LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS MD R

LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS MDR

I. PENGERTIAN
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobakterium Tuberculosis.
TB Paru merupakan penyakt infeksi yang menyerang paru-paru yang disebabkan oleh
Mycobakterium Tuberkulosis, namun tidak menutup kemungkinan penyakit ini bisa
menyerang organ tubuh lain seperti otak, ginjal, tulang, dll (TB Ekstra Paru).
MDR / Resistensi Ganda adalah: M. tucerkulosis yang resisten minimal terhadap
Rifampisin dan INH secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lainnya.

Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB :
1. Mono-resistance : kebal terhadap salah satu OAT
2. Poly-resistance : kebal terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.
3. Multidrug-resistance (MDR) : kebal terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan
rifampicin secara bersamaan.
4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi
lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
5. Total drug resisten ( Total DR ) : Kekebalan terhadap semua OAT ( lini pertama dan

kedua ) yang sudah dipakai saat ini.

II. ETIOLOGI
Kuman Mycobacterium TB yang resisten terhadap sekurang-kurangnya Isoniasid dan
Rifampisin secara bersamaan dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya
resisten HR,HRE,HRES.

Kriteria Suspek TB MDR
Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau
lebih kriteria suspek dibawah ini:
1. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang gagal (Kasus kronik)
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi
3. Pasien TB yang pernah diobati pengobatan TB Non DOTS

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah pemberian sisipan.
6. Pasien TB kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default
8. Suspek TB yang kontak erat dengan pasien TB-MDR
9. Pasien koinfeksi TB dan HIV


III. MEKANISME TB MDR
Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis resisten secara in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin
(R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu
kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu
terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak
pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini
terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus
resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada
pasien selama mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi
galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat
atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat
obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri
menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak
terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten
OAT. Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil
penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M.
Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya

individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat.
Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati.
Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur
resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih
resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan
galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru.
Meningkatnya koinfeksi Tb HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi
penyakit dan peningkatan penularan MDR Tb.

IV. MEKANISME KLINIS
Gejala Respiratorik :
1. Batuk kering yang berangsur-angsur menjadi produktif lebih dari 3 minggu, kadangkadang bercampur dengan dahak
2. Sesak napas dan nyeri dada
Gejala Sistemik :
1. Demam terutama dimalam hari
2. Berkeringat dingin malam hari tanpa aktivitas atau sebab yang jelas
3. Penurunan napsu makan
4. Penurunan berat badan

V. PATOFISIOLOGI

Sumber penularan

M. Tuberkulosis
Saluran Pernafasan
(Droplet Nuclei, Airbone Infection)
Jaringan paru dan Alveoli

Kekebalan Spesifik terhadap MTB

Penyebaran Endogen (10%)

Sembuh (90%)

Ghon Fokus
(kuman dorman)

TB primer

Peningkatan suhu tubuh/ demam


TB Pasca primer

MK: Gangguan Termoregulasi

Keradangan endogen/ reaktivasi
Keradangan Eksoden/ reinfeksi

Sintesa dan pelepasan zat pyrogen
Hipotalamus

Infiltrasi sel-sel radang (PMN, MN, cell mast, limfosit T)
Inflamasi/ reaksi radang (rubor, kalor, dolor, tumor, fungsiolasia)
Penyebaran scr Bronchogen
Proses destruktif paru
Lesi parenkim paru
(infiltrat,fibroinfiltrat/ fibrosis, konsolidasi
eksudatif, tuberculoma, kavitas)

Penyebaran Limfohematogen
Eksudasi cairan, deposit fibrin, infiltrasi leukosit PMN


Pembesaran kelenjar limfe
(hilus, trakea, leher)

Basil TB meluas

Penekanan sal. Nafas/ bronkus
(restriksi/obstruksi)

