Transisi Aliran Air Udara Berlawanan Ar

Transisi Aliran Air - Udara Berlawanan Arah Vertikal
Pada Cairan Kecepatan Tinggi dengan Inlet Porous dan Outlet Sharp
Rahmat Edhi Hariantoa, b), Indarto dan Deendarliantoa)
a)

Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik – UGM,
Jl. Grafika No. 2, Jogjakarta 55281
Badan Pengawas Tenaga Nuklir
Jl. Gajah Mada No. 8 Jakarta 10120
b)

E-mail : r _eharianto@bapeten.go.id
Intisari

Kajian mengenai transisi aliran pada fenomena flooding aliran berlawanan arah di pipa vertikal telah
dilakukan secara eksperimen. Penelitian dilakukan untuk mempelajari permulaan flooding, aliran air-udara
berlawanan arah vertikal pada cairan kecepatan tinggi menggunakan inlet cairan dinding porous dan outlet
sharp.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pipa pleksiglass berdiameter dalam 32 mm, panjang seksi uji 3000
mm, dengan variasi debit cairan 7,47 – 17,87 lpm. Inlet cairan berdinding porous dengan lubang berdiameter 1
mm sejumlah 500 lubang.

Hasil penelitian menunjukkan permulaan flooding dengan kecepatan tinggi ini terjadi dekat outlet cairan
untuk semua debit cairan, namun secara kualitatif, aliran kecepatan yang lebih tinggi memiliki mekanisme
flooding yang berbeda dengan aliran pada kecepatan yang lebih rendah. Permulaan flooding ditandai dengan
transisi dan perubahan pola aliran. Pada aliran kecepatan rendah, flooding diawali dengan timbulnya
pembentukan aliran acak dekat outlet cairan, aliran acak merambat ke atas, diikuti aliran sumbat yang
terdorong gas, dan diakhiri dengan flooding. Sementara, pada aliran cairan kecepatan tinggi, flooding dipicu
dengan adanya sumbatan dekat dengan outlet cairan dan langsung terdorong gas, hingga terjadi flooding.
Hasil penelitian juga menunjukkan, terjadinya flooding pada cairan kecepatan tinggi lebih sulit daripada
aliran cairan pada kecepatan rendah.
Kata kunci : flooding, inlet porous, kecepatan tinggi.

1. Pendahuluan
Dalam mempelajari sistem aliran dua fase cair-gas, topik yang menarik dari keselamatan dan
termalhidrolik reaktor nuklir adalah fenomena flooding, yang berkenaan dengan batasan aliran cairan
akibat aliran gas yang berlawanan arah. Fenomena ini berkaitan dengan kecelakaan kehilangan
pendingin reaktor (Karimi & Kawaji, 1999), flooding dapat menghambat aliran pendingin yang masuk
ke dalam teras sehingga pendinginan tidak akan terjadi (Vierrow, 2008).
Karimi dan Kawaji (1999) menyatakan, meskipun telah lebih dari 50 tahun penelitian tentang
mekanisme inisiasi flooding, namun masih tidak jelas, bahkan untuk kasus yang paling sederhana.
Lagi pula, hasil penelitian yang diharapkan untuk memberikan pengetahuan mendalam tentang

mekanisme flooding masih terbatas. Vierrow (2008) menyatakan terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi awal terjadinya flooding, antara lain diameter pipa, konfigurasi masukan dan keluaran
fluida, kemiringan pipa dan karakteristik fluida.
Salah satu faktor yang berpengaruh signifikan tersebut adalah kecepatan cairan. Diduga aliran
kecepatan cairan tinggi memiliki transisi aliran berbeda dengan aliran pada kecepatan cairan rendah.
Namun begitu, penelitian yang lebih mendalam tentang pengaruh kecepatan cairan tinggi terhadap
mekanisme flooding belum banyak dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari mekanisme permulaan flooding, aliran air-udara
berlawanan arah vertikal pada kecepatan superfisial permukaan cairan tak berdimensi (Jl*1/2 > 0,5).
Alat uji yang digunakan pipa pleksiglass berdiameter dalam 32 mm, panjang seksi uji 3000 mm. Inlet
cairan menggunakan dinding porous dengan lubang berdiameter 1 mm sejumlah 500 lubang dan outlet
berbentuk sharp.

