Kecenderungan Depolitisasi Fungsi Sosial budaya
Abstrak
Studi ini merupakan kajian kepustakaan tentang perdebatan di dalam sosiologi
budaya kontemporer mengenai relasi antara selera dan kelas sosial yang muncul
sebagai reaksi terhadap tesis Pierre Bourdieu mengenai homologi struktural antara
selera dan kelas sosial yang dikemukakan dalam magnum opusnya: Distinction A
Social Critique of the Judgement of Taste (1984). Perdebatan mengenai homologi
struktural ini melibatkan dua perspektif berbeda yakni tesis omnivora-univora dan
perspektif Neo-Weberian. Berpijak pada paradigma reproduksi sosial argumentasi
yang dibangun studi ini adalah baik kritik omnivora-univora maupun perspektif
Neo-Weberian terhadap Distinction yang didasarkan pada persoalan aktualitas
homologi struktural membawa implikasi teoritis berupa depolitisasi fungsi sosial
selera dalam proses reproduksi struktur kelas. Depolitisasi dipahami sebagai
kecenderungan teoritis dan metodologis dalam struktur internal kritik terhadap
Distinction yang menyebabkan teori tentang selera tidak lagi mempunyai
kekuatan eksplanatif terhadap fungsi sosial selera dalam proses reproduksi
struktur kelas.
Analisis mengidentifikasi bahwa problem teoritis dan metodologis yang
fundamental adalah penafsiran dan operasionalisasi atas selera sebagai modal
budaya. Dalam hal ini baik tesis omnivora-univora maupun perspektif NeoWeberian cenderung menginterpretasikan dan mengoperasionalisasikan modal
budaya dalam bentuk objektifnya, yaitu modal budaya yang terdapat dalam
bentuk material, terutama produk-produk kultural legitim. Selain itu problem
teoritis dan metodologis yang secara spesifik terdapat pada perspektif NeoWeberian adalah konstuksi kelas secara unidimensional sebagai konsekuensi dari
upaya kembali ke pemisahan status dan kelas Max Weber.
Analisis menunjukkan bahwa operasionalisasi modal budaya berdasarkan
bentuk objektif modal budaya maupun konstruksi kelas secara unidimensional
tersebut menunjukkan beberapa kelemahan. Pertama, menafsirkan teori selera
Bourdieu sebagai teori tentang bagaimana kelas dominan menggunakan produkproduk legitim untuk membangun batas-batas kelas. Karena itu tidak
ditemukannya kelas dominan yang hanya mengkonsumsi produk-produk legitim
ditafsirkan sebagai perubahan ke arah omnivora-univora (pada tesis omnivoraunivora), dan tidak eksisnya kelas dominan yang berupaya mendefinisikan selera
legitim sehingga teori Bourdieu tentang pertarungan simbolik dianggap tidak
relevan (pada perspektif Neo-Weberian). Kedua, tidak dapat menangkap habitus
sebagai suatu sistem mekanisme yang mengorientasikan selera. Ketiga,
unidimensionalitas kelas perspektif Neo-Weberian tidak mampu menangkap
variasi dan perbedaan-perbedaan selera di antara pecahan-pecahan atau fraksifraksi kelas yang menandakan selera sebagai arena pertarungan simbolik kelas.
Studi ini menyimpulkan bahwa problem teoritis dan metodologis dalam
struktur internal kritik terhadap Distinction yang menyebabkan kecenderungan
depolitisasi adalah operasionalisasi modal budaya yang tidak mampu menangkap
habitus kelas dan unidimensionalitas konstruksi kelas yang tidak mampu
menangkap variasi selera di antara fraksi kelas.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Halaman Persetujuan
ii
Halaman Pengesahan
iii
Halaman Pernyataan
iv
Abstraksi
v
Kata Pengantar
iv
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Literatur Review
6
1.3 Metodologi
9
1.4 Sistematika Penulisan
11
2 DISTINCTION: FUNGSI SOSIAL SELERA DALAM REPRODUKSI
STRUKTUR KELAS
2.1 Kelas Menurut Bourdieu dan Konteks Keterhubungannya
13
Dengan Selera
2.2 Selera Sebagai Arena Pertarungan Simbolik Kelas
19
2.3 Homologi Struktural Sebagai Efek Pertarungan Simbolik Kelas
21
2.4 Fungsi Sosial Selera Dalam Proses Reproduksi Kelas
26
3 KRITIK TERHADAP DISTINCTION
3.1 Kritik Tesis Omnivora-univora
31
3.1.1 Berakhirnya Homologi Struktural
32
3.1.2 Evidensi Empiris Eksistensi Omnivora-univora
34
3.1.3 Implikasi Teoritis: Omnivora-univora Sebagai
Bentuk Baru Distinction
36
3.2 Kritik Perspektif Neo-Weberian
38
3.2.1 Perbedaan Konseptual dan Operasional Struktur Kelas dan
Status
39
3.2.2 Stratifikasi Status Sebagai Basis Sosial Selera
42
3.2.3 Implikasi Teoritis Status Sebagai Basis Sosial Selera
44
4 TINJAUAN ATAS KRITIK TERHADAP DISTINCTION
4.1 Struktur Internal Kritik Terhadap Distinction
46
4.1.1 Operasionalisasi Modal Budaya
46
4.1.2 Persoalan Habitus
47
4.1.3 Kelas dan Konstruksi Kelas
47
4.2 Omnivora-univora Sebagai Kuasi Distinction
48
4.3 Perspektif Neo-Weberian adalah Apolitis
53
5. PENUTUP: KECENDERUNGAN DEPOLITISASI FUNGSI SOSIAL
SELERA
Daftar Pustaka
62
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendekatan teoritis dan metodologis Pierre Bourdieu terhadap selera
dalam magnum opusnya Distinction A Social Critique of the Judgement of Taste
(1984 –selanjutnya disebut Distinction),1 telah memicu perdebatan yang kompleks
dalam sosiologi budaya kontemporer mengenai relasi antara selera dan kelas
sosial. Perdebatan ini dirangsang oleh riset-riset empiris dalam sosiologi budaya
kontemporer yang menyanggah aktualitas homologi struktural antara selera
budaya dengan kelas sosial. Sanggahan datang dari dua perspektif berbeda yaitu
oleh tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian.
Menggunakan paradigma reproduksi sosial sebagai pijakan studi ini akan
menunjukkan bahwa kritik terhadap Distinction yang didasarkan pada persoalan
aktualitas homologi struktural membawa implikasi teoritis berupa depolitisasi
fungsi sosial selera dalam proses reproduksi kelas. Dalam hal ini depolitisasi
dipahami sebagai kecenderungan teoritis dan metodologis tertentu dalam struktur
internal kritik terhadap Distinction yang menyebabkan teori tentang selera tidak
lagi mempunyai kekuatan eksplanatif terhadap fungsi sosial selera dalam proses
reproduksi struktur kelas.
Homologi struktural yaitu korespondensi struktural antara kelas sosial
(social space) dan selera (symbolic space) yang diperantarai oleh habitus kelas.
1 Sepanjang tulisan ini term distinction akan digunakan dalam dua pengertian. Pertama, penulisan
dengan huruf d kapital (Distinction) mengacu kepada judul buku Pierre Bourdieu. Kedua,
penulisan dengan huruf d kecil (distinction) mengacu kepada konsep strategi pembedaan kultural.
Pada arena musik, misalnya, Bourdieu memetakan tiga zona selera yang homolog
dengan kelas sosial. Pertama, letigimate taste, yaitu selera atas karya-karya
legitim seperti musik klasik dan opera dimiliki oleh fraksi kelas atas. Kedua,
middle-brow taste, yaitu selera atas karya-karya yang tergolong minor dimiliki
oleh fraksi kelas menengah. Ketiga, popular taste, yaitu selera atas karya-karya
yang disebut ligth music (musik ringan atau pop) dimiliki oleh fraksi kelas bawah
(Bourdieu, 1984: 16).
Munurut Bourdieu homologi struktural tidak terjadi secara natural, tetapi
muncul sebagai konsekuensi habitus estetis berbeda-beda yang dihasilkan dalam
kondisi objektif kelas sebagai kebutuhan untuk menciptakan efek pembedaan
kultural (distinction), yaitu strategi perjuangan yang dengannya agen-agen sosial
secara aktif mempertahankan posisi sosialnya masing-masing (Cood, 2009: 179180). Bourdieu mengidentifikasi tiga bentuk habitus yang berkorespondensi
dengan kelas sosial. Pertama, sens of distinction, merupakan habitus kelas
dominan yang berusaha membedakan dirinya dengan anggota kelas sosial lain
melalui monopoli atas selera yang baik (good taste), yang diekspresikan dengan
pilihan terhadap karya-karya legitim (seni dan musik konvensional) (Bourdieu,
1984: 267). Kedua, cultural goodwill, merupakan habitus kelas menengah yang
berusaha membedakan dirinya dengan anggota kelas bawah melalui rasa hormat
terhadap budaya, yang diekspresikan dengan selera atas hiburan yang mendidik
dan instruktif (Bourdieu, 1984: 321). Ketiga, choice of necessity, merupakan
habitus kelas bawah yang oleh tuntutan-tuntutan objektif kelas menjatuhkan
pilihan pada fungsi daripada estetika (Bourdieu, 1984: 379).
Homologi struktural menjadi basis empiris tesis Bourdieu tentang fungsi
sosial selera dalam reproduksi struktur kelas. Akan tetapi, riset-riset empiris dalam
sosiologi budaya kontemporer menemukan bahwa homologi struktural tidak
aktual secara empiris. Sanggahan terhadap aktualitas homologi struktural pertama
kali dikemukakan oleh Peterson dan Simkus (1992) dalam How Musical Taste
Mark Occupational Status Group. Dalam risetnya Peterson dan Simkus
menemukan alih-alih hanya mengkonsumsi genre musik yang tergolong kategori
selera tinggi (legitimate), anggota status sosial tinggi juga mengkonsumsi genre
musik yang tergolong kategori selera rendah. Kecenderungan ini dinamai sebagai
kultur omnivora, yaitu mengkonsumsi semua genre musik. Di sisi lain, anggota
status sosial rendah hanya mengkonsumsi satu genre musik, yaitu musik pop yang
tergolong kategori selera rendah, karena itu dinamai sebagai kultur univora.
Peterson dan Simkus kemudian merumuskan temuan mereka sebagai hipotesis
omnivora-univora. Peterson, yang kali ini berkolaborasi dengan Kern, menguji
kembali hipotesis tersebut dalam Changing Higbrow Taste: From Snob to
Omnivore (1996). Riset kedua ini memberikan afirmasi positif terhadap kesahihan
kultur omnivora-univora. Temuan itu kemudian dirumuskan sebagai tesis
omnivora-univora.
Argumentasi utama tesis omnivora-univora dapat dirumuskan secara
skematik kedalam beberapa proposisi berikut. Pertama, selera elit yang bersifat
eksklusif highbrow dan strata yang rigid dari snob (selera tinggi) ke slob (selera
rendah) tidak relevan lagi. Kedua, selera elit telah bergeser dari eksklusivitas ke
keterbukaan mengapresiasi atau bersifat omnivora, dengan tambahan ketat: bukan
tanpa diskriminasi. Ketiga, keterbukaan atau omnivora merupakan antitesa
terhadap snobisme yang berbasis eksklusi yang rigid dari snob ke slob. Keempat,
omnivora-univora merupakan bentuk baru pengaturan batas-batas simbolik atau
distinction (Lih, Peterson, dan Simkus, 1992: 169, dan Peterson dan Kern, 1996:
904).
Tesis omnivora-univora tersebut memperoleh dukungan empiris yang luas
dari beragam riset empiris di berbagai arena kultural (Lih, Bryson, 1996;
Kraaykamp, 2002; Emison, 2003; Coulangeon, 2003; Sintaz dan Alvarez, 2004;
Coulangeon, 2005a, 2005b; Coulangeon dan Lemel, 2007; Jaeger dan Katz-Gerro,
2008; Van eijk, 2008; Oliver, 2009). Sedangkan Warde (2007, 2008, 2009) secara
khusus berupaya mengembangkan omnivora-univora sebagai bentuk baru
distinction menggantikan homologi struktural.
Dari perspektif berbeda para peneliti Neo-Weberian mendorong fenomena
ketidakaktualan homologi struktural ke arah yang lebih radikal, yaitu
mempertanyakan basis sosial dari selera itu sendiri. Kembali kepada pemisahan
status dan kelas oleh Max Weber, mereka berpendapat bahwa ketiadaan homologi
struktural menunjukkan selera lebih berbasis pada status daripada kelas.
Serangkaian penelitian empiris di berbagai bidang seperti partisipasi dalam teater,
tari dan sinema (Chan dan Goldthorpe, 2005), seni visual (Chan dan Goldthorpe,
2006) serta musik (Chan dan Goldthorpe, 2007) memperlihatkan selera budaya
lebih berkaitan dengan status daripada kelas.
Menurut Chan dan Goldthorpe konsekuensi teoritis peralihan dari kelas ke
status menandakan tiga hal. Pertama, tidak eksisnya budaya legitim (legitimate
culture) menunjukkan apa yang diidentifikasi Bourdieu sebagai kelas dominan
(dominant class) yang berusaha mendefinisikan budaya legitim juga tidak eksis.
Kedua, konsekuensinya, konsep Bourdieu tentang pertarungan simbolik (symbolic
struggle) maupun kekerasan simbolik mungkin relevan pada masa lalu namun
tidak relevan pada konteks masyarakat kontemporer (Chan dan Goldtrophe, 2007:
13-14).
