Wanprestasi Dalam Perjanjian Gadai Pada PT. Pegadaian (Persero) UPC Kartini, Kisaran

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN
GADAI
A. Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Jika berbicara tentang definisi perjanjian, maka pertama-tama harus diketahui
pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Setiawan berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313
KUHPerdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi
tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena
dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan
perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi
perjanjian perlu diperbaiki menjadi :
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
b. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313
KUHPerdata.

Universitas Sumatera Utara


Sehingga perumusannya menjadi persetujuan adalah suatu perbuatan hukum,
di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.8
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula
terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai
perjanjian sepihak saja. Defenisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup
perbuatan didalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan
perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain
dinilai dengan uang.9
Adapun para sarjana mengemukakan beberapa rumusannya tentang pengertian
perjanjian, yaitu :
1. R, Subekti, mengemukakan :
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menimbulkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian ini


8

R. Setiawan, S.H, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Penerbit Binacipta, Bandung, 1979,
Cetakan Kedua, hal 49.
9
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, Hal 65. (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman 2).

Universitas Sumatera Utara

berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.”10
2. Wiryono Projo Dikoro, mengemukakan :
“Suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam
mana satu pihak berjanji itu dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal
atau untuk tidak melakukan sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.”11
3. Abdulkadir Muhammad mengemukakan :
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling

mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu hal mengenai harta kekayaan.” 12
Pengertian mengenai perjanjian seperti tersebut di atas dilihat secara
mendalam, akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang
luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan
perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan
tentang pihak yang satu atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan
sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat,
serta kesepakatan kehendak antara para pihak untuk melaksanakan sesuatu hal
tertentu.
Istilah “perjanjian” atau “Kontrak” dalam sistem hukum nasional memiliki
pengertian yang sama. Suatu perjanjian atau kontrak memiliki unsur-unsur yaitu

10

R, Subekti, Op,Cit., hal 1
Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1993, hal 9.
12
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hal 225
11


Universitas Sumatera Utara

pihak-pihhak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum,
perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Ciri kontrak yang
utama ialah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para
pihak secara lengkap dengan dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratanpersyaratan serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat
kewajiban.13
2. Asas-Asas Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian ada dikenal beberapa asas, diantaranya yaitu 14:
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini merupakan bahwa setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian
berupa apa saja, baik bentuknya, isinya, dan pada siapa perjanjian yang ditujukan.
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”
Adapun tujuan dari pasal ini bahwa perjanjian itu dapat dibuat secara bebas
untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan
perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan isi dari perjanjian maupun
syarat-syarat dan bebas untuk menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak

tertulis. Hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat
13

Arfiana Novera dan Meria Utama, Dasar-Dasar Hukum Kontrak dan Arbiterasi,
Tunggal Mandiri, Malang, 2014, hal 6.
14
S. Imran, Asas-Asas Dalam Berkontrak: Suatu Tinjauan Historis Yuridis pada Hukum
Perjanjian, Sinar Grafika, 2007, hal 13.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian yang berupa apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum,
ketentuan undang-undang, kebiasaan, dan kesusilaan sehingga perjanjian tersebut
mengikat para pihak yang membuat sebagai undang-undang.
Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi:
a) Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang
b) Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undangundang.
Namun, kebebasan itu tetap ada batasannya, yaitu selama kebebasan itu tidak
melanggar norma, kesusilaan dan ketertiban umum.
b.


Asas konsesualisme
Perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu

tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat
formal.15 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan di dalamnya ditemukan
istilah “semua”. Kata-kata “semua” menunjuan bahwa setiap orang diberi
kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang rasanya baik untuk
menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan
mengadakan perjanjian.

15

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996, hal 24.

Universitas Sumatera Utara

c.


Asas kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat

menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka
perjanjian itu tidak akan mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan
kepercayaan ini, kedua pihak mengikat dirinya kepada perjanjian yang
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
d. Asas kekuatan mengikat
Dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para
pihak pada apa yang diperjanjikan, dan ada juga terhadap unsur lain sepanjang
dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, dan kebiasaan akan mengikat para
pihak.16
e. Asas persamaan hak
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan,
jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini
dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai
manusia ciptaan Tuhan.


16

H. S. Salim, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
2004, hal 18

Universitas Sumatera Utara

f. Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.17
3. Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang
terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat syarat untuk menentukan
sahnya perjanjian, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat adalah suatu keadaan di mana ada pernyataan persesuaian
kehendak antara pihak pertama dengan pihak lainnya. Kata sepakat dalam
suatu perjanjian merupakan suatu keadaan yang menunjukan kedua belah
pihak menyetujui isi perjanjian. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian

itu telah ada, mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan.
Setelah terjadi kesepakatan, maka bagaimana telah diketahui dengan kata
sepakat berakibat perjanjian itu mengikat dan harus dilaksanakan.
Kesepakatan yang dimaksud adalah kesepakatan yang bebas tanpa adanya
penyimpangan. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1321
KUHPerdata yang menyatakan :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

17

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal 97-88

Universitas Sumatera Utara

Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti
kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak
mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan
kehendak tersebut.
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui

(overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima
tawaran dinamakan akseptasi (acceptatiei).18
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Pada umumnya semua orang cakap membuat perjanjian, hal ini sesuai
dengan Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata. Orang yang dikatakan
cakap mel akukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian
apabila sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun atau telah kawin.
Adapun orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum terdapat
dalam pasal 1330 KUHPerdata yaitu:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. Orang-orang yang telah kawin. (ketentuan ini menjadi hapus dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
telah mengatur bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum).