Chung dkk (1980) yang meneliti pengaruh ukuran pipa, kondisi masukan, tegangan permukaan
dan viskositas aliran di pipa vertikal menyimpulkan ukuran pipa akan berpengaruh ketika kondisi inlet
dan outlet cairan kurang halus. Flooding akan terjadi pada tempat yang memiliki gangguan terbesar.
Jika flooding disebabkan gangguan pada film cairan, pengaruh diameter pipa menjadi nyata. Semakin
besar diameter pipa, perbandingan densitas gangguan pada film cairan dan di sekeliling
masukan/keluaran cairan akan berkurang, sehingga aliran cairan pada pipa yang besar dapat menahan
laju udara yang tinggi. Dua sifat fisis cairan, yaitu tegangan permukaan dan viskositas cairan

mempengaruhi terjadinya flooding. Untuk aliran cairan yang diberikan, kecepatan kritis gas pada
dasarnya bertambah dengan bertambahnya tegangan permukaan tetapi akan berkurang jika
viskositasnya bertambah besar. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Zapke dan Kroeger (1996)
serta Wibowo dan Indarto (2002) yang meneliti pengaruh kemiringan saluran dan viskositas cairan.
Kedua penelitian tersebut menyimpulkan, semakin besar viskositas cairan, maka flooding dapat terjadi
pada kecepatan udara yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya viskositas
cairan menyebabkan film cairan makin tebal, sehingga memudahkan terjadi gangguan dan sumbatan
pada permukaan cairan.
Govan, A.H., dkk (1990) meneliti flooding pada aliran air-udara di pipa vertikal berdiameter 32
mm dengan beragam bentuk outlet cairan, yaitu porous wall, tapered outlet dan square-edge outlet
menyimpulkan, seksi uji keluaran cairan berbentuk dinding berpori memiliki dua mekanisme flooding,
yaitu pada laju cairan kecepatan tinggi, flooding disebabkan pembentukan dan pergerakan gelombang
tunggal dekat outlet cairan. Hal ini memicu terbentuknya aliran acak di atas injektor cairan. Pada
cairan kecepatan rendah, cairan bergerak ke atas tetapi membentuk aliran film yang menggantung
(hanging film). Seksi uji outlet cairan berbentuk segi empat memiliki kecepatan gas flooding yang
lebih rendah daripada keluaran cairan berbentuk berpori. Hal ini menunjukkan proses flooding
ditentukan oleh geometri saluran yang berbentuk vena contracta pada inlet gas.
Indarto (1993) telah melakukan penelitian pengaruh panjang saluran terhadap kecepatan gas
pada fenomena flooding di pipa vertikal berdiameter 40 mm. Pengamatan flooding dilakukan untuk 5
panjang film (jarak antara injektor dan aspirator) berbeda, menemukan bahwa kondisi flooding selalu

