Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Penelitian
Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan
dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai
tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta
bagian-bagiannya (Sunarto dan Hermawan, 2011:4). Keyakinan-keyakinan ini
bersifat dasar dalam penegertian harus diterima secara sederhana semata-mata
berdasarkan kepercayaan saja disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn
suatu kebenaran akhir.
Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln
menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism,
konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu
pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan
Hermawan, 2011:9)
Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis
semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan
struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan

makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks.
Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek
penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober
2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap
makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang,
keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik, yaitu:
meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan
bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi
dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk
perubahan sosial (Sunarto dan Hermawan, 2011:9).

Universitas Sumatera Utara

Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat
mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang
dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori
pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan
bagian dari aliran pemikiran kritis.
2.2. Kajian Pustaka

2.2.1. Semiotika
Secara etimologis semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang
berati berarti ”tanda” atau sign dalam bahasa Inggris. Semiotika adalah ilmu yang
mempelajari sistem tanda yang menjadi segala bentuk komunikasi yang
mempunyai makna antara lain: kata (bahasa). Secara terminologis semiotika dapat
didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Tanda-tanda (signs)
adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi. Menurut Littlejohn, manusia
dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya
dan banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini (Wibowo, 2010:5).
Barthes menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti
bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi
tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti
sesuatu yang lain. Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu
yang bertalian dengan tanda. Dengan kata lain, perangkat pengertian semiotik
dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada arti yang diberikan,

ada pemaknaan dan ada interpretasi. Fokus utama semiotika adalah tanda. Fiske
mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu (Bungin,
2009:167) :
a) Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan
makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang

Universitas Sumatera Utara

menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa
dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
b) Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup
cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu
masyarakat

atau

budaya

atau


untuk

mengeksploitasi

saluran

komunikasi yang tersedia untuk menstransmisikannya.
c) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
Semantara itu, menurut Littlejohn (2009:55-56) semiotik selalu dibagi ke
dalam tiga wilayah kajian, yaitu semantik, sintaktik dan pragmatik. Semantik,
berbicara tentang bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang ditunjuknya
atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda. Wilayah kedua dalam kajian semiotik
adalah sintaktik atau kajian hubungan di antara tanda-tanda. Tanda-tanda
sebetulnya tidak pernah berdiri dengan sendirinya. Hampir semuanya selalu
menjadi bagian dari sistem tanda atau kelompok tanda yang lebih besar yang
diatur dalam cara-cara tertentu. Kajian utama semiotik yang ketiga pragmatik,
memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan

manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada
kehidupan sosial.
Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh
pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika
dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak
pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki
kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula
diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk
pemikirannya.
Sebuah tanda menurut Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili
sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu,
dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan
mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas
icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011: 14):

Universitas Sumatera Utara

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu
mudah dikenali oleh pemakainya.
2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial

di antara representamen dan objeknya.
3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan konvensional
sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.
Kategori tipe tanda menurut Peirce digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.
Kategori Tipe Tanda dari Peirce
Ikon

Indeks

Simbol

Sumber : Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif ( 2010), hal: 168

Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya
bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce
ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali
semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa
secara keseluruhan (Sobur, 2004:97).

Maksud dari makna dalam Segitiga Peirce adalah panah dari dua arah
menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya
dengan unsur yang lain. Namun ketika ketiga elemen tersebut berinteraksi dalam
benak seseorang, maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda
tersebut. Maka muncul sebuah tanda ketika digunakan pada saat berkomunikasi.
Bagi Peirce, tanda sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi
disebut ground oleh Peirce. Konsekuensinya, tanda (sign ataurepresentamen)
selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object dan interpretand.
Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang
dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign

Universitas Sumatera Utara

adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah,
lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada
pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai
keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma

yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan
hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41).

Peirce juga menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium
tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam
kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun
gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang,
suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa
tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berarti
berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.
Ahli semiotika lainnya Ferdinand

de Saussure lebih terfokus pada

semiotika linguistik. Saussure menyerang pemahaman historis terhadap bahasa
hanya berfokus kepada prilaku linguistik yang nyata. Berbeda dengan Peirce,
Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier ) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi,
sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas
sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas
bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan
bersama dalam komunitas bahasa.
Kode merupakan sistem pengorganisasian tanda. Kode mempunyai

sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit tanda). Dalam semiotik, kode dipakai
untuk merujuk pada sistruktur peilaku manusia. Budaya dapat dilihat sebagai
kumpulan kode-kode. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke
dalam kode. Pertama, paradigmatik yang merupakan sekumpulan tanda dan dari
dalamnya dipilih satu untuk digunakan. Dalam semiotik, paradigmatik digunakan
untuk mencari simbol-simbol yang ditemukan dalam teks yang bisa membantu
memberi makna. Kedua, sintagmatik yang merupakan pesan yang dibangun dari
paduan tanda-tanda yang dipilih. Dalam bahasa misalnya, kosakata adalah
paradigma dan bahasa adalah sintagma (Kriyantono, 2008:269).

