Penataan Pedagang Kaki Lima Dengan Memanfaatka Ruang Terbuka Hijau

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk aktivitas perdagangan sektor

informal. Pedagang kaki lima adalah pedagang kecil yang umumnya berperan sebagai
penyalur barang-barang dan jasa ekonomi kota. Sedang menurut (Hasiholan, 2010)
pedagang kaki lima itu adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan atau jasa yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang
dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah
dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut
menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum
(terutama diatas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas
formal.
Istilah kaki lima berasal dari trotoar yang dahulu berukuran lebar 5 feet atau
sama dengan kurang lebih 1,5 meter, sehingga dalam pengertian ini PKL adalah
pedagang yang berjualan pada kaki lima, dan biasanya mengambil tempat atau lokasi
didaerah keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan/kawasan perdagangan,

pasar, sekolah dan gedung bioskop. Namun pengertian tentang pedagang kaki lima
terus berkembang sehingga sekarang menjadi kabur artinya,mereka tidak lagi
berdagang di trotoar saja, tetapi pada jalur pejalan kaki, tempat-tempat parkir, ruang-

Universitas Sumatera Utara

ruang terbuka, taman-taman, terminal bahkan di perempatan jalan dan sekeliling
rumah-rumah penduduk.
Mc Gee dan Yeung (1977:25) memberikan pengertian pedagang kaki lima
sama dengan hawker, yang didefenisikan sebagai kelompok orang yang menawarkan
barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar.
2.2

Karakteristik Aktivitas PKL
Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja

dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah
kaki pedagang ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga
kaki gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki).
Pedagang kaki lima sendiri merupakan bagian dari sektor informal yang sering

menjadi awal proses dalam mencapai kondisi sosial yang lebih baik. Adapun
karakteristik PKL yang dimaksudkan dijelaskan dalam sub bab berikut ini.
2.2.1. Jenis dagangan PKL
Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977:82-83), jenis dagangan PKL sangat
dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang tersebut
beraktivitas. Misalnya di suatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang
ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong,
pakaian, dan lain-lain.
Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan

Universitas Sumatera Utara

menjadi 4 (empat) kelompok utama yaitu:
1.

Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnya makanan
mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran;

2.


Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauk juga minuman;

3.

Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan;

4.

Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut,
sewa mobil-mobilan dan lain sebagainya.

2.2.2. Bentuk Sarana Perdagangan PKL
Bentuk sarana perdagangan yang dipergunakan oleh para PKL dalam
menjalankan aktivitasnya sangat bervariasi. Berdasarkan basil penelitian yang
dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977:82-83) di kota-kota di Asia Tenggara
diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana tersebut sangat sederhana dan
biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan
dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual. Adapun bentuk sarana perdagangan
yang digunakan oleh PKL adalah sebagai berikut:
1.


Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari 2 (dua) macam,
yaitu gerobak/kereta dorong tanpa atap dan gerobak/kereta dorong yang
beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk
ini dapat dikategorikan dalam bentuk aktivitas PKL yang permanen
(static) atau semi permanen (semi static), dan umumnya dijumpai pada
PKL yang berjualan makanan, minuman, dan rokok.

Universitas Sumatera Utara

2.

Pikulan/keranjang, bentuk sarana perdagangan ini digunakan oleh PKL
keliling (mobile hawkers) atau semi permanen (semi static), yang sering
dijumpai pada PKL yang berjualan jenis barang dan minuman. Bentuk ini
dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.

3.

Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang

diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan
meja. Bagian atap dan sekelilingnya biasanya ditutup dengan pelindung
yang terbuat dari kain plastik, terpal atau lainnya yang tidak tembus
air,berdasarkan sarana usaha tersebut, PKL ini dapat dikategorikan
pedagang permanen (static) yang umumnya untuk jenis dagangan
makanan dan minuman.

4.

Kios, bentuk sarana PKL ini menggunakan papan-papan yang diatur
sedemikian rupa sehingga menyerupai sebuah bilik semi permanen, yang
mana pedagang yang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut. PKL
ini dapat dikategorikan sebagai pedagang menetap (static).

5.

Gelaran/alas, PKL menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya
untuk menjajakan dagangannya. Berdasarkan sarana tersebut, pedagang
ini dapat dikategorikan dalam aktivitas semi permanen (semi static).
Umumnya dapat dijumpai pada PKL yang berjualan barang kelontong

dan makanan.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Pola Penyebaran PKL
Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas PKL menurut Mc. Gee dan
Yeung (1977:36-37) dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) pola, yaitu:
1.

Pola Penyebaran Mengelompok (Focus Aglomeration)
Pedagang informal pada tipe ini pada umumnya selalu akan
memanfaatkan aktivitas-aktivitas di sektor formal dan biasanya pusatpusat perbelanjaan menjadi salah satu daya tarik lokasi sektor informal
untuk menarik konsumennya, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1
adalah lokasi pengelompokan pedagang makanan minuman dilapangan
Merdeka Binjai.