diawali oleh adanya gangguan aliran disekitar aspirator yang menyebabkan amplitudo gelombang
permukaan yang menjalar dari atas ke bawah semakin besar. Saat kecepatan gas mendekati kecepatan
flooding maka gangguan juga bertambah besar. Panjang aliran sangat berpengaruh terhadap flooding,
hal ini ditunjukkan dengan konstanta C yang semakin besar bila panjang seksi uji berkurang.
Studi eksperimental mengenai mekanisme terjadinya flooding di pipa vertikal dan pengaruhnya
terhadap panjang saluran dan diameter saluran juga telah dilakukan oleh Jayanti, S. dkk (1996) dan
Vijayan, M. dkk (2000). Keduanya menyimpulkan diameter pipa memiliki pengaruh signifikan
terhadap mekanisme flooding dimana kecepatan gas saat flooding naik seiring dengan perbesaran
diameter. Terdapat dua jenis mekanisme flooding, pada saluran berdiameter kecil, mekanisme flooding
dimulai dengan menjalarnya gelombang permukaan dari arah outlet menuju inlet. Sedang pada saluran
berdiameter besar, mekanisme flooding berupa butiran – butiran cairan yang terbawa keatas di daerah
inlet. Vijayan (2000) menambahkan, dengan menurunnya panjang seksi uji akan menunda awal
tejadinya flooding.
Penelitian mekanisme flooding saluran vertikal dengan inlet porous dan outlet sharp pada debit
cairan rendah pernah diteliti oleh Bramantya (2005) dan Yuniarto (2008). Hasilnya, mekanisme
flooding selalu dimulai dari bawah di daerah dekat pemasukan udara. Air yang mulanya membentuk
lapisan film cairan yang mengalir ke bawah secara halus terjadi ketidakstabilan aliran ketika udara
diinjeksikan akibat interaksi antar muka fase gas - cair berlawanan arah. Apabila debit udara dinaikkan,
interaksi antar fase menjadi semakin besar yang menyebabkan film cairan tidak stabil. Pada saat debit
udara mencapai nilai kritisnya, terbentuk sumbatan pada saluran yang menjalar naik ke atas (dari

outlet cairan menuju inlet cairan) kemudian naik lagi melalui saluran flooding sehingga terbentuklah
aliran air – udara searah ke atas. Fenomena ini ditunjukkan dengan kenaikan yang tajam gradien
tekanan di atas inlet cairan. Yuniarto (2008) juga menambahkan akibat sumbatan, tekanan gas di
bawah sumbatan semakin besar sehingga mendorong cairan terangkat ke atas saluran uji dan meluap
hingga resevoir atas. Sebaliknya, Shoukri dkk (1991) pada penelitiannya menemukan aliran sumbat
pada laju kecepatan tinggi (JL*(1/2) > 0,45). Hasil yang sama ditemui pada penelitian Hewitt dan
Whalley (1980), dimana pada laju cairan kecepatan tinggi, penutupan saluran uji dan pembentukan

aliran sumbat dapat terjadi pada awal mula flooding. Ditambahkan juga, Mahmudin dkk (2006) yang
melakukan meneliti pengaruh diameter terhadap kecepatan gas flooding pada bilangan Reynold cairan
6134≤ReL≤10116 menyebutkan, pola aliran yang terbentuk sebelum flooding antara lain aliran acak
dan aliran sumbat.
Flooding dapat dijelaskan seperti pada gambar 1. Jika debit udara kecil maka akan terjadi aliran
annular berlawanan arah (gb. 1a). Bila debit udara dinaikkan sedikit demi sedikit, maka akan
terbentuk gelombang pada permukaan film cairan dan timbul droplets yang terbawa oleh aliran udara.
Fenomena ini dinamakan point of flooding atau tepat saat dimulainya flooding (gb. 1b). Dan jika debit
udara dinaikkan terus, semua cairan akan terbawa oleh aliran udara ke atas. Fenomena ini disebut flow
reversal (gb. 1d).

