SADAR HUKUM di wilayah mangkang

SADAR HUKUM
A . Latar Belakang
Hukum yang dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat yang bertujuan
merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan, terkadang oleh
segelintir orang tidak diindahkan sebagaimana yang dimaksud di atas. Tidak jarang hukum itu
dicederai, dilanggar bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai
kepentingan, atau orang yang masih menganggap tidak pentingnya sebuah hukum yang ada di
masyarakat.
Para pelaku-pelaku pelanggar ataupun pencedera hukum inilah yang dalam kajian sosiologi
hukum dapat disebut sebagai orang-orang yang tidak sadar dan tidak patuh hukum. Dan makalah
ini membahas tentang kesadaran dan kepatuhan hukum dengan kaitannya dalam masyarakat
sosial.
B . Pengertian Kesadaran dan Kepatuhan Hukum
1. Kesadaran berasal dari kata sadar. yang berarti insaf , merasa, tahu atau mengerti .
Menyadari berarti mengetahui, menginsafi, merasai. Kesadaran berarti keinsafan, keadaan
mengerti, hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang.
Kesadaran hukum dapat berarti adanya keinsyafan, keadaan seseorang yang mengerti betul apa
itu hukum, fungsi dan peranan hukum bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya.
2. kepatuhan berasal dari kata patuh. Yang berarti tunduk, taat dan turut. Mematuhi berarti
menunduk, menuruti dan mentaati. Kepatuhan berarti ketundukan,ketaatan keadaan seseorang
tunduk menuruti sesuatu atau sesorang. Jadi, dapatlah dikatakan kepatuhan hukum adalah

keadaan seseorang warga masyarakat yang tunduk patuh dalam satu aturan main ( hukum ) yang
berlaku.
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian
antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering
dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran
hukum merupakan kesadaran nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada .
Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang membedakannya yaitu dalam
kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.
a.
Kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai
penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia
tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Indicator kesadaran hukum:
1.
Pengetahuan hukum.
2.
Pemahaman hukum.
3.
Sikap hukum.
4.
Pola perilaku hukum.

b.
kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable tergantung,
ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengan dukungan sosial. Faktor
yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:
1.
Compliance:

Kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri
dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya
pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.
2.
Identification:
Terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi
agar ke anggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi
wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut.
3.
Internalization.
Seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsic kepatuhan tadi
mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.


C . Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Dalam Budaya Hukum Indonesia
Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran
hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam
hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko
hidup bersama. Namun kalau dilihat secara materiil, sungguh sulit membangun budaya hukum di
negeri ini. Sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya
hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum
merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun
secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum
yang berlaku. Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di
negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut.
Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun
budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu ?. kepatuhan hukum
masyarakat pada hakikatnya adalah kesetiaan masyarakat atau subyek hukum itu terhadap
hukum yang kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata patuh pada hukum.
Secara a contra-rio masyarakat tidak patuh pada hukum karena masyarakat tersebut dihadapkan
pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan
lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada kesetiaan terhadap hukum atau kesetiaan
terhadap “kepentingan pribadinya” yang bertentangan dengan hukum, seperti banyaknya
pelanggaran lalu lintas, korupsi, perbuatan anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi berani

tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan
lagi,dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak
hukum yang baik. Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi
pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum. Jika faktor
kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka
negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat
sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum.Jika kita sudah konsisten
membangun negara ini menjadi negara hukum, siapapun harus tunduk kepada hukum. Hukum
tidak dapat diberlakukan secara diskriminatif, tidak memihak kepada siapapun dan apapun,
kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak keadilan hukum. Namun jika
hukum diberlakukan diskriminatif, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan
hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya

melalui hukum rimba atau kekerasan fisik.
Oleh karenanya hukum harus memiliki kewibawaannya dalam menegakkan supremasi
hukum agar masyarakat dapat menghormatinya dalam wujud kepatuhannya terhadap hukum itu
sendiri. Dengan demikian perlunya membangun budaya hukum merupakan suatu hal yang hakiki
dalam negara hukum, dimana hukum harus dapat merubah masyarakat untuk menjadi lebih baik,
lebih teratur, lebih bisa dipercaya untuk memperjuangkan hak dan keadilan, lebih bisa
menciptakan rasa aman. Semoga..!!


