empat Kabupaten di NTT tahun 2014 menunjukkan hasil sebaliknya. Perilaku 5 Pilar
STBM tidak lagi 100%.
Demi mempertahankan STBM di masyarakat, SIMAVI menerbitkan sebuah dokumentasi dari hasil
kunjungan ke dua kabupaten yaitu Timor Tengah Selatan (TTS) dan Sikka, khususnya Desa Puna
dan Loli di Kecamatan Polen dan Desa Du serta Hepang di Kecamatan Lela. Hasil dokumentasi
berjudul “Mereka Bicara Tentang STBM” ini merupakan narasi yang menggambarkan bagaimana

masyarakat mempersepsi STBM, baik manfaat maupun tantangan yang melingkupinya. Substansi
dasar publikasi ini beranjak dari hasil penelitian “Tentang Manfaat yang Diperoleh dari STBM
5 Pilar di Empat Kabupaten di NTT” yang melibatkan 1.428 responden di 24 desa yang telah
mendeklarasikan penerapan 100% STBM pada tahun 2012 di Kabupaten Timor Tengah Utara,
Timor Tengah Selatan, Sikka dan Flores Timur, yang disajikan melalui narasi serta infografis. Ada
cerita-cerita yang menunjukkan harapan, tapi ada juga yang menggambarkan tantangan.
Pada akhirnya, publikasi ini berusaha mengajak banyak pihak lebih peduli dan terlibat dalam
proses perubahan di masyarakat. Bukan langkah singkat untuk mewujudkan perubahan total,
dan begitu banyak harapan menunggu untuk diwujudkan. Saatnya kita melangkah bersama
mewujudkan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
Jika bukan sekarang, kapan lagi?

M ereka Bicara Tentang STBM

1

2

Daftar Isi


Apa Kata Mereka
tentang Manfaat 5
Pilar STBM?

Infograis
„ 4-6

„ 7-13

Mengapa STBM
Tidak 100%?

Kisah Mereka
Seputar 5 Pilar
STBM

„ 19-23

„ 15-17


Agar STBM
Tetap 100%,
Ini Yang Perlu
Dipertahankan
„ 25-29

M ereka Bicara Tentang STBM

3

APA YANG WARGA DESA RASAKAN MENGENAI MANFAAT STBM 5 PILAR?
Hasil penelitian Tentang Manfaat STBM 5 Pilar di 4 Kabupaten di Indonesia
bagian Timur mengungkap bahwa 706 warga di 24 desa di 8 kecamatan di
Kabupaten TTS, TTU, Sikka dan Flores Timur menyebutkan:

MANFAAT
5 PILAR
STBM




MANFAAT
KESEHATAN

48
%

KE-7 MANFAAT
YANG
HANYA BISA
DIRASAKAN JIKA
MELAKSANAKAN
STBM 5 PILAR



MANFAAT
KEBERSIHAN

30


KASUS
DIARE
MENURUN

TERKONFIRMASI

%





MANFAAT
HIDUP LEBIH
NYAMAN



MANFAAT

PENDIDIKAN
& PENGASUHAN
ANAK



MANFAAT
EKONOMI

MANFAAT
SOSIAL



MANFAAT
HEMAT
WAKTU

9 5 4 3
2

% % %
% %
PENURUNAN KASUS DIARE DI 6 PUSKESM AS DI 4 KABUPATEN DI NTT,
BERDASARKAN PERBANDINGAN RATA-RATA KASUS 2011 (SEBELUM
STBM ) DAN 2013 (SESUDAH STBM )
*) Sumber: Penelitian Tentang
Manfaat yang Diperoleh dari STBM
5 Pilar di 4 Kabupaten di NTT

47
17

Polen TTS

4

20

Kie, TTS


sebelum STBM (2011)
sesudah STBM (2013)

84
28

9

34
9
3

Musi, TTU

Lurasik, TTU

20
8

Lela, Sikka

2
Koting, Flotim

APAKAH SAAT INI, STBM 5
PILAR DI KABUPATEN TTS, TTU,
SIKKA DAN FLORES TIMUR
MASIH 100%?

99,6%

PILAR 1

STOP BUANG
AIR BESAR
SEMBARANGAN

PILAR 2

CUCI TANGAN PAKAI
SABUN

TIMOR
(n=242)

BAB DI
JAMBAN

SELALU
CTPS
SESUDAH
BAB

FLORES
(n=240)

TIMOR
(n=242)

BAB DI SEMAKSEMAK TANPA
GALI LUBANG
KETIKA
DI KEBUN

SELALU CTPS
SEBELUM/
SESUDAH
MENYIAPKAN
MAKAN

63 % 55 %
TIMOR
(n=241)

47%
TIMOR
(n=242)

97% 95 %
TIMOR
(n=242)
MEMASAK AIR
SAMPAI
MENDIDIH

FLORES
(n=240)

%

MENYIMPAN
AIR MINUM DI
WADAH
AMAN

93% 99%

PILAR 4

PENGELOLAAN
SAMPAH RUMAH
TANGGA

FLORES
(n=240)

61% 79%

PILAR 3

PENGOLAHAN
AIR MINUM DAN
PENYIMPANAN
YANG AMAN

Hasil penelitian tentang
M anfaat 5 Pilar STBM di 4
Kabupaten juga mengungkap
bahwa perilaku 5 Pilar STBM
warga desa*) adalah sebagai
berikut:

MEMBAKAR
SAMPAH

MENJUAL
SAMPAH

PILAR 5

PENGELOLAAN LIMBAH
CAIR RUMAH TANGGA

TIMOR
FLORES
(n=148) (n=140)

7% 12%

TIMOR
(n=242)

FLORES
(n=240)

28 %
TIMOR
(n=235)

FLORES
(n=228)

63 %
FLORES
(n=240)

37 %
FLORES
(n=228)

75 % 76 %
MENAMPUNG
SAMPAH DI
LUBANG

MEMILAH
SAMPAH

TIMOR
(n=206)

FLORES
(n=181)

27% 26%
TIMOR
(n=242)

FLORES
(n=240)

76%84%
TIMOR
(n=239)

FLORES
(n=238)

JADI, PERILAKU STBM 5 PILAR TIDAK LAGI 100%! MENGAPA DEMIKIAN?
*) berdasarkan jumlah responden penelitian

M ereka Bicara Tentang STBM

5

STBM TIDAK 100%, KARENA ADANYA..

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT
KEBERHASILAN &&
KEBERLANJUTAN
STBM STBM
KEBERHASILAN
KEBERLANJUTAN
MENURUNNYA
KUALITAS &
KUANTITAS
PEMANTAUAN

AIR TIDAK
M E R AT A

PEMASARAN
SANITASI
TIDAK
BERJALAN

JADI, UNTUK MEMPERTAHANKAN
STBM 5 PILAR 100%, FAKTOR-FAKTOR
BERIKUT HARUS ADA..