Sumber: Hasil Pengamatan, 2014

Gambar 2.1 Foto Bentuk dan Sarana Berdagang PKL


Selain itu pada ujung jalan, ruang-ruang terbuka, sekeliling pasar, ruangruang parkir, taman-taman dan lain sebagainya merupakan lokasi yang

Universitas Sumatera Utara

banyak diminati oleh sektor ini. Pola penyebaran seperti ini biasanya
banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan aglomerasi, yaitu suatu
pemusatan atau pengelompokkan pedagang sejenis atau pedagang yang
mempunyai sifat komoditas yang sama atau saling menunjang. Biasanya
dijumpai pada para pedagang makanan dan minuman, yang dilustrasikan
pada gambar 2.2.

Sumber: Mc. Gee dan Yeung (1977: 37)

Gambar 2.2 Pola Penyebaran Mengelompok PKL
2.

Pola Penyebaran Memanjang (Linier Concentration)
Pada umumnya pola penyebaran memanjang atau linier concentration
terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama (main street) atau pada
jalan yang menghubungkan jalan utama. Dengan kata lain pola

perdagangan ini ditentukan oleh pola jaringan jalan itu sendiri. Pola
kegiatan linier lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas
yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Dilihat dari segi pedagang

Universitas Sumatera Utara

informal itu sendiri, hal ini sangat menguntungkan, sebab dengan
menempati lokasi yang beraksesibilitas tinggi akan mempunyai
kesempatan yang tinggi dalam maraih konsumen. Jenis komoditi yang
biasa diperdagangkan adalah pakaian, kelontong, jasa reparasi, buahbuahan, rokok/obat-obatan, dan lain-lain.
2.2.4. Karakteristik lokasi PKL
Pembangunan suatu tempat bagi kegiatan perdagangan sangat tergantung
pada lokasi. Begitu pula halnya dengan munculnya kegiatan perdagangan sektor
informal. Aktivitas sektor ini akan muncul mendekati lokasi-lokasi strategis, dimana
terdapat tingkat kunjungan tinggi. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi dari
pemasaran, yaitu mendekatkan komoditi pada konsumen (place utility). Oleh karena
aktivitas kegiatan perdagangan sektor informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian
seperti pada kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan, perumahan, dan lokasilokasi strategis lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Bromley (dalam Hasiholan,
2010) berdasarkan basil penelitiannya mengenai pedagang sektor informal di Cali,
Colombo, bahwa para pedagang sektor informal dijumpai di semua sektor kota,

terutama berpusat di tengah kota dan pusat-pusat hiburan lainnya ketika ada
pertunjukkan, sehingga menarik sejumlah besar penduduk.
Adanya kecenderungan penggunaan ruang kota bagi aktivitas usaha PKL ini
tidak lepas dari adanya keberadaan sektor formal di suatu lokasi. Dengan kata lain
adalah ada interaksi ekonomi antara sektor formal (perkantoran dan pertokoan)

Universitas Sumatera Utara

dengan sektor informal (PKL). Rachbini dan Hamid (Hasiholan, 2010) dalam
observasinya mengenai PKL di Jakarta dan Surabaya menemukan adanya
kecenderungan bahwa setiap berdirinya gedung bertingkat di Jalan Sudirman Jakarta
dapat disaksikan sejumlah PKL berderet sepanjang jalan. Mereka melayani para
karyawan atau pegawai bergaji rendah.
Mc. Gee dan Yeung (1977:61) menyatakan bahwa pada umumnya PKL
cenderung untuk berlokasi secara mengelompok pada area yang memiliki tingkat
intensitas aktivitas yang tinggi, seperti pada simpul-simpul jalur transportasi atau
lokasi-lokasi yang memiliki aktivitas hiburan, pasar, maupun ruang terbuka, Shirvani
(1986:37) menyatakan bahwa aktivitas PKL di perkotaan merupakan pendukung
aktivitas (activity support) dari aktivitas-aktivitas yang ada. Aktivitas-aktivitas
tersebut timbul karena adanya aktivitas-aktivitas fungsional kota.

