Hubungan Antara Kualitas Udara Ambien NO2, SO2, PM10 Dengan Kejadian Ispa Di Kota Medan Tahun 2013-2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Sebuah penelitian di Swiss telah menyelidiki hubungan antara prevalensi

penyakit pernapasan kronis dan waktu terpapar polusi udara ambien. Penelitian
telah menunjukkan bahwa terpapar oleh polusi udara dalam jangka panjang
meningkatkan resiko penyakit pernapasan seperti alergi, asma, dan kanker paru.
Sebuah literatur mengulas tentang polusi udara di 13 negara dari tahun 1980
hingga 2007. Lebih dari 80 studi time trend dilaksanakan di kota-kota Asia yang
juga telah menunjukkan spektrum serupa yang menyebabkan efek kesehatan
berupa infeksi saluran pernapasan akut dan kronis, dan merubah fungsi paru yang
menyebabkan peningkatan kematian akibat penyakit kardiovaskuler atau
pernapasan atau kanker paru, yang terkait dengan keterpaparan oleh PM10, SO2,
NO2, dan O3. (Carlsten dan Georas, 2013).
Pada hasil penelitian Ying Liu telah membuktikan bahwa orang-orang
yang hidup di daerah tinggi polusi mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk
terkena penyakit pernapasan daripada orang-orang yang hidup di daerah rendah
polusi dengan cara menguji korelasi antara polusi udara luar ruangan dan

kunjungan rumah sakit yang disebabkan oleh penyakit pernapasan di Kanpur.
Fenomena ini juga sesuai dengan hasil penelitian lainnya (Liu, 2013).
Beberapa ribu orang, termasuk anak-anak, menderita Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) setiap tahun di seluruh dunia. Penyakit ini
mempengaruhi semua tingkatan usia, walaupun anak-anak adalah usia yang paling
rentan; hampir lebih dari 13 juta kematian per tahun pada usia balita di negara

1
Universitas Sumatera Utara

2

berkembang. Secara global, ISPA menyebabkan lebih kurang 20% kematian
balita. Di Amerika, penyakit pernapasan membunuh lebih dari 400.000 orang per
tahun, dan berada di peringkat ketiga penyebab kematian (Goswami dan Baruah,
2014).
Kerentanan terhadap ISPA tergantung jumlah faktor dan kebiasaan;
sementara perlindungan yang memadai seperti sandang mungkin tidak menjadi
faktor penting di banyak tempat, seperti parameter yang memainkan peran penting
di beberapa kasus. Karena ISPA adalah sebuah penyakit yang menular, tempat

tinggal dengan kepadatan populasi yang tinggi adalah yang paling rentan. Di
Delhi, ISPA berlanjut menjadi bahaya kesehatan utama, dengan ribuan kematian,
banyak diantaranya adalah anak-anak yang dilaporkan setiap tahun (Goswami dan
Baruah, 2014).
Tingkat konsentrasi zat pencemar udara semakin tinggi seiring
peningkatan pembangunan fisik kota, industri dan penggunaan transportasi.
Polutan yang menjadi bahan pencemar udara diantaranya nitrogen dioksida (NO2),
sulfur dioksida (SO2), dan partikulat debu (PM10). Dampak ketiga zat pencemar
tersebut dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan. Berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2013 prevalensi ISPA nasional adalah 25%, sebanyak 11 provinsi
mempunyai prevalensi ISPA diatas prevalensi nasional dan 19,9% untuk provinsi
Sumatera Utara (Riskesdas, 2013).
Nitrogen dioksida (NO2) adalah gas toksik, kelarutannya dalam air rendah,
tetapi mudah larut dalam larutan alkali, karbon disulfida dan kloroform. Gas ini
berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam bahkan dapat mengiritasi saluran