KOMITMEN
MENURUN

SEHINGGA

OPPORTUNITY
DETERMINANT
DESAIN FLEKSIBEL
GAUNG STBM
NORMA SOSIAL BARU BERTAHAN
KOMITMEN DAN KETEGASAN

ABILITY
DETERMINANT
PENGETAHUAN & KETERAMPILAN MENINGKAT
KUATNYA MODAL SOSIAL
RT DAPAT MENJANGKAU SARANA STBM

PERILAKU

STBM

M ENJADI
KEBIASAAN

MOTIVATING
DETERMINANT
TEKANAN SOSIAL & EMOSIONAL
KEYAKINAN BAHWA STBM ITU BAIK

Infografis dikembangkan berdasarkan
Penelitian Tentang Manfaat STBM 5 Pilar di
Empat Kabupaten di NTT, 2014

6

Narasi-narasi berikut menggambarkan
persepsi masyarakat yang ditemui
mengenai Manfaat, Perilaku 5 Pilar,
Hambatan STBM dan Bagaimana Agar
STBM tetap Bertahan 100% pasca
Deklarasi STBM.

Apa Kata
M ereka Tentang
M anfaat 5 Pilar
STBM ?

M ereka Bicara Tentang STBM

7

Lebih Sehat Setelah
Menerapkan STBM

“Anak Saya
Sempat Kena
M untaber..”

S

eraut wajah lelah menyambut kedatangan
kami siang itu, di Desa Puna, Kecamatan
Polen, Kabupaten TTS. Setelah saling
memperkenalkan diri, Erni, demikian panggilan
singkat ibu yang baru melahirkan anak kembar
dua itu, menuturkan usahanya menerapkan
5 pilar dari program STBM. “Yang paling
susah, membuat WC,” tuturnya, sembari
memperlihatkan jamban milik keluarganya yang
masih menggunakan kloset model cemplung.
Masalah biaya, menjadi kendala besar bagi
keluarga yang mengandalkan hidup dari
berkebun ini. Meski demikian, Erni mengakui
bahwa kehidupan mereka lebih sehat setelah
menerapkan STBM. Memangnya, apa yang
terjadi sebelum itu?
“Sani sempat kena muntaber, dan harus
dirawat di RSU di Kefa,” kisahnya dengan
mata menerawang. Dengan terbata-bata, ia
mengisahkan bagaimana ia dan suaminya harus
pontang-panting membawa anak keduanya
tersebut ke rumah sakit supaya tertolong. Meski
biayanya terbantu oleh Jamkesmas, namun tak

8

urung mereka harus mengeluarkan biaya untuk
transportasi serta makan selama menginap di
rumah sakit menemani anaknya yang saat itu
berusia 3 tahun. Selama ia bercerita, Sani, 5
tahun, terus mendampingi ibunya dengan mata
berbinar. Sani pernah kena muntaber lagi setelah
itu? Sani dan ibunya menggeleng.
“Setelah kami cuci tangan pakai sabun, tidak
pernah lagi Sani muntaber,” katanya. (*)
Keterangan foto:
„ Atas: Sani dan anak-anaknya di rumah bulat yang menjadi
tempat menyimpan air minum.
„ Kiri bawah: Erni ketika menceritakan kembali saat Sani kena
muntaber, dua tahun lalu.
„ Tengah bawah: Jamban milik Sani sekeluarga; “Uangnya
belum ada,” katanya.
„ Kanan bawah: Erni mempraktikkan cara menggunakan tippy
tap menggunakan jerigen. Meski kesulitan air, warga masih
berusaha menggunakan air yang mengalir untuk cuci tangan.

S

embari menunggu pembagian BLT di
Kecamatan Polen dimulai, Nita mengutarakan
pengalamannya terkait sanitasi. “Anak saya
pernah kena muntaber” kata perempuan warga
Desa Balu sembari menggendong anaknya,
Ingrid (11 bulan). Bulan Oktober lalu, Nita
harus membawa anaknya ke puskesmas karena
muntaber. Di sana ia mendapat informasi dari
petugas kesehatan untuk selalu mencuci tangan
setiap selesai buang air atau menceboki anak.
Setelah mengikuti saran petugas, Nita mengakui
bahwa anaknya kini tidak lagi terkena muntaber.
“Muntaber sudah tidak, hanya sekarang susah
makan,” kata ibu tiga anak tersebut. (*)

„ Nita dan anaknya, Ingrid

D

esa Laob, Kecamatan Polen, merupakan
satu desa yang merasakan manfaat dari
penerapan STBM karena desa ini pernah
dilanda wabah diare. “Tahun 2003-2004 ada
wabah diare,” tutur Yura Welhelmince Bahan,
Kepala Desa Laob. Berbagai upaya untuk
mengurangi wabah pun dilakukan, termasuk
dengan menerima bantuan berupa jamban

sehat. Sayangnya jamban sehat itu kemudian
rusak semuanya, dan penyakit pun kembali
merebak. Tapi semenjak program STBM masuk
di 2011 hingga hari ini, menurutnya, angka diare
pun menurun. Berdasarkan pengamatannya,
juga semakin sedikit warga yang menggunakan
kloset cemplung. “Kebanyakan menggunakan
WC plengsengan yang pakai tutup,” katanya
menyebut jenis kloset yang meski belum
menggunakan model leher angsa, tapi lebih
sehat dari model cemplung.

S

elain manfaat sehat, Yura juga menyebutkan
manfaat pendidikan bagi warganya karena
anak-anaknya jarang sakit. “Banyak anak-anak
yang juga sudah bersekolah. Karena kalau kita
tidak sakit, tidak keluar biaya untuk berobat.
Anak-anak juga rajin masuk sekolah karena tidak
sakit,” kata perempuan yang menjadi Kepala
Desa Laob sejak 2011 ini. (*)

„ Yura W Bahan, kepala desa Laob

M

arta Salem, kader Desa Loli, Kecamatan Polen
menuturkan bahwa semua warga di Desa Loli
pada dasarnya sudah memiliki WC, meski sebagian
masih WC cemplung atau darurat. Manfaat memiliki
WC sehat, selain tidak bau dan mengurangi risiko
penyakit, juga aman bagi anak-anak. Sebelumnya,
dengan WC darurat, selain banyak anak terkena
muntaber, mereka juga takut masuk WC. “Kan
hanya pakai kayu. Mereka takut jatuh masuk ke
dalam. Pernah saya jatuh ke WC karena kayu
WC (cemplung) sudah lapuk saya injak langsung
jatuh. Jadi pakai WC sehat saja, karena saya su
pengalaman (jatuh),” Ujarnya sambil tertawa. (*)
„ Marta Salem, kader Desa Loli

M ereka Bicara Tentang STBM

9

Sampah Dibuang Sayang,
Bank Sampah pun
dibangun:

Sampah
M enjadi
Berkah,
Nyamuk pun
Hilang
Pilar keempat STBM, Mengelola
Sampah Rumah Tangga, memicu
sebagian masyarakat di TTS dan Sikka
untuk mengolah sampah menjadi
produk bernilai.