Menembus vena pulmonalis

Penebalan alveolar capilari membran

Gas tidak dapat berdifusi dgn baik

Basil masuk sistem vaskuler
Batuk

Ekskavasi+ulserasi dinding kavitas
Pecahnya aneurisma rasmussen

Batuk darah

Kerusakan Parenkim paru

Sesak

MK: Gangguan pertukaran gas

Menginfeksi organ selain paru
MK: Gangguan pola istirahat tidur, kelelahan

Penurunan complience paru
Penurunan ekspansi paru

Pleuritis dan penebalan pleura fiseralis/parietalis

TB ekstra pulmoner

Gesekan pleura dgn dinding paru/dinding dada
MK: Potensial Sumbatan Nafas

Cemas
Syok hipovolemik

Sesak
Nyeri pleuritik
MK: Pola nafas tidak efektif
MK: Gangguan rasa nyaman nyeri

Penurunan kapasitas ventilas
Penurunan suplai O2 tubuh

Sembuh

Pengobatan

TB Paru

Gagal Pengobatan
(9 kriteria suspek)


Suspek TB MDR
Pemeriksaan DST
Positif MDR

Peningkatan kebutuhan O2 jaringan
Pengobatan
Ketidakseimbangan antara suplai O2 dgn kebutuhan
MK: Intoleransi aktivitas
Gangguan ADL
Anoreksia

MK: Resiko terjadinya efek samping obat
Resiko penyebaran infeksi
Kecemasan
Gangguan konsep diri

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi :
Gambaran thorax menunjukkan adanya lesi berupa infiltrat, fibroinfiltrat/ fibrosis,
konsolidasi/ kalsivikasi, tuberkuloma, dan kavitas.

2. Bronchografi :
Merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronchus atau kerusakan paru
karena TB.
3. Laboratorium :


Darah : leukositosis/ leukopenia, LED meningkat



Sputum : BTA S/P/S, kultur sputum gram sensitivity, sputum media LJ, DST, GeneXpert



Test Tuberkulin : Mantoux test (indurasi lebih dari 10-15 mm)

Saat ini uji kepekaan M.tuberculosis secara tepat ( rapid test ) sudah direkomendasikan
oleh WHO untuk digunakan sebagai penampisan.
Metode yang tersedia adalah:
a. Line probe assey ( LPA )



Pemeriksaan molekuler yang di dasarkan pada PCA



Dikenal dengan Hain test/ Genotiype MDRTB plus



Hasil pemeriksaan dapat di peroleh dalam waktu kurang lebih 24 jam



Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M.tuberculosiss yang
resisten terhadap rifampisi ( R ) ternyata juga resisten terhadap isoniasis ( H )
sehingga tergolong MDR

b. Gene Xpert
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 1-2 jam

VII. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB MDR mengacu kepada strategi DOTS.
1.

Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB MDR dipastikan dapat mengakses
pengobatan TB MDR yang baku dan bermutu.

2.

Paduan OAT untuk pasien TB MDR adalah paduan standar yang mengandung OAT
lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji
kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru yang ditetapkan oleh TAK.

Bila diagnosis TB MDR telah ditegakkan, sebelum pengobatan dimulai, akan dlakukan
persiapan awal, termasuk pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk
mengetahui data awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung) dan elekrolit. Jenis
pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah sama dengan jenis pemeriksaan untuk
pemantauan efek samping obat.
Persiapan sebelum pengobatan dimulai adalah:
1. Pemeriksaan fisik:
a. Anamnesa ulang untuk memastikan kemungkinan adanya riwayat dan kecenderungan
alergi obat tertentu, riwayat penyakit terdahulu seperti sakit kuning (hepatitis),
diabetes mellitus, gangguan ginjal, gangguan kejiwaan, kejang, kesemutan sebagai
gejala kelainan saraf tepi (neuropati perifer). dll..
b. Pemeriksaan fisik diagnostik termasuk berat badan, fungsi penglihatan, pendengaran,
tanda-tanda kehamilan. Bila perlu dibandingkan dengan pemeriksaan sebelumnya saat
pasien berstatus sebagai suspek TB MDR.
2. Pemeriksaan kejiwaan.
Pastikan kondisi kejiwaan pasien sebelum pengobatan TB MDR dimulai, hal ini berguna
untuk menetapkan strategi konseling yang harus dilaksanakan sebelum, selama dan
setelah pengobatan pasien selesai.
3. Pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis, biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis.
b. Pemeriksaan darah tepi lengkap, termasuk kadar hemoglobin (Hb), jumlah lekosit.
c. Pemeriksaan kimia darah:


Faal ginjal: ureum, kreatinin



Faal hati: SGOT, SGPT.