Gambar 1. Fenomena flooding dan flow reversal pada pipa vertikal dengan sistem masukan dan

keluaran berupa dinding berpori (porous wall).
Seperti yang disebutkan oleh Vijayan (2001), terdapat beberapa korelasi yang sering
digunakan karena berlaku untuk kondisi yang cukup luas, yaitu korelasi tipe Wallis (Wallis, 1961;
Hewitt dan Wallis, 1963) dan korelasi tipe Kutateladze (Sun, 1979) Bentuk korelasi Wallis tersebut
adalah :
(1)
(J *g ) 0.5 m (J *l ) 0.5 C1
dimana :
J *k

Jk.
[ g .D.(

l

0.5
k
g

)]


0.5

; Jk

4.Q k
.D 2

(2)

2. Metodologi Penelitian
2.1 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini air sebagai cairan dan udara sebagai gas.
Susunan alat-alat penelitian dapat dilihat pada gambar 2. Saluran uji menggunakan pipa plexiglass
berdiameter dalam 32 mm sepanjang 3000 mm. Inlet cairan menggunakan media saluran berpori, yaitu
membuat lubang-lubang berdiameter 1 mm di dinding pipa tempat masuk cairan yang tersebar merata
sebanyak 500 lubang.
2.2 Cara Penelitian
Pada setiap variasi debit air, udara dari kompresor di injeksikan ke bawah saluran uji melalui
flowmeter udara. Debit udara dinaikkan perlahan-lahan, dimulai dari 0,277.10-3 m/s hingga terjadi

flooding pada tekanan 1 atm. Setiap variasi debit udara, beda tekanan di atas dan di bawah inlet cairan
dicatat, fenomena aliran dalam saluran uji juga diamati. Jika terjadi flooding, maka debit air yang naik
ke atas seksi uji juga diukur dan dicatat.
Selama pengukuran, temperatur cairan dianggap konstan (proses adiabatik). Hasil pengukuran
kecepatan cairan dan gas disajikan dalam bentuk grafik serta dicari persamaan regresinya untuk
mendapatkan korelasi antara kecepatan cairan dan udara tak berdimensi saat flooding. Hasil penelitian
juga dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

6

Air

0,5 m

1. kompresor
2. tabung udara
3. pressure gauge
4. Manometer U
5. penjebak udara
6. reservoir atas

7. inlet berpori
8. saluran seksi uji
9. outlet sharp
10. bak penampung air
11. pompa
12. kran kapasitas
13. rotameter air
14. rotameter udara
15. katup udara

1m

7
5

0,5 m

13

8

2m

4

Air

0,5 m

12
.

11

3
14

2

9
10


15
Air

1

Udara

Gambar 2. Susunan alat penelitian
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Mekanisme flooding
Pengamatan langsung terhadap mekanisme terjadinya flooding pada cairan kecepatan tinggi
menunjukkan, ketidakstabilan aliran selalu di mulai dari bawah dekat pengeluaran cairan. Pada
kecepatan udara rendah aliran film yang menempel pada dinding pipa belum mengalami gangguan.
Bila kecepatan udara dinaikkan maka amplitudo gelombang permukaan mulai membesar. Pada
kecepatan udara tertentu puncak gelombang permukaan film hampir bersatu sehingga cukup
menimbulkan sumbatan yang akan menghalangi udara. Pada kecepatan cairan rendah (debit 7,47 lpm;
9 lpm; 11,07 lpm), sumbat cairan ini akan terbawa oleh udara dengan kecepatan yang lebih besar
dalam bentuk aliran acak, dan akhirnya pada kecepatan tertentu sumbat cairan ini mencapai injektor
caran dan terlempar ke atas injektor cairan yang menandakan telah terjadi flooding. Pada kecepatan
cairan tinggi (12,38 lpm-17,87 lpm), sumbat cairan yang terbentuk di sekitar outlet cairan langsung
terdorong gas dan terjadi flooding
3.2 Visualisasi dan transisi aliran
a. kecepatan cairan rendah
Seperti yang terlihat dalam gambar 3, pipa uji dengan debit cairan 7,47 lpm, perubahan
konfigurasi aliran terjadi pada kecepatan gas (jG = 1,722 m/s).Pengamatan visual menunjukkan mulamula terbentuk formasi awal aliran acak (butiran cairan yang terangkat gas disekitar injektor gas
sepanjang 10 – 20 cm namun terdeposisi dan hilang, diikuti terlemparnya sejumlah cairan oleh
dorongan gas (Gambar 3a-b). Selain itu, pada kecepatan gas ini juga terbentuk rambatan aliran acak
yang bergerak ke atas naik turun pada seksi uji ± 10-40 cm dari injektor gas dan hilang secara
berulang-ulang. Namun, gradien tekanan pada kondisi ini masing cenderung stabil. Dorongan gas
belum mendukung cairan merambat ke atas secara berkesinambungan dan teratur (gambar 3d-e).
Ketika kecepatan gas dinaikkan sampai 1,791 m/s, rambatan aliran acak menjadi semakin lebih nyata