D

i Kecamatan Polen, meski belum banyak,
namun sudah ada sebagian warga yang
mendapatkan keterampilan mengolah sampah.
Salah satunya, Afia Sutrismiati yang tak lain
Mama Desa Puna atau istri Kepala Desa Puna Zed Edi Babis, yang mendapatkan keterampilan
tersebut dari seorang siswa SMP, beberapa bulan
lalu. Siswa itu mendapat keterampilan tersebut
dari sekolahnya. “Awalnya saya penasaran, kok
dia minta sisa bungkus terus,” kata perempuan
asal Jawa Tengah yang juga memiliki kios
sendiri tersebut. Salah satu hasil karyanya,
keranjang kecil, juga dipajang di kiosnya di
Koperasi Unit Desa. “Saya membuatnya sambil
menunggui kios,” katanya, yang berharap bisa
menambah keterampilannya dan menularkannya

10

ke kelompok PKK dampingannya maupun ibu
rumah tangga.

S

enada dengan Mama Desa Puna, produk
berbahan dasar sampah pun mulai melanda
Desa Du, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka. Di
salah satu kios milik warga, keranjang berbahan
dasar tutup minuman gelas instant dijual
dengan harga Rp35 ribu perbuah. Fenomena
merebaknya produk daur ulang dari sampah
ini juga tidak luput dari perhatian Mayella da
Cunha, Camat Lela, saat ditemui di kantornya
(27/11). “Persoalan saat ini sebenarnya tinggal
sampah rumah tangga. Saya ingin membangun
bank sampah,” kata pria lulusan Universitas
Brawijaya Malang ini. Jika Mayella masih
berangan-angan, tidak demikian dengan warga
Kecamatan Kota Soe. Sejak beberapa bulan lalu,
kota ini sudah memiliki Bank Sampah Harapan
yang terletak di Kecamatan Kota Soe. Berdiri
awal September 2014, Bank Sampah Harapan
kini telah memiliki 16 Unit Bank Sampah. Tugas
mereka adalah mengumpulkan sampah dari
nasabah, menimbang dan memilah berdasarkan

Keterangan foto:
„ kiri-kanan: Iwan Bako, di
gudang penyimpanan;
Berince dan Yohana
menunjukkan beberapa
contoh produk yang
menjadi inspirasi kreasi

kategori yang telah disiapkan, lalu mengolahnya
menjadi produk bernilai jual.
Diawali modal “gotong-royong” Rp3,5 juta,
lambat laun Bank Sampah Harapan mulai menuai
hasil. Gudang penyimpanan sudah menampung
sampah senilai kurang lebih Rp2 juta, belum lagi
yang sudah diolah menjadi produk berharga.
Saat ditemui (25/11) mereka sedang menimba
keterampilan baru untuk mengolah sampah, di
pelatihan yang diselenggarakan Bank Sampah
Harapan bersama Plan Indonesia.
Hasil yang dicapai sejauh ini tidak terlepas dari
upaya sosialisasi yang gencar dilakukan melalui
rapat-rapat atau pertemuan PKK.
“Kami wajib membawa sampah dalam setiap
pertemuan PKK,”
papar Yohana
Rambu Diki, Ketua
Tim Penggerak
PKK Kec. Kota
Soe, yang banyak
menyosialisasikan
soal sampah ini di
kelompok-kelompok
PKK di tingkat
kelurahan. Sosialisasi
dilakukan secara luas
mengingat manfaat
bank sampah
ini bukan hanya
ekonomis, namun
juga kesehatan.

mengubur. Ah, kami sudah pusing. Saya bilang
ke Bapak (Camat), kita ganti saja, M ketiga
bukan Mengubur tapi menjadi Mengumpulkan,
Menimbang dan Menjual,” tukas Berince SS
Yalla, salah satu penggerak Bank Sampah yang
juga Kepala Bidang Penanggulangan Masalah
Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten TTS. Jika
berkelanjutan, Berince optimis bahwa kegiatan
ini akan mengurangi penyebaran nyamuk yang
menimbulkan demam berdarah dan mengurangi
beban sampah kota.
“Selama sampah-sampah itu tidak menjadi nilai
ekonomis, percuma kita sosialisasi, capek,”
kata Berince. Saat ini Bank Sampah Harapan
Soe digerakkan oleh 5 orang staf yaitu Direktur,
Bendahara, staf Gudang, staf promosi dan
sekretaris. Biasanya gaji karyawan bank lumayan,
bagaimana dengan staf Bank Sampah?
“Ini masih kerja bakti, upahnya di surga,” sahut
Iwan Bako, Direktur Bank Sampah Harapan,
sambil tertawa.(*)
Keterangan foto:
„ Kiri atas: Iwan Bako dan stafnya di Bank Sampah Harapan
„ Kiri bawah: Aia dengan keranjang buatannya
„ Tengah Bawah: Warga Desa Du dengan tas hasil sampah
„ Kanan Bawah: Yohana R Diki, dengan bahan-bahan sampah
siap olah

“Selama ini, kita kan
sudah promosi 3M
(Menutup, Menguras
dan Mengubur).
Tapi tidak ada yang

M ereka Bicara Tentang STBM

11

Messak Bahan, Anggota Tim
Relawan Cilik Desa Laob,
Kecamatan Polen, TTS

M embuat Tippy
Tap Sendiri
Pengetahuan mengenai STBM menjadi
pengalaman berharga bagi anak
yang mendapatkannya. Messak salah
satunya.
Selamat siang,”
Sebuah suara yang ringan tapi tegas sekonyongkonyong hinggap di telinga kami. Seorang
anak laki-laki berparas kurus dengan tinggi
sekitar 130 cm, masih dengan seragam SMP, tas
STBM dan sandal jepit, berdiri di ambang pintu
kediaman Simon Djamie, di mana kami sedang
berbincang sambil minum teh. Messak, demikian
panggilannya - memang memenuhi keinginan
saya untuk bertemu secara khusus siang itu.
Kami kemudian beranjak ke rumah pendeta Billa
yang hanya beberapa meter dari situ. Messak
yang tampak grogi sempat memanggil beberapa
temannya untuk bergabung, tapi urung.
Selanjutnya, selama kami berbincang, wajah
mungilnya yang terbakar matahari terus menerus
memamerkan senyum salah tingkah dan malu.
Messak bercerita pengalamannya mengikuti
pelatihan pertama kali tahun 2011. Ia mengaku

Keterangan:
„ Kiri: Messak menunjukkan
tippy tap buatannya sendiri
„ Kanan: Messak berfoto
dengan tas STBM yang juga
dibawanya ke sekolah

12

senang, karena menurutnya; “Dapat keliling
desa, periksa WC, tippy tap, lubang sampah,
limbah cair, jalan-jalan, menyanyi...”
Program STBM telah memberinya pengalaman
baru. Menurut pengakuannya, apa yang
dipelajarinya melalui STBM belum pernah
diperolehnya di sekolah.
Meski terpatah-patah, Messak juga dapat
menjelaskan manfaat menerapkan STBM 5 Pilar
terhadap kesehatan. Kami menemaninya pulang
ke rumahnya, dan Messak menunjukkan tippy
tap yang ia buat sendiri. Ia juga menjelaskan
bagaimana mengelola limbah cair rumah tangga.
“Kasih batu-batu supaya air meresap,” tuturnya
sambil memperlihatkan lubang penampung di
tempat cuci piring.
Bayangkan jika semua anak menguasai
pengetahuan mengenai STBM 5 Pilar...!(*)

Pemasaran Sanitasi (Sanitation Marketing)

