Melintas Batas Ruang Dan Waktu Bersama G (1)

MELINTAS BATAS RUANG DAN WAKTU BERSAMA GARUDA INDONESIA
Erda Rindrasih

Percayakah kamu bahwa dunia itu indah? Dunia itu indah dan keindahannya terpancar dalam
berbagai karya sastra, lukisan, dan puisi para pujangga. Namun dari mana kita bisa menikmati
keindahan itu jika kita tidak berani keluar dari batas batas ruang dan waktu yang membentengi
kita dari kenikmatan ciptaan Tuhan. Maka dari itu rugilah kita yang hanya pasif tanpa memiliki
keinginan untuk maju. Maka inilah kisahku, tentang aku yang selalu haus untuk melihat dunia
yang baru.
Ini bukan perjalanan tentang suka suka, bukan pula tentang hura hura. Ini perjalanan penting
yang akan mewarnai bahkan mengkerangkai hidupku, yaitu perjalanan menembuh sekolah S3 di
luar negeri. Didalamnya tidak hanya suka suka tetapi ada perjuangan, ada airmata, dan ada kerja
keras. Bermula dari keinginan untuk menambah ilmu pengetahuan dan masuk dalam jajaran para
peneliti dunia, kubulatkan tekadku untuk mengambil program doktor di Belanda, di salah satu kota
penting dalam bidang ilmu bumi yaitu Utrecht. Selain itu aku ingin kembali pada bangsaku dan
mengabdikan ilmuku di Indonesia, jika itu mungkin. Meskipun banyak orang yang sering
mengeluhkan betapa sulit untuk menjadi peneliti di Indonesia karena dukungan bagi mereka
sangat rendah, tetapi aku bukan bagian dari barisan patah hati itu, aku akan menjadi yang
berbeda dan optimis dengan bangsa Indonesia. Singkat cerita, setelah melalui proses yang cukup
memakan konsentrasi dan waktu akupun diterima menjadi PhD Candidate di kampus Utrecht
University Belanda dan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Indonesia.

Berbagai persiapan telah dilakukan. Mulai dari persiapan fisik, mental, dana dan rohaniah. Pergi
dan menetap di negeri yang baru hampir seperti tercerabut dari akar akar yang menunjang ke
dalam tanah. Segala pupuk, air, temperatur, kelembaban udarapun akan berbeda dinegeri yang
baru, sehingga menuntut jiwa yang betul betul siap menerima perbedaan.
Sebulan sebelum berangkat, saya harus mengurus visa di Kedutaan Belanda di Jakarta. Bersyukur
karena surat menyurat lengkap, visa dengan mudah diberikan oleh Kedutaan Belanda. Tahap
selanjutnya yang terpenting adalah mencari tiket penerbangan dari Jakarta - Schipol. Ini adalah
tahapan yang juga tidak bisa dianggab mudah, karena butuh kejelian dan perencanaan yang
matang. Saya mulai mencari di berbagai website penyedia tiket, ada penerbangan milik negara
Qatar yg cukup murah, penerbangan milik Uni Emirat Arab juga cukup murah, milik negara
tetangga Malaysia juga cukup terjangkau. Namun tidak ada satupun dari penerbangan ini yang
menyediakan penerbangan langsung tanpa transit. Semuanya harus singgah di negeri penyedia
jasa masing masing, seperti di Kuala Lumpur, Dubai atau di Abu Dhabi. Bagi saya transit
sebenarnya bukan sesuatu hal yang perlu dipermasalahkan.
Aku hampir saja melupakan untuk mengecek tiket pesawat dari negeriku sendiri Garuda
Indonesia. Angka yang cukup tinggi untuk harga penerbangan Jakarta – Schipol tertera di layar
monitor, namun Garuda Indonesia memberikan pelayanan penerbangan langsung selama 13 jam
dari Jakarta – Schipol. Aku berjingkrak senang, karena ini berarti aku bisa tidur lama di dalam

pesawat, tak perlu naik turun dan menunggu di gate yang membosankan. Tetapi pendapat ini lain