Universitas Sumatera Utara

Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified
sebagai berikut:

Gambar 2.
Elemen-Elemen Makna dari Saussure

Sign


Composed of

Signification
Signifier

plus

Signified

(physical

(mental

existence

concept)

external reality
of meaning


of the sign

Sumber : Alex Sobur, Analisis Teks Media (2004), hal: 125

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier .
Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan
signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna

terhadap dunia (Sobur, 2004: 125).
Dalam mengkaji mitos di dunia media dan budaya populer, perspektif
semiotika struktural pasti tidak dapat melepaskan gagasan-gasan yang dikeluarkan
pemikir strukturalis Perancis, Roland Barthes. Pemikiran Barthes bukan saja
melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia
melampaui Saussure, ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis melalui
apa yang ia sebut mitos.

Universitas Sumatera Utara

Barhes melakukan temuan penting dalam kajian semiotika yang dahulu
berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan
kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan
budaya populer dan media massa. Barthes adalah pengembang utama ide-ide
Saussure pada area kehidupan sosial.
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan
antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal.
Barthes menyebut ini sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda.
Signifikasi tahap kedua merupakan gambaran interaksi yang terjadi ketika tanda
bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan dan ini disebut dengan istilah konotasi
yang kemudian menghasilkan mitos.

2.2.2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama, eksponen penerapan
strukturalisme dan semiotika padaa studi sastra. Salah satu area penting yang
dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the
reader ). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan

pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang
sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke dua, yang dibangun di atas
sistem lain yang telah ada sebelumnya.
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam
tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini
mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Kemudian
signifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna
konotasi).

Universitas Sumatera Utara

Mitos terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem
sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian

memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang
memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka
makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Barthes menciptakan peta tentang
bagaimana tanda bekerja :
Gambar 3
Peta Rholand Barthes
1. Signfier

2. Signified

(Penanda)

(Petanda)

3.

Denotative sign (Tanda Denotatif)

4.

CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5.CONNOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA
KONOTATIF)

5.

CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber : Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
2004. hal: 69

Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek
fisik) yang dapat ditunjukkan dengan foto yang sedang diteliti. Pada saat yang
bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah
juga penanda konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari
penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes
adalah mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda (1).
Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol)
dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan
interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi
penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam
konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.

Universitas Sumatera Utara

Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi, yaitu makna
tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis
konotasi ini bekerja dalam tingkat subjektif. Semiologi Roland Barthes
menekankan pada peran pembaca (reader ), peran di sini berarti walaupun sebuah
tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja
dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam semiologi Roland
Barthes, kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks nantinya akan dicari
makna riil-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu tanda dengan tanda
lainnya akan dicari makna tersirat didalamnya (konotasi).
Tradisi semiotika meyakini manakala realitas media telah terpajang di
hadapan publik atau khalayaknya maka media seketika kehilangan otoritasnya
untuk memaksa tafsiran makna yang dikehendaki. Pemaknaan pun berpindah ke
tangan pembaca, pembaca boleh semena-mena karena tafsir realitas tergantung
pengalaman kebudayaan yang dipunyainya. Inilah kira-kira yang diimajinasikan
oleh Roland Barthes, ketika ia menggambarkan bagaimana otoritas pembuat
simbol telah berakhir dan pemaknaan pun

telah beralih ke tangan pembaca

(Sunarto dan Hermawan, 2011:233).
Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana
naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya
sebagai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading)
dengan panjang pendek bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila
diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan
dengan teks lain disekitarnya, adalah sebuah leksia. Sebuah leksia bisa berupa apa
saja, berupa satu-dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah
paragraf (Budiman, 2003:53).
Dimensinya tergantung kepada kepekatan (density) dari konotasikonotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses
pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran pertama
diantara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah
sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran
pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003 : 54).