Ketika si Kloset Kuat Sepi Peminat
Untuk meningkatkan penerimaan
masyarakat terhadap STBM, sejumlah
warga dilatih sebagai tenaga
Pemasaran Sanitasi. Hasilnya? Para
pengrajin kloset leher angsa yang
berkekuatan prima dan hemat air.
Sayang, di sebagian wilayah, kloset
berbahan semen ini sepi peminat.
“Pasaran susah..,”
Markus Tefnae menjawab singkat ketika kami
tanyakan mengenai pasaran kloset buatannya.
Laki-laki yang sehari-hari bertani ini sejak dua
tahun lalu membuat kloset leher angsa dari
bahan dasar semen. Hasil buatannya, sekilas,
sangat mirip dengan kloset produksi pabrik yang
banyak di jual di toko-toko bangunan.
Di antara beraneka kloset di jamban warga,
sebagian di antaranya menggunakan kloset
berbahan semen. Itulah hasil karya para
pengrajin lokal yang telah dilatih sebagai
Pemasaran Sanitasi (Sanitation Marketing),
termasuk Markus Tefnae, dari Desa Konbaki,
Kecamatan Polen. Dengan harga jual berkisar
antara Rp60 ribu hingga Rp75 ribu, kloset ini
diharapkan bisa menjangkau konsumen dengan
mudah. Namun kenyataannya tidak demikian.
Hingga hari ini, Markus baru memproduksi 15
buah. Padahal kebutuhan kloset sehat cukup
tinggi. “Kebanyakan orang akhirnya beli (kloset
pabrik) di Kefa,” tuturnya. Kegiatan Pemasaran
Sanitasi ini meski bermanfaat secara ekonomi,
namun tidak lantas berjalan mulus. Di TTS
misalnya, dari 24 kelompok Pemasaran Sanitasi, 8
di antaranya tidak aktif. 1
Menurut Ardi dari Plan Indonesia, kloset buatan
warga ini sebenarnya sudah teruji lebih kuat dan
hemat air dibandingkan kloset produksi pabrik.
Namun kalah dalam hal strategi pemasaran
maupun promosi. Markus Tefnae pun hanya
tersenyum kecil ketika kami tanyakan bagaimana
cara dia mempromosikan produknya.
“Saya tidak bilang apa-apa. Orang biasanya

Keterangan:
„ Atas dan Kanan: Markus Tefnae,
dengan WC buatannya serta
cetakan dari ibreglass.
„ Kiri bawah: Magdalena Leing,
sanitarian yang juga membuat
kloset setelah dilatih Yay. Dian
Desa di kabupaten Sikka.

datang dan lihat, kalau cocok ya beli,” katanya
sembari menjelaskan bahwa kloset buatannya
hanya dititipkan di KUD Puna. Jika Markus
cenderung pasif, tidak demikian dengan
Magdalena Leing, sanitarian Puskesmas Nanga,
Kecamatan Lela, yang juga membuat kloset.
Menurut Kepala Desa Du, Yansen Paskalis, ia
sudah dihubungi Leing untuk membeli klosetnya.
“Tapi tahun ini saya tidak anggarkan untuk
jamban, baru tahun depan,”jelasnya.
Jelas dibutuhkan dukungan kebijakan dan
perbaikan strategi untuk memastikan kloset lokal
ini memberi manfaat sehat sekaligus ekonomi. (*)

1 “Penelitian Tentang Manfaat STBM 5 Pilar di 4 Kabupaten di NTT” 2014

M ereka Bicara Tentang STBM

13

14

Kisah M ereka
Seputar 5 Pilar
STBM

M ereka Bicara Tentang STBM

15

Martin Telopo, Desa
Puna, Polen, TTS

Eci, Desa Hepang,
Lela, Sikka
“Kebiasaan anak-anak
dulu ‘kan buang air
besar sembarangan.
Saya dulu juga begitu,
waktu kelas 3 SD.
Sekarang juga masih
ada satu dua orang yang
begitu. Saya pernah lihat, hahaha. Mereka
biasanya (BAB) di kali. Ya, ‘WC”nya di situ.
‘Kan nanti air hujan bawa (kotoran) itu toh.”
(*)

Simson Mella,
Desa Loli, Polen,
TTS
“Saya bikin WC di
sawah sejak 2010.
Harus begitu ibu,
karena kalau kita
datang pagi sampai
malam baru balik
ke rumah, kita harus
buang air besar di
tempat yang nyaman. Jarak rumah ke sawah
ini satu kilometer. Rumah terdekat pun masih
agak jauh. WC cemplung ini tidak ada air,
tapi kalau kita olah sawah, air ada.”(*)

Lisnawati, Desa
Hepang, Lela,
Sikka
“Saya diberi tahu
lewat penyuluhan dari
posyandu mengenai
cuci tangan pakai
sabun. Mengenai
sampah, biasanya ya dibakar atau dibuang
ke Kali Mati. Limbah cair rumah tangga siram
ke halaman supaya tidak berdebu. Anak juga
saya kasih tahu untuk cuci tangan, tapi ya
kadang susah. “(*)

16

“Sebelum ini kami pakai
WC cemplung, itu lalat
keluar masuk sehingga
bisa membawa penyakit
bagi kami. Dengan WC
yang bagus ini, tidak ada
lalat keluar untuk hinggap
di makanan, sehingga
kami tidak sakit. Dulu kami
orang tani ini tidak tahu tangan kotor-kotor dari
kebun langsung makan, sekarang kami sudah tahu
dan cuci tangan pakai sabun.”(*)

Pilar Kelima yang Terlupakan

S

alah satu pilar yang tampaknya banyak
terabaikan adalah pengelolaan limbah cair
rumah tangga. Musim kering berkepanjangan di
wilayah Timor dan Sikka tampaknya menjadikan
persoalan itu pun tenggelam dibandingkan
jamban.
Zed Edi Babis, Kepala Desa Puna, misalnya, juga
menganggap pilar kelima tersebut bukan masalah
berarti. “Pilar empat lima itu tidak masalah. Tidak
ada sampah yang luar biasa. Dan soal limbah cair
rumah tangga, menurut kita tidak ada persoalan,
di sini kan air susah sekali, jadi air sisa cuci piring
itu untuk siram-siram halaman atau tanaman,”
katanya. Gejala serupa juga ditemukan di desadesa lain. Pengamatan juga menunjukkan bahwa
tidak banyak rumah yang menyediakan lubang
penampungan. Panas terik membakar memang
membuat genangan tidak banyak tercipta di
sekitar rumah. Namun, bagaimana jika musim
hujan tiba?(*)

Foto:
„ Messak menunjuk
lubang penampungan
yang diberi batu-batu
untuk penyerapan

Air “Panas Dingin”
Dalam Wadah
Tertutup
Pilar ketiga, memasak air minum
hingga mendidih, sudah digaungkan
pemerintah jauh sebelum Program
STBM masuk. Hasil penelitian juga
menyimpulkan hampir 100% warga di 4
kabupaten termasuk TTS, memasak air
minum mereka.