Dinamika Kompilasi Hukum Islam
Dinamika Kompilasi Hukum Islam: Dalam Bingkai Hukum Negara Modern(Kajian
Penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan)
[1]
Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
Abstraksi
Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada
sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara
global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental)
dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan
dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum
lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam
yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang
bercorak keindonesiaan. Untuk mendeskripsikan Dinamika Kompilasi Hukum Islam Dalam
Bingkai Hukum Negara Modern serta penerapannya di Indonesia memerlukan kajian dalam

perspektif Etika dan Pemerintahan. Yaitu dilihat dari 3 aspek; Aspek Regulasi, Aspek Institusi

(organisasi) dan Aspek Penegakan Hukum (Law enforcement).
Key word : Kompilasi Hukum Islam, Hukum Modern, Perspektif Etika Politik dan
Pemerintahan.
A. Pendahuluan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem
hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud,
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian,
sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam
pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.[3] Negara Indonesia merupakan negara yang
plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang
dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash alQur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universalrelevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini
sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang
substansi – substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan
berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamiy
, atau dalam konteks tertentu disebut al-syari’ah al-islamiy. Istilah ini dalam literatur Barat
dikenal dengan idiom islamic law.[4] T.M. Hasbi Ash-Shidieqy mengutip pendapat Syeikh
Mahmud Syaltut, bahwa syari’at atau hukum islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang
ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan

Allah dan hubungan manusia sesamanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya, Ijma’
sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarienah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[5] Kalau kita
lihat di dalam aspek politik hukum Islam adalah membangun tata cara kehidupan dan
penghidupan yang diatur dan damai, berdasarkan hukum-hukum perdamaian yang harus terus
menerus diperjuangkan.[6]
Penetapan hukum Islam mempunyai herarki, yaitu yang paling utama merujuk Al-Qur’an,
kemudian Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam konteks hukum modern pun herarki yang paling
puncak adalah berdasarkan ketuhanan. Hal ini diungkapkan oleh Thomas Aquinas, Thomas
Aquinas menentukan posisi hukum kodrat dalam struktur hirarki hukum. Pertama, Puncak dari
herarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang
menjadi penguasa alam semesta. Kedua, di bawah hukum abadi adalah hukum kodrat, tidak lain
adalah partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi.[7] Ketiga, di bawah kodrat adalah
hukum positif atau hukum buatan manusia.[8]
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh juga perlu
memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana
dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting

mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum
dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani,
dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam. [9]

Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan
dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah
mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik
di dunia maupun di akhirat.[10] Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan
perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu
yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum
kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.
Penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu
selalu menjadi masalah. Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang
berlaku juga sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic).
[11] Secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama
sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah negara nasional
yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, tetapi juga pada
umat-umat agama yang lain.
Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas di
Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Hukum Islam
menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat islam indonesia tetapi bagi dunai Islam
pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia,
untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional

diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum ataupun oleh
masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam (bingkai sistem hukum
nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde
baru, polemik seputar posisi syari’alt Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai
dua pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total syari’at lewat
jalur negara.[12] Di sisi lain ada kalangan yang menginginkan untuk menolak apa pun yang
bernuansa syari’at dari institusi negara.[13]
Untuk mendeskripsikan polemik tentang penerapan hukum Islam di indonesia dalam bingkai
hukum negara modern bisa digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan.
Penerapan hukum islam (kompilasi Hukum Islam) dalam perspektif etika politik dan
pemerintahan dilihat dari 3 aspek : Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi), dan Aspek
Penegakan hukum (Law Enforcement).
B. Dinamika Regulasi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Penetapan kebijakan hukum di Indonesia, pemerintahan telah menjadikan hukum Islam sebagai
bagian dari hukum nasional. Tetapi persoalan kemudian muncul, yaitu bagaimana kita

memahami serta melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan
hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi
tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa antara agama

dan negara perlu ada pemishan secara tegas.[14] Pendapat kedua, bahwa hukum Islam menjadi
bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi.[15] Akhir-akhir ini yang kemudian
berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti
proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan
kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan
Yuridis dan Landasan Fungsional.
1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang
tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undangundang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan
oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh
mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi
pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan
Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01,
02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983. [16]
Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang
tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan
pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada
saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2004).[17] Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam
yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.
2. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan
waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan
metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah
maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[18]
3. Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan
kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang

telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe
fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat
mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada
unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini
merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum
nasional di Indonesia.[19]
C. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a
Tool of social enginering”[20] Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan
Instutusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di
masyarakat.
Peradilan dan Hakim-Hakim Agama.
Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yaitu pasal 24 dan pasal 25.
kemudian Undang-undang organik selanjutnya yang menjabarkan pasal 24 dan pasal 25 UUD
1945 tersebut adalah UU No. 14/1970 yang menentukan adanya empat lingkungan peradilan,
yaitu: umum, agama, militer, dan tata usaha negara.[21]Peranan dari para Hakim Agama yang
mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undangundang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum
islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai
’mulut dari kompilasi’ akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad
menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.
Sehingga peradilan Agama secara legalistik berdasarkan pasal 10 UU No 14 Tahun 1970, telah
diakui secara resmi sebagai salah satu pelaksana Judicial Power dalam negara hukum Republik
Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek
kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat
dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi
MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang
baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur)
menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum
muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin)
Peran ulama dalam dinamika bangsa Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas sekali, baik
dalam kehidupan sosial maupun politik, dan sudah berlangsung sejak masa-masa awal islam di
indonesia.[22] Kedudukan ulama yang diharapkan menjadi penghubung antara kebijakan
pemerintah dan aspirasi masyarakat memang serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya
seperti kue bika yang sedang dimasak di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api.

Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas
kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk
menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.[23]
Lembaga – Lembaga Hukum dan Fatwa dari Organisasi Islam.
Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam
yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan laim-lain perlu lebih
ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam. Namun juga perlu dijaga
jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat kontraversial dan
dapat membingungkan umat.[24]
Lembaga Pendidikan Tinggi.
Kegiatan penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakan. Lembaga pendidikan sebagai
media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi Hukum
Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap
pengembangan Kompilasi Hukum Islam.[25]
Lembaga- Lembaga Penelitian dan Pengkajian Pemerintah.
Lembaga- lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain sebagainya
sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalah-masalah
hukum islam yang berskala nasional.[26]
Media Massa.
Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi
ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah
hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol terhadap
berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. [27]
Penegakan Hukum Islam (rule of law) dalam bingkai Keindonesiaan.
Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum yang biasa juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi
peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan kaidahkaidah penegakan hukum yang benar.
Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat
ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan
lingkungan Peradilan Agama. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan peradilan agama dan
ruejukan hukum mesti mereka pedoman sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum
Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.

Penegakan Hukum Islam dideskripsikan dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan
Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989
tentang peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang
memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum islam di
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh karena itu, penyusunan
Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal
25 Maret 1985.[28]
Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam
yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk
mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya,
tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan
pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan
negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang
perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut
ketertiban umum.
Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private
affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat
penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat
dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama.
Adanya pemerataan ke arah paham yang menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI
sebagai hukum perdata yang resmi dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh
lat kekuasaan negara, sungguh masih berat. Sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus
perceraian (talak) liar di luar pengadilan. Masih terjadi hal-hal yang lain tidak melalui prosedur
hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lia Z Ansor
Suatu ketika, Abdurrahman Ibnu Umar tidak sengaja dan tanpa sepengetahuannya,
meminum minuman yang memabukkan. Dengan keadaan menyesal, Abdurrahman
menghadap Gubernur Mesir untuk dijatuhi hukuman sebagaimana mestinya, yakni
dicambuk dan digunduli di depan khalayak ramai.
Namun, sang gubernur tidak berkenan, mengingat Abdurrahman adalah putra
seorang kepala negara. Abdurrahman terus mendesak gubernur, bahkan jika tetap

tidak mau, ia mengancam akan melaporkannya kepada ayahnya.
Dengan berat hati, gubernur pun mengeksekusi Abdurrahman sebagaimana aturan
yang berlaku waktu itu. Namun, hal ini dilakukan hanya di dalam rumah gubernur,
bukan di depan massa.
Singkat cerita, tanpa berniat melaporkannya, ternyata kabar itu menyebar dan
akhirnya sampailah ke telinga Umar bin Khattab, yang tiada lain adalah kepala
negara sekaligus ayah kandung Abdurrahman Ibnu Umar.
Kemudian Umar bin Khattab mengirim surat kepada gubernur atas perlakuan
istimewanya kepada putranya. ''Engkau mencambuk dan mencukur Abdurrahman di
dalam rumahmu. Engkau tahu, hal ini menyalahi aturanku. Abdurrahman tidak lain
adalah salah seorang dari rakyatmu yang seharusnya engkau perlakukan
sebagaimana warga negara lainnya.''
''Tapi engkau berpendapat bahwa Abdurrahman adalah putra Amirul Mukminin.
Bukankah engkau telah mengetahuinya bahwa bagiku tidak ada suatu perlakuan
istimewa untuk seorang pun di hadapan hak Allah yang harus
dipertanggungjawabkan.''
Gubernur sangat paham maksud isi surat tersebut dan segera memulangkan
Abdurrahman seperti yang diperintahkan kepala negara. Kemudian Umar bin
Khattab menghukum kembali putranya meski kondisi Abdurrahman pada saat itu
masih belum pulih dari hukuman sebelumnya.
Begitu mulianya sikap anak dan ayah ini yang sangat mafhum terhadap posisinya
sebagai orang yang melakukan kesalahan. Di sisi lain, kecintaan Umar bin Khattab
terhadap putranya tidak serta-merta membebaskan putranya dari ancaman
hukuman, justru ia sendiri yang menghukumi putranya agar terbebas hukuman di
akhirat dan sebagai bukti bagi rakyatnya bahwa ia tidak membeda-bedakan status
dalam penegakan hukum.
Jika semua pejabat pemerintah dan rakyatnya sadar serta menjunjung tinggi
hukum, tidak ada lagi kesenjangan perlakuan hukum dan ketenteraman hidup akan
terwujud. Wallahu’alam.

