Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha

Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan
Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Tanah merupakan aset Bangsa Indonesia.
Keberadaannya menjadi penopang utama kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki, baik yang sudah ada
hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah, di beberapa tempat
masih banyak dalam keadaan terlantar. Sejauh ini, hasil identifikasi oleh BPN
menunjukkan bahwa terdapat sekitar 7,3 juta hektar tanah terindikasi terlantar
Penelantaran tanah merupakan tindakan yang tidak berkeadilan, yang
dapat menyebabkan hilangnya peluang untuk mewujud nyatakan potensi ekonomi
tanah. Selain itu, penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya
pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan
dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat
khususnya petani.
“Tanah yang terindikasi terlantar” adalah tanah hak atau dasar penguasaan
atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian.
(Penjelasan PP 11 tahun 2010). Penelantaran tanah merupakan pelanggaran
terhadap kewajiban yang harus dijalankan para Pemegang Hak atau pihak yang
telah memperoleh dasar penguasaan tanah.

Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak
untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik
selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak
untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik

selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk
kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mewujudkan tanah
sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebih
berkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan
Indonesia, serta memperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan,
penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk
meningkatkan

kualitas

lingkungan


hidup,

mengurangi

kemiskinan

dan

menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
energi.
Untuk itu, lahirlah PP no. 11 tahun 2010 mengenai penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar sebagai pelaksanaan amanat UUPA tahun 1960,
untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahtaraan
rakyat serta penurunan kualitas lingkungan. PP ini juga lahir sebagai pengganti
Peraturan

Pemerintah

Nomor


36 Tahun

1998

tentang

Penertiban

dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang dipandang tidak dapat lagi dijadikan acuan
penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Aturan pelaksanaan
untuk penertiban tanah terlantar juga sudah dikeluarkan melalui Peraturan Kepala
BPN no. 4 tahun 2010 mengenai tata cara penertiban tanah terlantar.

Prinsip dan Arah Pendayagunaan Tanah Terlantar
1. Pendayagunaan tanah terlantar adalah untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Dengan demikian, pelaksanaan pendayagunaan harus dapat
mewujudkan redistribusi dan distribusi yang berujung pada transfer
kesejahteraan di antara masyarakat, serta taat terhadap prinsip-prinsip

pengelolaan pertanahan di Indonesia. Pendayagunaan 4 tanah terlantar tidak

boleh menjadi sarana (instrumen) untuk mewujudkan nonredistribusi atau
rekonsentrasi.
2. Untuk mewujudkan hal itu, maka dalam pelaksanaan pendayagunaan harus
disertai dengan: Tingkat partisipasi yang luas, baik dalam penentuan
penerima manfaat dan program-program pendayagunaan, maupun dalam
pengawasan pelaksanaannya Mekanisme yang menjamin adanya distribusi
manfaat yang adil bagi masyarakat Tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance).
3. Prinsip lain yang penting untuk dijaga adalah sinergi dengan sistem hokum
yang ada. Untuk itu pendayagunaan tanah terlantar di satu sisi harus
diupayakan untuk disertai dengan kepastian hukum bagi penerima
manfaatnya, dan disisi lain, dilaksanakan dengan tidak menimbulkan
komplikasi-komplikasi hukum. Komplikasi tersebut dapat bersumber dari
adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang ada,\ maupun
juga karena adanya tumpang tindih dan kerancuan dengan peraturan
perundangan yang lain.
4. Arah pendayagunaan telah digariskan dalam Pasal 15 PP 11 tahun 2010,
bahwa peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

tanah Negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui
reforma agraria dan program
strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.
5. Selanjutnya, dalam penjelasan PP 11 tahun 2010 diuraikan bahwa Reforma
Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem
politik dan hokum pertanahan serta penataan asset masyarakat dan penataan
akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 Undang- Undang Nomor 5
Tahun 1960

Pendayagunaan melalui Reforma Agraria
Reforma

agraria

adalah


restrukturisasi

penggunaan,

pemanfaatan,

penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu
menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Makna tersebut dapat didekomposisi menjadi lima komponen mendasar, yaitu
(1) restrukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosialekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity).
(2) sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare).
(3) penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara
optimal (efficiency)
(4) keberlanjutan (sustainability).
(5) penyelesaian sengketa tanah (harmony). (BPN, 2007)
Reforma agraria ini dilaksanakan melalui dua jalan. Jalan pertama adalah
penataan sistem politik dan sistem hukum pertanahan dan keagrariaan, dan jalan
kedua adalah landreform plus, yaitu landrefom yang di dalamnya menampung ciri
terpenting yaitu redistribusi dan distribusi atas aset tanah pada masyarakat yang

berhak, yang kemudian disertai pula dengan mekanisme bagi negara untuk
memberikan jalan-jalan bagi masyarakat yang ikut dalam program redistribusi dan
distribusi ini untuk bisa
memanfaatkan tanahnya secara baik. Ini dimaknai juga sebagai asset reform
ditambah dengan access reform. Asset reform adalah menata ulang pemanfaatan,

penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. Access reform adalah pembukaan
akses terhadap sumber-sumber ekonomi (keuangan, manajemen, teknologi, pasar),
dan sumber-sumber politik (partisipasi politik).