T

eriknya matahari tak urung menerbitkan
dahaga, tidak lama setelah beranjak dari
kantor kecamatan Polen, Kabupaten TTS. Di
rumah Martin Teflopo di Desa Puna, beberapa
puluh meter dari kantor kecamatan, saya pun
meminta air minum, sembari melirik galon air
mineral di atas dispenser di dalam rumah. Eci
Kohetai, istri Martin Teflopo yang mendampingi
suaminya, langsung menuangkan minuman dari
sebuah wadah plastik tertutup ke gelas. Masih
mengepulkan asap. Saya bertanya, apakah
mereka membeli air mineral untuk diisi ke dalam
galon. Eci menggeleng.
“Kebanyakan kami buat air panas, lalu air panas
dingin kami masukkan ke galon,” Tuturnya. Air
“panas dingin”? Saya bingung seketika.
“Maksudnya, kami rebus air betul-betul sampai
masak, lalu kami saring, setelah dingin baru kami
masukkan ke galon,” jelas Martin Teflopo sambil
tersenyum lebar. Menurutnya, air harus disaring
karena kadar kapur yang tinggi. Saat saya cicipi

memang rasanya pahit. Kondisi air di wilayah
NTT ini umumnya memang banyak mengandung
kapur. Situasi inilah yang coba disiasati oleh
warga dengan menyaring air yang sudah masak
sebelum diminum. Beberapa rumah yang kami
kunjungi juga tampak menyimpan “penyaring”
air di dapurnya, tanda barang tersebut sangat
diperlukan sehari-hari. Kesadaran untuk
memasak air ini, menurut Martin, sudah ada
sebelum program STBM masuk. Air yang sudah
dimasak biasanya ditampung dulu dalam wadah
ember tertutup, sebelum kemudian mereka
pindahkan ke wadah tempat minum bercorong
atau berkeran yang tertutup (dispenser). (*)
keterangan foto:
„ Yanembria, putri Martin Telopo di Desa Puna, Kecamatan
Polen, menenggak air minum sepulang sekolah

Bernadetta, Bidan, Desa Hepang, Kecamatan
Lela, Sikka
Bidan Bernadetta atau akrab disapa Mama Deti, menuturkan
bahwa meski air sulit, namun masyarakat tetap berusaha
menerapkan STBM 5 Pilar. Meski demikian, dia mengakui
bahwa di salah satu dusun di Desa Hepang ini, masih ada
yang belum memiliki jamban, terutama yang berlokasi di
dekat pantai. Warga tersebut menurutnya hanya memiliki
jamban “darurat” atau model cemplung. Lokasi jamban di
tanah berpasir menyebabkan lubang jamban cepat penuh
oleh pasir sehingga tidak bisa dipakai. “Tanah pasir tidak
tahan lama, sehingga cepat sekali penuh,” katanya. Hal itu
menyebabkan Buang Air Besar Sembarangan tetap terjadi.
(*)

M ereka Bicara Tentang STBM

17

18

M engapa STBM
Tidak 100%?

M ereka Bicara Tentang STBM

19

Kelangkaan Air, Bukan
Satu-satunya M usuh
Besar STBM

Sebagian warga Desa Laob harus
menempuh jarak 5 kilometer untuk
mendapatkan air. Warga Desa Du juga
mesti “baku rebut” air setiap hari. Tapi
kelangkaan air bukan satu-satunya
ancaman bagi keberlanjutan STBM.

W

ati (26) tidak dapat menutupi rasa
gundahnya. Sambil menggendong Floren,
1 bulan, keluh kesahnya pun mengalir. “Air
belum keluar,” katanya sambil tertawa getir.
Bayinya belum mandi. Kotoran kulit kepala
memenuhi rambut ikalnya yang legam. Warga
Desa Du sebenarnya menikmati air bersih dari
mata air yang berjarak 8 kilometer dari desa.
Namun warga harus bergantian menikmati air
bersih yang disalurkan melalui beberapa keran di
beberapa titik desa ini. “Kami harus baku rebut,”
kata Minsia Sane, tentang air bersih di Desa Du.
Di Desa Laob, lebih parah lagi. Rata-rata warga
harus menempuh 1 km untuk mencapai sungai
yang menjadi satu-satunya sumber air. Bahkan
ada satu dusun di Desa Laob yang berjarak 5 km
dari sumber air.
Meski dilanda krisis air, namun pada umumnya
warga bisa beradaptasi sehingga kegiatan STBM
5 Pilar tetap dapat dilakukan. Desa Hepang
misalnya, warga secara berkala membeli air.
Dengan harga Rp200 ribu, mereka bisa membeli
air satu tangki atau 5000 liter. Jerigen juga

20

Keterangan foto:
„ Tengah dan kanan atas: sungai yang mengering
dan menjadi satu-satunya sumber bagi warga
Desa Laob dan desa di sekitarnya
„ Wati berusaha menenangkan bayinya yang belum
sempat dimandikan karena ketiadaan air.

cukup dilubangi dengan paku, bukan kayu,
sehingga lebih irit air. Di Desa Du, meski krisis air
mengundang “baku rebut” antar warga, namun
warga masih memiliki beberapa sumur milik
desa yang dapat diakses siapa saja. Rata-rata
warga yang ditemui juga mengakui bahwa Tim
Pengelola Air Minum yang diketuai Siprianus
Hilarius, bekerja dengan baik, terutama ketika
mengatasi pipa yang sering patah (lihat boks:
Pipa Rusak, STBM Tidak Berjalan).

P

N

Di wilayah lain, indikasi mulai melonggarnya
pemantauan tampak dalam bentuk pengelolaan
sampah Rumah Tangga di Desa Hepang.
Lisnawati, seorang warga, menuturkan bahwa
biasanya sampah dibakar, atau dibuang ke
Kali Mati. Sebagian warganya juga ditengarai
masih melakukan BABS karena jamban mereka
tidak bisa dipakai. Magdalena Leing, sanitarian
Puskesmas Nanga, Kecamatan Lela juga
mengutarakan bahwa di antara 5 Pilar STBM,
sampah di wilayah publik yang masih menjadi
masalah.

amun, di luar permasalahan air, ada
persoalan yang lebih serius dan berpotensi
menghambat keberlanjutan. Salah satunya,
komitmen warga yang mengendur untuk
melaksanakan STBM 5 Pilar. Meskipun rata-rata
rumah yang kami temui menyediakan tippy tap,
namun beberapa di antaranya tidak disertai
sabun. Sebagian warga di TTS mengatakan
bahwa mereka sengaja menyembunyikan
sabun karena acapkali dimakan oleh sapi yang
berkeliaran.

asca deklarasi, tampaknya pemantauan dan
gerakan untuk memotivasi warga memang
mengendur bahkan di Desa Du sendiri. Menurut
Ludardis Nona Erwin dari Tim Sebelas Desa Du,
setelah deklarasi Kecamatan Lela, baru satu kali
ada pemantauan dari Kecamatan di Desa Du.
Itupun, hasilnya hanya disampaikan secara lisan
oleh petugas Program Kesehatan kepada Erwin.
“Jadi itu saya anggap tidak resmi,” tutur Erwin
yang juga menjabat Sekretaris Desa Du.

keterangan foto:
„ atas: Warga Ragaregong, Desa Du,
mengantri air dari keran. Setiap keran
diakses 5-6 rumah tangga.
„ Kiri bawah: Warga Desa Du menimba air
dari sumur desa , sebagai alternatif sumber
air.
„ Kanan bawah: Sampah organik bercampur
plastik di pinggir Kali Mati, Desa Hepang.
Warga biasa membuang sampah di sini.
„ Tengah bawah: tippy tap khas Desa
Hepang, lubangnya hanya seukuran paku,
agar irit air.