Benang merah antara tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian
terletak pada kesepakatan mengenai penyebab runtuhnya homologi struktural,
yaitu keterbukaan kultural (cultural oppeness). Keterbukaan kultural yang
menghasilkan kecederungan eklektik selera kelas atas menyebabkan budaya
legitim kehilangan hak istimewa sebagai penanda simbolik kelas atau bendabenda kultural yang memiliki modal budaya tinggi sehingga hirarki legitimasi
menjadi kabur. Namun, di lain pihak, para sarjana yang mereaksi kritik terhadap
Bourdieu telah menunjukkan bukti empiris sebaliknya. Menurut para sarjana ini
kelemahan utama kritik terhadap Bourdieu terletak pada operasionalisasi modal
budaya yang lebih menekankan pada bentuk objektif modal budaya (objectif form)
daripada sebagai disposisi yang menubuh dalam tubuh dan pikiran agen
(embodied form) yang terekspresikan dalam praktik mengkonsumsi.2
Mengoperasionalisasikan modal budaya sebagai embodied cultural
capital, mereka menunjukkan dua hal. Pertama, hirarki legitimasi tidak hanya
2 Menurut Bourdieu modal budaya mempunyai tiga bentuk. Pertama, embodied form yaitu
sebagai disposisi dalam pikiran dan tubuh agen. Kedua, objectif form yang terdapat pada bendabenda budaya seperti lukisan, buku, musik dan sebagainya. Ketiga, institutionalized form terdapat
pada kualifikasi pendidikan atau gelar akademik. Lihat, Bourdieu, Form of Capital, 1986, dalam
Richardson (ed) “Hand Book of Theory and Research for the Sociologi of Education (Greenwood:
New York) hal, 47.
eksis di dalam budaya legitim (legitimate culture) atau budaya tinggi tetapi juga
terdapat di dalam budaya rendah (Atkinson, 2011, Friedman, 2011). Kedua,
distinction tidak ditentukan oleh objek yang dikonsumsi tetapi oleh perbedaanperbedaan cara atau praktik mengkonsumsi (Holt, 1997, 1998; Henion, 2001).
Melalui strategi ini mereka menunjukkan bukti-bukti empiris homologi struktural
dan mekanisme selera yang berbasis eksklusi daripada keterbukaan mengapresiasi
sebagaimana argumentasi tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian.
Pola perdebatan ini bersifat empiris. Para peneliti merancang penelitian
empiris untuk menguji sekaligus ketiga tesis: homologi struktural, tesis omnivoraunivora dan perspektif Neo-Weberian, secara bersamaan atau terpisah untuk
menunjukkan tesis mana yang lebih relevan. Sebagai kajian kepustakaan studi ini
tidak akan memasuki perdebatan di ranah empiris, tetapi lebih menaruh perhatian
pada implikasi teoritis kritik terhadap homologi struktural atas fungsi sosial selera
dalam proses reproduksi struktur kelas.
Untuk mengkaji persoalan tersebut studi ini mendasarkan diri pada
paradigma reproduksi sosial. Dengan mendasarkan diri pada paradigma
reproduksi sosial, argumentasi yang hendak dibangun studi ini adalah: dalam
batas-batas teoritis dan metodologis tertentu, kritik terhadap Distinction melalui
problem aktualitas homologi struktural secara teoritis membawa implikasi politis
berupa depolitisasi fungsi sosial selera dalam proses reproduksi kelas. Secara
konseptual studi ini mengajukan dua tesis. Pertama, tesis omnivora-univora
merupakan kuasi distinction. Kedua, perspektif Neo-Weberian adalah apolitis.
Oleh karena itu permasalahan yang hendak dijawab di dalam studi ini
adalah apakah pada tesis umnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian selera
masih berfungsi secara politis sebagai sarana reproduksi kelas? Jika masih atau
tidak lagi berfungsi secara politis sebagai sarana reproduksi sosial, di mana batasbatas teoritis dan metodologisnya?
1.2. Literatur Review
Beberapa
literatur
memperlihatkan
bahwa
problem
teoritis
dan
metodologis yang terkandung di dalam argumentasi riset-riset yang mencoba
mengembangkan omnivora-univora sebagai bentuk baru distinction maupun
argumentasi Neo-Weberian terkait erat dengan konsep-konsep kunci yang
digunakan Bourdieu seperti modal budaya, habitus kelas serta kelas dan
konstruksi kelas.
Problem teoritis dan metodologis pertama dan fundamental adalah
interpretasi atas modal budaya. Hal ini diantisipasi oleh Holt (1997, 1998).
Menurut Holt kritik terhadap Bourdieu cenderung menginterpretasikan modal
budaya sebagai konstruksi nomotetik sehingga konsep yang sama dapat
digunakan dalam berbagai konteks sisio-historis berbeda (Holt, 1997: 96).
Implikasi metodologisnya, modal budaya cenderung dioperasionalisasikan
menurut bentuk objektifnya –seperti seni murni, musik klasik, museum dan teater
selalu dianggap mempunyai modal budaya tinggi dalam hirarki simbolik bendabenda kultural–sementara cara atau praktik konsumsi diabaikan. Kecenderungan
ini masih terdapat dalam riset-riset Peterson (1992, 1996), Bryson (1996), Warde
(2007, 2008 dan 2009) maupun Chan dan Goldthorpe (2005, 2006 dan 2007).
Implikasi lebih jauh riset-riset terhadap fungsi sosial selera lebih banyak
dilihat dari eksistensi dan fungsi sosial dari legitimate culture. Persoalan ini
mengemuka dalam riset-riset Alan Warde dan para kolaboratornya yang mencoba
mengembangkan omnivora-univora sebagai bentuk baru distinction. Dalam
risetnya yang berfokus pada persoalan apakah selera masih melayani kekuasaan,
Warde (2007) berargumentasi bahwa fungsi selera dalam melayani kekuasaan
melemah karena budaya legitim (legitimate culture) tidak lagi menjadi acuan
utama pertimbangan selera. Dalam riset-risetnya yang lain, demi memecahkan
persoalan eklektisisme ini, Warde (2008) menciptakan metode komposisi yang
menurutnya dapat memprediksi orientasi konsumsi omnivora secara presisi.
Komposisi merupakan komposisi item-item produk kultural yang disukai dan
posisinya di dalam hirarki budaya (Warde, 2008: 152). Dalam riset-risetnya,
Warde menemukan bahwa dari segi komposisi responden omnivora memilih itemitem produk legitim lebih tinggi dibanding non-legitim. Oleh karena itu, Warde
berargumentasi bahwa orientasi konsumsi omnivora mendemonstrasikan bentuk
baru disticntion (Warde 2008: 146, 148). Usaha Warde ini terjebak dalam
persoalan penekanan pada legitimate culture di atas. Persoalan tersebut juga
tercermin dalam argumentasi Chan dan Goltrophe (2007: 13) bahwa tidak
eksisnya legitimate culture menandakan apa yang diidentifikasi Bourdieu
sebagai“dominant class” yang berupaya mendefinisikan budaya legitim juga
tidak eksis.
Di sisi lain pengabaian cara atau praktik mengkonsumsi berimplikasi pada
problem teoritis dan metodologis kedua, yaitu absenya habitus kelas. Pada
Bourdieu, habitus kelas merupakan struktur generatif yang memandu praktik, dan
struktur generatif ini yang memungkinkan terbentuknya konsumsi budaya yang
bersifat homologis. Pada tesis omnivora-univora maupun perspektif NeoWeberian, habitus kelas tidak menjadi pokok diskursus yang utama. Persoalan
habitus lebih dilihat sebagai efek dari preferensi responden atas objek-objek
kultural, misalnya, tesis omnivora-univora melihat keomnivoraan sebagai etos
estetis baru kelas atas. Holt (1997, 1998) dan Friedman (2011) menunjukkan
bahwa habitus kelas hanya bisa diidentifikasi dengan menempatkan modal budaya
sebagai embodied cultural capital.
Problem teoritis dan metodologis ketiga adalah kelas dan konstruksi kelas.
Hal ini berhubungan dengan bagaimana ruang sosial (social space) dikonstruksi.
Persoalan kelas ini merupakan isu sentral dalam kritik perspektif Neo-Weberian.
Pada Bourdieu social space dikonstruksi berdasarkan hirarki komposisi volume
total dari modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial (Atkinson, 2011:170).
Pada perspektif Neo-Weberian, untuk kepentingan kembali ke pemisahan Weber,
kelas diisolasi pada basis ekonomi semata, yakni relasi ekonomi dalam pasar
tenaga kerja dan unit produksi. Hal ini, menurut Atkinson, mengaburkan sifat
multidimensional dari social space (Atkinson, 2011:172). Oleh karena itu,
argumen Chan dan Goldthrope (2007) bahwa pendidikan yang merupakan faktor
penentu selera lebih berasosiasi pada status, menurut Atkinson, merupakan
pembacaan keliru atas Bourdieu, yakni pembacaan ekonomistik terhadap teori
Bourideu (Atkinson, 2011:172).
Meskipun literatur-literatur di atas telah menunjukkan beberapa problem
teoritis dan metodologis dalam kritik terhadap Distinction, namun belum secara
spesifik mendiskusikan implikasi politis dari problem teoritis dan metodologis
tersebut terhadap fungsi selera di dalam proses reproduksi kelas. Oleh karena itu
melalui paradigma reproduksi sosial, studi ini akan mengkaji lebih jauh
bagaimana implikasi politisnya terhadap penjelasan mengenai funsi selera di
dalam proses reproduksi kelas.
1.3. Metodologi
Untuk membuktikan argumentasi yang dibangun studi ini, studi ini
menggunakan paradigma reproduksi sosial. Pertanyaan sentral yang diajukan
dalam paradigma reproduksi sosial adalah bagaimana struktur kelas direproduksi
dari satu generasi ke generasi lain (McLeod, 2008: 11). Oleh karena itu, dengan
mendasarkan pada paradigma reproduksi sosial, pertanyaan sentral yang menjadi
fondasi dalam menganalisa kritik terhadap Distinction, baik oleh tesis omnivoraunivora maupun perspektif Neo-Weberian, adalah: bagaimana kedua perspektif
tersebut menjelaskan reproduksi struktur kelas terutama fungsi selera di
dalamnya.
Paradigma reproduksi sosial itu sendiri bersifat internal terhadap
Bourdieu. David Swartz menggambarkan proyek sosiologi Bourdieu sebagai
usaha untuk menghadirkan pertanyaan bagaimana hirarki dan dominasi dalam
sistem stratifikasi sosial dibangun dan direproduksi dari satu generasi ke generasi
lain tanpa perlawanan dan tanpa disadari oleh anggota-anggotanya (Swartz, 1997:
6). Distinction merupakan proyek untuk menerangkan bagaimana sistem-sistem
dominasi tersebut berlangsung di dalam ranah praktik kultural mencakup hal-hal
seperti cara memilih pakaian, cara memilih olahraga, cara memilih makanan, cara
memilih musik, cara memilih sastra, cara memilih seni dan lain sebagainya
(Johnson, 2010: ix). Konsekuensinya, mendasarkan diri pada paradigma
reproduksi sosial, studi ini menerima secara takend for granted terobosan teoritis
Bourdieu dalam menempatkan selera sebagai sarana reproduksi struktur kelas.
Di sisi lain kritik tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian
dilakukan melalui pengujian empiris terhadap tesis Bourdieu mengenai homologi
stuktural antara selera dengan kelas sosial, karena itu konsep-konsep kunci yang
digunakan Bourdieu dalam membangun teori dan metodologinya akan digunakan
untuk menginvestigasi struktur internal atau state of art kritik-kritik tersebut.
Dalam kaitan itu isu-isu teoritis dan metodologis yang telah diidentifikasi
dalam review literatur akan difungsikan sebagai panduan menginvestigasi struktur
internal
kritik-kritik
tersebut
seperti
bagaimana
modal
budaya
dioperasionalisasikan, bagaimana habitus diidentifikasi dan bagaimana kelas
dikonstruksi. Investigasi struktur internal tersebut diikuti dengan menganalisis
implikasinya terhadap penjelasan mengenai proses reproduksi kelas dan peran
selera di dalamnya.
1.4 Sistematika Penulisan
Studi ini dibagi dalam 5 bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang
menggambarkan perdebatan mengenai tesis homologi struktural antara selera dan
kelas sosial dalam sosiologi budaya kontemporer yang menjadi fokus studi ini
serta memaparkan permasalahan dan metodologi yang ditempuh. Bagian kedua
mengeksplisitkan uraian Bourdieu di dalam Distinction mengenai fungsi sosial
selera dalam proses reproduksi kelas. Bagian ketiga memaparkan kritik terhadap
Distinction baik dari perspektif tesis omnivora-univora maupun perspektif NeoWeberian. Bagian keempat memaparkan tinjauan atas kritik tesis omnivoraunivora dan perspektif Neo-Weberian terhadap Distinction. Bagian kelima adalah
kesimpulan yang mengeksplisitkan jawaban atas rumusan masalah.
2 DISTINCTION:
FUNGSI SOSIAL SELERA DALAM REPRODUKSI STUKTUR KELAS
Seperti dinyatakan secara eksplisit pada sub judulnya: a social critique of
the judgmenet of taste, Distinction merupakan suatu kritik sosial atau sosiologi
tentang pertimbangan selera estetis. Dalam kritik sosial ini Bourdieu mengajukan
kelas sosial sebagai kekuatan penjelas (explanatory power) pertimbangan selera
estetis. Dalam kata pengantar untuk Distinction edisi bahasa Inggris, Bourdieu
menegaskan hal itu bahwa Distinction berupaya mencari basis dari sistem
klasifikasi yang menstruktur persepsi tentang dunia sosial dan menentukan objek
kesenangan estetis di dalam struktur kelas sosial.3
Dengan mengasalkan sistem klasifikasi pada struktur kelas sosial Bourdieu
tidak hanya memperlihatkan hubungan-hubungan logis antara selera dan kelas
sosial sebagaimana termanifestasikan dalam temuan tentang homologi struktural
antara selera dan kelas sosial, tetapi juga menunjukkan teori tentang kekuasaan
simbolik yang menggambarkan bagaimana selera memainkan fungsi sosial dalam
proses reproduksi struktur kelas.