Serum kalium



Asam Urat



Gula Darah

d. Pemeriksaan hormon bila diperlukan: Tiroid stimulating hormon (TSH)
e. Tes kehamilan.
f. Foto dada/ toraks.
g. Tes pendengaran ( pemeriksanaan audiometri)
h. Pemeriksaan EKG

i. Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

Pengkajian (Doegoes, 1999)
1. Aktivitas /Istirahat
-

Kelemahan umum dan kelelahan.

-

Napas pendek dgn. Pengerahan tenaga.

-

Sulit tidur gn. Demam/kerungat malam.

-

Mimpi buruk.

-

Takikardia, takipnea/dispnea.

-

Kelemahan otot, nyeri dan kaku.

2. Integritas Ego :
-

Perasaan tak berdaya/putus asa.

-

Faktor stress : baru/lama.

-

Perasaan butuh pertolongan

-

Denial.

-

Cemas, iritable.

3. Makanan/Cairan :
-

Kehilangan napsu makan.

-

Ketidaksanggupan mencerna.

-

Kehilangan BB.

-

Turgor kulit buruk, kering, kelemahan otot, lemak subkutan tipis.

4. Nyaman/nyeri :
-

Nyeri dada saat batuk.

-

Memegang area yang sakit.

-

Perilaku distraksi.

5. Pernapasan :
-

Batuk (produktif/non produktif)

-

Napas pendek.

-

Riwayat tuberkulosis

-

Peningkatan jumlah pernapasan.

-

Gerakan pernapasan asimetri.

-

Perkusi : Dullness, penurunan fremitus pleura terisi cairan).

-

Suara napas : Ronkhi

-

Spuntum : hijau/purulen, kekuningan, pink.

6. Kemanan/Keselamatan :
-

Adanya kondisi imunosupresi : kanker, AIDS, HIV positip.

-

Demam pada kondisi akut.

7. Interaksi Sosial :
-

Perasaan terisolasi/ditolak.

Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
3. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer,
penurunan geraan silia, stasis dari sekresi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, terapi dan pencegahan berhubungan dengan
infornmasi kurang / tidak akurat.

Intervensi
Diagnosa Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :


Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.



Mendemontrasikan batuk efektif.



Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.

Rencana Tindakan :
1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan
sekret di sal. pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana teraupetik.
2. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan
frustasi.

3. Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
4. Lakukan pernapasan diafragma.
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
5. Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak
mungkin melalui mulut.
Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek
dan kuat.
R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
6. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
7. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi
yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak
kontraindikasi.
R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang
mengarah pada atelektasis.
8. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
9. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran.
Pemberian antibiotika.
Konsul photo toraks.
R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan
kondisi klien atas pengembangan parunya.
Diagnosa Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolarkapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :


Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.



Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.



Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Rencana tindakan :
1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke

sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi
yang tidak sakit.
2. Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tandatanda vital.
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress
fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan
hipoksia.
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik.
5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan
pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan
sebagai ketakutan/ansietas.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemeriksaan sputum dan kultur sputum.
Konsul photo toraks.
R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Diagnosa Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
produksi spuntum/batuk, dyspnea atau anoreksia
Tujuan : Kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil :


Menyebutkan makanan mana yang tinggi protein dan kalori



Menu makanan yang disajikan habis



Peningkatan berat badan tanpa peningkatan edema

Rencana tindakan

1. Diskusikan penyebab anoreksia, dispnea dan mual.
R/ Dengan membantu klien memahami kondisi dapat menurunkan ansietas dan dapat
membantu memperbaiki kepatuhan teraupetik.
2. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan.
R/ Keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan.
3. Tawarkan makan sedikit tapi sering (enam kali sehari plus tambahan).
R/ Peningkatan tekanan intra abdomen dapat menurunkan/menekan saluran GI dan
menurunkan kapasitas.
4. Pembatasan cairan pada makanan dan menghindari cairan 1 jam sebelum dan sesudah
makan.
R/ cairan dapat lebih pada lambung, menurunkan napsu makan dan masukan.
5. Atur makanan dengan protein/kalori tinggi yang disajikan pada waktu klien merasa paling
suka untuk memakannya.
R/ Ini meningkatkan kemungkinan klien mengkonsumsi jumlah protein dan kalori
adekuat.
6. Jelaskan kebutuhan peningkatan masukan makanan tinggi elemen berikut
a. Vitamin B12 (telur, daging ayam, kerang).
b. Asam folat (sayur berdaun hijau, kacang-kacangan, daging).
c. Thiamine (kacang-kacang, buncis, oranges).
d. Zat besi (jeroan, buah yang dikeringkan, sayuran hijau, kacang segar).
R/ Masukan vitamin harus ditingkatkan untuk mengkompensasi penurunan metabolisme
dan penyimpanan vitamin karena kerusakan jarinagn hepar.
7. Konsul dengan dokter/ahli gizi bila klien tidak mengkonsumsi nutrien yang cukup.
R/ Kemungkinan diperlukan suplemen tinggi protein, nutrisi parenteral,total, atau
makanan per sonde.

DAFTAR PUSTAKA

Marilyn, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. EGC:
Jakarta.
Mansjoer dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. FK UI: Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 1999. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, alih
bahasa Peter Anugrah. EGC: Jakarta.
Alsagaff, Hood dan Mukti, Abdul. 1995. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. UNAIR press:
Surabaya.

A.

Penetapan Pasien TB MDR Yang Akan Diobati.

Penetapan pasien TB MDR yang akan diobati dilaksanakan oleh Tim Ahli Klinis di Fasyankes
Rujukan PMDT.

Tabel 2 : Kriteria untuk penetapan pasien TB MDR yang akan diobati.
Kriteria
1. Kasus TB MDR

Keterangan
1. Hasil Uji kepekaan oleh laboratorium yang
tersertifikasi menunjukkan TB MDR
2. Suspek TB MDR no. 1, 3, 6 dengan hasil Rapid
Test yang direkomendasikan program terbukti
TB MDR
3. Suspek TB MDR dengan kondisi klinis buruk (di
luar kriteria suspek TB MDR 1,3,6) terbukti TB
MDR berdasarkan hasil Rapid Test yang

direkomendasikan program
2. Penduduk dengan alamat yang Dinyatakan dengan KTP atau dokumen pendukung
jelas dan mempunyai akses

lain dari otoritas setempat

serta bersedia untuk datang
setiap hari ke fasyankes
PMDT
3. Bersedia menjalani
program pengobatan

Pasien dan keluarga menandatangani informed
TB-

consent setelah mendapat penjelasan yang cukup

MDR dengan menandatangani dari TAK
informed consent
4. Berumur lebih dari 15 tahun

Diketahui dari Kartu keluarga atau KTP

Tabel 3 : Pasien TB MDR dengan kondisi khusus
1. Penyakit penyerta yang berat Kondisi berat karena penyakit utama atas dasar
(ginjal,

hati,

epilepsi

psikosis)
2. Kelainan fungsi hati

dan riwayat dan pemeriksaan lab
Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai normal atau
terbukti menderita penyakit hati kronis

3. Kelainan fungsi ginjal
4. Ibu Hamil

kadar kreatinin > 2.2 mg/dl
Wanita dalam keadaan hamil

Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB MDR dengan kondisi khusus diputuskan
oleh TAK. TAK dapat berkonsultasi dengan Tim PMDT Nasional.

B.

Pengobatan TB MDR

1. OAT untuk pengobatan TB MDR.
Pengobatan pasien TB MDR menggunakan paduan OAT yang terdiri dari OAT lini pertama
dan lini kedua, yang dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu :

Tabel 4: Pengelompokan OAT
Golongan
Golongan-1

Golongan-2

Golongan-3

Golongan-4

Golongan-5

3.