M ereka Bicara Tentang STBM

21

Berbagai persoalan maupun tantangan
juga dihadapi relawan. Jika situasi tersebut
menurunkan komitmen mereka, maka dapat
mempengaruhi keberlanjutan STBM. Di Desa
Laob, relawan terkendala dengan jarak antar
rumah yang berjauhan. “Sekarang ini hanya 3
relawan yang masih aktif memonitor 3 bulan
sekali, “Kata Simon Petrus Djamie, relawan
STBM. Menurutnya, harus ada dorongan terus
menerus, tidak cukup hanya sosialisasi, karena
tingkat pemahaman masyarakat yang masih
minim. Masalahnya, untuk terus mendorong
mereka, tidak cukup dana dari desa untuk
memfasilitasi relawan dalam memonitor.
Di Kecamatan Lela, beberapa pemangku
kepentingan di sana juga menghadapi tantangan
yang menguji kebersamaan mereka sebagai
ujung tombak STBM di desa. (lihat: Koordinasi
Dulu dengan Desa). Mengingat besarnya

22

peranan desa yang berdaya dan mandiri dalam
penerapan STBM 5 Pilar, maka persoalanpersoalan tersebut perlu segera diurai demi
keberlanjutan STBM. (*)

keterangan foto:
„ kiri atas: suasana Desa Laob, jarak antar rumah berjauhan
menjadi kendala dalam pemantauan rutin
„ kanan atas: Simon Petrus Djamie, relawan STBM dan istrinya
„ kiri bawah: pipa yang mengalirkan air dari mata air Waermea
ke beberapa titik keran di Desa Du, disampirkan sekedarnya ke
batang pohon. Sering rusak terkena longsoran batu.
„ Minsia Sane dan suaminya: mengandalkan air sumur ketika
keran macet, meski kondisi airnya tidak lebih baik.

Tim Pengelola Air Minum Desa Du

macet, pasti setengah mati,” katanya.

Pipa rusak, STBM tidak
berjalan

Menurutnya pipa itu harus diganti dengan pipa
plastik, sehingga lebih awet. Untuk itu ia sudah
mengajukan kenaikan tarif iuran namun belum
terlaksana. Saat ini setiap keluarga penerima
manfaat dikenakan iuran Rp5000./bulan. (*)

S

etiap kali membicarakan soal air keran, warga
akan langsung menyebut nama Siprianus
Hilarius. Laki-laki yang juga tokoh adat ini terpilih
sebagai Ketua Tim Pengelola Air Minum Desa
sejak dua tahun lalu melalui musyawarah desa.
Ketika ditanya mengenai masalah distribusi air
yang sering macet, singkat ia menjawab;

keterangan foto:
„ Siprianus Hilarius di kediamannya di Desa Du

“Pipa sering rusak,”
Menurutnya, pipa air yang dipasang oleh
kontraktor bukan kualitas utama sehingga sering
rusak. Setiap kali rusak, Hilarius dan 6 orang
timnya berjalan kaki menempuh 8 kilometer
ke mata air Waermea membawa berbagai
perlengkapan asesoris pipa.
Selain itu, penyaluran air untuk penerima manfaat
juga dilakukan secara bergantian di antara
dusun-dusun di Desa Du dan satu di Desa Sikka.
Saat ini pipa sering patah karena tertimpa batu
longsor, terutama saat musim hujan. “Dengan
adanya STBM, mereka yang di sebelah atas dan
hanya mengandalkan air Waermea, ketika air

Koordinasi Dulu dengan Desa!

D

esa adalah ujung tombak STBM 5 Pilar. Atas
dasar itulah, pengakuan atas wewenang
desa dalam berbagai aspek terkait STBM
menjadi sangat penting. Setelah memiliki tim
11 sebagai tim relawan STBM yang sukses
mengantar Kecamatan Lela menuju Deklarasi
STBM, Desa Du tampaknya sudah siap memikul
tanggungjawab dalam hal STBM. Masalah
muncul ketika seorang sanitarian menunjuk salah
satu anggota Tim 11 mengikuti lomba Natural
Leader STBM yang diadakan Kementerian
Kesehatan RI Agustus lalu. Penunjukan langsung
tersebut memicu masalah, karena dianggap
melangkahi wewenang desa. “Kalau mau kirim
orang harus koordinasi dulu dengan orang
desa,” tukas Siprianus Hilarius yang juga tokoh
BPD. Menurutnya, hanya karena kedekatan
dengan pihak kecamatan, tidak lantas sanitarian
tersebut boleh melangkahi wewenang desa.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dusun
Ragaregong, Mans Cosmas, yang juga anggota

Tim 11. “Seharusnya, kami semua diundang
untuk rembug mengenai lomba tersebut,”
katanya yang juga mengaku tidak tahu menahu
mengenai latar belakang penunjukan maupun
lomba tersebut. Hal ini memang bukan sekedar
eksistensi Tim 11, melainkan kewenangan
desa dalam segala aspek terkait STBM. Jika
wewenang mereka dilemahkan, bagaimana
dengan keberlanjutan STBM?(*)
„ Foto bawah: Mans Cosmas, kepala Dusun Ragaregong

M ereka Bicara Tentang STBM

23

24

Agar STBM
Tetap100%,
Ini Yang Perlu
Dipertahankan..

M ereka Bicara Tentang STBM

25

Komitmen Desa dan Fleksibilitas jadi Modal
Utama

Dari Jerigen, hingga ADD

Keberhasilan STBM 5 Pilar dimotori
oleh beberapa hal, di antaranya
leksibilitas dalam pengadaan sarana
sanitasi. Tidak ada keran, jerigen pun
jadi. Tidak ada sabun cuci, deterjen pun
oke. WC juga tidak perlu mahal.

keterangan:
„ atas: tippy tap di Soe,
mudah dan murah.
„ bawah: Yansen Pascalis
dan sebagian tim 11

“Tippy tap? Oh, jerigen cuci tangan,”
Begitulah masyarakat di TTS dan Sikka
mengenali sarana pilar kedua STBM tersebut.
Jerigen untuk cuci tangan memang tampaknya
familiar bagi masyarakat di sana, khususnya
ketika program STBM diperkenalkan. Saya bisa
dengan mudah menemukannya di setiap rumah
yang saya temui di Kecamatan Polen, bahkan
di Desa Laob yang sarana sanitasinya - menurut
pengamatan saya - lebih terbelakang dibanding
Desa Puna maupun Desa Loli, Kecamatan Polen,
Kabupaten TTS, apalagi dibanding Desa Du,
Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka.
Secara umum, jerigen cuci tangan itu bisa
dikenali karena posisinya yang biasanya di luar
rumah, tergantung tali yang disambungkan
dengan bambu. Cukup menginjak bambu, maka
jerigen pun menumpahkan air dari bagiannya
yang berlobang. Di samping jerigen, biasanya
tergantung pula sabun. Nah, mengenai sabun,
ini juga tidak harus sabun mandi seperti di iklaniklan televisi.
“Sabun cuci pun bisa,” kata Marten Teflopo,
warga Desa Puna.
Jika sarana cuci tangan dibuat mudah dan
murah, begitu juga halnya dengan pengadaan
jamban. Umumnya mendengar kata jamban,
pikiran akan langsung tertuju pada bangunan
jamban permanen yang mahal. Ternyata tidak
perlu demikian.
“Di Desa Puna, cukup dengan Rp500 ribu,
warga sudah bisa membangun jamban sendiri,”