dengan kebanyakan pendapat teman temanku. Seorang temanku mengatakan, “Ah.. Garuda
Indonesia itu ngasih tiket harganya mahal, dibandingkan pesawat lain.” Katanya seraya
menceritakan jika dia tak pernah memakai Garuda jika jalan jalan keluar negeri. Aku hanya bisa
tersenyum sembari menimpali, “Tidak apa, yang penting pelayanannya bagus, dan Garuda masuk
dalam jajaran sepuluh besar airline terbaik di dunia, trus aku juga maunya duit ku masuk lagi ke
bangsaku dan tidak memperkaya orang asing, gitu neng… ” Sahutku padanya. Dia mengangkat
alis tanda pemakluman dengan sedikit ganjalan. Akhirnya kuputuskan untuk memilih penerbangan
Garuda Indonesia, dan mengirimkannya kepada pihak sponsor soal jadwal dan waktunya karena
merekalah yang melakukan pembelian untuk kami. Tahukah pembaca, ternyata pilihan untuk
membeli tiket Garuda Indonesia adalah hal yang tepat, karena saya mendapatkan banyak
keberuntungan yang mungkin tidak saya dapat ketika menggunakan airline lain.
Pertama, aku dapat ekstra bagasi 10 kg. Hanya selang beberapa menit tiketku sudah dikirimkan
melalui email. Pihak travel mengatakan aku tak perlu mencetak tiketnya karena dengan
menunjukkan melalui smartphone pun aku bisa cek ini. Oke lah.. bagus. Mereka juga mengatakan
bahwa aku bisa membawa bagasi 40 kg dimana regulasinya 30 kg, hal ini disebabkan ada layanan
khusus untuk mahasiswa yang diperbolehkan lebih dari standar bagasi normal. Aih… senangnya,
akhirnya aku bisa membawa buku buku penting yang berat itu. Memang di perpustakaan di
Belanda buku buku tersedia dengan mudah dan bisa akses bahkan versi elektronikpun juga ada.
Namun, buku buku berbahasa Indonesia akan memudahkanku nantinya dalam memahami sebuah
konsep. Selain itu data data statistik cukup banyak yg harus saya bawa. Senangnya…

mendapatkan extra 10 kg itu seperti mendapatkan tiupan angin sejuk di siang hari yang panas.
Saya kira ini adalah pelayanan yang sangat baik dari Garuda Indonesia.
Ku bereskan semua barang barang yang hendak di bawa. Ada dua koper besar dan satu tas
rangsel yang berisi laptop dan barang barang elektronik. Koper besar yang pertama kugunakan
untuk baju dan buku buku, sedangkan koper besar yang kedua kuisi dengan makanan dan bumbu
bumbu yg mungkin akan sulit di dapat di Belanda. Dua koper besar tersebut akan masuk ke
bagasi. Kupastikan masing masing koper tidak lebih dari 20 kg, karena kadang kadang timbangan
di rumah dan timbangan di bandara sering ada selisih, sehingga kubuat 19 kg supaya aman. Great
semua sudah siap… tiket, visa, bagasi, rangsel. Tetapi hatiku menjadi sedih seketika, saat
menjabat tangan dan memeluk keluargaku tercinta, kutahan air mata, namun tak kuasa. Ia
menetes seketika bersama suara serak meminta restu dan doa dari semuanya yang hadir untuk
mengantarkanku di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta.
Kedua, petugas cek in yang perhatian dan menyemangatiku. Kumasuki gerbang keberangkatan
dengan langkah yang berat, tetapi aku harus kuat karena dengan kekuatan hati itulah cita cita
bisa diraih. Dengan mata yang masih memerah aku mengantri di depan loket cek in garuda.
Sepanjang menunggu antrian, aku hanya terus berdoa, doaku untuk keluargaku semoga mereka
selalu dalam lindungan Allah Swt, doaku untuk diriku sendiri semoga diberikan kelancaran dan
kemudahan dalam menggapai cita cita ini, doaku untuk bangsaku semoga kedamaian senantiasa
menyelimuti Indonesia, doaku untuk negeri kincir angin semoga Allah menundukkannya untuk
menjadi indah bagi pandangan mataku dan hatiku, doa terakhir kupanjatkan untuk Garuda