Jenis
Obat Lini Pertama

Obat


Isoniazid (H)



Pirazinamid (Z)



Rifampisin (R)



Streptomisin (S)



Etambutol (E)



Kanamisin (Km)



Amikasin (Am)

Golongan




Kapreomisin (Cm)
Levofloksasin (Lfx)

Floroquinolone



Moksifloksasin (Mfx)

Obat bakteriostatik lini




Ofloksasin (Ofx)
Etionamid (Eto)



Terizidon (Trd)

kedua



Protionamid (Pto)



Para amino salisilat



(PAS)
Clarithromisin

Obat suntik lini kedua


Obat yang belum terbukti 

Sikloserin (Cs)
Clofazimin (Cfz)

efikasinya

tidak 
direkomendasikan oleh 

Linezolid (Lzd)

WHO

Klavulanat (Amx/Clv)

dan

Paduan obat TB MDR di Indonesia

Amoksilin/ Asam

(Clr)


Imipenem (Ipm).

Pilihan paduan OAT TB MDR saat ini adalah paduan terstandar, yang pada permulaan
pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR (standardized treatment).
Adapun paduan yang akan diberikan adalah :
Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z(E)
a. Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris.
b. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4
bulan setelah terjadi konversi biakan. Apabila hasil pemeriksaan biakan bulan ke-8 belum
terjadi konversi maka disebut gagal pengobatan. Tahap lanjutan adalah pemberian
paduan OAT tanpa suntikan setelah menyelesaikan tahap awal.
c. Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resisten.
d. Paduan OAT akan disesuaikan paduan atau dosis pada:


Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid Test, setelah ada
konfirmasi hasil uji resistensi M.tuberculosis dengan cara konvensional, paduan
OAT akan disesuaikan.



Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga
dicurigai telah ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon
pada pengobatan TB sebelumnya, maka diberikan levofloksasin dosis tinggi. Apabila
sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin maka paduan pengobatan ditambah
PAS dan levofloxacin diganti dengan moksifloksasin, hal tersebut dilakukan dengan
pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis atau tim ad hoc.



Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagai penyebabnya.



Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Hal-hal
yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam,
penurunan berat badan.

e. Penentuan perpindahan ke tahap lanjutan ditentukan oleh tim ahli klinis.
f. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin, maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut:

Cm – Lfx – Eto –Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

g. Jika terbukti resisten terhadap kuinolon, maka paduan standar disesuaikan sebagai
berikut:
Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
Jika moxifloksasin tidak tersedia maka dapat digunakan levofloksasin dengan dosis
tinggi. Dilakukan pemantauan ketat keadaan jantung dan waspada terhadap kemungkinan
tendinitis/ ruptur tendon bila menggunakan levofloksasin dosis tinggi.
h. Jika terbukti resisten terhadap kanamisin dan kuinolon (TB XDR), atau pasien TB-MDR/
HIV memerlukan penatalaksanaan khusus yang akan dibahas dalam bab VII.

4.

Pemberian obat

a. Pada fase awal : Obat per oral ditelan setiap hari (7 hari dalam 1 minggu), Suntikan
diberikan 5 (lima) hari dalam seminggu (senin – jumat)
b. Pada fase lanjutan : Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu (hari
minggu pasien tidak minum obat)
c. Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.
d. Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut
prinsip DOT = Directly Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga
kesehatan atau kader kesehatan terlatih.
e. Piridoxin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin, dengan dosis 50
mg untuk setiap 250 mg sikloserin.
f. Berdasar sifat farmakokinetiknya pirazinamid, etambutol dan fluoroquinolon diberikan
sebagai dosis tunggal. Sedang etionamid, sikloserin dan PAS dapat diberikan sebagai
dosis terbagi untuk mengurangi efek samping.

5.