Pendayagunaan melalui Program Strategis Negara
Dalam PP 11 tahun 2010 dijelaskan bahwa program strategis negara antara
lain untuk pengembangan sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan program strategis negara
ini, kita melihat kepada 11 bidang prioritas nasional tahun 2010-2014 sebagaimana
ditetapkan dalam RPJMN 2010- 2014. Di antara ke-11 bidang tersebut, pangan dan
energi termasuk di dalamnya. Sementara itu, pengembangan perumahan rakyat
merupakan salah satu substansi inti untuk program aksi salah satu bidang prioritas,
yaitu infrastruktur.


Pangan
Pangan merupakan hak dasar warga negara di mana negara memiliki
kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan
masyarakat melalui pengembangan akses masyarakat terhadap faktor-faktor
produksi (diantaranya yang penting adalah sumber-sumber agraria) yang dapat
didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan atas pangan. Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1996 Tentang Pangan mengakui bahwa pangan merupakan kebutuhan
dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia.
Selanjutnya, pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menegaskan
bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan
ketahanan pangan.
Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, pengaturan yang diberikan
untuk pemerintah adalah (Pasal 46-49). Pertama, mewujudkan cadangan pangan

nasional; Kedua, penyediaan, pengadaan dan atau penyaluran pangan tertentu
yang bersifat pokok; Ketiga, kebijakan mutu pangan nasional dan
penganekaragaman pangan; Keempat, mencegah atau menanggulangi gejala
kekurangan pangan; Kelima, memberikan kesempatan bagi koperasi dan swasta
mewujudkan cadangan pangan; Keenam, pengembangan dan peningkatan
partisipasi masyarakat di bidang pangan; Ketujuh, penelitian dan pengembangan

tekhnologi di bidang pangan; Kedelapan; penyebarluasan dan penyuluhan pangan;
Kesembilan,

kerja

sama

internasional

di

bidang

pangan;

Kesepuluh,

penganekaragaman konsumsi masyarakat.
Dalam RPJMN 2010-2014, sasaran pembangunan bidang pangan adalah
terciptanya kemandirian dalam bidang pangan pada akhir tahun 2014 ditandai

dengan meningkatnya ketahanan pangan rakyat, berupa perbaikan status gizi ibu
dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan, membaiknya akses rumah
tangga golongan miskin terhadap pangan, terpelihara dan terus meningkatnya
kemampuan swasembada beras dan komoditas pangan utama lainnya, menjaga
harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat kelompok pendapatan menengah
bawah, menjaga nilai tukar petani agar dapat menikmati kemakmuran, dan
meningkatkan daya tawar komoditas Indonesia dan keunggulan komparatif
(comparative advantage) dari sektor pertanian Indonesia di kawasan regional Asia
dan Global.
Ketahanan pangan merupakan salah satu dari 11 prioritas dengan substansi
inti program aksinya meliputi:
1) Lahan, Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang Pertanian. Yaitu berupa
penataan regulasi untuk menjamin kepastian hukum atas lahan pertanian,
pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar, penertiban serta
optimalisasi penggunaan lahan terlantar.

2) Infrastruktur, Yaitu berupa pembangunan dan pemeliharaan sarana transportasi
dan angkutan, pengairan, jaringan listrik, serta teknologi komunikasi dan system
informasi nasional yang melayani daerah-daerah sentra produksi pertanian demi
peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta kemampuan pemasarannya;

3) Penelitian dan Pengembangan, Yaitu berupa peningkatan upaya penelitian dan
pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil
peneilitian lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian nasional yang
tinggi;
4) Investasi, Pembiayaan, dan Subsidi. Yaitu berupa dorongan untuk investasi
pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha
dan pemerintah, penyediaan pembiayaan yang terjangkau, serta system subsidi
yang menjamin ketersediaan benih varietas unggul yang teruji, pupuk, teknologi
dan sarana pasca panen yang sesuai secara tepat waktu, tepat jumlah, dan
terjangkau;
5) Pangan dan Gizi. Yaitu berupa peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman
pangan melalui peningkatan pola pangan harapan;
6) Adaptasi Perubahan Iklim. Yaitu berupa pengambilan langkah-langkah kongkrit
terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan
iklim.