Universitas Sumatera Utara

Bagi Roland Barthes, di dalam teks beroperasi lima kode pokok (five
major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang

ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004:65-66) :
1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam
teks, kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi
tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara
pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam
cerita.
2. Kode Proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain
semua teks bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat
dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi.
Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat
memahaminya.
3. Kode Simbolik, merupakan aspek pengodean yang paling khas bersifat
struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes pascastruktural.
Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan
nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan.
4. Kode Kultural (Kode Gnomik), kode ini merupakan acuan teks ke
benda-benda yang sudah diketahui dan sudah dikodifikasi oleh budaya.
Menururt Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan kepada
apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya
adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis
bertumpu.
5. Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat
bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat
dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita
melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema
di dalam cerita.
Selain penanda teks (leksial) dan lima kode utama yang telah
dijelaskan diatas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland
Barthes adalah :
1. Penanda dan Petanda
Umberto Eco (dalam wibowo, 2011:7) menyebut tanda sebagai suatu
‘kebohongan’ dan di dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya.
Tanda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanda nonverbal yang ada
dalam rubrik Exposure pada majalah Popular edisi Oktober 2011. Semiotika
menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah
tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai
arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tidak perlu

Universitas Sumatera Utara

harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu
tertentu.
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier ) dengan
sebuah ide atau petanda (signified). Menurut Barthes, penanda adalah “bunyi
yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek
material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau
dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep.
Singkat kata, petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2004:46).

2. Denotasi dan Konotasi
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.
Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat
dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda.
Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok
kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa
atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif (Sobur, 2004: 263).
Denotasi merupakan definisi objektif yang bersifat umum. Tingkat pertandaan ini
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan
rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan
pasti.
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi
sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Makna konotatif bersifat subjektif
dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena
sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa
dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh
mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut
mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif
maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki
konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi negatif (netral) (Sobur, 2003:264).
Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna
yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan. Konteks dalam hal

Universitas Sumatera Utara

ini untuk memecahkan masalah polisemi. Sedangkan pada makna konotatif,
konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Sedangkan konotasi adalah
aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau
pikiran yng timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar. Konotasi
membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Secara umum (bukan bahasa),
konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang
bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan,
peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan
sebagainya. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: Merah bermakna
konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung.

3. Paradigmatik dan Sintagmatik
Barthes adalah seorang pengikut aliran Saussure. Dari jalur Saussurean,
membaca dan mensturkturkan teks dapat dilakukan dalam dua langkah, yaitu
sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik melihat teks sebagai suatu
rangkaian dari satuan ruang dan waktu yang membentuk teks. Pada tingkat
selanutnya, pemaknaan berikutnya dilakukan secara paradigmatik. Setiap tanda
berada dalam kodenya sebagai bagian dari suatu paradigma, suatu relasi in
absentia yang mengabaikan tanda tersebut dengan tanda-tanda lain ( Sunarto dan

Hermawan, 2010:240).
Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk
menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan
tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Ia terdiri dari satu perangkat tanda dan hanya
satu unit dari perangkat itu yang dapat dipilih untuk memaknai sebuah tanda.
Contoh dari penerapan paradigmatik dalam satu sistem fashion adalah ketika
manusia dapat memilih akan mengenakan kemeja, gaun, atau setelan jas saat pergi
ke pesta. Analisis paradigmatik menunjukkan bahwa suatu tanda adalah pilihan
dari berbagai pilihan tanda lain yang tidak hadir.
Begitu juga analisis sintagmatik menampakkan bahwa susunan suatu tanda
adalah pilihan yang ada untuk merangkai tanda menjadi makna. Seseorang dapat
memilih untuk mengenakan kemeja itu di badan atau di kaki berdasarkan
keputusan kulturalnya. Pemilihan satu item atas item lain dalam satu kerangka

Universitas Sumatera Utara

yang sama adalah pilihan paradigmatik. Adapun susunan pakaian dari ujung
rambut ke ujung kaki seseorang adalah satu susunan sintagmatik.

4. Mitos
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang relitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas
sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos tidak dibentuk melalui
penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang
digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat (Wibowo,
2011:17).
Mitos tidak didefenisikan oleh objek pesannya, tetapi oleh caranya
menyatakan pesan, tidak ada batas-batas formal bagi mitos, tidak ada batas-batas
yang substansial (Barthes, 2010: 296). Di dalam mitos juga terdapat pola dimensi
penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos
dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan
kata lain, mitos adalah juga sebuah sistem pemaknaan tataran kedua. Pada saat
media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif yang
nantinya menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk
pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional,
legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan, dan
ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe
wicara (Barthes, 2004:152). Suatu mitos dapat menjadi pegangan atas tanda-tanda
yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Pemikiran Barthes tentang mitos di satu sisi masih melanjutkan
pengandaian Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda
dan petanda. Maka tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung
berhenti sebatas pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara
bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih
mendalam,

yakni

pada

level

konotasi.

Konotasi

bagi

Barthes

justru

mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini
mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Suatu tanda dapat mempunyai
berbagai konotasi namun konotasi dominan atau dari mereka yang berkuasa yang

Universitas Sumatera Utara

diterima sebagai konvensi bersama. Di sinilah konotasi tersebut berubah menjadi
mitos.