Dosis OAT

a. Dosis OAT ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan berat badan pasien.
Penentuan dosis dapat dilihat tabel 5.
b. Obat TB MDR akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan oleh petugas farmasi
fasyankes Pusat Rujukan PMDT untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir pengobatan
sesuai dosis yang telah dihitung oleh Tim Ahli Klinis. Jika pasien diobati di fasyankes
Pusat Rujukan PMDT maka paket obat yang sudah disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan
di simpan di Poli DOTS Plus fasyankes Pusat Rujukan PMDT.
c. Jika pasien meneruskan pengobatan di fasyankes sub rujukan/ satelit PMDT maka paket
obat akan diambil oleh petugas farmasi fasyankes sub rujukan/ satelit PMDT dari unit
farmasi fasyankes Pusat Rujukan PMDT setiap 3 bulan sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasien tidak diijinkan untuk menyimpan obat.
d. Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5: Perhitungan dosis OAT MDR
OAT
Pirazinamid

< 33 kg
20-30 mg/kg/hari

Berat Badan (BB)
33-50 kg
51-70 kg
750-1500 mg
1500-1750 mg

>70 kg
1750-2000 mg

Kanamisin

15-20 mg/kg/hari

500-750 mg

1000 mg

1000 mg

Etambutol
Kapreomisin
Levoflosasin
Moksifloksasin
Sikloserin
Etionamid
PAS

20-30 mg/kg/hari
15-20mg/kg/hari
7,5-10 mg/kg/hari
7,5-10 mg/kg/hari
15-20 mg/kg/hari
15-20 mg/kg/hari
150 mg/kg/hari

800-1200 mg
500-750 mg
750 mg
400 mg
500 mg
500 mg
8g

1200-1600 mg
1000 mg
750 mg
400 mg
750 mg
750 mg
8g

1600-2000 mg
1000 mg
750-1000 mg
400 mg
750-1000 mg
750-1000 mg
8g

6.

Pengobatan ajuvan pada TB MDR

Pengobatan ajuvan akan diberikan bilamana dipandang perlu:
a. Nutrisi tambahan :



Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan
pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa protein,
vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll).



Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan
mengganggu absorbsi obat, pemberian masing – masing obat dengan jarak paling
sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon.

b. Kortikosteroid.
 Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat,
gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid yang digunakan adalah
Prednison 1 mg/kg, apabila digunakan dalam jangka waktu lama (5-6 minggu) maka
dosis diturunkan secara bertahap (tappering off). Kortikosteroid juga digunakan pada
pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi.

C.

Tahapan Pengobatan TB MDR

a. Tahap awal
Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat suntikan (kanamisin atau
kapreomisin) yang diberikan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan.

1. Tahap rawat inap di Rumah Sakit
TAK menetapkan pasien perlu rawat inap atau tidak. Bila memang diperlukan, rawat inap
akan dilaksanakan maksimal 2 minggu dengan tujuan untuk mengamati efek samping
obat dan KIE yang intensif.Pada pasien yang menjalani rawat inap, TAK menenentuan
kelayakan rawat jalan berdasarkan:


Tidak ditemukan efek samping pengobatan atau efek samping yang terjadi dapat
ditangani dengan baik.



Keadaan umum pasien cukup baik.



Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan jadwal suntikan sesuai dengan
pedoman pengobatan TB MDR.

Penentuan tempat pengobatan
Sebelum pasien memulai rawat jalan, TAK menetapkan fasyankes untuk meneruskan
pengobatan. Bila rawat jalan akan dilaksanakan di fasyankes satelit/sub rujukan PMDT,
TAK membuat surat pengantar ke fasyankes tujuan.

Catatan:
Harus diusahakan desentralisasi pengobatan pasien TB MDR ke fasyankes satelit, karena bila
PMDT telah berjalan sebagai kegiatan rutin, fasyankes Pusat Rujukan PMDT tidak akan dapat
melayani pasien dengan optimal setiap hari dalam jumlah banyak, karena keterbatasan tempat,
waktu dan sumber daya.