Tantangan Pelaksanaan Pendayagunaan Tanah Terlantar
Aspek Hukum
(1) Perlu mengantisipasi kemungkinan gugatan dari badan hukum akibat
penertiban tanah terlantar (Hak keperdataan)

(2) UU sistem budidaya tanaman (baru) yang berpotensi dapat ‘membatasi’ usaha
budidaya yang dikembangkan oleh petani
(3) Perpres 65 tahun 2006 (tanah untuk kepentingan umum)
(4) UU penataan ruang
(5) UU lahan pertanian berkelanjutan

Aspek Sosial Ekonomi
(1) Sejak tahun 1993, jumlah rumah tangga petani gurem yang kepemilikan
lahannya kurang dari 0,5 hektar meningkat dari 10,9 juta rumah tangga
menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003 (Sensus Pertanian 2003).
Rataan pemilikan lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 ha dan 0,96 ha
masing-masing di Jawa dan Luar Jawa, dan dalam periode 1995 – 2007
rataan pemilikan lahan cenderung menurun. Di sisi lain, menurunnya ratarata luas pemilikan lahan diikuti pula dengan meningkatnya ketimpangan
distribusi pemilikan lahan khususnya untuk persawahan di Jawa (Deptan,
2009)
(2) Agroindustri belum berkembang di perdesaan, sehingga usaha tani masih
dominan di aspek produksi on-farm dengan tingkat pendapatan yang relatif
kecil dan belum berkembangnya usaha jasa pelayanan permodalan, dan
teknologi, mengakibatkan citra petani dan pertanian lebih sebagai aktifitas
sosial budaya tradisional, bukan sosial ekonomi yang dinamis dan
menantang. Kondisi ini pada akhirnya kurang menarik minat generasi muda
di perdesaan untuk bekerja dan berusaha di bidang pertanian, terlebih bagi
mereka yang telah mengikuti pendidikan sekolah menengah ke atas.
(Deptan, 2009)
(3) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius
dalam pembangunan pertanian, karena mereka yang berpendidikan rendah

pada umumnya adalah petani yang tinggal di daerah pedesaan. Kondisi ini
juga

semakin

diperparah

dengan

semakin

berkurangnya

upaya

pendampingan dalam bentuk penyuluhan pertanian. Di sisi lain, bagi
mereka yang telah mengenyam pendidikan formal tingkat menengah dan
tinggi, melihat kemiskinan di pedesaan telah menjadikan mereka kurang
tertarik lagi bekerja dan berusaha di sector pertanian, sehingga
mengakibatkan semakin tingginya arus urbanisasi ke perkotaan. (Deptan,
2009)

Aspek Ekologi dan Lingkungan Hidup
1. Di beberapa lokasi, tanah yang terindikasi terlantar, baik yang tengah
digarap oleh masyarakat maupun tidak, ternyata telah mengalami degradasi.
Sementara, di atas tanah tersebut masih padat dengan aktivitas budidaya
pertanian. Untuk tanah terlantar dengan kondisi tersebut, maka pilihan
mekanisme pendayagunaannya harus memprioritaskan peningkatan atau
pemulihan kualitas lahannya, terutama dari sisi ekologi.

2. Menurut

laporan

Dirjen

RLPS

pada

tahun

2007,

luas

lahan

kritis/terdegradasi di kawasan budidaya di luar kawasan hutan di Indonesia
sudah mencapai 41 juta hektar yang terdiri dari (1) potensial kritis seluas 14
juta ha, (2) agak kritis seluas 16 juta ha, (3) kritis seluas 9 juta ha, dan (4)
sangat kritis seluas 2 juta ha. Lahan terdegradasi tersebut dicirikan oleh
penurunan produktivitas apabila berfungsi sebagai fungsi produksi dan
penurunan fungsi hidrologis apabila

berfungsi sebagai fungsi lindung.4

Menurut Deptan (2009), tantangan ke depan untuk mengatasi dan
mengantisipasi degradasi sumber daya lahan adalah bagaimana melakukan
rehabilitasi dan konservasi lahan secara teknis, dan biologis (vegetatif)

melalui penerapan teknologi budidaya pertanian yang ramah lingkungan
serta pengaturan dan pengendalian tata ruang kawasan.

3. Di sisi lain, dalam penanggulangan lahan terdegradasi ini banyak program
sudah dilaksanakan oleh pemerintah namun terlihat belum memecahkan
permasalahan sesungguhnya. Hal ini akibat pendekatannya yang masih
parsial.

Walaupun

ada

elemen

partisipatif

pada

program-program

penanggulangan lahan terdegradasi, namun pendekatan program belum
sepenuhnya bersifat farmer centered. Suatu program yang farmer centered
mestilah program yang memenuhi criteria applicable, acceptable dan
replicable. Strategi penanganan lahan terdegradasi perlu pendekatan
menyeluruh dengan fokus sumberdaya berbasiskan masyarakat.