Namun fungsi sosial selera tersebut tidak dikemukakan secara eksplisit,
tetapi implisit dalam pendekatan teoritis dan metodologisnya. Oleh karena itu
bagian ini akan mengeksplisitkan argumentasi tersebut. Secara skematis
argumentasi Bourdieu dapat diringkas dalam beberapa proposisi berikut. Pertama,
3 Bourdieu menyatakan hal ini dalam hubungannya dengan posisi teoritis Distinction atas teori
selera murni Immanuel Kant. Apabila Kant berupaya menemukan keberlakuan universal selera
pada esensi transhistoris, Bourdieu mengajukan struktur kelas sosial sebagai kritik dan jawaban
saintifik atas teori selera murni Immanuel Kant. Bourdieu menyatakan bahwa “..its perhaps
immoderate ambition of giving a sientific answer to the old questions of Kant’s critique of
judgement, by seeking in the structure of social class the basis of the systems of clasification
which structure perception of the social world and designate the object of aetshetic enjoyment
(italik oleh penulis). Lihat Bourdieu Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste
(Cambridge: Harvard University Press), 1984, hal, xiii-xiv.
institusionalisasi kelas sosial terutama dikonstitusikan melalui pertarungan
simbolik kelas. Kedua, selera merupakan jantung arena pertarungan simbolik
kelas tersebut. Ketiga, homologi struktural antara selera dan kelas sosial
merupakan efek dari pertarungan simbolik kelas. Keempat, karena itu kekuasaan
simbolik atau kekuasaan atas sistem klasifikasi (selera) merupakan kekuasaan atas
mobilisasi dan demobilisasi struktur kelas yang mendasarinya, dengan kata lain:
reproduksi struktur kelas. Proposisi-proposisi ini akan dieksplorasi lebih lanjut
dalam paparan berikut.
2.1. Kelas Menurut Bourdieu dan Konteks Hubungannya dengan Selera
Dalam upaya memahami mengapa Bourdieu menempatkan struktur kelas
sosial sebagai basis prinsip klasifikasi yang menstruktur persepsi tentang dunia
sosial dan menentukan selera, yang pada gilirannya mempunyai fungsi sosial
dalam proses reproduksi struktur kelas, pertama-tama perlu dipahami terlebih
dahulu perspektif Bourdieu tentang kelas sosial dan hubungannya dengan selera
itu sendiri.
Konstruksi teoritis Bourdieu tentang kelas sosial terutama dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengintegrasikan pertarungan simbolik dan kekuasaan
simbolik ke dalam analisis kelas. Menurut Bourdieu institusionalisasi batas-batas
kelas (class boundaries) ditentukan oleh kekuasaan simbolik yang dimiliki
sekelompok agen untuk memaksakan visinya tentang perbedaan-perbedaan sosial
di dalam masyarakat menjadi visi yang legitim (Scwartz, 1997: 148).
Dalam menunjukkan bahwa batas-batas kelas ditentukan oleh kekuasaan
simbolik tersebut, Bourdieu menggunakan konsep ruang sosial. Konsep ruang
sosial ini menempati posisi sentral di dalam teori Bourdieu tentang kelas sosial.
Sentralitas ruang sosial ini, misalnya, dinyatakan Bourdieu (1996: 21) di dalam
Physical Space, Social Space and Habitus bahwa:
Kelas sosial tidak eksis... Apa yang eksis adalah ruang sosial, yaitu
ruang perbedaan-perbedaan yang di dalamnya kelas eksis dalam
makna tertentu hanya secara virtual, tidak sebagai sesuatu yang terberi
(given), tetapi diciptakan (to be done). 4
Dalam hal ini, menurut perspektif Bourdieu, yang nyata ada di dalam realitas
sosial adalah ruang sosial, yaitu ruang perbedaan-perbedaan. Di dalam ruang
sosial atau ruang perbedaan-perbedaan itulah kelas sosial dapat diindentifikasi
dengan memetakan prinsip diferensiasi yang menstruktur perbedaan-perbedaan
tersebut (Bourdieu, 1987: 3).
Dalam The Social Space and the Genesis of Group, Bourdieu
menerangkan bahwa ruang sosial merupakan arena kekuasaan yang bersifat
multidimensional. Struktur arena kekuasaan multidimensional ini distruktur oleh
prinsip diferensiasi berdasarkan perbedaan distribusi modal yang dapat digunakan
secara aktif untuk memperoleh kekuasaan. Bentuk-bentuk modal yang paling
menentukan adalah modal ekonomi, modal budaya, modal sosial dan modal
simbolik (Bourdieu, 1985: 724).
Menurut Bourdieu berpijak pada prinsip diferensiasi berdasarkan
perbedaan distribusi modal tersebut, kelas sosial dapat diidentifikasi dengan
memisahkan kelompok-kelompok agen sosial yang terkondisikan di dalam
4 “social class is not exsitst… what exists is social space, a space of differences, in wich classes
exist in some sense in a state of virtuality, not as something given but something to be done.”
kondisi eksistensi kelas yang sama yang cenderung mempunyai disposisi yang
sama dan kepentingan yang sama karenanya cenderung memproduksi praktik
yang sama dan menyandang status yang sama (Bourdieu 1985: 725).
Kondisi eksistensi yang sama tersebut secara objektif mengacu kepada
volume modal dan komposisi modal yang dimiliki oleh agen-agen sosial. Oleh
karena itu struktur kelas di dalam ruang sosial pertama-tama terstruktur menurut
volume modal, kedua, menurut komposisi modal, selain itu Bourdieu juga
menambahkan dimensi ketiga yaitu berdasarkan trakjektori kelas (1987: 4).
Namun menurut Bourdieu pemisahan agen-agen sosial kedalam kondisi
eksistensi yang sama tersebut bukan kelas yang real, tetapi merupakan kelas di
atas kertas (class on paper). Kelas di atas kertas ini berfungsi untuk menerangkan
praktik klasifikasi pembentukan kelompok (group-forming practice) mereka
secara real (Bourdieu, 1985: op.cit).
Dalam hal ini Bourdieu menolak pendekatan substansialis yang
memandang kelas sebagai entitas yang eksis secara real yang mudah didekati
dengan misalnya menggunakan ukuran-ukuran objektif seperti kondisi sosial dan
ekonomi (Bourdieu, 1987: 2). Bagi Bourdieu, seperti diungkapkan secara implisit
pada kutipan di atas, kelas objektif adalah kelas yang eksis secara virtual (inilah
yang dipahami sebagai kelas di atas kertas), kelas menjadi real ketika diciptakan
atau diwujudkan dalam praktik pembentukan kelompok oleh agen-agen sosial.
Dalam Social Class and Symbolic Power, Bourdieu menegaskan bahwa
kelas eksis dalam dua bentuk, yaitu sebagai sistem objektif kepemilikan material
dan sebagai klasifikasi dan representasi yang diproduksi oleh agen-agen sosial
melalui pengetahuan praktis yang diperoleh berdasarkan distribusi kepemilikan
material yang terekspresikan di dalam gaya hidup (Bourdieu, 2013: 275).
Dengan pengetahuan praktis tersebut, yang dimaksud Bourdieu adalah
habitus kelas. Habitus kelas merupakan pengetahuan praktis yang diperoleh
sebagai hasil dari pembelahan objektif kedalam kelas sosial itu sendiri (Bourdieu,
1984: 468), atau merupakan kebutuhan (kelas, pen) yang diinternalisasikan dan
dikonversikan menjadi disposisi (Bourdieu, 1984: 170). Dalam artian lain habitus
kelas merupakan struktur mental yang diinternalisasikan dari kondisi kelas
(Bourdieu, 1984: 101).
Habitus kelas merupakan elemen yang mengorganisasikan praktik
sehingga agen-agen yang berada dalam kondisi eksistensi yang sama dapat
memproduksi praktik yang sama dan karenanya menyandang status yang sama.
Hal itu dimungkinkan karena habitus kelas mempunyai fungsi ganda yang
menyatukan agen-agen sosial yang terkondisikan dalam kondisi eksistensi yang
sama dapat menghasilkan praktik yang sama. Pertama, habitus kelas berfungsi
sebagai sistem skema yang memproduksi praktik. Kedua, sekaligus berfungsi
sebagai sistem skema persepsi dan apresiasi terhadap praktik (Bourdieu, 1984:
170; 1989: 19).
Secara konkret, dalam praktik sehari-hari, kedua fungsi tersebut berkerja
secara simultan sebagai kerangka evaluasi untuk mengetahui makna sosial dari
suatu produk dan praktik merujuk kepada posisi kelas di dalam ruang sosial,
dengan demikian habitus kelas membimbing agen-agen sosial untuk memilih
melakukan praktik atau memilih barang maupun jasa yang sesuai atau homolog
dengan posisinya di dalam ruang sosial. Ini berlangsung di semua arena praktik
kultural sehari-hari seperti memilih seni, sastra, musik, teater, pakaian, minuman,
makanan, dekorasi rumah, gaya rambut, olah raga dan berbicara atau bahasa.
Karena itu melalui praktik homologis yang diorganisasikan oleh habitus kelas ini,
agen-agen sosial mengkonstruksi perbedaan-perbedaan, batas-batas dan jarak
antar kelas, dengan kata lain mengkonstitusikan kelas itu sendiri.
Bourdieu membaca praktik-praktik yang homolog dengan posisi kelas di
dalam ruang sosial yang diorganisasikan oleh habitus tersebut bermakna bahwa
ruang sosial yang distruktur oleh prinsip diferensiasi berdasarkan kepemilikan
modal mewujud secara konkret sebagai ruang simbolik yang ditandai dengan
perbedaan-perbedaan simbolik (Bourdieu, 1987: 11). Dalam artian lain melalui
distribusi kepemilikan modal, ruang sosial secara objektif mewujud sebagai
sistem simbolik yang ditata menurut logika perbedaan. Ruang sosial karenanya,
menurut kesimpulan Bourdieu, cenderung berfungsi sebagai ruang simbolik yaitu
ruang gaya hidup dan kelompok status yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan
gaya hidup (Bourdieu, 1989: 20).
Oleh karena itu Bourdieu memahami struktur kelas sosial sebagai kesatuan
dari interelasi antara status dan kelas Weberian, dengan kata lain merupakan
gabungan antara struktur objektif ekonomi dan sistem simbolik yang dikonstruksi
agen-agen sosial. Secara operasional Bourdieu menyatukan kelas dan status
tersebut dengan mengkonstruksi struktur kelas sosial yang mengabungkan kelas
dan fraksi kelas dan gaya hidup (Jenkins, 2004: 214-215).5
Memahami struktur kelas sosial secara demikian, Bourdieu memandang
pentingnya mengintegrasi pertarungan simbolik dan kekuasaan simbolik ke dalam
analisis kelas, sebab menurut Bourdieu praktik-praktik homologis yang
membentuk tatanan simbolik atau struktur perbedaan gaya hidup (status) tersebut
tidak terjadi secara natural, tetapi merupakan efek dari pertarungan simbolik
kelas. Dalam hal inilah Bourdieu memandang institusionalisasi batas-batas kelas
ditentukan oleh kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh sekelompok agen untuk
memaksakan visinya tentang perbedaan-perbedaan sosial menjadi visi yang
legitim sebagaimana diungkapkan sebelumnya.
5 Persisnya, pertama-tama Bourdieu membentuk kelas menggunakan pekerjaan (occupation)
sebagai indikator kepemilikan volume modal, yaitu volume total keseluruhan modal ekonomi,
budaya, sosial dan simbolik. Kemudian kelas yang telah terbentuk tersebut dipecah-pecah lagi
kedalam fraksi kelas dan gaya hidup khususnya menggunakan indikator kepemilikan komposisi
modal ekonomi dan modal budaya. Setelah menentukan kelas objektif melalui strategi di atas,
Bourdieu memetakkan struktur ruang sosial (social space) kedalam tiga dimensi ruang. Pertama,
berdasarkan volume total modal. Kedua, berdasarkan komposisi modal. Ketiga berdasarkan
trakjektori kelas yakni potensi perubahan volume maupun komposisi kepemilikan modal yang
berlangsung dalam ruang sosial yang juga mempunyai efek terhadap gaya hidup. Pada dimensi
pertama, atau dimensi berdasarkan volume modal yang dimiliki, kelas dikategorikan kedalam tiga
kelas yaitu kelas dominan, kelas menengah dan kelas bawah. Kelompok yang menempati kelas
dominan adalah guru (sekolah menengah dan menengah atas), eksekutif sektor publik, eksekutif
sektor swasta, pemilik industri (industrial employers), insinyur, profesional (proffesion) dan
seterusnya. Kelas menengah ditempati oleh pemilik usaha kecil, teknisi, sekretaris dan guru
sekolah dasar. Kelas bawah ditempati oleh pekerja manual dan buruh tani. Pada dimensi kedua,
yaitu dimensi berdasarkan komposisi modal ekonomi dan modal budaya, Bourdieu menempatkan
pecahan atau fraksi kelas berdasarkan hirarki perbedaan komposisi modal ekonomi dan modal
budaya. Fraksi guru (sekolah menengah dan menengah atas) yang memiliki modal budaya tinggi
namun modal ekonomi yang rendah ditempatkan secara beroposisi dengan fraksi pemilik industri
(industrial employers) yang memiliki modal ekonomi tinggi namun modal budaya rendah. Pada
level kelas menengah, pemilik usaha kecil yang terutama memiliki modal ekonomi beroposisi
dengan guru sekolah dasar yang terutama memiliki modal budaya. Demikian juga dengan kelas
bawah dipecah-pecah lagi berdasarkan komposisi modal ekonomi dan budaya. Selain itu Bourdieu
juga menggunakan pekerjaan orang tua sebagai indikator asal-usul sosial (social origin) untuk
mengidentifikasi trakjektori kelas, terutama membedakan agen-agen yang reproduksinya
bergantung pada modal ekonomi dan yang reproduksinya bergantung pada modal budaya, lihat
Distinction, hal, 114-115.
Selera memainkan peran sentral dalam pertarungan simbolik tersebut.
Menurut Bourdieu selera merupakan jantung pertarungan simbolik itu sendiri
(Bourdieu, 1984: 310). Selera menjadi arena di mana visi legitim tentang
perbedaan-perbedaan sosial dikukuhkan, yaitu dengan menjadikannya sebagai
gaya hidup yang legitim. Inilah yang menjadi konteks keterhubungan antara selera
dengan kelas sosial. Fungsi yang dimainkan selera ini mempunyai logika yang
spesifik yang akan segera didiskusikan di bawah.
2.2 Selera Sebagai Arena Pertarungan Simbolik Kelas
Secara definisi selera merupakan disposisi yang dimiliki untuk bisa
membedakan dan mengapresiasi. Menurut perspektif Bourdieu, fungsi sosial
selera sebagai arena pertarungan simbolik dimungkinkan karena, sebagai disposisi
yang dimiliki untuk bisa membedakan dan mengapresiasi, selera merupakan
praktik yang diorientasikan oleh habitus kelas. Sebagai praktik yang
diorientasikan oleh habitus kelas, logika praktik selera cenderung mengikuti
operasi praktis habitus kelas itu sendiri.