2.2.3 Feminisme Eksistensialis
2.2.3.1 Pengertian dan Macam-Macam Aliran Feminisme
Para pemikir fenimisme memfokuskan perhatiannya pada masalah gender
dan berupaya untuk membedakan antara pengertian ‘jenis kelamin’ (sex) yang
merupakan kategori biologis dengan ‘gender’ yang merupakan konstruksi sosial
(Morrisan & Wardhany, 2009:40). Didalam buku Sugihastuti (2000:37) terdapat
dua penjelasan mengenai feminisme. Pertama adalah penjelasan dari Moeliono,
yang menjelaskan bahwa feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Dan yang kedua, Geofe
mendefinisikan fenimisme sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan
wanita di bidang politk, ekonomi, sosial, atau kegiatan terorganisasi yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.
Upaya yang dilakukan oleh para ‘feminis’ (sebutan untuk mereka yang
mendukung paham feminisme) pada dasarnya lebih dari sekedar studi mengenai
gender, namun juga menawarkan berbagai teori yang memfokuskan perhatiannya
pada pengalaman perempuan dan menjelaskan hubungan antara gender sebagai
salah satu kategori sosial dengan kategori sosial lainnya, seperti : ras, etnik, kelas
dan seksualitas.
Munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi
sosial gender yang ada mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi
cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan
ketimpangan struktur, sistem, dan tradisi dalam masyarakat kemudian melahirkan
kritik feminis yang termanifestasikan dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui
sikap, penulisan artikel, novel maupun melalui media lainnya. Menurut Kasiyan
(Sugihastuti, 2007:96-97) feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam
karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar yang
memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender.
Beberapa aliran yang dikenal dalam gerakan ini, antara lain adalah :

Universitas Sumatera Utara

1. Feminisme Liberal
Feminis liberal muncul sebagai kritik terhadap paham liberal yang
umumnya menjunjung tinggi persamaan dan kebebasan individual namun pada
saat yang sama masih mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasarnya adalah
bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan
dan kapasitas rasio.
Feminisme liberal menghendaki reformasi sistem dan budaya masyarakat
yang diskriminatif serta integrasi perempuan dalam berbagai peran di bidang
ekonomi, politik, sosial dan pendidikan bersama-sama dengan kaum laki-laki.
Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin dominan yang
melakukan opresi terhadap yang lain sehingga tercipta kesetaraan gender.

2. Feminisme Radikal
Feminisme radikal mengklaim, sistem patriarkal sebagai sumber opresi,
ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi. Maka dan itu, sistem
patriarkal tidak dapat dibentuk ulang, melainkan harus dicabut hingga akarnya
untuk memberikan jalan bagi pembebasan kaum perempuan.

Feminisme ini

muncul pada abad 19, dengan mengangkat isu utama perlawanan terhadap
legalitas budaya patriarki, untuk mengkritisi gerakan feminisme liberal yang
dianggap tidak cukup drastis dan dramatis. Sebagai fokus bagi perkembangan
pemikirannya, aliran feminisme radikal berfokus pada seks, gender dan
reproduksi sebagai penyebab fundamental opresi terhadap perempuan.
Pada tahun-tahun selanjutnya, semakin jelas bahwa meskipun feminisme
radikal secara prinsip setuju bahwa seks, gender dan reproduksi adalah bentuk
opresi yang pertama, yang paling menyebar dan paling dalam; tidak terdapat
kesepakatan dalam kalangan ini mengenai sifat dan fungsi elemen-elemen tersebut
maupun cara terbaik untuk menghapuskan opresi terhadap perempuan.
Sebaliknya, dengan kemunculan berbagai pemikiran yang berbeda, komunitas
feminis radikal terbagi menjadi dua kubu, feminisme radikal libertarian dan
feminisnie radikal kultural.

3. Feminisme Marxis dan Sosialis

Universitas Sumatera Utara

Kelompok feminisme ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang
menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan
perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.
Penganut feminisme marxis tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki
sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya
merupakan penyebab masalahnya.
4. Feminisme Posmodern
Feminis posmodern hidup dalam lingkungan masyarakat yang telah
memberikan hak-hak yang setara dan berbagai keuntungan bagi kaum perempuan.
Maka dari itu, wacana publik era 1980an dan 1990an menyatakan secara tidak
langsung bahwa karena perempuan telah mencapai kesetaraan dengan laki-laki,
gerakan protes tidak perlu dilanjutkan lagi. Jika tidak, perempuan akan menjadi
lesbian dan pembenci laki-laki.
5. Feminisme Eksistensialis
Simon de Beauvoir, salah satu tokoh utama dalam aliran feminisme ini
memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha menyingkapkan struktur-struktur dari
pengalaman hidup perempuan, khususnya yang berkaitan dengan pengalaman
tubuhnya. Sementara, perhatian tokoh lainnya Jean Paul Sartre, hanya terfokus
pada masalah tubuh dalam bentuk kesadaran.