26

kata Camat Polen, Nim Tauho. Komitmen dari
pemerintah desa juga menguatkan keberhasilan
STBM, seperti di Desa Du. Yansen Paskalis,
Kepala Desa Du, Kecamatan Lela, Kabupaten
Sikka yang menyisihkan dana bantuan jamban
untuk 45 rumah di tahun 2012-2013, dengan total
nilai Rp16 juta, semua dari Alokasi Dana Desa
(ADD). “Hanya tahun 2014 yang tidak,” Katanya,
seraya menyebut hanya 5-6 rumah saja yang
masih perlu dibantu.
Desa Laob, meski belum memiliki ADD memadai
untuk STBM, namun perangkat desa dan tokoh
masyarakat setempat tampak begitu kompak.
“Kalau di desa ini saya masih urus SPJ ADD,
(Alokasi Dana Desa), dan akan ada dana sedikit
dari ADD untuk membantu masyarakat membuat
jamban,” kata Yura W Bahan, Kepala Desa Laob.
Selama ini, ia merangkul pihak pemuka agama
atau pendeta untuk membantu pengadaan
jamban bagi warga yang tidak mampu.

Komitmen bukan saja dari perangkat pemerintah,
tapi juga tokoh masyarakat dan agama - ikut
mendorong keberhasilan program STBM. Di
Desa Laob, Plan Indonesia bersama dengan
Pendeta Billa Octavia Koilher yang juga bagian
dari tim STBM Desa mengajari anak-anak usia
SD (waktu itu, tahun 2012) menilai berdasarkan 5
Pilar STBM (lihat boks: Tim Relawan Cilik). Anakanak inilah yang kemudian, dengan pengawasan
Pendeta Billa, menjadi ujung tombak dalam
pemantauan pelaksanaan STBM di Desa Laob.
Senada dengan Desa Laob, Desa Loli melalui
Tim STBM Desa juga mendorong warganya
melaksanakan STBM. Petronella Tefnae, ketua
Tim Penggerak PKK sekaligus bagian dari
STBM Desa, menerapkan beraneka denda bagi
pelanggaran 5 Pilar STBM. “Denda seratus
ribu jika jerigen tidak tergantung, dan seratus
lima puluh ribu jika tidak ada WC,” katanya.
Denda juga pernah menjadi kesepakatan
di Desa Puna untuk mendorong warganya
memiliki WC, apapun kondisinya. “Ya, pernah
dibuat kesepakatan, denda Rp100 ribu jika
tidak memiliki WC. Tapi, tidak pernah terjadi
(denda) karena tidak ada temuan pada waktu
monitoring,” ujar Zed Edi Babis, Kepala Desa
Puna. Rencananya, denda itu masuk kas desa,
lalu digunakan untuk bergotong-royong
membangun jamban. (*)

„ Bawah: Tim STBM Desa Loli. Kepala Desa Loli duduk paling
kiri.

Memantau Melalui Tim Relawan Cilik:

Anak-anak Lebih Jujur

S

alah satu strategi mendorong STBM 5 Pilar
di Desa Laob yaitu melibatkan anak-anak
yang tergabung dalam Tim Relawan Cilik.
Mengapa anak-anak? Menurut Pendeta Billa
Octavia Koilher, agar anak-anak sudah mulai
mengenal budaya hidup bersih. “Orang dewasa
juga supaya belajar dari anak-anak. Masak
kita sudah dewasa ditegur oleh anak-anak,”
paparnya.
“Anak-anak itu jujur,” kata Simon Petrus Djamie,
Relawan STBM. Menurutnya, orang dewasa
kadang abai dan tidak mengecek sampai teliti,
berbeda dengan anak-anak.
“Awalnya saya malu, anak kecil menyuruhnyuruh orangtua,” ujar Benyamin, ketua BPD.
Namun menurutnya, pemantau anak-anak
justru akan efektif karena mereka polos apa
adanya. Berdasarkan pengamatan kami,
juga demikian. Ketika keenam anak tersebut
melakukan simulasi pemantauan di kediaman
Pendeta Billa, salah satu di antaranya langsung
masuk ke dalam jamban, bukan hanya melihat
dari luar. Yang lain mengecek tippy tap dan
berseru, “Wah, tidak ada sabun!” Pendeta Billa
menyaksikan sambil tertawa. “Iya, saya lupa
sediakan sabun lagi,” katanya.
Hasil temuan biasanya disampaikan ke Pendeta
Billa, yang akan meneruskannya ke pemerintah
desa. “Karena Desa yang akan menentukan
tindak lanjut,” jelas Pendeta Billa.(*)

Keterangan foto:
„ atas; Tim relawan cilik ketika praktik menilai STBM 5 Pilar

M ereka Bicara Tentang STBM

27

Keberlanjutan STBM 5 Pilar juga dipengaruhi persepsi para pemangku
kepentingan mengenai manfaat STBM itu sendiri. Berikut di antaranya.
Clemensia Ana Dakota (Mama Ana) dan
Inosensia Adventa (Mama Venta), Kader Desa
Du, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka

Manfaat Pengetahuan
Tambahan dari STBM
Kader posyandu merupakan salah satu ujung
tombak penting keberhasilan STBM. Berbekal
semangat kerelawanan (kader posyandu hanya
mendapat biaya insentif dari pemerintah sebesar
Rp300 ribu setahun dan naik menjadi Rp600
ribu setahun sejak bulan September tahun
ini), mereka menjadi sumber akses informasi
kesehatan bagi ibu dan anak. Mama Ana dan
Mama Venta, adalah contoh kader yang sudah
mengabdi lebih 20 tahun.
“Saya menjadi
kader karena
saya suka
anak-anak, dan
dengan menjadi
kader, kita bisa
mengetahui
soal-soal
kesehatan buat
anak.“ kata
Mama Ana.
Bersama Mama
Venta, serta Siprianus Hilarius - saat itu kepala
Dusun Du - mereka inilah yang pertama-tama
terjun dalam sosialisasi awal program STBM di
Desa Du. Semua dilakukan sukarela. Sekalipun
menjadi kader berdasarkan sukarela, namun
mereka memandang penting manfaat lain yang
diperoleh dari STBM yaitu kesempatan untuk
menambah pengetahuan melalui berbagai
lomba maupun pelatihan. Mama Venta pernah
juara I lomba STBM tingkat kecamatan dan juara
III di kabupaten. Mama Ana juga berkata, “Saya
ini kan sekolahnya rendah, tidak lulus SMP. Jadi
ya harus menambah pengetahuan.” Katanya
sembari menegaskan ingin STBM terus berlanjut
sehingga mereka dapat terus menambah
pengetahuan. (*)