Karena itu di dalam Distinction Bourdieu mendefinisikan selera secara
spesifik sebagai keahlian praktis (practical mastery) hasil dari distribusi yang
memungkinkan seseorang merasai (to sense) dan mengintuisi (intuit) apa yang
memungkinkan atau tidak memungkinkan seseorang menempati posisi tertentu di
dalam ruang sosial. Artinya bahwa selera berfungsi sebagai orientasi sosial, atau
sebagai semacam rasa tentang posisi (sense of one’s place), yang membimbing
agen-agen yang menempati posisi tertentu di dalam ruang sosial untuk
menyesuaikan sifat-sifat mereka terhadap posisinya serta memilih praktik ataupun
benda-benda budaya yang selaras dengan posisinya di dalam ruang sosial. Hal
tersebut sekaligus mengimplikasikan antisipasi praktis atas makna sosial dari
pilihan-pilihan kelompok agen sosial lain (Bourdieu, 1984: 467-468).
Dalam pengertian tersebut selera mengimplikasikan suatu prinsip
pembedaan yang menyatukan sekaligus memisahkan, di mana prinsip pembedaan
tersebut berakar pada kondisi eksistentensi kelas yang partikular. Karenanya
selera menyatukan semua yang merupakan produk dari kondisi eksistensi kelas
yang sama dan memisahkan semua yang berasal dari kondisi eksitensi kelas yang
berbeda. Dalam hal ini selera merupakan afirmasi praktis dari perbedaanperbedaan yang berkerja menurut logika penolakan dan negasi terhadap selera
yang berbeda (Bourdieu, 1984: 56).
Dalam kaitan itu Bourdieu memandang selera berperan sebagai operator
praktik (practical operator) dalam proses transmutasi hal ihwal ke dalam sistem
tanda perbedaan atau menjadi ekspresi simbolik dari posisi kelas. Dalam hal ini
Bourdieu memandang bahwa selera merupakan basis dari sistem perbedaanperbedaan yang tidak mungkin keliru untuk dipahami sebagai ekspresi sistematis
dari kondisi eksistensi kelas yang partikular atau sebagai perberdaan-perbedaan
gaya hidup oleh mereka yang memiliki pengetahuan praktis mengenai perbedaanperbedaan tanda dan posisi-posisi di dalam ruang sosial (Bourdieu, 1984: 174175).
Oleh karena itu apabila Bourdieu memandang gaya hidup sebagai produk
sistematik dari habitus kelas (Bourdieu, 1984: 173), maka selera merupakan
operasi praktis habitus kelas itu sendiri yang memungkinkan tatanan perbedaan-
perbedaan gaya hidup berbasis kelas dapat terwujud. Bourdieu melihat selera
sebagai formula generatif yang memproduksi gaya hidup; semacam formula
penyatu berbagai preferensi berbeda-beda yang memungkinkan agen-agen sosial
mengekpresikan ekspresi dan intensi yang sama di semua sub arena simbolik,
misalnya dalam memilih furniture, pakaian, bahasa maupun tubuh heksis
(Bourdieu, 1984: 174).
Dalam fungsinya sebagai suatu sistem mekanisme berbasis kelas, atau
lebih tepatnya habitus kelas, yang membentuk struktur gaya hidup inilah selera
dipahami sebagai arena pertarungan simbolik kelas. Dalam hal ini selera berfungsi
sebagai arena di mana dialektika antara kondisi eksistensi kelas dan habitus kelas
mentransformasikan relasi kuasa objektif berdasarkan distribusi modal di dalam
ruang sosial menjadi suatu sistem penerimaan perbedaan-perbedaan atau suatu
sistem distiribusi modal simbolik yang menyebabkan kebenaran objektifnya,
yakni relasi-relasi kuasa tersebut disalahkenali (misrecognized) (Bourdieu, 1983:
173).
Kesalahpengenalan tersebut membawa efek objektif di mana perbedaanperbedaan atau lebih tepatnya kelas disalahpahami sebagai alamiah. Karena itu,
menurut Bourdieu, bentuk kelas sosial yang legitim (legitimate form of social
class) hanya eksis melalui pertarungan sistem tanda perbedaan atau pertarungan
simbolik yang membuatnya menjadi natural (Bourdieu, 1984: 149). Lebih jauh
Bourdieu beragumen bahwa kelas eksis dan berfungsi karena direproduksi dalam
rupa yang berbeda yaitu dalam bentuk gap simbolik yang melegitimasi tatanan
kelas tersebut. Hal itu dimungkinkan karena tatanan simbolik mempunyai
kekuasaan simbolik yang dapat membuat orang melihat dan percaya apa yang
ditanamkan kedalam strukturt mentalnya (Bourdieu, 1984: 480).
2.3 Homologi Struktural Sebagai Efek dari Pertarungan Simbolik
Keseluruhan argumentasi teoritis di atas mensyaratkan suatu bukti empiris
yang menunjukkan adanya homologi struktural antara kelas sosial (social space)
dan selera (symbolic space) di semua arena praktik kultural yang memperlihatkan
bahwa selera, meskipun tidak menjadi penyebab, namun secara sistematis
menggambarkan pembelahan sosial kedalam tatanan simbolik kelas. Di mana
pembelahan sosial tersebut merupakan efek dari kekuasaan simbolik.
Dalam menunjukkan bukti empiris tersebut Bourdieu melakukan riset
analisis korespondensi antara posisi-posisi kelas dan fraksi kelas di dalam ruang
sosial dengan preferensi selera di semua arena praktik kultural baik di wilayah
legitim maupun konsumsi yang umum untuk menemukan skema atau prinsip yang
menyatukan preferensi selera estetis di berbagai arena praktik kultural.
Hasilnya Bourdieu menemukan ada tiga bentuk habitus kelas yang
menjadi basis skema atau prinsip klasifikasi yang menyatukan preferensi selera di
semua arena praktik kultural, yaitu habitus rasa perbedaan (sense of distinction)
pada kelas dominan, habitus kehendak baik budaya (cultural good will) pada kelas
menengah, dan habitus pilihan kebutuhan (choice of necesity) pada kelas bawah.
Habitus rasa perbedaan (sense of distinction) merupakan suatu prinsip
estetika yang berjarak (aesthetic distancing) tidak hanya dalam relasi dengan
objek, tetapi juga dengan dunia (Bourdieu, 1984: 56). Ini adalah keberjarakan
dalam pengertian estetika murni atau estetika nir-kepentingan Kantian yang
menekankan pada bentuk daripada isi. Prinsip estetika ini tidak hanya diterapkan
dalam apresiasi terhadap seni murni tetapi di semua arena praktik kultural melalui
apa yang disebut Max Weber sebagai stylization of life, yaitu mementingkan
bentuk daripada fungsi (1984: 167). Hal ini dimungkinkan karena kondisi
eksistensi material yang membebaskan anggota kelas atas dari kebutuhan ekonomi
(Bourdieu, 1984: 56).
Habitus rasa perbedaan (sense of distinction) pada kelas atas ini
terekspresikan dalam selera atas karya-karya legitim serta konsumsi yang mewah
dan intelektual. Namun di dalam kelas dominan itu sendiri, terdapat perbedaan
preferensi di antara fraksi-fraksi kelas. perbedaan preferensi ini dipengaruhi oleh
perbedaan komposisi modal ekonomi dan modal budaya yang dimiliki masingmasing fraksi. Bourdieu menempatkan fraksi yang memiliki modal ekonomi lebih
tinggi atau relatif seimbang dengan modal budaya sebagai fraksi dominan di
dalam kelas dominan, sementara fraksi yang mempunyai modal budaya lebih
tinggi dari modal ekonomi sebagai fraksi yang terdominasi di dalam kelas
dominan.
Preferensi selera fraksi dominan dalam kelas dominan mencakup aktivitas
budaya yang paling mewah dan prestisius yang menandakan mereka sebagai
anggota kelompok bourjuis lama (old bourgeouis) seperti berburu, perjalanan
bisinis (business trip), mengunjungi teater boulevard, mengunjungi musical hall,
eksebisi komersial, butik mewah, ruang pelelangan, memiliki mobil dan kapal
mewah, membaca majalah mewah france soir, l’Aurrore, auto journal dan lecture
pour tous. Sedangkan preferensi selera kelas terdominasi di dalam kelas dominan
mencakup membaca buku-buku puisi, membaca karya-karya filsafat dan politik,
membaca le Monde atau secara umum bacaan kiri (leftisth), majalah seni dan
sastra, menyukai teater klasik atau avant garde, mengunjungi museum, menyukai
musik klasik, belanja di flea market (pasar loak) dan kemping (Bourdieu, 1984:
283).
Sedangkan habitus kehendak baik budaya (cultural goodwill) merupakan
habitus kelas menengah yang lahir dari kondisi eksistensi material yang khas.
Kelas menengah terkondisikan dalam perjuangan untuk terus membedakan
dirinya dengan kelas bawah. Hal ini membuat kelas menengah cenderung
menerima otoritas selera legitim kelas atas, namun tidak mempunyai pengetahuan
dan pengenalan yang cukup atas budaya legitim kelas atas. Karenanya kelas
menengah cenderung menaruh penghormatan yang tinggi atas budaya.
Penghormatan atas budaya ini melahirkan habitus kehendak baik budaya, yaitu
suatu kejinakan budaya yang ditandai dengan selera atas tema-tema yang santun,
hiburan yang bersifat mendidik dan instruktif (Bourdieu, 1984: 321).
Posisi kehendak baik budaya tersebut dinyatakan melalui tingkat
kedekatan dengan budaya legitim. Karena itu kehendak baik budaya pada kelas
menengah ini termanifestasikan dalam perhatian atas bentuk-bentuk minor dari
budaya legitim seperti mengunjungi monumen dan cheateux atau kastil (sebagai
oposisi terhadap museum dan koleksi benda-benda seni pada kelas dominan),
membaca jurnal-jurnal ilmu pengetahuan populer atau sejarah, menyukai
fotografi, film dan musik jazz (Bourdieu, 1984: 319).
Bourdieu juga menemukan prinsip pengorganisasian yang homolog
dengan kelas atas. Pada kelas menengah, pengrajin dan pemilik toko kecil yang
modal ekonominya lebih dominan mempunyai preferensi selera yang beroposisi
dengan preferensi selera guru sekolah menengah yang modal budayanya lebih
tinggi dari modal ekonomi (Bourdieu, 1984: 342).
Sementara itu berkebalikan dengan kondisi eksistensi material kelas atas,
kelas bawah selalu dihadapkan pada persoalan pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Karena itu praktik-praktik kultural kelas bawah selalu melibatkan aspek
kebutuhan (necesity). Dalam hal ini praktik-praktik kultural kelas bawah tunduk
kepada logika pemenuhan ekonomi. Submisi atas kebutuhan ini melahirkan suatu
estetika yang menjadi antitesa atas estetika murni atau estetika nir-kepentingan
Kantian yaitu estetika fungsionalis pragmatis yang menolak formalisme dan
segala bentuk seni untuk seni (art of art is sake) (Bourdieu, 1984: 376).
Estetika fungsionalis pragmatis ini terekspresikan dalam pilihan yang
bersifat praktis, fungsional dan realitistik atau disebut pilihan kebutuhan (choice
of necesity). Misalnya lebih memilih furnitur interior yang mudah dilakukan
pemeliharaan daripada furnitur antik, memilih pakaian yang sederhana, murah,
praktis, serbaguna, kuat dan tahan lama serta lebih menyukai musik populer dan
program-program televisi yang realistis. Estetika kelas bahwa ini merupakan
konsekuensi langsung dari kemiskinan (lack) akan modal ekonomi dan modal
budaya.
Pada titik ini dapat dilihat bahwa selera sebagai prinsip pembedaan yang
memisahkan sekaligus menyatukan agen-agen sosial ke dalam tatanan simbolik
kelas tidak lain merupakan efek dari pertarungan simbolik, yaitu efek dari strategi
kelas dominan untuk membedakan dirinya dengan kelas-kelas lainnya melalui
kultur kelas yang ditopang oleh habitus rasa perbedaan (sense of distinction) yang
diekspresikan dengan monopoli atas produk-produk budaya legitim dan cara
legitim dalam mengapresiasinya.
Homologi struktural, karenanya, merupakan efek dari kekuasaan simbolik
yang dimiliki kelas dominan yang mempunyai kekuasaan (power) untuk
mentransformasikan relasi-relasi kuasa objektif atau relasi-relasi kelas menjadi
sistem
penerimaan
perbedaan-perbedaan
yang
termanifestasikan
dalam
perbedaan-perbedaan gaya hidup.
Dalam konteks sebagai transformasi dari relasi-relasi kuasa objektif
tersebut, selera tidak hanya berperan menstruktur tatanan simbolik kelas, tetapi
juga memainkan fungsi sosial dalam proses reproduksi struktur objektif kelas
yang mendasarinya. Hal ini akan diekplorasi lebih lanjut di bawah.
2.4 Fungsi Sosial Selera dalam Proses Reproduksi Struktur Kelas
Fungsi sosial selera dalam proses reproduksi struktur objektif kelas
dimungkinkan karena sebagai pertarungan simbolik, apa yang dipertaruhkan di
dalam arena pertarungan simbolik tersebut sejatinya adalah struktur objektif kelas
itu sendiri. Lebih tepatnya, modal-modal yang menstruktur struktur objektif kelas
itu sendiri. Namun fungsi sosial selera ini mensyaratkan suatu kondisi di mana
selera itu sendiri secara objektif berfungsi sebagai modal tertentu.
Seperti tercermin dalam temuan mengenai homologi struktural, secara
empiris selera berelasi dengan sumber-sumber reproduksi sosial yang paling
dikuasai yaitu antara modal ekonomi dan modal budaya. Hal tersebut terutama
diperlihatkan oleh homologi struktural berbasis komposisi modal ekonomi dan
modal budaya.