Universitas Sumatera Utara

3


napas pada konsentrasi 1-3 ppm (Handayani, dkk, 2003). Waktu tinggal rata-rata
NO2 di atmosfer adalah 3 hari (Fardiaz, 2012).
Sulfur dioksida merupakan salah satu dari kelompok sulfur oksida (SOx)
bersama sulfur trioksida (SO3). Sulfur dioksida (SO2) mempunyai ciri-ciri berbau
tajam dan tidak terbalar di udara sedangkan sulfur trioksida bukan merupakan
komponen reaktif (Fardiaz, 1992). Pengaruh SO2 terhadap manusia adalah iritasi
saluran pernapasan. Dari penelitian diketahui iritasi tenggorokan terjadi pada
pajanan SO2 5 ppm atau lebih bahkan pada kelompok rentan iritasi dapat terjadi
pada konsentrasi 1 – 2 ppm (Fardiaz, 2012).
Debu partikulat merupakan partikel-partikel halus yang berasal dari
padatan maupun cairan yang tersuspensi di dalam gas (udara) yang berukuran 10
mikrometer atau lebih kecil (PM10) (KLH, 2013). PM10 memiliki beberapa nama
lain, yaitu Inhalable particles, respirable particulate, respirable dust, dan
inhalable dust. PM10 juga bersifat toksik karena dapat mengandung campuran
partikulat jelaga, kondensat asam, garam sulfat, partikel nitrat, ataupun logamlogam berat (Fitria, 2009).
Polutan gas dengan kelarutan tinggi akan mengendap pada saluran
pernapasan bagian atas, mudah terabsorpsi dan menimbulkan efek iritasi sehingga
meningkatkan resistensi saluran pernapasan. Absorpsi gas NO2 oleh mukosa dapat
menyebabkan peradangan saluran pernapasan bagian atas dan iritasi pada mukosa
mata, sedangkan gas SO2 dapat menyebabkan terjadinya peradangan bronkus

(Goldsmith & Friberg,1977:468 dalam Mukono, 2008).

Universitas Sumatera Utara

4

Beberapa oksida (SO2, uap asal sulfat, aerosol sulfat) biasanya
berhubungan sinergis dengan aerosol oksida logam atau nitrat dan dapat berakibat
buruk terhadap saluran pernapasan. Gas SO2 dapat larut dalam mukosa membran
hidung dan tenggorokan, dan mengiritasi saluran pernapasan bagian atas. Polutan
udara dapat menjadi iritatif terhadap mukosa saluran pernapasan dan jaringan paru.
Hal ini dapat menyebabkan matinya sel silia, sehingga aktivitas respiratory
clearance terganggu. Jika sampai pada jaringan paru, maka fungsi sel makrofag
juga terganggu. Oleh karena itu jika udara pernapasan mengandung bahan
pencemar, dapat meningkatkan kepekaan terhadap penyakit infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) (Mukono, 2008).
Dalam penelitian Sakti (2012), berdasarkan hasil analisis korelasi dan
regresi pada variabel NO2 dengan jumlah kasus ISPA, ternyata tidak menunjukkan
hubungan yang bermakna antara konsentrasi NO2 dalam udara ambien dengan
jumlah kasus ISPA (p value = 0,245). Setelah dianalisis multivariat, diketahui

bahwa variabel NO2 berinteraksi dengan variabel SO2 dalam mempengaruhi
kejadian ISPA di Kota Bekasi (p value = 0,01). Berdasarkan penelitian Edi
Margono (2008) di dalam Sakti (2012) di DKI Jakarta, bahwa tidak ada hubungan
bermakna antara konsentrasi NO2 dengan kejadian ISPA meskipun ada beberapa
penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi
NO2 dengan peningkatan penyakit saluran pernapasan.
Hasil analisis korelasi dan regresi antara variabel SO2 dengan jumlah
kasus ISPA selama tahun 2004-2011 di Kota Bekasi menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna (p value = 0,162). Namun, dalam analisis multivariat

Universitas Sumatera Utara

5

diketahui bahwa variabel SO2 dapat mempengaruhi jumlah kasus ISPA di Kota
Bekasi dengan p value = 0,005. Selain itu, variabel SO2 juga berinteraksi dengan
variabel NO2 dalam mempengaruhi kejadian ISPA di Kota Bekasi (p value – 0,01).
Hasil analisis korelasi dan regresi antar variabel debu partikulat dengan
jumlah kasus ISPA selama tahun 2004-2011 di Kota Bekasi menunjukkan
hubungan bermakna (p value = 0,029). Hasil ini sesuai dengan teori karena