Implikasi Kebijakan
Untuk memastikan bahwa pendayagunaan dapat berkontribusi secara nyata
untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat dalam bentuk terwujudnya transfer
kesejahteraan dengan tetap taat pada prinsip pengelolaan pertanahan di Indonesia,
maka strategi yang dapat dikembangkan adalah Mengadopsi berbagai model
delivery system yang dikembangkan dalam reforma agraria ke dalam pelaksanaan
pendayagunaan tanah terlantar itu. Dengan mekanisme tersebut, setiap pelaksanaan
pendayagunaan tanah terlantar (dengan skema apapun yang ditetapkan) diharapkan
tetap dapat mengalirkan peningkatan kesejahteraan dan keadilan secara optimal
bagi masyarakat. Dalam hal ini, bentuk manfaat yang dapat diperoleh masyarakat
ada dua, yaitu berupa penguasaan atas tanah (terutama melalui skema reforma
agraria), dan manfaat ekonomi, social serta lingkungan (melalui skema program
strategis negara dan cadangan Negara lainnya). Mengakomodasi aspek-aspek

hukum, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kondisi ekologis, tata ruang, dan
karakteristik fisik tanah dalam penentuan penerima manfaat maupun perumusan
program-program pendayagunaan tanah terlantar.
Untuk memastikan adanya partisipasi yang luas dari masyarakat dan
terwujudnya mekanisme distribusi manfaat yang adil, maka strategi yang dapat
dikembangkan adalah: Membuka ruang-ruang partisipasi yang luas bagi
masyarakat untuk ikut merumuskan serta terlibat dalam pendayagunaan tanah
terlantar, baik menyangkut pemilihan penetapan penerima manfaat maupun
perumusan program pendayagunaan.
Akomodasi atas hak-hak masyarakat berikut dalam pendayagunaan tanah
terlantar, diantaranya:
 Hak untuk mendapatkan informasi rencana pendayagunaan tanah terlantar
 Hak untuk mengajukan gugatan atas penetapan rencana pendayagunaan
tanah terlantar, baik menyangkut penetapan penerima manfaat maupun
program pendayagunaan
 Mengembangkan kelembagaan yang mampu mendistribusikan manfaat dari
pendayagunaan kepada masyarakat secara adil. Untuk ini, diperlukan
integrasi dari konsep pemberdayaan masyarakat ke dalam skema-skema
pendayagunaan tanah terlantar.

Untuk mewujudkan tata kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaan
pendayagunaan ini, serta untuk mengurangi potensi munculnya tanah terindikasi
terlantar di kemudian hari, strategi yang dapat dikembangkan adalah:
 Membangun kepanitiaan atau tim kerja yang kuat di daerah, dalam arti

representatif—mewakili sektor-sektor terkait—serta didukung dengan sistem
informasi yang memadai, terutama dalam penentuan calon penerima manfaat dan
perumusan program pemberdayaan.
 Merumuskan tahap-tahap yang jelas dalam melaksanakan distribusi atau
redistribusi tanah kepada penerima manfaatnya, dengan ketentuan yang
dapat mengurangi potensi berpindahtangannya asset masyarakat.
 Mengembangkan instrumen-instrumen untuk mengawasi pelaksanaan
pendayagunaan tanah terlantar ini, terutama dengan melibatkan partisipasi
aktif dari masyarakat.
Untuk memastikan adanya sinergi dengan sistem hukum yang ada dan
menghindari

(meminimalkan)

komplikasi

hukum

dalam

pelaksanaan

pendayagunaan, maka strategi yang dapat dikembangkan adalah:
 Membangun komunikasi intensif dengan sektor-sektor terkait, terutama
untuk membangun pengertian bersama atas klausul-klausul yang berpotensi
dapat memicu komplikasi tersebut.
Meningkatkan upaya-upaya konsultasi hukum kepada lembagalembaga yang berwenang (Mahkamah Agung maupun Mahkamah
Konstitusi) untuk merumuskan koridor-koridor hukum yang dapat
dimanfaatkan untuk pendayagunaan tanah terlantar

Dokumen yang terkait

Analisis Komposisi Struktur Modal Yang Optimal Sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Operasional Pada PT Telagamas Pertiwi Di Surabaya

1 65 76

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

PENGARUH CLIENT IMPORTANCE DAN AUDIT TENURE TERHADAP KUALITAS AUDIT (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI)

4 86 21

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Pengaruh Modal Kerja Dan Leverage Keuangan Tehadap Profitabilitas (Penelitian Pada Perusahaan Tekstil Dan Garmen Yang Terdaftar Di BEI)

10 68 1

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Oksidasi Baja Karbon Rendah AISI 1020 Pada Temperatur 700 °C Yang Dilapisi Aluminium Dengan Metode Celup Panas (Hot Dipping)

3 33 84