2.2.3.1 Sejarah dan Perkembangan Feminisme Eksistensialis
Feminisme Eksistensialis merupakan salah satu jenis aliran pemikiran
feminis. Aliran ini dipelopori oleh Simone De Beauvoir yang terkenal dengan
bukunya yang berjudul The Second Sex. Paham-paham Beauvoir dalam feminisme
eksistensialis ini dipengaruhi oleh paham eksistensialisme dalam filsafat milik
Jean Paul Sartre. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat
yang menekankan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus
bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi,
dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ciri-ciri pemikiran filsafat eksistensialisme adalah (Syarifah, 2006:55) :
1. Pertama, kata eksistensi menunjukkan “cara manusia berada”, karena
hanya manusia yang bisa bereksistensi. Maka, pusat perhatiannya ada
pada manusia, dan oleh sebab itu pula eksistensialisme bersifat
humanistis (menunjung tinggi nilai dan martabat manusia, yang

Universitas Sumatera Utara

menjadikan manusia sebagai ukuran semua hal yang menyangkut atau
berkaitan dengan keutamaan).
2. Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis, yaitu berbuat,
menjadi, merencanakan. Kedinamisan ini membuat setiap manusia
menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.
3. Ketiga, menjadi lebih atau kurang dari keadaannya menunjukkan bawa
manusia adalah realitas yang belum selesai yang masih harus dibentuk.
Hal ini terutama, karena manusia terikat pada dunia sekitarnya,
terutama pada sesama manusia.
4. Keempat, sebagai realitas yang belum selesai, pengalaman konkret,
pengalaman kognitif manusia menjadi sangat penting dan harus
mendapat perhatian utama untuk memahami cara manusia berada.
Sartre membuat perbedaan antara pengamat dan yang diamati dengan
membagi Diri ke dalam dua bagian, yaitu Ada untuk dirinya sendiri dan Ada
dalam dirinya sendiri. Ada dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran
material repetitif yang dimiliki oleh manusia dengan binatang, sayuran dan
mineral. Ada untuk dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan
berkesadaran yang hanya dimiliki oleh manusia. Perbedaan antara Ada dalam
dirinya sendiri dan Ada untuk dirinya sendiri berguna dalam melakukan analisis
tentang manusia, terutama jika kita mengasosiasikan Ada dalam dirinya sendiri
dengan tubuh. Tubuh mempunyai kehadiran yang konstan dan objektif. Karena
tubuh dapat dilihat, disentuh, didengarkan dan dirasakan. Sebaliknya, yang
melihat, entitas yang melakukan tindak melihat, menyentuh, mendengar,
mencium, dan merasakan bukanlah objek yang semata-mata dapat dilihat,
melainkan menurut Sartre, masih mempunyai sejenis ke-Adaan. Konsep Sartre
yang paling dekat dengan feminisme adalah ”ada untuk orang lain”. Ini adalah
filsafat yang melihat relasi-relasi antar manusia. Sayangnya dalam hal relasi
antara laki-laki dan perempuan, laki-laki mengobjekkan perempuan dan
membuatnya sebagai “yang lain” (Liyan). Jadi dalam hal ini laki-laki adalah
subyek dan perempuan adalah objek (Tong, 2010: 255).
Beauvoir mengemukakan, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus
mensubordinasi perempuan dalam dirinya. Ia menyebutkan ada tiga jenis
perempuan yang memainkan peran perempuan sampai ke puncaknya. Mereka
adalah pelacur, narsis dan perempuan mistis. Peran pelacur merupakan paradigma
perempuan sebagai Liyan, sebagai objek yang dieksploitasi. Dia melacurkan
dirinya bukan hanya untuk uang, tetapi juga untuk penghargaan yang ia dapatkan