mikroorganisme penyebab ISPA terdapat di udara dalam bentuk aerosol yang
merupakan bentuk debu partikulat. Namun hubungan yang terjadi berpola negatif
dan berkorelasi lemah (r = -0,226). Berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara
yang dilaksanakan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Medan, konsentrasi debu
partikulat di tempat yang dilakukan pengukuran sudah pernah melebihi niai
ambang batas (150 µg/m3) seperti pada Kecamatan Medan Kota yang memiliki
kadar PM10 303 µg/m3 (Oktober 2015).
Sejak tahun 2014, banyak surat kabar menginformasikan bahwa kualitas
udara di Kota Medan sangat buruk karena pencemaran udara di Kota Medan di
atas level berbahaya. Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan kendaraan
bermotor yang kian meningkat setiap tahun sehingga kemacetan juga semakin
sering terjadi.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik Kota Medan, diketahui kasus ISPA
selalu berada di dalam peringkat 10 penyakit terbesar di Kota Medan dan menjadi
peringkat pertama di hampir semua kecamatan kota Medan. Tercatat bahwa kasus
ISPA di Kota Medan pada tahun 2013 yaitu 215.476 (38,3%). Sedangkan menurut

Universitas Sumatera Utara

6


Riskesdas 2013, Period Prevalence ISPA di Indonesia adalah (25,0%) tidak jauh
berbeda dengan 2007 (25,5%).
Berdasarkan Riskesdas 2013, Sumatera Utara sudah mengalami penurunan
dari tahun 2007 (22,39%) yaitu berada di angka 20%. Walaupun sudah
mengalami penurunan sebesar 2,39% tersebut, ISPA tetaplah penyakit menular
yang menyerang semua golongan umur (terutama balita) yang efeknya dapat
berpengaruh pada banyak penyakit lain. Hal tersebut dinyatakan oleh Hartono dan
Rahmawati (2012), Infeksi Pernapasan menyebar dari satu struktur ke struktur
lain karena membran mukus yang rusak atau terhimpit membentuk garis lurus
pada seluruh sistem. Akibatnya infeksi sistem pernapasan meliputi beberapa area
dari pada struktur tunggal dan efeknya berpengaruh pada banyak penyakit.
Berdasarkan Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2014, untuk cakupan
kasus ISPA pada balita di Sumatera Utara relatif masih rendah namun pada tahun
2013 dan 2014 mengalami kenaikan sebesar 3,62% dan 5,1% dari tahun 2012.
Dari hal tersebut, peneliti ingin meneliti hubungan antara kualitas udara ambien
NO2, SO2, PM10 dengan kejadian ISPA di kota Medan tahun 2013-2016.
1.2

Perumusan Masalah

Konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 pada udara ambien yang cenderung

mengalami peningkatan dan ISPA yang selalu termasuk ke dalam 10 penyakit
terbesar di Kota Medan setiap tahunnya. Kasus ISPA pada tahun 2013 dan 2014
juga mengalami kenaikan sebesar 3,62% dan 5,1% dari tahun 2012. Hal ini
memberikan dampak negatif bagi kesehatan terutama bagi kesehatan saluran
pernapasan. Berdasarkan hal diatas tersebut, maka perlu diketahui apakah ada

Universitas Sumatera Utara

7

hubungan antara kualitas udara ambien (NO2, SO2, dan PM10) dengan kejadian
ISPA di Kota Medan tahun 2013-2016?
1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kualitas udara ambien NO2, SO2, dan PM10

dengan kejadian ISPA di Kota Medan tahun 2013-2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 dalam udara
ambien Kota Medan tahun 2013-2016.
2. Mengetahui gambaran kejadian ISPA di Kota Medan tahun 2013-2016.
3. Mengetahui hubungan konsentrasi NO2, SO2, dan PM10 dalam udara
ambien dengan kejadian ISPA di Kota Medan tahun 2013-2016.
1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat mengetahui hubungan antara kualitas udara ambien NO2, SO2, dan
PM10 dengan kejadian ISPA di Kota Medan tahun 2013-2016.
1.4.2 Bagi Pemerintah
a. Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk
membuat kebijakan dan kegiatan pengendalian dan pencegahan ISPA.
b. Sebagai bahan pertimbangan Badan Lingkungan Hidup Kota Medan
untuk pengendalian kualitas udara di Kota Medan.


Universitas Sumatera Utara