Berdasarkan pemanfaatan ruang, aktivitas sektor informal PKL pada
umumnya menempati ruang umum dan ruang privat atau pribadi yang ada. Ruang
umum merupakan jenis ruang yang dimiliki pemerintah yang diperuntukkan bagi
kepentingan masyarakat luas. Contoh dari ruang umum adalah taman kota, trotoar,
ruang terbuka, lapangan, dan sebagainya. Termasuk pula fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana yang terdapat di ruang umum tersebut, seperti halte, jembatan
penyeberangan, dan sebagainya. Sedangkan ruang privat atau pribadi adalah jenis
ruang yang dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu. Misalnya lahan pribadi
yang dimiliki oleh pemilik pertokoan, perkantoran, dan sebagainya. Karena

Universitas Sumatera Utara

penggunaan ruang-ruang inilah yang akhirnya menimbulkan conflict of interest,
karena lahan tersebut seharusnya dipergunakan oleh berbagai pihak dengan berbagai
kepentingan, tidak saja bagi pelaku sektor informal.
Suatu studi yang dilakukan oleh Joedo (dalam Widjajanti, 2000:35) berkaitan
dengan lokasi yang diminati aktivitas perdagangan sektor informal, diketahui
beberapa ciri sebagai berikut:
1.


Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada
waktu yang relatif sama sepanjang hari. Ciri ini bisa kita jumpai di
lokasi-lokasi perdagangan, pendidikan, dan perkantoran;

2.

Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan-kegiatan
perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering
dikunjungi dalam jumlah besar. Kondisi ini merupakan ciri dari suatu
lokasi wisata atau ruang-ruang rekreatif kota, seperti taman-taman kota
dan lapangan olah raga yang biasa ramai di hari libur;

3.

Mempunyai kemudahan untuk terjadi hubungan antara pedagang dengan
calon pembeli, walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit;

4.

Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum.

Disamping faktor lokasi yang strategis dalam arti dekat dengan keramaian
atau mudah dijangkau pembeli, PKL juga memperhitungkan faktor kedekatan
(proximity). Dean Forbes (dalam Manning dan Effendi, 1996:348), dari hasil
penelitiannya mengenai PKL di Ujung Pandang, menyatakan bahwa ada variasi

Universitas Sumatera Utara

pemusatan-pemusatan ruang dalam PKL di kota Ujung Pandang yang disebabkan
oleh hubungan yang kompleks antara suplai pekerja, keperluan produksi, perilaku
pemasaran, dan sarana serta prasarana transportasi. Perlunya lokasi produksi dan
pemasaran dekat dengan sumber bahan baku telah mendorong munculnya pemusatan
sektor informal PKL.
Penentuan lokasi dapat dikaitkan dengan ketersediaan sarana transportasi,
dimana teori lokasi yang mengemukakan tentang transportasi disebutkan bahwa
penting untuk menentukan lokasi sedemikian sehingga diperoleh biaya angkutan yang
minimum, baik bagi PKL bersangkutan maupun bagi pembeli/konsumen. Aktivitas
perekonomian kota umumnya merupakan tempat yang mudah dijangkau oleh
masyarakat dan pelaku kegiatan.
Penempatan lokasi kegiatan ekonomi yang tidak mudah dijangkau, dalam arti
sarana transportasi yang tersedia kurang/tidak memadai merupakan faktor penyebab
kegagalan bagi pelaku yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu seringkali relokasi
PKL yang dilakukan oleh Pemerintah kurang mendapat respon yang baik, karena
tidak didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, termasuk
sarana transportasi. Tempat baru tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai lokasi bagi
aktivitas perdagangan. Akhirnya PKL yang diberi lokasi baru tersebut kembali ke
lokasi yang lama.
Penataan maupun relokasi memberikan dampak tersendiri bagi pelaku
kegiatan PKL, beberapa uraian di atas menggambarkan bahwa dalam menentukan

Universitas Sumatera Utara

pilihan lokasi bagi aktivitas usahanya, para PKL akan mempertimbangkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Adanya orientasi kepada konsentrasi konsumen, dalam arti PKL akan
memilih lokasi sedekat mungkin dengan konsumennya;
2. Adanya pertimbangan terhadap faktor kedekatan lokasi, baik dengan pusat
kegiatan masyarakat, tempat tinggal, sumber bahan baku, permukiman
penduduk terdekat;
3. Adanya pertimbangan terhadap kemudahan transportasi.

Tabel 2.1 Rangkuman Ciri PKL Terhadap Pemanfaatan Ruang
No.
1
2

3

Ciri PKL
Lokasi
Fungsi

Shirvani
intensitas tinggi
kegiatan pendukung

Bentuk

mengelompok dan
4 Pola penyebaran memanjang
Sumber: Olah data penyusun

Pendapat Penelitian
Mc. Gee dan Yeung
intensitas tinggi

Joedo
intensitas tinggi

sederhana dan mudah
dipindahkan
mengelompok dan
memanjang

sederhana dan
mudah
dipindahkan

Melalui informasi dari tabulasi diatas, mengenai rangkuman beberapa pendapat
(penelitian) mengenai ciri PKL terhadap pemanfaatan ruang (tabel 2.1), maka
Lapangan Merdeka Binjai menjadi lokasi yang baik dalam kegiatan usaha bagi
pedagang kaki lima. Beberapa hal tersebut dapat diperlihatkan melalui identifikasi
terhadapa pemanfaat ruang yang ada saat dan berorientasi aktivitas pedagang, seperti
terlihat pada tabel 2.2 berikut.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Pemanfaatan Ruang Lapangan Merdeka Terhadap Ciri PKL
No.