KESADARAN HUKUM
Â

Pengantar Materi Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kesadaran seseorang akan
pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu diatur oleh hukum. Kesadaran hukum pada titik
tertentu diharapkan mampu untuk mendorong seseorang mematuhi dan melaksanakan atau
tidak melaksanakan apa yang dilarang dan atau apa yang diperintahkan oleh hukum. Oleh karena
itu, peningkatan kesadaran hukum merupakan salah satu bagian penting dalam upaya untuk
mewujudkan penegakan hukum.
Akibat dari rendahnya kesadaran hukum masyarakat adalah masyarakat yang tidak patuh
terhadap peraturan hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan oleh rendahnya kesadaran
hukum tersebut bisa menjadi lebih parah lagi apabila melanda aparat penegak hukum dan
pembentuk peraturan perundang-undangan. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya upaya
penegakan hukum dan kondisi sistem dan tata hukum yang ada.
Pengertian Kesadaran Hukum

Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH, dalam tulisannya menjelaskan bahwa terdapat kaitan
yang sangat erat antara hukum dan kesadaran hukum. Lemaire menyatakan bahwa salah satu
faktor dalam penemuan hukum adalah kesadaran hukum sementara Krabbe menyatakan lebih
jauh lagi bahwa kesadaran hukum merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Scholten berpendapat bahwa kesadaran hukum adalah kesadaran yang terdapat pada setiap
manusia tentang apa hukum itu dan apa seharusnya hukum itu. Masih menurut scholten, bahwa
kesadaran hukum merupakan suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita
membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht) serta antara yang seyogyanya dan tidak
seyogyanya untuk dilakukan.
Kesadaran hukum mengenai apa hukum itu adalah kesadaran bahwa hukum itu penting karena
memberikan perlindunga terhadap berbagai kepentingan manusia. Berbagai macam kepentingan
manusia yang hidup dalam suatu masyarakat memiliki potensi untuk saling bertentangan hingga
dapat terjadi konflik yang kemudian merugikan salah pihak dan bahkan mungkin merugikan
kepentingan masyarakat.
Kesadaran hukum mengenai ada atau tidak adanya hukum merupakan kesadaran akan tidak
berlakunya atau tidak adanya hukum yang kemudian mengakibatkan conflict of human interest.
Onrecht atau kesadaran bahwa tidak adanya hukum ini akan lahir setelah terjadinya konflik
untuk menjawab mengenai siapa yang benar atau siapa yang salah dalam konflik tersebut.
Kesadaran hukum akan tidak adanya hukum (onrecht) ini akan semakin menguat seiring dengan
meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi disekitar lingkungan kita dan massifnya
pemberitaan melalui media massa mengenai adanya pelanggaran hukum yang terus terjadi.
Kesadaran hukum mengenai apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seyogyanya tidak
dilakukan merupakan kesadaran hukum mengenai hak dan kewajiban kita terhadap orang lain.

Kesadaran Hukum VSÂ Kepatuhan Hukum

Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum merupakan sesuatu yang berbeda. Kesadaran hukum
yang dimiliki oleh seseorang tidak serta merta membuat seseorang tersebut akan patuh terhadap
hukum. Kesadaran dan kepatuhan hukum bisa dikatakan tidak identik satu sama lain.
Drs. M. Sofyan Lubis, SH dalam tulisannya mengenai kesadaran hukum dan kepatuhan hukum
menyatakan bahwa kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah kesetiaan yang dimiliki seseorang
sebagai subyek hukum terhadap peraturan hukum yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang
nyata. Sementara kesadaran hukum masyarakat merupakan sesuatu yang masih bersifat abstrak
yang belum diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata untuk memenuhi kehendak hukum itu
sendiri.
Banyak diantara masyarakat yang sesungguhnya telah sadar akan pentingnya hukum dan
menghormati hukum sebagai aturan yang perlu dipatuhi, baik itu karena dorongan insting
maupun secara rasional. Namun secara faktual, kesadaran tersebut tidak diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari atau dalam praktek yang nyata.

Kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat
tersebut dapat dengan mudah luntur oleh perilaku oportunis yang memungkinkan seseorang
untuk bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar baik materil maupun immateril jika tidak
patuh terhadap hukum. Dalam hal ini kepentingan seseorang tersebut akan lebih banyak
terakomodir dengan tidak patuh terhadap hukum meskipun harus merugikan atau berpotensi
merugikan kepentingan orang banyak.
Oleh karena itu kesadaran hukum mesti terus didorong untuk ditingkatkan menajdi kepatuhan
hukum sehingga konsepsi ideal mengenai kesadaran hukum masyarakat dapat diaktualkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Demikian artikel mengenai kesadaran hukum semoga bermanfaat.