Keseimbangan relatif antara modal ekonomi dan modal budaya yang
dimiliki fraksi dominan d
Studi ini merupakan kajian kepustakaan tentang perdebatan di dalam sosiologi
budaya kontemporer mengenai relasi antara selera dan kelas sosial yang muncul
sebagai reaksi terhadap tesis Pierre Bourdieu mengenai homologi struktural antara
selera dan kelas sosial yang dikemukakan dalam magnum opusnya: Distinction A
Social Critique of the Judgement of Taste (1984). Perdebatan mengenai homologi
struktural ini melibatkan dua perspektif berbeda yakni tesis omnivora-univora dan
perspektif Neo-Weberian. Berpijak pada paradigma reproduksi sosial argumentasi
yang dibangun studi ini adalah baik kritik omnivora-univora maupun perspektif
Neo-Weberian terhadap Distinction yang didasarkan pada persoalan aktualitas
homologi struktural membawa implikasi teoritis berupa depolitisasi fungsi sosial
selera dalam proses reproduksi struktur kelas. Depolitisasi dipahami sebagai
kecenderungan teoritis dan metodologis dalam struktur internal kritik terhadap
Distinction yang menyebabkan teori tentang selera tidak lagi mempunyai
kekuatan eksplanatif terhadap fungsi sosial selera dalam proses reproduksi
struktur kelas.
Analisis mengidentifikasi bahwa problem teoritis dan metodologis yang
fundamental adalah penafsiran dan operasionalisasi atas selera sebagai modal
budaya. Dalam hal ini baik tesis omnivora-univora maupun perspektif NeoWeberian cenderung menginterpretasikan dan mengoperasionalisasikan modal
budaya dalam bentuk objektifnya, yaitu modal budaya yang terdapat dalam
bentuk material, terutama produk-produk kultural legitim. Selain itu problem
teoritis dan metodologis yang secara spesifik terdapat pada perspektif NeoWeberian adalah konstuksi kelas secara unidimensional sebagai konsekuensi dari
upaya kembali ke pemisahan status dan kelas Max Weber.
Analisis menunjukkan bahwa operasionalisasi modal budaya berdasarkan
bentuk objektif modal budaya maupun konstruksi kelas secara unidimensional
tersebut menunjukkan beberapa kelemahan. Pertama, menafsirkan teori selera
Bourdieu sebagai teori tentang bagaimana kelas dominan menggunakan produkproduk legitim untuk membangun batas-batas kelas. Karena itu tidak
ditemukannya kelas dominan yang hanya mengkonsumsi produk-produk legitim
ditafsirkan sebagai perubahan ke arah omnivora-univora (pada tesis omnivoraunivora), dan tidak eksisnya kelas dominan yang berupaya mendefinisikan selera
legitim sehingga teori Bourdieu tentang pertarungan simbolik dianggap tidak
relevan (pada perspektif Neo-Weberian). Kedua, tidak dapat menangkap habitus
sebagai suatu sistem mekanisme yang mengorientasikan selera. Ketiga,
unidimensionalitas kelas perspektif Neo-Weberian tidak mampu menangkap
variasi dan perbedaan-perbedaan selera di antara pecahan-pecahan atau fraksifraksi kelas yang menandakan selera sebagai arena pertarungan simbolik kelas.
Studi ini menyimpulkan bahwa problem teoritis dan metodologis dalam
struktur internal kritik terhadap Distinction yang menyebabkan kecenderungan
depolitisasi adalah operasionalisasi modal budaya yang tidak mampu menangkap
habitus kelas dan unidimensionalitas konstruksi kelas yang tidak mampu
menangkap variasi selera di antara fraksi kelas.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Halaman Persetujuan
ii
Halaman Pengesahan
iii
Halaman Pernyataan
iv
Abstraksi
v
Kata Pengantar
iv
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Literatur Review
6
1.3 Metodologi
9
1.4 Sistematika Penulisan
11
2 DISTINCTION: FUNGSI SOSIAL SELERA DALAM REPRODUKSI
STRUKTUR KELAS
2.1 Kelas Menurut Bourdieu dan Konteks Keterhubungannya
13
Dengan Selera
2.2 Selera Sebagai Arena Pertarungan Simbolik Kelas
19
2.3 Homologi Struktural Sebagai Efek Pertarungan Simbolik Kelas
21
2.4 Fungsi Sosial Selera Dalam Proses Reproduksi Kelas
26
3 KRITIK TERHADAP DISTINCTION
3.1 Kritik Tesis Omnivora-univora
31
3.1.1 Berakhirnya Homologi Struktural
32
3.1.2 Evidensi Empiris Eksistensi Omnivora-univora
34
3.1.3 Implikasi Teoritis: Omnivora-univora Sebagai
Bentuk Baru Distinction
36
3.2 Kritik Perspektif Neo-Weberian
38
3.2.1 Perbedaan Konseptual dan Operasional Struktur Kelas dan
Status
39
3.2.2 Stratifikasi Status Sebagai Basis Sosial Selera
42
3.2.3 Implikasi Teoritis Status Sebagai Basis Sosial Selera
44
4 TINJAUAN ATAS KRITIK TERHADAP DISTINCTION
4.1 Struktur Internal Kritik Terhadap Distinction
46
4.1.1 Operasionalisasi Modal Budaya
46
4.1.2 Persoalan Habitus
47
4.1.3 Kelas dan Konstruksi Kelas
47
4.2 Omnivora-univora Sebagai Kuasi Distinction
48
4.3 Perspektif Neo-Weberian adalah Apolitis
53
5. PENUTUP: KECENDERUNGAN DEPOLITISASI FUNGSI SOSIAL
SELERA
Daftar Pustaka
62
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendekatan teoritis dan metodologis Pierre Bourdieu terhadap selera
dalam magnum opusnya Distinction A Social Critique of the Judgement of Taste
(1984 –selanjutnya disebut Distinction),1 telah memicu perdebatan yang kompleks
dalam sosiologi budaya kontemporer mengenai relasi antara selera dan kelas
sosial. Perdebatan ini dirangsang oleh riset-riset empiris dalam sosiologi budaya
kontemporer yang menyanggah aktualitas homologi struktural antara selera
budaya dengan kelas sosial. Sanggahan datang dari dua perspektif berbeda yaitu
oleh tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian.
Menggunakan paradigma reproduksi sosial sebagai pijakan studi ini akan
menunjukkan bahwa kritik terhadap Distinction yang didasarkan pada persoalan
aktualitas homologi struktural membawa implikasi teoritis berupa depolitisasi
fungsi sosial selera dalam proses reproduksi kelas. Dalam hal ini depolitisasi
dipahami sebagai kecenderungan teoritis dan metodologis tertentu dalam struktur
internal kritik terhadap Distinction yang menyebabkan teori tentang selera tidak
lagi mempunyai kekuatan eksplanatif terhadap fungsi sosial selera dalam proses
reproduksi struktur kelas.
Homologi struktural yaitu korespondensi struktural antara kelas sosial
(social space) dan selera (symbolic space) yang diperantarai oleh habitus kelas.
1 Sepanjang tulisan ini term distinction akan digunakan dalam dua pengertian. Pertama, penulisan
dengan huruf d kapital (Distinction) mengacu kepada judul buku Pierre Bourdieu. Kedua,
penulisan dengan huruf d kecil (distinction) mengacu kepada konsep strategi pembedaan kultural.
Pada arena musik, misalnya, Bourdieu memetakan tiga zona selera yang homolog
dengan kelas sosial. Pertama, letigimate taste, yaitu selera atas karya-karya
legitim seperti musik klasik dan opera dimiliki oleh fraksi kelas atas. Kedua,
middle-brow taste, yaitu selera atas karya-karya yang tergolong minor dimiliki
oleh fraksi kelas menengah. Ketiga, popular taste, yaitu selera atas karya-karya
yang disebut ligth music (musik ringan atau pop) dimiliki oleh fraksi kelas bawah
(Bourdieu, 1984: 16).
Munurut Bourdieu homologi struktural tidak terjadi secara natural, tetapi
muncul sebagai konsekuensi habitus estetis berbeda-beda yang dihasilkan dalam
kondisi objektif kelas sebagai kebutuhan untuk menciptakan efek pembedaan
kultural (distinction), yaitu strategi perjuangan yang dengannya agen-agen sosial
secara aktif mempertahankan posisi sosialnya masing-masing (Cood, 2009: 179180). Bourdieu mengidentifikasi tiga bentuk habitus yang berkorespondensi
dengan kelas sosial. Pertama, sens of distinction, merupakan habitus kelas
dominan yang berusaha membedakan dirinya dengan anggota kelas sosial lain
melalui monopoli atas selera yang baik (good taste), yang diekspresikan dengan
pilihan terhadap karya-karya legitim (seni dan musik konvensional) (Bourdieu,
1984: 267). Kedua, cultural goodwill, merupakan habitus kelas menengah yang
berusaha membedakan dirinya dengan anggota kelas bawah melalui rasa hormat
terhadap budaya, yang diekspresikan dengan selera atas hiburan yang mendidik
dan instruktif (Bourdieu, 1984: 321). Ketiga, choice of necessity, merupakan
habitus kelas bawah yang oleh tuntutan-tuntutan objektif kelas menjatuhkan
pilihan pada fungsi daripada estetika (Bourdieu, 1984: 379).
Homologi struktural menjadi basis empiris tesis Bourdieu tentang fungsi
sosial selera dalam reproduksi struktur kelas. Akan tetapi, riset-riset empiris dalam
sosiologi budaya kontemporer menemukan bahwa homologi struktural tidak
aktual secara empiris. Sanggahan terhadap aktualitas homologi struktural pertama
kali dikemukakan oleh Peterson dan Simkus (1992) dalam How Musical Taste
Mark Occupational Status Group. Dalam risetnya Peterson dan Simkus
menemukan alih-alih hanya mengkonsumsi genre musik yang tergolong kategori
selera tinggi (legitimate), anggota status sosial tinggi juga mengkonsumsi genre
musik yang tergolong kategori selera rendah. Kecenderungan ini dinamai sebagai
kultur omnivora, yaitu mengkonsumsi semua genre musik. Di sisi lain, anggota
status sosial rendah hanya mengkonsumsi satu genre musik, yaitu musik pop yang
tergolong kategori selera rendah, karena itu dinamai sebagai kultur univora.
Peterson dan Simkus kemudian merumuskan temuan mereka sebagai hipotesis
omnivora-univora. Peterson, yang kali ini berkolaborasi dengan Kern, menguji
kembali hipotesis tersebut dalam Changing Higbrow Taste: From Snob to
Omnivore (1996). Riset kedua ini memberikan afirmasi positif terhadap kesahihan
kultur omnivora-univora. Temuan itu kemudian dirumuskan sebagai tesis
omnivora-univora.
Argumentasi utama tesis omnivora-univora dapat dirumuskan secara
skematik kedalam beberapa proposisi berikut. Pertama, selera elit yang bersifat
eksklusif highbrow dan strata yang rigid dari snob (selera tinggi) ke slob (selera
rendah) tidak relevan lagi. Kedua, selera elit telah bergeser dari eksklusivitas ke
keterbukaan mengapresiasi atau bersifat omnivora, dengan tambahan ketat: bukan
tanpa diskriminasi. Ketiga, keterbukaan atau omnivora merupakan antitesa
terhadap snobisme yang berbasis eksklusi yang rigid dari snob ke slob. Keempat,
omnivora-univora merupakan bentuk baru pengaturan batas-batas simbolik atau
distinction (Lih, Peterson, dan Simkus, 1992: 169, dan Peterson dan Kern, 1996:
904).
Tesis omnivora-univora tersebut memperoleh dukungan empiris yang luas
dari beragam riset empiris di berbagai arena kultural (Lih, Bryson, 1996;
Kraaykamp, 2002; Emison, 2003; Coulangeon, 2003; Sintaz dan Alvarez, 2004;
Coulangeon, 2005a, 2005b; Coulangeon dan Lemel, 2007; Jaeger dan Katz-Gerro,
2008; Van eijk, 2008; Oliver, 2009). Sedangkan Warde (2007, 2008, 2009) secara
khusus berupaya mengembangkan omnivora-univora sebagai bentuk baru
distinction menggantikan homologi struktural.
Dari perspektif berbeda para peneliti Neo-Weberian mendorong fenomena
ketidakaktualan homologi struktural ke arah yang lebih radikal, yaitu
mempertanyakan basis sosial dari selera itu sendiri. Kembali kepada pemisahan
status dan kelas oleh Max Weber, mereka berpendapat bahwa ketiadaan homologi
struktural menunjukkan selera lebih berbasis pada status daripada kelas.
Serangkaian penelitian empiris di berbagai bidang seperti partisipasi dalam teater,
tari dan sinema (Chan dan Goldthorpe, 2005), seni visual (Chan dan Goldthorpe,
2006) serta musik (Chan dan Goldthorpe, 2007) memperlihatkan selera budaya
lebih berkaitan dengan status daripada kelas.
Menurut Chan dan Goldthorpe konsekuensi teoritis peralihan dari kelas ke
status menandakan tiga hal. Pertama, tidak eksisnya budaya legitim (legitimate
culture) menunjukkan apa yang diidentifikasi Bourdieu sebagai kelas dominan
(dominant class) yang berusaha mendefinisikan budaya legitim juga tidak eksis.
Kedua, konsekuensinya, konsep Bourdieu tentang pertarungan simbolik (symbolic
struggle) maupun kekerasan simbolik mungkin relevan pada masa lalu namun
tidak relevan pada konteks masyarakat kontemporer (Chan dan Goldtrophe, 2007:
13-14).