Pemanfaatan Lahan

Keterangan
lokasi merupakan taman yang menjadi node bagi kegiatan
perkotaan Binjai. Selain sebagai tujuan masyarakat kota
melakukan aktifitas olahraga, acapkali digunakan sebagai
lokasi kegiatan-kegiatan skala kota.
lokasi berada di pusat kota, yaitu kecamatan Binjai Kota,
sehingga memiliki jangkauan cukup mudah, selain jaringan
jalan yang memadai, ketersedian angkutan umum menjadi
salah satu kemudahan.

1

Ruang Terbuka Hijau

2

Kawasan Perkantoran

3

Pendidikan

keberadaan fasilitas pendidikan (STMIK KAPUTAMA)
yang berada pada jalan Veteran, memberikan pasar bagi
kegiatan perdagangan.

4

Ruang Terbuka Non
Hijau

ketersediaan jaringan jalan yang sangat
memberikan kesempatan tumbuhnya PKL.

memadai

Sumber: Olah data penyusun, 2014

2.3

Konsep Ruang Terbuka Hijau Kota
Membahas Ruang Terbuka Hijau akan selalu berhubungan dengan Ruang dan

Ruang Terbuka. Ruang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara
psikologis mupun secara dimensional, karena manusia berada dalam ruang bergerak
serta berpikir dan juga menciptakan untuk menyatakan dunianya (Budihardjo,1984).
Ruang pada dasarnya terjadi oleh adanya obyek dan manusia yang melihatnya dan
ruang ini terjadi bukan secara alamiah melainkan terbentuk oleh lingkungan luar yang
dibuat oleh manusia.
Ruang umum pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung
aktivitas/ kegiatan tertentu dari masyarakat, baik secara individu maupun kelompok
Budihardjo (1984) membagi ruang menurut sifatnya menjadi dua yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1.

Ruang Umum Tertutup, yaitu ruang umum yang terdapat di dalam suatu
bangunan;

2.

Ruang Umum Terbuka, yaitu ruang umum di luar bangunan.

Ruang Terbuka secara umum mempunyai arti bermacam-macam, setiap
orang cenderung menterjemahkan sesuai dengan visi dan pandangan mereka
sebagaimana profesi mereka masing-masing. Ruang terbuka merupakan ruang yang
direncanakan karena kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktifitas bersama
di ruang terbuka. Shirvani (1986), menyatakan bahwa ruang terbuka adalah semua
lansekap seperti jalan, trotoar dan semacamnya, taman dan ruang rekreasi di daerah
perkotaan. Ruang terbuka (hijau) dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota atau
wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk
memanjang/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, yaitu tanpa bangunan
permanen.
Simmond (dalam Syahrum, 2004) membedakan ruang terbuka dalam bentuk
kantong dan linier. Yang termasuk ruang terbuka dalam bentuk kantong (lot) adalah
lapangan olah raga, pusat-pusat rekreasi, taman-taman pada riverfront, halaman
sekolah dan insitusi, taman parkir serta pekarangan rumah. Beberapa ahli
membedakan ruang terbuka yang berupa kantong menjadi beberapa jenis
penggunaan. Penggunaan tersebut adalah hutan, lapangan, lahan produktif, taman
kota dan tempat pemakaman umum.

Universitas Sumatera Utara

Ruang terbuka hijau linier adalah jalur pejalan kaki, jalur jalan raya dan jalan
bebas hambatan serta jalur bersepeda. Di perkotaaan, ruang terbuka cendrung
difungsikan secara aktif sebagai pusat rekreasi dan interaksi sosial sehingga
seringkali kurang efektif menjadi areal resapan air karena telah dipaving, dibeton,
diaspal atau bahkan dikeramik. Elemen aktivitas pada ruang terbuka dipusat kota
lebih menonjol dibandingkan elemen lainnya, oleh karenanya perlu dibedakan
pengertian ruang terbuka sebagai ruang terbuka yang menyeluruh meliputi ruang
hijau dan tak hijau.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008, tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di kawasan perkotaan
tujuan penyelenggaraan ruang terbuka hijau adalah:
1. Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;
2. Menciptakan aspek planologis perkotaan melelaui keseimbangan antara
lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan
masyarakat;
3. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman
lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.
Sedangkan fungsi Ruang Terbuka Hijau memiliki fungsi sebagai berikut
1.

Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
a. Memberi jaminan pangadaan Ruang Terbuka Hijau menjadi bagian
dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);

Universitas Sumatera Utara

b. Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami
dapat belangsung lancar;
c. Sebagai peneduh;
d. Produsen oksigen;
e. Penyerap air hujan;
f. Penyedia habitat satwa;
g. Penyerap polutan media udara, air dan tanah;
h. Penahan angin.
2.

Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
a. Fungsi sosial dan budaya: menggambarkan ekspresi budaya lokal;
merupakan media komunikasi warga lokal; tempat rekreasi; dan wadah
dan obyek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari
alam;
b. Fungsi Ekonomi: sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman
bunga, buah, daun, sayur mayur; bisa menjadi bagian dari usaha
pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain;
c. Fungsi estetika: meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan
kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman,
maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan; menstimulasi
kreativitas dan produktifitas warga kota; pembentuk faktor keindahan
arsitektural; dan menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area
terbangun dan tidak terbangun.

Universitas Sumatera Utara

Tinjauan Lapangan Merdeka berdasarkan fungsi dengan mengacu kepada
Peraturan Menteri pekerjaan umum No.05 Tahun 2008 maka Lapangan Merdeka
sebagai lokasi penelitian adalah:
1.

Fungsi ekologis; lapangan merdeka merupakan bagian dari system
sirkulasi udara kota, berada pada pusat kota dengan intensitas kegiatan
memiliki bangkitan kendaraan yang cukup tinggi kehadiran Lapangan
Merdeka juga berfungsi sebagai peneduh, dan penyerap polutan udara;

2.

Fungsi tambahan; yang menjadi daya eksrintik Lapangan Merdeka dilihat
dari sisi estetika adalah meningkatkan kualitas kota sebagai pembentuk
factor arsitektur kota (landscape) yang menciptakan gambaran tata ruang
perkotaan berimplikasi terbentuk kenyaman berlangsungnya aktivitas
perkotaan. Kemudian sebagai ruang terbuka, lapangan merdeka
memberikan segmen interaksi masyarakat bersosialisasi, bahkan ruang
yang ada meningkatkan kreativitas dan produktifitas warga kota, hal ini
terlihat saat berlangsungnya event olahraga, entertainmen, dan sebagainya
yang diiringi kegiatan ekonomi lokal (pedagang).

Fungsi yang dibentuk atau terbentuk oleh Lapangan Merdeka sebagai suatu
ruang terbuka utama di Kota Binjai memperkuat keberadaannya untuk dipertahankan.
Peningkatan-peningkatan fungsi ruang harus terus ditingkatkan dan disesuaikan
dengan visi misi Kota Binjai kedepannya, tentunya berorientasi kepada peningkatan
kualitas ruang sebagai wadah interaksi manusia dan alam.

Universitas Sumatera Utara

2.4

Tinjauan Peremajaan Lingkungan Perkotaan
Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi dan perpindahan penduduk ke

daerah perkotaan, merupakan penyebab utama pesatnya perkembangan kegiatan suatu
kota. Perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap
struktur kota. Perubahan tersebut akan mengarah pada kemerosotan suatu lingkungan
tidak saja pada permukiman tetapi juga kepada elemen pembentuk suatu kota, tidak
efisiennya penggunaan tanah daerah pusat kota, dan mengungkapkan bahwa
penurunan kualitas tersebut bisa terjadi disetiap bagian kota.
Kemerosotan lingkungan seringkali dikaitkan dengan masalah sosial, seperti
kriminalitas, kenakalan remaja, prostitusi sebagainya. Meskipun sulit untuk bisa
diukur, peremajaan kota diyakini akan membawa perbaikan-perbaikan keadaan sosial
pada wilayah-wilayah yang mengalami kemerosotan lingkungan. Peremajaan adalah
upaya pembangunan yang terencana untuk merubah atau memperbaharui suatu
kawasan di kota yang mutu lingkungannya rendah.
Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan lengkap dengan sarana
dan prasarana kebutuhan hidup sehari-hari serta merupakan bagian dari suatu kota
(Jurnal, Dirjend Cipta Karya PU, IAP, 1997), sehingga konsep penanganan masalah
dapat penyusun gunakan sebagai bahan rujukan. Ada beberapa tindakan yang dapat
dilakukan berkaitan dengan upaya peremajaan pada suatu lingkungan yaitu:
1.

Redevelopment atau pembangunan kembali, adalah upaya penataan
kembali

suatu

kawasan

kota

dengan

terlebih

dulu

melakukan

Universitas Sumatera Utara

pembongkaran sarana dan prasarana pada sebagian atau seluruh kawasan
tersebut yang telah dinyatakan tidak dapat dipertahankan lagi
kehadirannya. Biasanya, dalam kegiatan ini terjadi perubahan secara
struktural terhadap peruntukan lahan, profil sosial ekonomi, serta
ketentuan-ketentuan pembangunan lainnya yang mengatur intensitas
pembangunan baru.
2.