Universitas Sumatera Utara

dari laki-laki sebagai bayaran bagi “ke-Liyanannya”. Tidak seperti istri atau
kekasih, pelacur mendapatkan imbalan karena menjadikan tubuhnya sebagai alat
pemenuhan mimpi laki-laki, yaitu ; “kemakmuran dan ketenaran”.
Peran feminin yang bahkan lebih problematik daripada pelacur adalah
narsis. narsisme pada perempuan adalah hasil dari ke-Liyanannya. Perempuan
merasa putus asa sebagai subjek karena ia tidak diperkenankan untuk terlibat
dalam kegiatan mendefinisi diri, dan arena kegiatan femininnya tidaklah
memberikan kepuasan. Perempuan kemudian menjadi objek penting atas dirinya
sendiri. Perempuan mempercayai bahwa dirinya adalah suatu objek atas
keyakinan yang ditegaskan orang disekitarnya. Perempuan terpesona bahkan
menjadi obsesif terhadap citranya sendiri. Rasa menjadi subjek dan objek pada
saat yang bersamaan, tentu saja merupakan ilusi semata. Seorang narsis dengan
cara tertentu yakin bahwa ia merupakan sintesis mustahil dari Ada untuk Dirinya
sendiri dan Ada pada Dirinya sendiri. Akhirnya narsisme menghambat kemajuan
diri perempuan. Ia menjadi terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi hasrat lakilaki dan untuk menyesuaikan diri dengan selera masyarakat.
Penghargaan diri seorang narsis tergantung kepada penilaian laki-laki dan
masyarakat terhadap dirinya. Ia hanya cantik jika masyarakat menyatakan bahwa
ia cantik. Ia sendiri tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk menyatakan
kecantikannya. Banyak perempuan terobsesi pada penampilan, sehingga mereka
berusaha untuk memperbaiki penampilannya yang sesungguhnya merupakan jalan
agar perempuan tadi indah untuk dilihat oleh laki-laki. Dengan kata lain laki-laki
akan lebih terpuaskan menjadikan perempuan sebagai objeknya.
Lalu yang ketiga dan yang paling problematik adalah perempuan mistis.
Perempuan mistis ini tidak dapat membedakan antara Tuhan dengan laki-laki dan
laki-laki dengan Tuhan. Perempuan dalam kategori ini berbicara tentang Diri yang
Agung dan kemudian membicarakan laki-laki adalah Dewa. Dari segi feminisme
ini dilihat bahwa perempuan selalu menjadi objek terutama di dunia yang sifatnya
sangat patriarkal ini, dunia perempuan selalu akan dimasukkan ke dalam dunia
laki-laki sebagai bukti penguasaan laki-laki terhadap perempuan.
Aliran feminisme eksistensialis dianggap sesuai dalam penelitian ini
adalah karena feminism ini memfokuskan perhatiannya pada masalah eksistensi

Universitas Sumatera Utara

dan kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri. Di dalam objektivikasi perempuan,
misalnya dalam pornografi, perempuan seolah kehilangan eksistensi atas tubuhnya
sendiri.
2.2.4 Foto
Foto sering digunakan dalam karya-karya desain visual dikarenakan foto
memiliki sebuah kekuatan yang tak dimiliki oleh elemen lainnya, yakni
kredibilitasnya atau kemampuannya untuk member kesan sebagai bukti yang
dapat dipercaya karena foto memiliki tingkat kemiripan yang tinggi dengan
keadaan asli obek. Daya tarik sebuah foto, terutama dalam sebuah majalah sangat
besar bagi pembacanya. Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kodekode yang mempunyai makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan
hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan Konsep yang
bermanfaat bagi analisis seni populer dan media. Berbagai elemen terdapat dalam
kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara
lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:
Tabel 1
Teknik Dalam Pengambilan Gambar
Penanda (Signifier)

Petanda (Signified)

Pengambilan Gambar
Ekstreme Long Shot

Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot

Hubungan Sosial

Big Close Up

Emosi, dramatik, moment pentin

Close Up

Intim atau dekat

Medium Shot

Hubungan personal dengan subjek

Long Shot

Konteks perbedaan dengan publik

Sudut Pandang (Angle) Pengambilan Gambar:
High

Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye-Level

Kesejajaran, kesamaan dan sederajat

Low

Didominasi, dikuasi dan kurang otoritas

Fokus
Selective Focus

Meminta perhatian (tertuju pada satu

Universitas Sumatera Utara

objek)
Soft Focus

Romantis serta nostalgia

Deep Focus

Semua unsur adalah penting (melihat
secara keseluruhan objek)

Pencahayaan
High Key

Riang, cerah

Low Key

Suram, muram

High Contras

Dramatikal, teatrikal

Low Contras

Realistik dan terkesan dokumenter

Pewarnaan
Warm (kuning,oranye, merah, abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat, agitasi

Cool (biru, hijau)

Pesimisme

Black and White

Realisme, aktualitas, faktual

Sumber : Keith Selby dan Ron Coedery,. How to Study Television (1995). London
: Mc Millisan.

Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah
satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan bagaimana akhirnya
gambar (foto maupun film) dihasilkan. Pengambilan gambar secara extreme long
shot dapat menggambarkan wilayah yang luas yang diambil dari jarak yang sangat

jauh. Pengambilan gambar secara long shot membuat subjek hanya sebagai bagian
kecil saja dari objek yang ditampilkan dalam gambar. Kesan yang muncul adalah
ketidakberatian subjek. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada
apabila long shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian atau suatu
peristiwa yang tampak dari gambar tersebut.
Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang ditampilkan
sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar.. Kesan yang nampak dari
gambar seperti ini adalah kesan personal. Pengambilan gambar dalam bentuk
close up, ukuran subjek lebih besar daripada setting atau latar subjek. Kesan yang

muncul dalam gambar seperti ini adalah kesan intim dan dekat dengan subjek.
Pembaca atau orang yang melihat diajak untuk lebih memperhatikan.