Benang merah antara tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian
terletak pada kesepakatan mengenai penyebab runtuhnya homologi struktural,
yaitu keterbukaan kultural (cultural oppeness). Keterbukaan kultural yang
menghasilkan kecederungan eklektik selera kelas atas menyebabkan budaya
legitim kehilangan hak istimewa sebagai penanda simbolik kelas atau bendabenda kultural yang memiliki modal budaya tinggi sehingga hirarki legitimasi
menjadi kabur. Namun, di lain pihak, para sarjana yang mereaksi kritik terhadap
Bourdieu telah menunjukkan bukti empiris sebaliknya. Menurut para sarjana ini
kelemahan utama kritik terhadap Bourdieu terletak pada operasionalisasi modal
budaya yang lebih menekankan pada bentuk objektif modal budaya (objectif form)
daripada sebagai disposisi yang menubuh dalam tubuh dan pikiran agen
(embodied form) yang terekspresikan dalam praktik mengkonsumsi.2
Mengoperasionalisasikan modal budaya sebagai embodied cultural
capital, mereka menunjukkan dua hal. Pertama, hirarki legitimasi tidak hanya
2 Menurut Bourdieu modal budaya mempunyai tiga bentuk. Pertama, embodied form yaitu
sebagai disposisi dalam pikiran dan tubuh agen. Kedua, objectif form yang terdapat pada bendabenda budaya seperti lukisan, buku, musik dan sebagainya. Ketiga, institutionalized form terdapat
pada kualifikasi pendidikan atau gelar akademik. Lihat, Bourdieu, Form of Capital, 1986, dalam
Richardson (ed) “Hand Book of Theory and Research for the Sociologi of Education (Greenwood:
New York) hal, 47.
eksis di dalam budaya legitim (legitimate culture) atau budaya tinggi tetapi juga
terdapat di dalam budaya rendah (Atkinson, 2011, Friedman, 2011). Kedua,
distinction tidak ditentukan oleh objek yang dikonsumsi tetapi oleh perbedaanperbedaan cara atau praktik mengkonsumsi (Holt, 1997, 1998; Henion, 2001).
Melalui strategi ini mereka menunjukkan bukti-bukti empiris homologi struktural
dan mekanisme selera yang berbasis eksklusi daripada keterbukaan mengapresiasi
sebagaimana argumentasi tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian.
Pola perdebatan ini bersifat empiris. Para peneliti merancang penelitian
empiris untuk menguji sekaligus ketiga tesis: homologi struktural, tesis omnivoraunivora dan perspektif Neo-Weberian, secara bersamaan atau terpisah untuk
menunjukkan tesis mana yang lebih relevan. Sebagai kajian kepustakaan studi ini
tidak akan memasuki perdebatan di ranah empiris, tetapi lebih menaruh perhatian
pada implikasi teoritis kritik terhadap homologi struktural atas fungsi sosial selera
dalam proses reproduksi struktur kelas.
Untuk mengkaji persoalan tersebut studi ini mendasarkan diri pada
paradigma reproduksi sosial. Dengan mendasarkan diri pada paradigma
reproduksi sosial, argumentasi yang hendak dibangun studi ini adalah: dalam
batas-batas teoritis dan metodologis tertentu, kritik terhadap Distinction melalui
problem aktualitas homologi struktural secara teoritis membawa implikasi politis
berupa depolitisasi fungsi sosial selera dalam proses reproduksi kelas. Secara
konseptual studi ini mengajukan dua tesis. Pertama, tesis omnivora-univora
merupakan kuasi distinction. Kedua, perspektif Neo-Weberian adalah apolitis.
Oleh karena itu permasalahan yang hendak dijawab di dalam studi ini
adalah apakah pada tesis umnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian selera
masih berfungsi secara politis sebagai sarana reproduksi kelas? Jika masih atau
tidak lagi berfungsi secara politis sebagai sarana reproduksi sosial, di mana batasbatas teoritis dan metodologisnya?
1.2. Literatur Review
Beberapa
literatur
memperlihatkan
bahwa
problem
teoritis
dan
metodologis yang terkandung di dalam argumentasi riset-riset yang mencoba
mengembangkan omnivora-univora sebagai bentuk baru distinction maupun
argumentasi Neo-Weberian terkait erat dengan konsep-konsep kunci yang
digunakan Bourdieu seperti modal budaya, habitus kelas serta kelas dan
konstruksi kelas.
Problem teoritis dan metodologis pertama dan fundamental adalah
interpretasi atas modal budaya. Hal ini diantisipasi oleh Holt (1997, 1998).
Menurut Holt kritik terhadap Bourdieu cenderung menginterpretasikan modal
budaya sebagai konstruksi nomotetik sehingga konsep yang sama dapat
digunakan dalam berbagai konteks sisio-historis berbeda (Holt, 1997: 96).
Implikasi metodologisnya, modal budaya cenderung dioperasionalisasikan
menurut bentuk objektifnya –seperti seni murni, musik klasik, museum dan teater
selalu dianggap mempunyai modal budaya tinggi dalam hirarki simbolik bendabenda kultural–sementara cara atau praktik konsumsi diabaikan. Kecenderungan
ini masih terdapat dalam riset-riset Peterson (1992, 1996), Bryson (1996), Warde
(2007, 2008 dan 2009) maupun Chan dan Goldthorpe (2005, 2006 dan 2007).
Implikasi lebih jauh riset-riset terhadap fungsi sosial selera lebih banyak
dilihat dari eksistensi dan fungsi sosial dari legitimate culture. Persoalan ini
mengemuka dalam riset-riset Alan Warde dan para kolaboratornya yang mencoba
mengembangkan omnivora-univora sebagai bentuk baru distinction. Dalam
risetnya yang berfokus pada persoalan apakah selera masih melayani kekuasaan,
Warde (2007) berargumentasi bahwa fungsi selera dalam melayani kekuasaan
melemah karena budaya legitim (legitimate culture) tidak lagi menjadi acuan
utama pertimbangan selera. Dalam riset-risetnya yang lain, demi memecahkan
persoalan eklektisisme ini, Warde (2008) menciptakan metode komposisi yang
menurutnya dapat memprediksi orientasi konsumsi omnivora secara presisi.
Komposisi merupakan komposisi item-item produk kultural yang disukai dan
posisinya di dalam hirarki budaya (Warde, 2008: 152). Dalam riset-risetnya,
Warde menemukan bahwa dari segi komposisi responden omnivora memilih itemitem produk legitim lebih tinggi dibanding non-legitim. Oleh karena itu, Warde
berargumentasi bahwa orientasi konsumsi omnivora mendemonstrasikan bentuk
baru disticntion (Warde 2008: 146, 148). Usaha Warde ini terjebak dalam
persoalan penekanan pada legitimate culture di atas. Persoalan tersebut juga
tercermin dalam argumentasi Chan dan Goltrophe (2007: 13) bahwa tidak
eksisnya legitimate culture menandakan apa yang diidentifikasi Bourdieu
sebagai“dominant class” yang berupaya mendefinisikan budaya legitim juga
tidak eksis.
Di sisi lain pengabaian cara atau praktik mengkonsumsi berimplikasi pada
problem teoritis dan metodologis kedua, yaitu absenya habitus kelas. Pada
Bourdieu, habitus kelas merupakan struktur generatif yang memandu praktik, dan
struktur generatif ini yang memungkinkan terbentuknya konsumsi budaya yang
bersifat homologis. Pada tesis omnivora-univora maupun perspektif NeoWeberian, habitus kelas tidak menjadi pokok diskursus yang utama. Persoalan
habitus lebih dilihat sebagai efek dari preferensi responden atas objek-objek
kultural, misalnya, tesis omnivora-univora melihat keomnivoraan sebagai etos
estetis baru kelas atas. Holt (1997, 1998) dan Friedman (2011) menunjukkan
bahwa habitus kelas hanya bisa diidentifikasi dengan menempatkan modal budaya
sebagai embodied cultural capital.
Problem teoritis dan metodologis ketiga adalah kelas dan konstruksi kelas.
Hal ini berhubungan dengan bagaimana ruang sosial (social space) dikonstruksi.
Persoalan kelas ini merupakan isu sentral dalam kritik perspektif Neo-Weberian.
Pada Bourdieu social space dikonstruksi berdasarkan hirarki komposisi volume
total dari modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial (Atkinson, 2011:170).
Pada perspektif Neo-Weberian, untuk kepentingan kembali ke pemisahan Weber,
kelas diisolasi pada basis ekonomi semata, yakni relasi ekonomi dalam pasar
tenaga kerja dan unit produksi. Hal ini, menurut Atkinson, mengaburkan sifat
multidimensional dari social space (Atkinson, 2011:172). Oleh karena itu,
argumen Chan dan Goldthrope (2007) bahwa pendidikan yang merupakan faktor
penentu selera lebih berasosiasi pada status, menurut Atkinson, merupakan
pembacaan keliru atas Bourdieu, yakni pembacaan ekonomistik terhadap teori
Bourideu (Atkinson, 2011:172).
Meskipun literatur-literatur di atas telah menunjukkan beberapa problem
teoritis dan metodologis dalam kritik terhadap Distinction, namun belum secara
spesifik mendiskusikan implikasi politis dari problem teoritis dan metodologis
tersebut terhadap fungsi selera di dalam proses reproduksi kelas. Oleh karena itu
melalui paradigma reproduksi sosial, studi ini akan mengkaji lebih jauh
bagaimana implikasi politisnya terhadap penjelasan mengenai funsi selera di
dalam proses reproduksi kelas.
1.3. Metodologi
Untuk membuktikan argumentasi yang dibangun studi ini, studi ini
menggunakan paradigma reproduksi sosial. Pertanyaan sentral yang diajukan
dalam paradigma reproduksi sosial adalah bagaimana struktur kelas direproduksi
dari satu generasi ke generasi lain (McLeod, 2008: 11). Oleh karena itu, dengan
mendasarkan pada paradigma reproduksi sosial, pertanyaan sentral yang menjadi
fondasi dalam menganalisa kritik terhadap Distinction, baik oleh tesis omnivoraunivora maupun perspektif Neo-Weberian, adalah: bagaimana kedua perspektif
tersebut menjelaskan reproduksi struktur kelas terutama fungsi selera di
dalamnya.
Paradigma reproduksi sosial itu sendiri bersifat internal terhadap
Bourdieu. David Swartz menggambarkan proyek sosiologi Bourdieu sebagai
usaha untuk menghadirkan pertanyaan bagaimana hirarki dan dominasi dalam
sistem stratifikasi sosial dibangun dan direproduksi dari satu generasi ke generasi
lain tanpa perlawanan dan tanpa disadari oleh anggota-anggotanya (Swartz, 1997:
6). Distinction merupakan proyek untuk menerangkan bagaimana sistem-sistem
dominasi tersebut berlangsung di dalam ranah praktik kultural mencakup hal-hal
seperti cara memilih pakaian, cara memilih olahraga, cara memilih makanan, cara
memilih musik, cara memilih sastra, cara memilih seni dan lain sebagainya
(Johnson, 2010: ix). Konsekuensinya, mendasarkan diri pada paradigma
reproduksi sosial, studi ini menerima secara takend for granted terobosan teoritis
Bourdieu dalam menempatkan selera sebagai sarana reproduksi struktur kelas.
Di sisi lain kritik tesis omnivora-univora dan perspektif Neo-Weberian
dilakukan melalui pengujian empiris terhadap tesis Bourdieu mengenai homologi
stuktural antara selera dengan kelas sosial, karena itu konsep-konsep kunci yang
digunakan Bourdieu dalam membangun teori dan metodologinya akan digunakan
untuk menginvestigasi struktur internal atau state of art kritik-kritik tersebut.
Dalam kaitan itu isu-isu teoritis dan metodologis yang telah diidentifikasi
dalam review literatur akan difungsikan sebagai panduan menginvestigasi struktur
internal
kritik-kritik
tersebut
seperti
bagaimana
modal
budaya
dioperasionalisasikan, bagaimana habitus diidentifikasi dan bagaimana kelas
dikonstruksi. Investigasi struktur internal tersebut diikuti dengan menganalisis
implikasinya terhadap penjelasan mengenai proses reproduksi kelas dan peran
selera di dalamnya.
1.4 Sistematika Penulisan
Studi ini dibagi dalam 5 bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang
menggambarkan perdebatan mengenai tesis homologi struktural antara selera dan
kelas sosial dalam sosiologi budaya kontemporer yang menjadi fokus studi ini
serta memaparkan permasalahan dan metodologi yang ditempuh. Bagian kedua
mengeksplisitkan uraian Bourdieu di dalam Distinction mengenai fungsi sosial
selera dalam proses reproduksi kelas. Bagian ketiga memaparkan kritik terhadap
Distinction baik dari perspektif tesis omnivora-univora maupun perspektif NeoWeberian. Bagian keempat memaparkan tinjauan atas kritik tesis omnivoraunivora dan perspektif Neo-Weberian terhadap Distinction. Bagian kelima adalah
kesimpulan yang mengeksplisitkan jawaban atas rumusan masalah.
2 DISTINCTION:
FUNGSI SOSIAL SELERA DALAM REPRODUKSI STUKTUR KELAS
Seperti dinyatakan secara eksplisit pada sub judulnya: a social critique of
the judgmenet of taste, Distinction merupakan suatu kritik sosial atau sosiologi
tentang pertimbangan selera estetis. Dalam kritik sosial ini Bourdieu mengajukan
kelas sosial sebagai kekuatan penjelas (explanatory power) pertimbangan selera
estetis. Dalam kata pengantar untuk Distinction edisi bahasa Inggris, Bourdieu
menegaskan hal itu bahwa Distinction berupaya mencari basis dari sistem
klasifikasi yang menstruktur persepsi tentang dunia sosial dan menentukan objek
kesenangan estetis di dalam struktur kelas sosial.3
Dengan mengasalkan sistem klasifikasi pada struktur kelas sosial Bourdieu
tidak hanya memperlihatkan hubungan-hubungan logis antara selera dan kelas
sosial sebagaimana termanifestasikan dalam temuan tentang homologi struktural
antara selera dan kelas sosial, tetapi juga menunjukkan teori tentang kekuasaan
simbolik yang menggambarkan bagaimana selera memainkan fungsi sosial dalam
proses reproduksi struktur kelas.