2. Tahap rawat jalan
Selama tahap awal baik obat suntikan dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan
di hadapan PMO kepada pasien. Pada tahap rawat jalan obat oral ditelan dihadapan
petugas kesehatan/ kader kesehatan yang berfungsi sebagai PMO.

a) Pasien mendapat obat oral setiap hari, 7 hari seminggu (Senin s/d Minggu). Suntikan
diberikan 5 hari dalam seminggu (Senin sd Jum’at). Pasien menelan obat di hadapan
petugas kesehatan/PMO.
b) Seminggu sekali pasien diupayakan bertemu dokter di fasyankes untuk berkonsultasi
dan pemeriksaan fisik.
c) Pasien yang diobati di Fasyankes satelit akan berkonsultasi dengan dokter di fasilitas
rujukan minimal sekali dalam sebulan (jadwal kedatangan disesuaikan dengan jadwal
pemeriksaan dahak atau pemeriksaan laboratorium lain).
d) Dokter fasyankes satelit memastikan:


Pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan TB MDR untuk pemeriksaan dahak follow
up sekali setiap bulan. Tim PMDT fasyankes rujukan akan mengirim sampel
dahak ke laboratorium rujukan. Pasien mungkin juga dirujuk ke laboratorium
penunjang untuk pemeriksaan rutin lain yang diperlukan.



Upayakan agar spesimen dahak atau pemeriksaan lain diambil diambil di poli TB
MDR untuk lebih mempermudah pasien dan mengurangi risiko penularan.



Mencatat perjalanan penyakit pasien dan melaporkan kepada TAK di pusat
rujukan bila ada keadaan/kejadian khusus.

b. Tahap lanjutan
1. Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan
pemberian suntikan dihentikan.
2. Konsultasi dengan dokter dilakukan minimal sekali setiap bulan.
3. Pasien yang berobat di fasyankes satelit akan mengunjungi fasyankes Pusat Rujukan
PMDT setiap 2 bulan untuk berkonsultasi dengan dokter (sesuai dengan jadwal
pemeriksaan dahak dan biakan).
4. Obat tetap disimpan fasyankes, pasien minum obat setiap hari dibawah pengawasan
petugas kesehatan yang bertindak sebagai PMO.
5. Indikasi perpanjangan pengobatan sampai dengan 24 bulan berdasar adanya kasus kronik
dengan kerusakan paru yang luas.

Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling
sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan

D.

Penanganan Efek Samping

Pemantauan terjadinya efek samping sangat penting pada pengobatan pasien TB MDR, karena
dalam paduan OAT MDR terdapat OAT lini kedua yang memiliki efek samping yang lebih
banyak dibandingkan dengan OAT lini pertama.

Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB MDR mempunyai kemungkinan
untuk timbul efek samping baik ringan, sedang, maupun berat. Bila muncul efek samping
pengobatan, kemungkinan pasien akan menghentikan pengobatan tanpa memberitahukan
TAK/petugas fasyankes (default), sehingga KIE mengenai gejala efek samping pengobatan

harus dilakukan sebelum pasien memulai pengobatan TB MDR. Selain itu penanganan efek
samping yang baik dan adekuat adalah kunci keberhasilan pengobatan TB MDR.

a.

Pemantauan

efek

samping

selama

pengobatan.
1.

Deteksi dini efek samping selama pengobatan sangat penting, karena semakin cepat
ditemukan dan ditangani maka prognosis akan lebih baik, untuk itu pemantauan efek
samping pengobatan harus dilakukan setiap hari.

2.

Efek samping OAT berhubungan dengan dosis yang diberikan.

3.

Gejala efek samping pengobatan harus diketahui petugas kesehatan yang menangani
pasien, dan juga oleh pasien dan keluarga.

4.

Semua efek samping pengobatan yang dialami pasien harus tercatat dalam formulir
efek samping pengobatan.

b.

Tempat penatalaksanaan efek samping
1.

Fasyankes pelaksana PMDT menjadi tempat penatalaksanaan efek samping
pengobatan, tergantung pada berat atau ringannya gejala.

2.

Dokter fasyankes satelit PMDT akan menangani efek samping ringan sampai
sedang; serta melaporkannya ke fasyankes rujukan.

3.

Pasien dengan efek samping berat dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan
setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus segera dirujuk ke fasyankes
pusat rujukan/ sub rujukan PMDT.