Gentrifikasi adalah upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan kota
melalui upaya peningkatan kualitas bangunan atau lingkungannya tanpa
menimbulkan perubahan berarti terhadap struktur fisik kawasan tersebut.
Gentrifikasi bertujuan memperbaiki nilai ekonomi suatu kawasan kota
dengan cara memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada,
meningkatkan kualitas serta kemampuannya tanpa harus melakukan
pembongkaran berarti.

3.

Rehabilitasi pada dasarnya merupakan upaya untuk mengembalikan
kondisi suatu bangunan atau unsur-unsur kawasan kota yang telah
mengalami kerusakan, kemunduran, atau degradasi, sehingga dapat
berfungsi kembali sebagaimana mestinya.

4.

Preservasi merupakan

upaya

untuk

memelihara

dan

melestarikan

lingkungan pada kondisinya yang ada, dan mencegah terjadinya proses
kerusakannya. Metode ini biasanya diterapkan untuk obyek memiliki arti
sejarah atau arti arsitektur tertentu.

Universitas Sumatera Utara

5.

Konservasi merupakan upaya untuk melestarikan, melindungi serta
memanfaatkan sumber daya suatu tempat, seperti kawasan dengan
kehidupan budaya dan tradisi yang mempunyai arti, kawasan dengan
kepadatan penduduk yang ideal, cagar budaya, hutan lindung, dan
sebagainya. Konservasi dengan demikian, sebenarnya merupakan pula
upaya preservasi, namun dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu
tempat untuk menampung dan memberi wadah bagi kegiatan yang sama
seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekalibaru melalui
usaha penyesuaiang, sehingga dapat membiayai sendiri kelansungan
eksistensinya.

6.

Resettlement

adalah

proses

pemindahan

penduduk

dari

lokasi

permukiman yang sudah tidak sesuai dengan peruntukkannya ke lokasi
baru yang sudah disiapkan sesuai dengan rencana permukiman kota.
Dalam hal ini peremajaan lingkungan permukiman di Mojosongo
Surakarta dilakukan dengan redevelopment, resettlement dan peremajaan
tanpa perubahan struktur kawasan.
Pedagang kaki lima pada kawasan Lapangan Merdeka memberikan penurunan
kualitas lingkungan dan penurunan citra kota. Jika ditinjau dari kualitas lingkungan,
maka proses kegiatan PKL memberikan dampak meningkatnya timbulan sampah di
Lapangan Merdeka, penyumbatan saluran pembuangan disebabkan sisa makanan atau
pembungkus makanan yang dibuang sembarangan oleh komsumen juga merupakan
bagian dari hasil proses kegiatan PKL. Hambatan utama penataan kebersihan adalah

Universitas Sumatera Utara

kurangnya kesadaran kolektif para pedagang akan kebersihan, para pedagang
beranggapan bahwa sampah menjadi tanggung jawab petugas kebersihan disebabkan
iuran yang telah dipungut. Disamping itu sistem drainase lingkungan yang buruk,
saluran air yang kurang memadai juga mempengaruhi kualitas lingkungan di sekitar
lokasi PKL.
Tindakan penataan kembali (redevelopment) adalah pilihan yang tepat bagi
Lapangan Merdeka, dengan pengaturan lokasi PKL melalui karakteristik tipologi
yang tentunya disertai peningkatan fasilitas jika masih diperbolehkan (include) akan
meningkatkan kualitas lapangan Merdeka Binjai sebagai ruang terbuka hijau kota.
Perlu ditekankan di sini bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari usaha
peremajaan yang telah dilakukan dan dari teori tentang manajemen menekankan pada
keuntungan dan pentingnya peranserta masyarakat lokal. Mengenai peran serta
masyarakat dalam peremajaan lingkungan permukiman di kota, Weaver pada jurnal
yang sama mengemukakan, bahwa pengertian peran serta bukanlah menerima saja
secara pasif terhadap apa yang akan dilakukan terhadap mereka, tetapi adalah peran
aktif tokoh-tokoh, lembaga, serta para pengguna lingkungan, sebagai usaha untuk
mendorong kearah perbaikan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa masyarakat dalam
hal ini pedagang dan pengunjung perlu dilibatkan dalam peremajaan lingkungan
dengan maksud agar mereka tidak melakukan oposisi terhadap program tersebut,
karena adanya reaksi menentang dari masyarakat akan membawa dampak sosial dan
politis yang merugikan, terutama bila menyangkut penghidupan dan kehidupan
kelompok masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