Namun fungsi sosial selera tersebut tidak dikemukakan secara eksplisit,
tetapi implisit dalam pendekatan teoritis dan metodologisnya. Oleh karena itu
bagian ini akan mengeksplisitkan argumentasi tersebut. Secara skematis
argumentasi Bourdieu dapat diringkas dalam beberapa proposisi berikut. Pertama,
3 Bourdieu menyatakan hal ini dalam hubungannya dengan posisi teoritis Distinction atas teori
selera murni Immanuel Kant. Apabila Kant berupaya menemukan keberlakuan universal selera
pada esensi transhistoris, Bourdieu mengajukan struktur kelas sosial sebagai kritik dan jawaban
saintifik atas teori selera murni Immanuel Kant. Bourdieu menyatakan bahwa “..its perhaps
immoderate ambition of giving a sientific answer to the old questions of Kant’s critique of
judgement, by seeking in the structure of social class the basis of the systems of clasification
which structure perception of the social world and designate the object of aetshetic enjoyment
(italik oleh penulis). Lihat Bourdieu Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste
(Cambridge: Harvard University Press), 1984, hal, xiii-xiv.
institusionalisasi kelas sosial terutama dikonstitusikan melalui pertarungan
simbolik kelas. Kedua, selera merupakan jantung arena pertarungan simbolik
kelas tersebut. Ketiga, homologi struktural antara selera dan kelas sosial
merupakan efek dari pertarungan simbolik kelas. Keempat, karena itu kekuasaan
simbolik atau kekuasaan atas sistem klasifikasi (selera) merupakan kekuasaan atas
mobilisasi dan demobilisasi struktur kelas yang mendasarinya, dengan kata lain:
reproduksi struktur kelas. Proposisi-proposisi ini akan dieksplorasi lebih lanjut
dalam paparan berikut.
2.1. Kelas Menurut Bourdieu dan Konteks Hubungannya dengan Selera
Dalam upaya memahami mengapa Bourdieu menempatkan struktur kelas
sosial sebagai basis prinsip klasifikasi yang menstruktur persepsi tentang dunia
sosial dan menentukan selera, yang pada gilirannya mempunyai fungsi sosial
dalam proses reproduksi struktur kelas, pertama-tama perlu dipahami terlebih
dahulu perspektif Bourdieu tentang kelas sosial dan hubungannya dengan selera
itu sendiri.
Konstruksi teoritis Bourdieu tentang kelas sosial terutama dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengintegrasikan pertarungan simbolik dan kekuasaan
simbolik ke dalam analisis kelas. Menurut Bourdieu institusionalisasi batas-batas
kelas (class boundaries) ditentukan oleh kekuasaan simbolik yang dimiliki
sekelompok agen untuk memaksakan visinya tentang perbedaan-perbedaan sosial
di dalam masyarakat menjadi visi yang legitim (Scwartz, 1997: 148).
Dalam menunjukkan bahwa batas-batas kelas ditentukan oleh kekuasaan
simbolik tersebut, Bourdieu menggunakan konsep ruang sosial. Konsep ruang
sosial ini menempati posisi sentral di dalam teori Bourdieu tentang kelas sosial.
Sentralitas ruang sosial ini, misalnya, dinyatakan Bourdieu (1996: 21) di dalam
Physical Space, Social Space and Habitus bahwa:
Kelas sosial tidak eksis... Apa yang eksis adalah ruang sosial, yaitu
ruang perbedaan-perbedaan yang di dalamnya kelas eksis dalam
makna tertentu hanya secara virtual, tidak sebagai sesuatu yang terberi
(given), tetapi diciptakan (to be done). 4
Dalam hal ini, menurut perspektif Bourdieu, yang nyata ada di dalam realitas
sosial adalah ruang sosial, yaitu ruang perbedaan-perbedaan. Di dalam ruang
sosial atau ruang perbedaan-perbedaan itulah kelas sosial dapat diindentifikasi
dengan memetakan prinsip diferensiasi yang menstruktur perbedaan-perbedaan
tersebut (Bourdieu, 1987: 3).
Dalam The Social Space and the Genesis of Group, Bourdieu
menerangkan bahwa ruang sosial merupakan arena kekuasaan yang bersifat
multidimensional. Struktur arena kekuasaan multidimensional ini distruktur oleh
prinsip diferensiasi berdasarkan perbedaan distribusi modal yang dapat digunakan
secara aktif untuk memperoleh kekuasaan. Bentuk-bentuk modal yang paling
menentukan adalah modal ekonomi, modal budaya, modal sosial dan modal
simbolik (Bourdieu, 1985: 724).
Menurut Bourdieu berpijak pada prinsip diferensiasi berdasarkan
perbedaan distribusi modal tersebut, kelas sosial dapat diidentifikasi dengan
memisahkan kelompok-kelompok agen sosial yang terkondisikan di dalam
4 “social class is not exsitst… what exists is social space, a space of differences, in wich classes
exist in some sense in a state of virtuality, not as something given but something to be done.”
kondisi eksistensi kelas yang sama yang cenderung mempunyai disposisi yang
sama dan kepentingan yang sama karenanya cenderung memproduksi praktik
yang sama dan menyandang status yang sama (Bourdieu 1985: 725).
Kondisi eksistensi yang sama tersebut secara objektif mengacu kepada
volume modal dan komposisi modal yang dimiliki oleh agen-agen sosial. Oleh
karena itu struktur kelas di dalam ruang sosial pertama-tama terstruktur menurut
volume modal, kedua, menurut komposisi modal, selain itu Bourdieu juga
menambahkan dimensi ketiga yaitu berdasarkan trakjektori kelas (1987: 4).
Namun menurut Bourdieu pemisahan agen-agen sosial kedalam kondisi
eksistensi yang sama tersebut bukan kelas yang real, tetapi merupakan kelas di
atas kertas (class on paper). Kelas di atas kertas ini berfungsi untuk menerangkan
praktik klasifikasi pembentukan kelompok (group-forming practice) mereka
secara real (Bourdieu, 1985: op.cit).
Dalam hal ini Bourdieu menolak pendekatan substansialis yang
memandang kelas sebagai entitas yang eksis secara real yang mudah didekati
dengan misalnya menggunakan ukuran-ukuran objektif seperti kondisi sosial dan
ekonomi (Bourdieu, 1987: 2). Bagi Bourdieu, seperti diungkapkan secara implisit
pada kutipan di atas, kelas objektif adalah kelas yang eksis secara virtual (inilah
yang dipahami sebagai kelas di atas kertas), kelas menjadi real ketika diciptakan
atau diwujudkan dalam praktik pembentukan kelompok oleh agen-agen sosial.
Dalam Social Class and Symbolic Power, Bourdieu menegaskan bahwa
kelas eksis dalam dua bentuk, yaitu sebagai sistem objektif kepemilikan material
dan sebagai klasifikasi dan representasi yang diproduksi oleh agen-agen sosial
melalui pengetahuan praktis yang diperoleh berdasarkan distribusi kepemilikan
material yang terekspresikan di dalam gaya hidup (Bourdieu, 2013: 275).
Dengan pengetahuan praktis tersebut, yang dimaksud Bourdieu adalah
habitus kelas. Habitus kelas merupakan pengetahuan praktis yang diperoleh
sebagai hasil dari pembelahan objektif kedalam kelas sosial itu sendiri (Bourdieu,
1984: 468), atau merupakan kebutuhan (kelas, pen) yang diinternalisasikan dan
dikonversikan menjadi disposisi (Bourdieu, 1984: 170). Dalam artian lain habitus
kelas merupakan struktur mental yang diinternalisasikan dari kondisi kelas
(Bourdieu, 1984: 101).
Habitus kelas merupakan elemen yang mengorganisasikan praktik
sehingga agen-agen yang berada dalam kondisi eksistensi yang sama dapat
memproduksi praktik yang sama dan karenanya menyandang status yang sama.
Hal itu dimungkinkan karena habitus kelas mempunyai fungsi ganda yang
menyatukan agen-agen sosial yang terkondisikan dalam kondisi eksistensi yang
sama dapat menghasilkan praktik yang sama. Pertama, habitus kelas berfungsi
sebagai sistem skema yang memproduksi praktik. Kedua, sekaligus berfungsi
sebagai sistem skema persepsi dan apresiasi terhadap praktik (Bourdieu, 1984:
170; 1989: 19).
Secara konkret, dalam praktik sehari-hari, kedua fungsi tersebut berkerja
secara simultan sebagai kerangka evaluasi untuk mengetahui makna sosial dari
suatu produk dan praktik merujuk kepada posisi kelas di dalam ruang sosial,
dengan demikian habitus kelas membimbing agen-agen sosial untuk memilih
melakukan praktik atau memilih barang maupun jasa yang sesuai atau homolog
dengan posisinya di dalam ruang sosial. Ini berlangsung di semua arena praktik
kultural sehari-hari seperti memilih seni, sastra, musik, teater, pakaian, minuman,
makanan, dekorasi rumah, gaya rambut, olah raga dan berbicara atau bahasa.
Karena itu melalui praktik homologis yang diorganisasikan oleh habitus kelas ini,
agen-agen sosial mengkonstruksi perbedaan-perbedaan, batas-batas dan jarak
antar kelas, dengan kata lain mengkonstitusikan kelas itu sendiri.
Bourdieu membaca praktik-praktik yang homolog dengan posisi kelas di
dalam ruang sosial yang diorganisasikan oleh habitus tersebut bermakna bahwa
ruang sosial yang distruktur oleh prinsip diferensiasi berdasarkan kepemilikan
modal mewujud secara konkret sebagai ruang simbolik yang ditandai dengan
perbedaan-perbedaan simbolik (Bourdieu, 1987: 11). Dalam artian lain melalui
distribusi kepemilikan modal, ruang sosial secara objektif mewujud sebagai
sistem simbolik yang ditata menurut logika perbedaan. Ruang sosial karenanya,
menurut kesimpulan Bourdieu, cenderung berfungsi sebagai ruang simbolik yaitu
ruang gaya hidup dan kelompok status yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan
gaya hidup (Bourdieu, 1989: 20).
Oleh karena itu Bourdieu memahami struktur kelas sosial sebagai kesatuan
dari interelasi antara status dan kelas Weberian, dengan kata lain merupakan
gabungan antara struktur objektif ekonomi dan sistem simbolik yang dikonstruksi
agen-agen sosial. Secara operasional Bourdieu menyatukan kelas dan status
tersebut dengan mengkonstruksi struktur kelas sosial yang mengabungkan kelas
dan fraksi kelas dan gaya hidup (Jenkins, 2004: 214-215).5
Memahami struktur kelas sosial secara demikian, Bourdieu memandang
pentingnya mengintegrasi pertarungan simbolik dan kekuasaan simbolik ke dalam
analisis kelas, sebab menurut Bourdieu praktik-praktik homologis yang
membentuk tatanan simbolik atau struktur perbedaan gaya hidup (status) tersebut
tidak terjadi secara natural, tetapi merupakan efek dari pertarungan simbolik
kelas. Dalam hal inilah Bourdieu memandang institusionalisasi batas-batas kelas
ditentukan oleh kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh sekelompok agen untuk
memaksakan visinya tentang perbedaan-perbedaan sosial menjadi visi yang
legitim sebagaimana diungkapkan sebelumnya.
5 Persisnya, pertama-tama Bourdieu membentuk kelas menggunakan pekerjaan (occupation)
sebagai indikator kepemilikan volume modal, yaitu volume total keseluruhan modal ekonomi,
budaya, sosial dan simbolik. Kemudian kelas yang telah terbentuk tersebut dipecah-pecah lagi
kedalam fraksi kelas dan gaya hidup khususnya menggunakan indikator kepemilikan komposisi
modal ekonomi dan modal budaya. Setelah menentukan kelas objektif melalui strategi di atas,
Bourdieu memetakkan struktur ruang sosial (social space) kedalam tiga dimensi ruang. Pertama,
berdasarkan volume total modal. Kedua, berdasarkan komposisi modal. Ketiga berdasarkan
trakjektori kelas yakni potensi perubahan volume maupun komposisi kepemilikan modal yang
berlangsung dalam ruang sosial yang juga mempunyai efek terhadap gaya hidup. Pada dimensi
pertama, atau dimensi berdasarkan volume modal yang dimiliki, kelas dikategorikan kedalam tiga
kelas yaitu kelas dominan, kelas menengah dan kelas bawah. Kelompok yang menempati kelas
dominan adalah guru (sekolah menengah dan menengah atas), eksekutif sektor publik, eksekutif
sektor swasta, pemilik industri (industrial employers), insinyur, profesional (proffesion) dan
seterusnya. Kelas menengah ditempati oleh pemilik usaha kecil, teknisi, sekretaris dan guru
sekolah dasar. Kelas bawah ditempati oleh pekerja manual dan buruh tani. Pada dimensi kedua,
yaitu dimensi berdasarkan komposisi modal ekonomi dan modal budaya, Bourdieu menempatkan
pecahan atau fraksi kelas berdasarkan hirarki perbedaan komposisi modal ekonomi dan modal
budaya. Fraksi guru (sekolah menengah dan menengah atas) yang memiliki modal budaya tinggi
namun modal ekonomi yang rendah ditempatkan secara beroposisi dengan fraksi pemilik industri
(industrial employers) yang memiliki modal ekonomi tinggi namun modal budaya rendah. Pada
level kelas menengah, pemilik usaha kecil yang terutama memiliki modal ekonomi beroposisi
dengan guru sekolah dasar yang terutama memiliki modal budaya. Demikian juga dengan kelas
bawah dipecah-pecah lagi berdasarkan komposisi modal ekonomi dan budaya. Selain itu Bourdieu
juga menggunakan pekerjaan orang tua sebagai indikator asal-usul sosial (social origin) untuk
mengidentifikasi trakjektori kelas, terutama membedakan agen-agen yang reproduksinya
bergantung pada modal ekonomi dan yang reproduksinya bergantung pada modal budaya, lihat
Distinction, hal, 114-115.
Selera memainkan peran sentral dalam pertarungan simbolik tersebut.
Menurut Bourdieu selera merupakan jantung pertarungan simbolik itu sendiri
(Bourdieu, 1984: 310). Selera menjadi arena di mana visi legitim tentang
perbedaan-perbedaan sosial dikukuhkan, yaitu dengan menjadikannya sebagai
gaya hidup yang legitim. Inilah yang menjadi konteks keterhubungan antara selera
dengan kelas sosial. Fungsi yang dimainkan selera ini mempunyai logika yang
spesifik yang akan segera didiskusikan di bawah.
2.2 Selera Sebagai Arena Pertarungan Simbolik Kelas
Secara definisi selera merupakan disposisi yang dimiliki untuk bisa
membedakan dan mengapresiasi. Menurut perspektif Bourdieu, fungsi sosial
selera sebagai arena pertarungan simbolik dimungkinkan karena, sebagai disposisi
yang dimiliki untuk bisa membedakan dan mengapresiasi, selera merupakan
praktik yang diorientasikan oleh habitus kelas. Sebagai praktik yang
diorientasikan oleh habitus kelas, logika praktik selera cenderung mengikuti
operasi praktis habitus kelas itu sendiri.