28

Simon Petrus Djamie, Relawan, Desa
Laob,Kecamatan Polen, TTS

Masyarakat Harus Terus
Menerus Didorong!
“STBM itu bermanfaat terutama untuk menjamin
kesehatan keluarga dan pribadi. Dengan STBM,
penyakit-penyakit yang berasal dari lingkungan
semakin berkurang. Sebelum ada STBM,
keluarga kami sudah terbiasa soal jamban dan
air minum, tapi pilar-pilar lain, belum. Karena
mungkin kami belum mendapat informasi,
tentang cuci tangan, pengolahan sampah, dan
limbah, sehingga kami pikir waktu itu tidak
masalah. Tapi untuk keberlanjutan, masyarakat
harus terus menerus didorong, dan kami relawan
terkendala sebaran penduduk yang luas, hanya
260 KK di luas wilayah sekitar 20 km2.” (*)

Mayella Da Cunha, Camat Lela - Kabupaten
Sikka

Deklarasi STBM Akan
Memotivasi Masyarakat
“Deklarasi itu penting,
karena deklarasi itu sekaligus
memperkenalkan masyarakat
bahwa kegiatan kami sudah
terprogram dengan STBM.
Deklarasi akan memotivasi
masyarakat, sekaligus menjadi
tanggungjawab bersama. Saya
tidak mau STBM itu hanya
menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Makna deklarasi ini, bagi kecamatan, jelas ada
efek lanjutnya. Lela adalah destinasi wisata. Kita
punya Gereja Sikka, Wisung Fatima, dan wisata
laut. Obyek wisata, tanpa kebersihan, itu akan
mempengaruhi daya tarik wisata. Jadi, manfaat
STBM bagi pengembangan potensi di Lela, jelas
ada. Cuma, ya begitu musim hujan, sampah akan
terkumpul. Nah, saya punya mimpi, saya ingin
bikin bank sampah. ”(*)

Pasca Deklarasi STBM

Usai M emunculkan Rasa M alu, Kini
Komitmen Desa Jadi Penentu
Panas matahari begitu menyengat
saat kami tiba di pelataran Kecamatan
Polen. Inilah kecamatan yang pertama
kali mendeklarasikan STBM 5 Pilar
di kabupaten TTS hanya dalam
kurun 7 bulan setelah sosialisasi. Apa
rahasianya?

S

aat kami tiba, halaman kecamatan dipenuhi
warga yang berkumpul demi mendapatkan
Bantuan Langsung Tunai - kompensasi kenaikan
harga BBM sejak beberapa hari lalu. Kemiskinan
memang mendominasi warga sebelas desa yang
tergabung dalam kecamatan Polen ini. Berada
pada garis kemiskinan, serta kemarau panjang sungguh bukan kondisi ideal untuk menerapkan
STBM 5 Pilar.

Fokus pada Stop BABS
“Kami paling fokus pada pilar pertama, yaitu
Stop BABS,” Kata Zed Edi Babis, Ketua Tim
STBM Kecamatan. Masuknya program ini
memang diikuti dengan pembentukan tim
STBM di setiap kecamatan. Tim inilah yang
bergerak melakukan proses perubahan di
desa-desa cakupannya. Selain pilar kesatu,
menurut Zed, penyuluhan kesehatan sudah
biasa dilakukan untuk mendorong warga
melakukan keempat pilar lain. Pilar kelima, yaitu
pengelolaan limbah cair rumah tangga, nyaris
tidak ada karena daerah ini cenderung kering.
Saat program STBM masuk juga hanya tinggal
sekitar 466 Rumah Tangga dari 3681 RT saja

yang belum memiliki jamban sama sekali.

Memunculkan Rasa Malu
Selain itu, menurut Zed, salah satu penyebab
keberhasilan STBM di sini yaitu, orang Timor
memiliki harga diri yang tinggi. Hal inilah yang
dijadikan “senjata” sehingga memunculkan
rasa malu bagi warga yang belum memiliki
jamban sendiri di rumahnya. Strategi lama yang
hanya mengandalkan tenaga sanitarian untuk
penyuluhan, ditinggalkan dan berganti dengan
pelibatan tim yang terdiri dari perangkat
pemerintah setempat, sanitarian, maupun kader.
Hal kurang lebih sama terjadi pula di Kecamatan
Lela, Kabupaten Sikka. Sanitarian bukan lagi
tenaga andalan satu-satunya di wilayah ini.
Bahkan di kecamatan ini kemudian lahir Tim
11 di Desa Du, yang kemudian menjadi tim
yang menilai 8 desa lainnya sebelum kemudian
dinyatakan sebagai Desa STBM. Desa yang
terletak di pesisir pantai itu sendiri merupakan
desa yang pertama kali mendeklarasikan
sebagai Desa STBM di Kecamatan Lela.

Komitmen Desa Kembali Jadi Penentu
Memang, prasasti “STBM” berdiri megah di
dekat pintu masuk beberapa desa yang kami
kunjungi, dan juga dimiliki kantor Kecamatan
Lela, Sikka maupun Polen, TTS. Di dekat pintu
masuk kantor kecamatan Polen kami juga
melihat tempat sampah yang memisahkan
organik dan anorganik.
Namun, untuk menjamin keberlanjutan STBM,
komitmen desa menjadi penentu utama.
Komitmen inilah yang akan menentukan
bagaimana STBM ini terinternalisasi di
masyarakat melalui alokasi anggaran dana desa,
serta pemantauan terus menerus terhadap
kelima pilar - secara menyeluruh - untuk
memastikan norma sosial baru terus terpelihara.
(*)

M ereka Bicara Tentang STBM

29

YAYASAN DIAN DESA

Dokumen yang terkait

Strategi Pemenangan Pilkada Langsung di Kota Batu Periode 2012-2017 (Studi Tentang Strategi Pemenangan Pilkada Langsung Pasangan Calon Edi Rumpoko Dan Punjul Santoso)

2 49 40

MANAJEMEN SIARAN PADA VOICE OF AMERICA (VOA) INDONESIA (Studi Tentang Pengolahan dan Penyebaran Program Acara Radio dan Televisi Oleh VOA Indonesia)

3 48 23

PEMAKNAAN MAHASISWA PENGGUNA AKUN TWITTER TENTANG CYBERBULLY (Studi Resepsi Pada Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2010 Atas Kasus Pernyataan Pengacara Farhat Abbas Tentang Pemerintahan Jokowi - Ahok)

2 85 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2

Dari Penangkapan Ke Budidaya Rumput Laut: Studi Tentang Model Pengembangan Matapencaharian Alternatif Pada Masyarakat Nelayan Di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur

2 37 2

Pandangan Islam Tentang politik pendidikan

0 29 69

Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi (Studi Deskriptif Tentang Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi)

4 40 1

Konstruksi Makna Gaya Blusukan (studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Gaya Blusukan Gubenur Joko Widodo Bagi Masyarakat Jakarta Pusat)

1 65 112

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79