2.5

Pengertian Persepsi dan Preferensi
Persepsi menurut Wojowasito (1980:143) merupakan istilah bahasa Indonesia

yang berasal dari bahasa inggris perceive yang dapat diartikan sebagai melihat atau
mengamati. Sedangkan pendapat lainnya mengemukakan bahwa persepsi berasal dari
kata dasar bahasa Inggris perceive yang dapat diartikan merasa, mengerti, juga
memahami. Pada dasarnya perilaku seseorang atau apa yang dilakukan seseorang
selalu bersumber dari persepsinya terhadap sesuatu dalam menilai diri dan
lingkungannya. Perilaku bermula dari penginderaan yang ditafsirkan, kemudian
muncul perasaan/emosi yang menimbulkan harapan dan akhirnya menghasilkan
tindakan. Sedangkan Gibson, et al (1996:134) memaknai persepsi sebagai proses
kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami
lingkungan sekitarnya. Berkaitan dengan penelitian ini, maka persepsi dapat diartikan
sebagai hal yang dirasakan/dimengerti oleh subjek (PKL disekitar lapangan merdeka)
terhadap suatu objek (rencana penataan PKL disekitar Lapangan Merdeka Kota
Binjai) yang dirasakan/dimengerti/diamati. Demikian selanjutnya dalam penelitian
ini, persepsi PKL disekitar Lapangan Merdeka Kota Binjai dapat diartikan sebagai
proses kognitif yang dipergunakan untuk menafsirkan dan memahami rencana
penataan

dan

peremajaan

kawasan

Lapangan

Merdeka

Binjai

yang

dirasakan/dimengerti/diamati saat ini.
Preferensi menurut Wojowasito (1980:157) merupakan istilah bahasa
Indonesia yang berasal dari bahasa Inggris preference yang dapat diartikan sebagai

Universitas Sumatera Utara

lebih memilih/suka. Sedangkan preferensi yang dikutip dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2002:894) memiliki anti kecenderungan terhadap suatu hal atau pilihan
yang lebih disenangi (prioritas). Preferensi dalam Kamus lengkap psikologi diartikan
lebih menyukai sesuatu benda daripada benda lainnya. Berkaitan dengan penelitian
ini, maka preferensi dapat diartikan sebagai pilihan/perlakuan yang lebih disenangi
oleh subjek (PKL disekitar Lapangan Merdeka Kota Binjai) terhadap suatu objek
(bentuk penataan atau peremajaan kawasan) yang dirasakan/dimengerti/diamati.
Persepsi masyarakat terhadap obyek penelitian dan tindakan penataan menjadi
sangat penting untuk diketahui. Persepsi masyarakat muncul karena adanya rasa pada
diri individu dalam masyarakat terhadap obyek rancangan atau problematika tertentu.
Sering kali rasa akan memunculkan gambaran terhadap lingkungan, obyek peneltian,
perancangan atau sebagainya, berbeda-beda tergantung pada banyak faktor
(Setyowati, 2004).
2.6

Aspek-aspek yang Dipertimbangkan dalam Mengidentifikasi Pedagang
Kaki Lima Berdasarkan Persepsi Masyarakat

Berdasarkan

teori-teori

yang

telah

diuraikan,

maka

dalam

upaya

mengindentikasikan penataan PKL dengan menstrukturkan karakteristik PKL dan
faktor pembentuk citra kota, perlu dipertimbangkan aspek-aspek berikut:

Universitas Sumatera Utara

1.

Karakteristik Masyarakat
a. Berdasarkan persepsi personal masyarakat kota, karakteristik
masyarakat

dibedakan

antara

pelaku

usaha

(PKL)

dengan

pengunjung;
b. Berdasarkan posisi pengamat/peneliti, karakteristik pedagang kaki
lima dibedakan menurut jenis dagangan dan sarana dagangan;
c. Berdasarkan waktu, karakteristik pedagang dibedakan menurut lama
tinggal sedangkan pengunjung dibedakan menurut kebutuhan
berkunjung.
2.

Kriteria Elemen Pembentuk Citra Kota
Proses pengidentifikasian citra kota tidak dapat dilepaskan dari elemen
fisik pembentuk citra kotanya. Sesuai dengan konsep citra kota menurut
Lynch terdapat lima elemen pembentuk citra kota yaitu landmark,
district, nodes, edge dan path. Kelima elemen tersebut

merupakan

elemen fisik akan tetapi citra kota pun dipengaruhi pula oleh elemen non
fisik oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan elemen-elemen non fisik
seperti kondisi keamanan (premanisme) adanya pungutan-pungutan liar,
kebijakan pemerintah terhadap rencana pemanfaatan ruang dan peraturan
daerah terkait (legalitas).
3.