Karena itu di dalam Distinction Bourdieu mendefinisikan selera secara
spesifik sebagai keahlian praktis (practical mastery) hasil dari distribusi yang
memungkinkan seseorang merasai (to sense) dan mengintuisi (intuit) apa yang
memungkinkan atau tidak memungkinkan seseorang menempati posisi tertentu di
dalam ruang sosial. Artinya bahwa selera berfungsi sebagai orientasi sosial, atau
sebagai semacam rasa tentang posisi (sense of one’s place), yang membimbing
agen-agen yang menempati posisi tertentu di dalam ruang sosial untuk
menyesuaikan sifat-sifat mereka terhadap posisinya serta memilih praktik ataupun
benda-benda budaya yang selaras dengan posisinya di dalam ruang sosial. Hal
tersebut sekaligus mengimplikasikan antisipasi praktis atas makna sosial dari
pilihan-pilihan kelompok agen sosial lain (Bourdieu, 1984: 467-468).
Dalam pengertian tersebut selera mengimplikasikan suatu prinsip
pembedaan yang menyatukan sekaligus memisahkan, di mana prinsip pembedaan
tersebut berakar pada kondisi eksistentensi kelas yang partikular. Karenanya
selera menyatukan semua yang merupakan produk dari kondisi eksistensi kelas
yang sama dan memisahkan semua yang berasal dari kondisi eksitensi kelas yang
berbeda. Dalam hal ini selera merupakan afirmasi praktis dari perbedaanperbedaan yang berkerja menurut logika penolakan dan negasi terhadap selera
yang berbeda (Bourdieu, 1984: 56).
Dalam kaitan itu Bourdieu memandang selera berperan sebagai operator
praktik (practical operator) dalam proses transmutasi hal ihwal ke dalam sistem
tanda perbedaan atau menjadi ekspresi simbolik dari posisi kelas. Dalam hal ini
Bourdieu memandang bahwa selera merupakan basis dari sistem perbedaanperbedaan yang tidak mungkin keliru untuk dipahami sebagai ekspresi sistematis
dari kondisi eksistensi kelas yang partikular atau sebagai perberdaan-perbedaan
gaya hidup oleh mereka yang memiliki pengetahuan praktis mengenai perbedaanperbedaan tanda dan posisi-posisi di dalam ruang sosial (Bourdieu, 1984: 174175).
Oleh karena itu apabila Bourdieu memandang gaya hidup sebagai produk
sistematik dari habitus kelas (Bourdieu, 1984: 173), maka selera merupakan
operasi praktis habitus kelas itu sendiri yang memungkinkan tatanan perbedaan-
perbedaan gaya hidup berbasis kelas dapat terwujud. Bourdieu melihat selera
sebagai formula generatif yang memproduksi gaya hidup; semacam formula
penyatu berbagai preferensi berbeda-beda yang memungkinkan agen-agen sosial
mengekpresikan ekspresi dan intensi yang sama di semua sub arena simbolik,
misalnya dalam memilih furniture, pakaian, bahasa maupun tubuh heksis
(Bourdieu, 1984: 174).
Dalam fungsinya sebagai suatu sistem mekanisme berbasis kelas, atau
lebih tepatnya habitus kelas, yang membentuk struktur gaya hidup inilah selera
dipahami sebagai arena pertarungan simbolik kelas. Dalam hal ini selera berfungsi
sebagai arena di mana dialektika antara kondisi eksistensi kelas dan habitus kelas
mentransformasikan relasi kuasa objektif berdasarkan distribusi modal di dalam
ruang sosial menjadi suatu sistem penerimaan perbedaan-perbedaan atau suatu
sistem distiribusi modal simbolik yang menyebabkan kebenaran objektifnya,
yakni relasi-relasi kuasa tersebut disalahkenali (misrecognized) (Bourdieu, 1983:
173).
Kesalahpengenalan tersebut membawa efek objektif di mana perbedaanperbedaan atau lebih tepatnya kelas disalahpahami sebagai alamiah. Karena itu,
menurut Bourdieu, bentuk kelas sosial yang legitim (legitimate form of social
class) hanya eksis melalui pertarungan sistem tanda perbedaan atau pertarungan
simbolik yang membuatnya menjadi natural (Bourdieu, 1984: 149). Lebih jauh
Bourdieu beragumen bahwa kelas eksis dan berfungsi karena direproduksi dalam
rupa yang berbeda yaitu dalam bentuk gap simbolik yang melegitimasi tatanan
kelas tersebut. Hal itu dimungkinkan karena tatanan simbolik mempunyai
kekuasaan simbolik yang dapat membuat orang melihat dan percaya apa yang
ditanamkan kedalam strukturt mentalnya (Bourdieu, 1984: 480).
2.3 Homologi Struktural Sebagai Efek dari Pertarungan Simbolik
Keseluruhan argumentasi teoritis di atas mensyaratkan suatu bukti empiris
yang menunjukkan adanya homologi struktural antara kelas sosial (social space)
dan selera (symbolic space) di semua arena praktik kultural yang memperlihatkan
bahwa selera, meskipun tidak menjadi penyebab, namun secara sistematis
menggambarkan pembelahan sosial kedalam tatanan simbolik kelas. Di mana
pembelahan sosial tersebut merupakan efek dari kekuasaan simbolik.
Dalam menunjukkan bukti empiris tersebut Bourdieu melakukan riset
analisis korespondensi antara posisi-posisi kelas dan fraksi kelas di dalam ruang
sosial dengan preferensi selera di semua arena praktik kultural baik di wilayah
legitim maupun konsumsi yang umum untuk menemukan skema atau prinsip yang
menyatukan preferensi selera estetis di berbagai arena praktik kultural.
Hasilnya Bourdieu menemukan ada tiga bentuk habitus kelas yang
menjadi basis skema atau prinsip klasifikasi yang menyatukan preferensi selera di
semua arena praktik kultural, yaitu habitus rasa perbedaan (sense of distinction)
pada kelas dominan, habitus kehendak baik budaya (cultural good will) pada kelas
menengah, dan habitus pilihan kebutuhan (choice of necesity) pada kelas bawah.
Habitus rasa perbedaan (sense of distinction) merupakan suatu prinsip
estetika yang berjarak (aesthetic distancing) tidak hanya dalam relasi dengan
objek, tetapi juga dengan dunia (Bourdieu, 1984: 56). Ini adalah keberjarakan
dalam pengertian estetika murni atau estetika nir-kepentingan Kantian yang
menekankan pada bentuk daripada isi. Prinsip estetika ini tidak hanya diterapkan
dalam apresiasi terhadap seni murni tetapi di semua arena praktik kultural melalui
apa yang disebut Max Weber sebagai stylization of life, yaitu mementingkan
bentuk daripada fungsi (1984: 167). Hal ini dimungkinkan karena kondisi
eksistensi material yang membebaskan anggota kelas atas dari kebutuhan ekonomi
(Bourdieu, 1984: 56).
Habitus rasa perbedaan (sense of distinction) pada kelas atas ini
terekspresikan dalam selera atas karya-karya legitim serta konsumsi yang mewah
dan intelektual. Namun di dalam kelas dominan itu sendiri, terdapat perbedaan
preferensi di antara fraksi-fraksi kelas. perbedaan preferensi ini dipengaruhi oleh
perbedaan komposisi modal ekonomi dan modal budaya yang dimiliki masingmasing fraksi. Bourdieu menempatkan fraksi yang memiliki modal ekonomi lebih
tinggi atau relatif seimbang dengan modal budaya sebagai fraksi dominan di
dalam kelas dominan, sementara fraksi yang mempunyai modal budaya lebih
tinggi dari modal ekonomi sebagai fraksi yang terdominasi di dalam kelas
dominan.
Preferensi selera fraksi dominan dalam kelas dominan mencakup aktivitas
budaya yang paling mewah dan prestisius yang menandakan mereka sebagai
anggota kelompok bourjuis lama (old bourgeouis) seperti berburu, perjalanan
bisinis (business trip), mengunjungi teater boulevard, mengunjungi musical hall,
eksebisi komersial, butik mewah, ruang pelelangan, memiliki mobil dan kapal
mewah, membaca majalah mewah france soir, l’Aurrore, auto journal dan lecture
pour tous. Sedangkan preferensi selera kelas terdominasi di dalam kelas dominan
mencakup membaca buku-buku puisi, membaca karya-karya filsafat dan politik,
membaca le Monde atau secara umum bacaan kiri (leftisth), majalah seni dan
sastra, menyukai teater klasik atau avant garde, mengunjungi museum, menyukai
musik klasik, belanja di flea market (pasar loak) dan kemping (Bourdieu, 1984:
283).
Sedangkan habitus kehendak baik budaya (cultural goodwill) merupakan
habitus kelas menengah yang lahir dari kondisi eksistensi material yang khas.
Kelas menengah terkondisikan dalam perjuangan untuk terus membedakan
dirinya dengan kelas bawah. Hal ini membuat kelas menengah cenderung
menerima otoritas selera legitim kelas atas, namun tidak mempunyai pengetahuan
dan pengenalan yang cukup atas budaya legitim kelas atas. Karenanya kelas
menengah cenderung menaruh penghormatan yang tinggi atas budaya.
Penghormatan atas budaya ini melahirkan habitus kehendak baik budaya, yaitu
suatu kejinakan budaya yang ditandai dengan selera atas tema-tema yang santun,
hiburan yang bersifat mendidik dan instruktif (Bourdieu, 1984: 321).
Posisi kehendak baik budaya tersebut dinyatakan melalui tingkat
kedekatan dengan budaya legitim. Karena itu kehendak baik budaya pada kelas
menengah ini termanifestasikan dalam perhatian atas bentuk-bentuk minor dari
budaya legitim seperti mengunjungi monumen dan cheateux atau kastil (sebagai
oposisi terhadap museum dan koleksi benda-benda seni pada kelas dominan),
membaca jurnal-jurnal ilmu pengetahuan populer atau sejarah, menyukai
fotografi, film dan musik jazz (Bourdieu, 1984: 319).
Bourdieu juga menemukan prinsip pengorganisasian yang homolog
dengan kelas atas. Pada kelas menengah, pengrajin dan pemilik toko kecil yang
modal ekonominya lebih dominan mempunyai preferensi selera yang beroposisi
dengan preferensi selera guru sekolah menengah yang modal budayanya lebih
tinggi dari modal ekonomi (Bourdieu, 1984: 342).
Sementara itu berkebalikan dengan kondisi eksistensi material kelas atas,
kelas bawah selalu dihadapkan pada persoalan pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Karena itu praktik-praktik kultural kelas bawah selalu melibatkan aspek
kebutuhan (necesity). Dalam hal ini praktik-praktik kultural kelas bawah tunduk
kepada logika pemenuhan ekonomi. Submisi atas kebutuhan ini melahirkan suatu
estetika yang menjadi antitesa atas estetika murni atau estetika nir-kepentingan
Kantian yaitu estetika fungsionalis pragmatis yang menolak formalisme dan
segala bentuk seni untuk seni (art of art is sake) (Bourdieu, 1984: 376).
Estetika fungsionalis pragmatis ini terekspresikan dalam pilihan yang
bersifat praktis, fungsional dan realitistik atau disebut pilihan kebutuhan (choice
of necesity). Misalnya lebih memilih furnitur interior yang mudah dilakukan
pemeliharaan daripada furnitur antik, memilih pakaian yang sederhana, murah,
praktis, serbaguna, kuat dan tahan lama serta lebih menyukai musik populer dan
program-program televisi yang realistis. Estetika kelas bahwa ini merupakan
konsekuensi langsung dari kemiskinan (lack) akan modal ekonomi dan modal
budaya.
Pada titik ini dapat dilihat bahwa selera sebagai prinsip pembedaan yang
memisahkan sekaligus menyatukan agen-agen sosial ke dalam tatanan simbolik
kelas tidak lain merupakan efek dari pertarungan simbolik, yaitu efek dari strategi
kelas dominan untuk membedakan dirinya dengan kelas-kelas lainnya melalui
kultur kelas yang ditopang oleh habitus rasa perbedaan (sense of distinction) yang
diekspresikan dengan monopoli atas produk-produk budaya legitim dan cara
legitim dalam mengapresiasinya.
Homologi struktural, karenanya, merupakan efek dari kekuasaan simbolik
yang dimiliki kelas dominan yang mempunyai kekuasaan (power) untuk
mentransformasikan relasi-relasi kuasa objektif atau relasi-relasi kelas menjadi
sistem
penerimaan
perbedaan-perbedaan
yang
termanifestasikan
dalam
perbedaan-perbedaan gaya hidup.
Dalam konteks sebagai transformasi dari relasi-relasi kuasa objektif
tersebut, selera tidak hanya berperan menstruktur tatanan simbolik kelas, tetapi
juga memainkan fungsi sosial dalam proses reproduksi struktur objektif kelas
yang mendasarinya. Hal ini akan diekplorasi lebih lanjut di bawah.
2.4 Fungsi Sosial Selera dalam Proses Reproduksi Struktur Kelas
Fungsi sosial selera dalam proses reproduksi struktur objektif kelas
dimungkinkan karena sebagai pertarungan simbolik, apa yang dipertaruhkan di
dalam arena pertarungan simbolik tersebut sejatinya adalah struktur objektif kelas
itu sendiri. Lebih tepatnya, modal-modal yang menstruktur struktur objektif kelas
itu sendiri. Namun fungsi sosial selera ini mensyaratkan suatu kondisi di mana
selera itu sendiri secara objektif berfungsi sebagai modal tertentu.
Seperti tercermin dalam temuan mengenai homologi struktural, secara
empiris selera berelasi dengan sumber-sumber reproduksi sosial yang paling
dikuasai yaitu antara modal ekonomi dan modal budaya. Hal tersebut terutama
diperlihatkan oleh homologi struktural berbasis komposisi modal ekonomi dan
modal budaya.
Keseimbangan relatif antara modal ekonomi dan modal budaya yang
dimiliki fraksi dominan d