dan cenderung membentuk aliran sumbat yang bergerak ke atas akibat dorongan gas di sepanjang
seksi uji hingga terjadi flooding. Indikasi terjadinya flooding ditandai dengan gradien tekanan di
bawah dan di atas inlet cairan yang naik signifikan serta berkurangnya cairan yang keluar dalam seksi
uji. Fenomena yang sama juga dijumpai pada debit cairan 9 lpm, dimana formasi aliran acak dan
sumbat terjadi ketika kecepatan gas 1,510 m/s – 1,579 m/s (gambar 3h-l).

a

b

c

d

e

g

f

h

i

j

l

k

Gambar 3. Pembentukan formasi aliran acak, aliran acak yang merambat dan sumbat pada debit cairan
7,47 lpm (a-g, Jl = 0,154 m/s) dan 9 lpm (h-l, Jl = 0,186 m/s): (a) – (e), Jg = 1,722 m/s; (f)-(g), Jg =
1,791 m/s); (h)-(j), Jg =1,516 m/s, dan (k) – (l), Jg = 1,585 m/s.
b. Kecepatan cairan tinggi
Transisi aliran acak tidak dijumpai pada cairan kecepatan tinggi. Pengamatan visual
menunjukkan ketika kecepatan gas mendekati kecepatan kritis, timbul gelombang film cairan yang
besar di sekitar keluaran cairan, menutupi saluran pipa dan langsung terdorong gas hingga menjalar ke
atas dan terbentuk flooding. Dari rekaman kamera digital yang diperlambat, terlihat adanya aliran
sumbat yang terdorong gas secara cepat.

a

b

c

d

e

f

g

h

i

j

Gambar 4. Fenomena aliran sumbat debit cairan 12,38 lpm (Jl = 0,256 m/s ) dan 17,87 lpm (Jl =
0,370 m/s) : (a) – (d), Jg = 1,309 m/s; (e) – (j), Jg = 0,827 m/s.
Dengan bertambahnya kecepatan gas pada debit cairan yang sama menyebabkan gesekan
dinding berkurang secara perlahan-lahan sementara tebal film makin bertambah besar. Hal ini
disebabkan karena adanya aliran gas ke atas akan memperlambat aliran cairan ke bawah (Indarto,
1995). Dampak dari bertambahnya ketebalan film cairan mengakibatkan berkurangnya luas
penampang pipa yang ditempati fluida gas. Akibatnya terjadi gangguan/ketidakstabilan pada
permukaan aliran film dan aliran sumbat dapat terjadi lebih awal serta pembalikan aliran cairan akan
lebih cepat dibandingkan pada debit aliran cairan yang lebih rendah. Saat terjadi flooding, gesekan
dinding dan tebal film berkurang drastis sementara gesekan antar muka bertambah sedikit demi
sedikit dan membesar saat mendekati flooding (Indarto, 1995).