Identifikasi Citra Kota
Pengidentifikasian faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat PKL
dalam melakukan pembuatan elemen pembentuk citra kota dapat

Universitas Sumatera Utara

diketahui dengan mengumpulkan jawaban pertanyaan responden dan
karakteristik masyarakatnya yang merupakan bagian dari faktor internal
dan juga mengidentifikasi faktor eksternal yang juga ikut mempengaruhi
persepsi masyarakat.
2.7

Kebijakan Pemerintah Kota
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan merupakan langkah yang sangat
penting dalam proses kebijakan. Tanpa implementasi kebijakan, suatu kebijakan
hanyalah sekedar sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan
bermasyarakat.
Legalisasi pada dasarnya memiliki level-level tertentu yang dapat
diidentifikasi dengan mengukur tiga aspek yaitu obligasi, presisi, dan delegasi. Dalam
hal legalisasi bagi Pedagang Kaki Lima memang belum ada karena belum ada aturan,
komitmen dimana lokasi berdagang PKL ini ditempatkan.
Kebijakan yang kondusif menjadi dasar utama, agar pengembangan usaha
kaki lima dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Kebijakan makro, berupa
pengakuan dan perlindungan Pemda terhadap keberadaan PKL di perkotaan. Hal
yang perlu dilakukan adalah merubah iklim kebijakan pemerintah, dari yang bersifat
elitis menjadi non-elitis kerakyatan. Kebijakan tersebut dapat diwujudkan dengan
memantapkan aspek hukum perlindungan bagi keberadaan PKL, perbaikan
kelembagaan dan administrasi ke arah non-birokratis, dan mempermudah akses PKL

Universitas Sumatera Utara

terhadap sumber-sumber ekonomi yang tersedia. Sedangkan kebijakan di tingkat
mikro, adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas dan tingkat pendapatan PKL,
dengan cara: (1) peningkatan efisiensi ekonomi dari usaha kaki lima; (2) peningkatan
produksi usaha dagang; (3) meningkatkan usaha PKL yang kurang potensial menjadi
usaha yang lebih ekonomis potensial (Hasiholan, 2010).
Kota Binjai melalui Peraturan daerah No.3 Tahun 2006 tentang pengaturan
dan pembinaan pedagang kaki lima, diharapkan dapat memberi pengaturan dan
pembinaan terhadap pedagang kaki lima di Kota Binjai. Adapun menjadi
pertimbangan adalah, bahwa sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk
dan meningkatnya pertumbuhan kegiatan dibidang usaha yang dilaksanakan
masyarakat dan tidak memiliki lahan atau tempat berjualan (PKL).
2.8

Penelitian Pendukung
Astri Syafardi dengan judul artikel “Penata Kelolaan Pedagang Kaki Lima

(PKL) Buah Kota Padang” pada tahun 2012, dimana dalam penelitian ini
memperlihatkan kondisi PKL di Kota Padang, mendeskripsikan penataan PKL buahbuahan yang didahulukan melakukan pengidentifikasian faktor-faktor yang
memperngaruhi penataan PKL buah-buahan di Kota Padang.
Setyowati, S. Utami menulis judul penelitian “Penataan pedagang Kaki Lima
Dengan Memanfaatkan Ruang Luar di Pusat Kota” yang ditulis dalam jurnal
Neutron, Volume 4 tahun 2004. Penelitian ini bertujuan memberikan pemecahan
masalah para pedagang kaki lima yang diakibatkan Pemerintah Kota Surabaya

Universitas Sumatera Utara

terlihat mendua, tidak tegas dalam menyikapi kehadiran PKL di Taman Surya
Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya satu sisi menyatakan pedagang kaki lima
sebagai wiraswasta yang perlu dibina, tetapi disisi lain juga mengintruksikan
penertiban-penertiban dengan dali kebersihan dan keindahan kota tanpa memberikan
penyelesaiaan yang tepat. Sehingga diperlukan suatu penataan Taman Surya sebagai
tempat berjualan tanpa menggangu keindahan dan ketertiban umum.
Tesis Daniel J. Pandapotan yang disusun pada tahun 2007 dengan judul
“Kajian Spasial Pedagang Kaki Lima Dalam Pemanfaatan Ruang Publik Kota”,
studi kasus koridor Jalan AR. Hakim Medan, Jalan Aksara Pasar Sukaramai
Kecamatan Medan Area Kota Medan. Dimana metode penelitiannya menggunakan
analisis kuantitatif untuk memahami kondisi perebutan ruang dalam penentuan lokasi
pedagang kaki lima serta meneliti perilaku pedagang kaki lima melalui pengamatan
langsung di lapangan. Adapun akhir dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana
pedagang kaki lima memanfaatkan ruang public yang menjadi jalur lintas dan pejalan
kaki sebagai tempat berdagang dan disertai dampak yang disebabkan pada ruang
public.
Rastiani Utama Putri telah melakukan penelitian pada tahun 2013, dengan
judul “Dampak Penataan Kawasan Simpanglima Kota Semarang Terhadap
Pendapatan Pedagang Makanan”. Penelitian ini bertujuan untuk mencapai berapa
besar pengaruh penataan kawasan simpanglima terhadap pedagang makanan dan
minuman

bentuk

foodcourt/pujasera

di

kawasan

tersebut.

Universitas Sumatera Utara