Universitas Sumatera Utara

Pengambilan gambar dalam bentuk big close up, subjek bukan hanya ditampilkan
dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar.
Selain pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai suatu
gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Apakah gambar yang
diambil sejajar dengan camera person, diambil dari atas atau diambil dari bawah.
Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan
memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari khalayak
yang melihatnya. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan
khalayak atau orang berada diatas subjek. Posisi semacam ini secara tidak
langsung memposisikan orang yang ada diatas lebih powerfull (kekuasaan) dan
lebih mempunyai otoritas.
Subjek yang diambil dari bawah (low angle shot), sebaliknya membuat
subjek lebih besar dan memposisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar
mempunyai posisi lebih tinggi dari mata pemandang. Kesan yang muncul dalam
angle seperti ini subjeklah yang lebih terkesan lebih powerfull, lebih otoritatif

dibandingkan dengan posisi khalayak atau pemandang. Gambar yang diambil
dengan eye level shot, memposisikan subjek dan pemandang sama. Kesan yang
muncul baik dari subjek maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan
setara.
Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu
diperhatikan dalam menganalisis foto. Fokus adalah kegiatan mengatur ketajaman
objek foto yang telah dijadikan point of interest pada saat komposisi. Dilakukan
dengan cara memutar ring fokus pada sehingga terlihat pada kaca pembidik, obek
yang tadinya tidak tajam dan tidak jelas, menjadi fokus dan tajam serta jelas
bentuk dan tampilannya (Mirza, 2004:48).

2.2.5 Objektivikasi Perempuan Dalam Media Massa
Objektivikasi pada perempuan berarti kegiatan menjadikan perempuan
sebagai hal perkara atau orang yang menjadi pokok pikiran, sasaran, tujuan,
pelengkap atau tujuan penderita. Objektivikasi terjadi, ketika seseorang, melalui
sarana-sarana sosial direndahkan derajatnya, dijadikan benda atau komoditas,
dibeli atau dijual. Objektivikasi merupakan titik sentral dalam diskriminasi.

Universitas Sumatera Utara

Dalam objektivikasi ini perempuan mengalami penundukan yang membuat
mereka berada di tempat terendah dalam hirarki superioritas laki-laki (Syarifah,
2006:153).
Pada praktik objektivikasi, tubuh perempuan dianggap sebagai objek yang
untuk dilihat dan dievaluasi. Perempuan hanya dinilai berdasarkan bagaimana
penampilannya dan bukan berdasarkan kualitas pada dirinya. Hal tersebut akan
membuat

perempuan

menjadi

terobsesi

pada

penampilan

dan

sangat

mementingkan keindahan fisiknya. Perempuan akan merasa tidak puas dengan
tubuhnya bila dianggap tidak memenuhi standar kecantikan yang dibentuk oleh
media massa.
Menurut Yohanes Paulus II (Hardiman, 2010:306), di dalam film dan di
dalam seni fotografi, tubuh manusia tidak diperlakukan sebagai sebuah model
yang telah mengalami proses transfigurasi dalam bentuk karya seni. Disini yang
terjadi adalah reproduksi atas tubuh manusia yang diperoleh dengan menggunakan
bantuan teknologi yang handal. Tubuh bukan lagi sebuah model transfigurasi,
melainkan objek reproduksi.
Berdasarkan teori objektivikasi, tubuh perempuan dianggap sebagai objek
untuk dilihat dan dievaluasi. Budaya masyarakat yang mengobjekkan tubuh
perempuan, mensosialisasikan perempuan untuk memperlakukan dirinya sebagai
objek yang dievaluasi atas dasar penampilan. Tiggerman dan Lynch
mendefinisikan objektivikasi diri sebagai pikiran dan penilaian individual tentang
rubuh yang lebih berasal dari perspektif orang ketiga, berfokus pada atribut tubuh
yang tampak, daripada perespektif orang pertama yang berfokus pada hak
istimewa yang dimilikinya atau atribut tubuh yang tidak tampak, seperti apa yang
mampu dilakukan oleh tubuh tersebut (Suprapto dan Aditomo, 2007:187).
Subordinasi seksual menjadi kata kunci dalam merumuskan dominasi yang
menghasilkan penindasan perempuan. Kata subordinasi seksual inilah yang dapat
dipakai untuk membedakan penindasan atas diri perempuan dari bentuk
penindasan lainnya, misalnya yang berbasis agama, kebangsaan, kelas, ekonomi
dan sebagainya. Secara umum, kata subordinasi itu sendiri mengimplikasikan
beberapa unsur tertentu yang menggambarkan keadaan subordinasi. Pertama,
hirarki superioritas yang dialami perempuan secara sosial. Kedua, objektivikasi

Universitas Sumatera Utara

pada perempuan dan ketiga, penundukan yang menempatkan perempuan di
tempat terendah dalam hirarki superioritas dan menjadi orang yang patuh dan taat.
Fenomena penggunaan tubuh perempuan dalam media massa ditampilkan
dengan tujuan sebagai eksploitasi seksual dan komersial, agar laku di pasaran dan
mendapat massa konsumen yang besar. Keuntungan yang didapat dari produsen
majalah sangat ditentukan dari bagaimana konsumen dipancing melalui gambargambar sensual tubuh perempuan sehingga dapat menangkap sebanyak mungkin
konsumen.