Indonesia dan seluruh staf dan kru yang menyiapkan penerbangan ini untukku semoga diberikan
ketaatan dan ketundukan pada aturan sehingga keselamatan selalu terjaga sampai kapanpun.
“Silahkan mbak….?” Seru petugas check in Garuda Indonesa yang membuat lamunanku berhenti.
Kuserahkan paspor dan kutunjukkan tiketku. Dengan sigab dia melayani chek in untukku.
“Nanti bagasinya langsung Schipol ya mbak!” serunya ramah
“Iya pak.” ‚ sahutku
“Mau liburan apa kerja mbak?“ tanyanya mencoba ramah
“Mau sekolah Pak.“ Sahutku
“Wah… tingkat apa nih?“ tanyanya lagi
“S3 pak..“
“Oh.. S3 ya, masih muda sudah S3.“ sahutnya kembali
Aku tersenyum saja mendengar komentar dari petugas cek in itu. Setelah menimbang bagasi dan
memberikan tanda, boarding paskupun siap. Kuucapkan terimakah kepadanya dan diapun
mengatakan kalimat yang menyejukkan,
“Selamat belajar ya mbak, semoga sukses S3nya, Indonesia menunggu mbak untuk kembali.“
sahutnya
Ah… kalimat ini sangat aneh, kalimat ini familiar ditelingaku, tetapi menjadi aneh ketika itu
diucapkan oleh petugak cek in. Kalimat itu meresap ke dalam batinku dan kuucapkan dengan
keras “SIAP PAK….” dan kamipun tertawa bersama. Aku yakin, jika aku pakai penerbangan lain

belum tentu petugas cek in akan memberikan kalimat penyemangat seperti itu. Tangis dan
sedihku berubah sejenak menjadi senyum dan semangat.
Ketiga, aku bertemu orang penting di pesawat tepat duduk disampingku. Aku berjalan memasuki
ruang tunggu. Sekitar satu jam aku menunggu dan bersyukur pesawat tidak terlambat. Aku duduk
berjajar tiga dengan dua orang lainnya di dalam pesawat. Ada salah seorang lelaki berusia 50
tahunan yang duduk disampingku, ia meminta ijin untuk duduk dengan ramah. Yang menarik
perhatianku dari bapak ini adalah, kaos yang dia kenakan berlambang institusi pemberi
beasiswaku. Ku tahan beberapa menit sebelum memberanikan diri untuk bertanya. Tetapi justru ia
yang bertanya duluan, “Ada urusan apa nih mbak ke Jakarta?” tanyanya sekedar untuk
memecahkan sunyi.
“Saya transit pak.” Jawabku
“Oh..mau ke mana emangnya?” tanyanya lagi
“Mau ke Schipol pak.” Jawabku lagi dengan nada datar

“Loh ke Belanda?” sahutnya cepat
“Iya Pak,” Jawabku lagi
“Ada perlu apa mbak?”
“Sekolah pak.”
“Bagus…hebat ya..”
“Ah tidak pak, tentu tidak mungkin jika tanpa bantuan Lpdp, yg lambangnya ada di kaos bapak.”

Sahutku
“Oh…ya ya.. ha..ha..ha… ternyata awardee LPDP ya.” Sahutnya dengan sedikit terkejut namun
senang
“Ya pak…” aku jawab dengan nyengir.
Pembicaraanpun menjadi betul betul cair. Beliau bercerita ternyata dia adalah salah satu petinggi
di Kementerian Pendidikan yang baru saja menemui seorang lulusan terbaik anak tukang becak di
Salatiga yang hendak berangkat ke UK untuk menempuh S2. Anak itu mendapatkan beasiswa
Presidential dari lembaga yang sama yang memberikan beasiswa padaku. Saat itu hampir semua
koran dan media sosial memberitakan tentangnya. Dalam perjalanan dengan Garuda Indonesia
selama satu jam ini saya seperti mendapatkan pembekalan singkat langsung dari pemberi
beasiswa saya, seakan seperti diantarkan menuju gerbang sekolah oleh Pak Satpamnya sendiri.
Saya banyak memberikan pertanyaan kepada beliau dan dia menjawab pertanyaan pertanyaan
saya dengan sabar dan teliti terutama tentang teknis pelaporan, teknis pencairan dana, dan
banyak hal lainnya. Bahkan kisah kisah di dapur pemberi beasiswapun sempat diceritakan pada
saya. Betapa beruntungnya saya.
Keempat, makanan halal. Setelah tiba di Jakarta kami berpisah di bandara dan beliau pun
berpesan untuk terus membakar semangat dan bahkan mendoakan saya supaya sukses.
Penerbangan lanjutan masih sekitar lima jam lagi, dan saya pun sudah merasakan permintaan
perut untuk diisi. Setelah makan sore saya rebahkan badan di mushola seusai sholat Magrib. Saya
menuju ruang tunggu sekitar satu jam sebelum penerbangan. Penerbangan dipagi hari jam 00.15