Shoukri, M., dkk (1991) yang melakukan kajian efek hysteresis batasan flooding pada pipa
vertikal menyimpulkan pada laju kecepatan tinggi (JL*(1/2) > 0,45), ketebalan film cairan yang mengalir
ke bawah sangat besar. Gelombang antar muka yang terbentuk di bagian bawah pipa, cukup mampu
untuk menutup saluran pipa dan membentuk aliran sumbat yang menjalar di sekitar pipa akibat
peningkatan tekanan udara di sisi bawah pipa. Dalam penelitiannya juga disebutkan memiliki hasil
yang sama ditemui pada penelitian Hewitt dan Whalley (1980), dimana pada laju cairan kecepatan
tinggi, penutupan saluran uji dan pembentukan aliran sumbat dapat terjadi di awal mula flooding.
Fenomena yang sama juga dijumpai pada penelitian Mahmudin dkk (2006) yang melakukan meneliti
pengaruh diameter terhadap kecepatan gas flooding pada bilangan Reynold cairan 6134≤ReL≤10116 di
3 diameter pipa seksi uji berbentuk vertikal (21, 24 dan 32 mm). Hasil penelitian menyimpulkan, pola
aliran yang terbentuk sebelum flooding, antara lain aliran acak dan aliran sumbat.
3.3 Kecepatan gas saat flooding
Perhitungan kecepatan gas dan kecepatan cairan tak berdimensi menggunakan persamaan (1)
dan persamaan (2, dan hasilnya diperoleh korelasi kecepatan gas dan cairan saat flooding yang
dinyatakan dengan parameter tidak berdimensi untuk berbagai debit cairan. Pada pipa berdiameter 32
mm ini dengan menggunakan korelasi Wallis diperoleh harga C = 0,951 ; (m=1). Sedangkan, pada
penelitian sebelumnya tentang studi flooding berlawanan arah dengan debit cairan 1-7 lpm yang
dilakukan oleh Yuniarto (2008) dan debit cairan 13,37x10-5m3/s – 20,13x10-5 m3/s oleh Mahmudin
(2006) di pipa berdiameter sama diperoleh masing-masing diperoleh harga C = 0,8858 dan C = 0,717 ;
m = 1 dan m = 0,515. Perbandingan hasil penelitian dengan peneliti-peneliti lain diberikan dalam
gambar 5a.

JG

*1 / 2

JL

*1 / 2

(3)

0,951

1

2,5

0,8

2

Jg (m/s)

jG*(1/2)

0,6

0,4

1,5

1
0,2

0,5
0
0

0,2

0,4

0,6

0,8

jL*(1/2)

1

0
0

Mahmudin; D (24 mm)

Mahmudin; D (32 mm)

Wallis

eksperimen

(a)

Toni; D (32 mm)

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

Re

(b)

Gambar 5. (a).Grafik hubungan korelasi kecepatan gas dan cairan saat flooding dan perbandingan
dengan penelitian lain serta (b). Grafik hubungan kecepatan gas hasil eksperimen saat flooding
dengan bilangan Reynold cairan
Hasil penelitian yang diperoleh jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Yuniarto (2008) dan Mahmudin (2006) diperoleh nilai konstanta C yang lebih besar (korelasi
persamaan 3). Dengan kata lain, semakin besar debit cairan yang digunakan, kecepatan udara yang
dibutuhkan untuk memicu flooding dan pembalikan arah cenderung meningkat. Fenomena terjadinya