2.2.6 Pornografi
Pornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak
menonjolkan tubuh dan alat kelaim manusia. Sifatnya yang seronoh, jorok vulgar
membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat
diperoleh dalam bentuk foto, Poster, leaflet, gambar video, film, dan gambar
VCD, termasuk pula dalam bentuk alat visual lainnya yang memuat gambar atau
kegiatan pencabulan (porno) (Bungin, 2008:338).
Awalnya, semua bentuk pencabulan atau tindakan tidak senonoh dengan
menonjolkan objek seks disebut dengan kata porno. Saat ini ketika masyarakat
sudah semakin terbuka, kemajuan teknologi komunikasi semakin berkembang,
maka konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Karena itu, secara
garis besar, dalam wacana porno atau penggambaran tindakan pencabulan
(pornografi) kontemporer, ada beberapa varian pemahaman porno yang dapat
dikonseptualisasikan, seperti pornografi, pornoteks, pornosuara, pornoaksi. Dalam
kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi sajian dalam satu
media, sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan pornomedia (Bungin,
2008:337).
Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti tulisan
tentang atau gambar tentang pelacur (kadang kala juga disingkat menjadi "porn,"
"pron," atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual
manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah
seksual). Pornografi berbeda dari erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah
bentuk ekstrem dari erotika. Erotika sendiri adalah penjabaran fisik dari konsep-

Universitas Sumatera Utara

konsep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah
erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacauan pemahaman di
kalangan masyarakat umum (http://id.wikipedia.org/wiki/Pornografi).
Pornografi sudah banyak kita kenal, bahkan jenis porno ini yang paling
umum karena jenis sifatnya yang mudah dikenal, mudah ditampilkan dan mudah
dicerna. Pornografi dapat menggunakan berbagai media teks tertulis maupun
lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi) dan suara.
Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan
dan atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan
foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadangkadang dengan ilustrasi.
Keberadaan perempuan dalam pornografi sama sekali tak dapat dilepaskan
dari pemikiran-pemikiran yang menjadi dasar, dan mewarnai, pembentukan
sebuah sistem untuk memungkinkan berkembangnya pornografi dengan cara
mengeksploitasi tubuh perempuan. Kapitalisme adalah salah satu sistem yang
mengeksploitasi perempuan untuk memprodukasi pornografi. Kemudian, yang
menjadi persoalan di sini adalah sejauh mana eksistensi tubuh perempuan, secara
fisik dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk komoditi dan bagaimana keindahan
perempuan menjadi ajang eksploitasi ekonomi. Artinya, bagaimana potensi itu
disalurkan dan dikendalikan, di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang
menyertai produksi komoditi untuk mengeruk keuntungan
Yasraf Amir Pilliang menyebutkan bahwa tubuh perempuan di dalam
budaya kapitalisme tidak saja dieksplorasi nilai gunanya (use value), umpamanya
sebagai pekerja perempuan yang dilacurkan, pelayan; tetapi juga nilai tukarnya
(exchange value) seperti perempuan model, hostess, dan dan kini nilai tandanya
(sign value) seperti pornografi, seni erotis, video erotis, majalah erotis, situs

porno, cyberporn. Maka tubuh perempuan telah menjadi politik tubuh dalam
ekonomi politik dan budaya kapitalisme, tentu dengan segenap potensi dan nilai
ekonomi yang dimilikinya (Syarifah, 2004:147).
Komodifikasi perempuan dapat berlangsung di ruang publik, dari sini
diangkat melalui media. Memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditas ini
terjadi secara langsun

Dokumen yang terkait

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

2 19 103

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl! Edisi Januari-Desember 2012)

0 11 125

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

1 3 8

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

0 0 1

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

0 0 6

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

0 0 2

Objektivikasi Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto-Foto Rubrik Exposure Pada Majalah Popular Edisi Oktober 2011)

0 0 1

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

0 0 12

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

0 0 1

Representasi Citra Perempuan Dalam Foto Majalah (Analisis Semiotika Foto Iklan Fashion pada Rubrik Fashion Spread di Majalah Gogirl Edisi Januari-Desember 2012)

0 1 6