itu rupanya banyak didominasi oleh warga negara asing. Ada beberapa orang Indonesia yang
terlihat di ruang tunggu. Memasuki pesawat saya sudah diserang kantuk luar biasa, sehingga
langsung tertidur pulas. Beberapa jam kemudian saya terbangun untuk makan dan ke toilet. Yang
saya senangi adalah makanan di Garuda Indonesia adalah makanan halal, sehingga saya tidak
perlu repot repot memesan makanan halal sebagaimana di airline lain. Bahkan kadang kadang
mereka tidak punya menu halal, alhasil saya harus pilih menjadi herbivora alias vegetarian.
Setelah 13 jam lebih 45 menit, pesawat tiba di Schipol dengan selamat, pukul 09.00 pagi waktu
Belanda, dimana beda waktu lima jam dari waktu Indonesia bagian barat. Haru, bahagia, sedih,
penasaran bercampur menjadi satu ketika kurasai roda pesawat Garuda Indonesia menyentuh
landasan. Kuucapkan syukur di dalam hatiku.

Seorang temanku telah menunggu di bandara, dia adalah ketua Persatuan Pelajar Indonesia
Utrecht yang dengan sangat baik menyempatkan waktu menjemputku di bandara ditengah tengah
kesibukannya. Dia mengajariku banyak hal untuk hidup di negeri ini. Perjalananku sesungguhnya
dimulai saat itu. Belanda adalah gerbang untuk membuka kesempatan berjelajah dunia ke negeri
negeri lainnya, dari sana saya bisa mengunjungi menara Eifell di Paris, Acropolis di Yunani, Belgia,
Jerman dan Denmark. Bahkan aku berencana untuk menjelajah Spanyol, Itali, Praha, Turky,
Mesir, Portugal, Luxemburg, Swiss, Norway dan Arab Saudi. Kini sudah satu tahun aku di Belanda
dan pernah sekali pulang ke Indonesia untuk mengumpulkan data penelitian tentu saja dengan
Garuda Indonesia.

Mengingat

kisah

itu

setahun

yang

lalu,

aku

merasa

menggunakan

Garuda


Indonesia

memberikanku banyak keberuntungan. Mulai dari ekstra bagasi 10 kg sehingga aku bisa
membawa buku dan data, penerbangan langsung yang tidak melelahkan, petugas cek in orang
Indonesia yang relative ramah, kemungkinkan bertemu dengan orang orang penting dan makanan
yang halal. Tetapi di balik itu semua, ada kebanggaan tersendiri ketika menaiki Garuda Indonesia.
Saat aku pulang ke Indonesia untuk mencari data akupun menggunakan Garuda Indonesia, saat
melangkah memasuki pesawat aku bahkan sudah merasa seperti di rumah. Melalui tulisan ini
kuucapkan terimakasih kepada Garuda Indonesia, teruslah berjaya mengudara diangkasa dunia,
hantarkan insan insan menembus batas ruang dan waktu meraih cita cita.

#GADreamHoliday
@IndonesiaGaruda https://erdha.wordpress.com/2015/07/22/melintas-batas-ruang-dan-waktubersama-garuda-indonesia/
Melintasi

Batas

Ruang

dan


Waktu

bersama

Garuda

Indonesia