16000

flooding pada cairan kecepatan tinggi cenderung lebih sulit daripada cairan pada kecepatan rendah.
Hal ini disebabkan karena perbedaan gaya inersia dan gaya gravitasi yang diperlukan untuk
mengangkat dan membalikkan cairan yang mengalir secara berlawanan arah harus lebih tinggi
daripada gaya gravitasi. Namun, hasil penelitian ini masih memenuhi korelasi Wallis, dimana
kecepatan gas kritis saat flooding menurun dengan bertambahnya debit cairan seperti yang
diperlihatkan dalam gambar 5b.
4. Kesimpulan
Aliran kecepatan cairan tinggi memiliki mekanisme flooding yang berbeda dengan aliran cairan
pada kecepatan rendah. Pada kecepatan cairan tinggi, flooding dipicu dengan adanya sumbatan dekat
dengan outlet cairan dan langsung terdorong gas, hingga terjadi flooding. Sementara pada kecepatan
cairan rendah, didahului dengan pembentukan awal aliran acak, aliran acak merambat ke atas, diikuti
aliran sumbat yang terdorong gas, dan diakhiri dengan flooding.
Hasil penelitian juga menunjukkan, terjadinya flooding pada cairan kecepatan tinggi cenderung
lebih sulit daripada aliran cairan pada kecepatan rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Bramantya, M.A., 2005, Studi Pengaruh Geometri dan Jumlah Pengganggu Terhadap Permulaan
FloodingAliran Air – Udara Berlawanan Arah pada Saluran Vertikal dengan Inlet Porous
dan Outlet Sharp, Thesis, Program Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Chung, K.S., Liu, C.P., Tien, C.L., 1980, Flooding in Two Phase Counter Current Flow II, Physico
Chemical Hydrodynamics, vol. 1 hal. 209 – 220.
Govan, A.H., Hewitt, G.F., Richter, H.J., dan Scott, A., 1990, Flooding and Churn Flow in Vertical
Pipe, International Journal of Multipase flow, Vol. 17, No.1, pp.27-44.
Indarto, 1993, Pengaruh panjang saluran terhadap kecepatan gas pada fenomena flooding, Media
Teknik No. 1 tahun XV, April 1993.
Indarto, 1995, Interaksi antar muka fase gas-cair pada aliran film, Media Teknik UGM No. 3 tahun
XVII, Desember 1995
Jayanti, S, Tokarz, A dan Hewitt, G.F., 1996, Theoritical Investigation of Diameter Effect on Flooding
in Countercurrent Annular flow, International Journal of Multiphase Flows, Vol. 22, No. 2,
pp. 307-324
Jayanti, S dan Maharudrayya, S, 2002, Investigation of Postflooding Conditions in Countercurrent
gas-Liquid Flow, AIChE Journal Vol. 48, No.2, February 2002
Karimi, G., dan Kawaji, M., 1999, Flooding in vertical counter current annular flow, Journal of
Nuclear Engineering and Design 200, (2000), pp 95-105.
Mahmudin, Kamal, S., Indarto dan Purnomo, 2006, Effect of Diameter on Flooding Velocity in
Vertical Counter Current Annular Flow, Seminar Nasional Gabungan Perkembangan
Riset dan Teknologi Di Bidang Industri ke 12, Juni 2006, UGM - Jogjakarta.
Mirmanto dan Indarto, 2000, Flooding pada Pipa Vertikal dengan Sistem Sharp Entrance : Pengaruh
Panjang Pipa dan Geometri Outlet, Media Teknik UGM No. 2 Tahun XXII.
Shoukri, M., Razzak, A.A., dan Yan, C.Q., 1991, Hysteresis Effects in Countercurrent Gas-Liquid
Flow Limitations in a Vertical Tube, Procceeding of The International Conference on
Multiphase Flows, Tsukuba – Japan.
Vierrow, K., Hogan, K.J., dan Solmos,M., 2008, Flooding Experiments and Modeling for Improved
Reactor Safety, US Japan Two Phase Flow Seminar, Texas A&M University, 2008
Vijayan, M., Jayanti, S., Balakrishnan, A.R., 2001, Effect of Tube Diameter on Flooding, International
Journal of Multiphase Flow, Vol. 27, pp. 797 – 816.
Wibowo dan Indarto, 2002, Studi eksperimen flooding pada pipa miring dengan variasi kemiringan
dan viskositas cairan, Thesis, Program Pascasarjana - UGM
Yuniarto, 2008, Pengaruh Geometri Pengganggu (Obstraksi) Terhadap Fenomena Flooding Pada
Saluran Vertikal, Tesis, Teknik Mesin – UGM, Yogyakarta.