18

Mariam Darus Badrulzaman 2, Op. Cit, hal 73-74.


Universitas Sumatera Utara

c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian yaitu adanya objek perjanjian,
yaitu berupa prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan
perjanjian. Di dalam Pasal 1333 angka 1 KUHPerdata menyatakan bahwa
suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian
yaitu barang paling sedikit ditentukan jenisnya. 19
d. Suatu sebab yang halal
Syarat ini merupakan syarat yang keempat atau terakhir untuk sahnya
perjanjian. Ketentuan dalam Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa
suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang
palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Suatu sebab dikatakan terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, ketertiban umu dan kepentingan umum (Pasal 1337 KUHPerdata).
Semua perjanjian yang tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian
menjadi batal demi hukum.
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihakpihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut
syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan
kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Artinya, salah
satu pihak dapat mengajukan pada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian
yang disepakatinya, tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan, perjanjian
tersebut tetap dianggap sah. Adapun apabila syarat ketiga dan keempat tidak
19

Hardijan Rusli, Op. Cit, hal 30.

Universitas Sumatera Utara

dipenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya, dari semula perjanjian
tersebut dianggap tidak ada.20
4. Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, adapun beberapa jenisjenis perjanjian di antaranya yaitu:
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.21
b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian

dengan

cuma-cuma

adalah

perjanjian

yang

memberikan

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah. Perjanjian atas beban
adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra
prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut
hukum. Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang
dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan.22
c. Perjanjian bernama (Benoemd, Specified)
Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama
sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi
20

Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung
2014, hal 87
21
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotaritan, Citra Aditya, Bandung, 2010, hal 54-55
22
Ibid, hal 59.

Universitas Sumatera Utara

sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan XVIII
KUHPerdata
d. Perjanjian tidak bernama
Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam
KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas,
lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian
atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh
dari perjanjian adalah perjanjian sewa beli.23
e. Perjanjian obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan
diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang
menimbulkan perikatan). Menurut KUHPerdata, perjanjian jual beli saja
mengakibatkan beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu
lembaga lain, yaitu penyerahan.
f. Perjanjian kebendaan (Zekelijke Overeenkomst)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban
(oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering).24
g. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya
Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya yaitu :

23

Ibid, hal 35-36
Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Malang,
2002, hal 169.
24

Universitas Sumatera Utara

1) Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri
dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding)
Pasal 1438 KUHPerdata;
2) Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara para
pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara
mereka;
3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774
KUHPerdata;
4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa
(pemerintahan), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian
pengadaan barang pemerintah (Keppres No. 29 Tahun 1984 Tentang
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).25

B. Perjanjian Gadai
1. Gadai dan perjanjian gadai
Di dalam hukum perdata dikenal hak kebendaan yang bersifat memberi
kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Hak
kebendaan yang bersifat memberi jaminan itu salah satunya adalah gadai (pand).26

25

Mariam Darus Badrulzaman 1, Op. Cit, hal 19-21.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Benda, Liberty, Bandung,
1981 hal 96.
26

Universitas Sumatera Utara

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu
barang yang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berpiutang sebagai
jaminan utangnya dan barang tersebut dapat dijual oleh yang berpiutang bila yang
berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempoh.
Pegadaian menurut Susilo yaitu suatu hak yang diperoleh oleh seorang yang
mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. 27 PT. Pegadaian (Persero) adalah
suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk
melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana masyarakat atas dasar hukum gadai.
Gadai diatur dalam buku II Titel XX KUHPerdata pasal 1150-1160
KUHPerdata. Pasal 1150 KUHPerdata memberi pengertian tentang gadai sebagai
berikut :
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya; dengan kekecualian
biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang
harus didahulukan.”
Dari defenisi gadai dalam Pasal 1150 KUHPerdata jelas terlihat bahwa gadai
adalah suatu hak atas benda bergerak milik orang lain, yang tujuannya hanya
sebagai jaminan tertentu bagi suatu pemenuhan suatu tagihan dari macam apapun.
Jadi benda itu merupakan jaminan pelunasan bagi pemenang gadai.

27

Adrian Sutedi, Op, Cit, hal 1

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka unsur-unsur atau elemen pokok
gadai yaitu:28
1. Gadai adalah jaminan untuk pelunasan utang
2. Gadai memberikan hak didahulukan atau hak preferent pelunasan hutang
kepada debitur tertentu terhadap kreditur lainnya
3. Objek gadai adalah barang bergerak
4. Barang bergerak yang menjadi obyek gadai tersebut diserahkan kepada
debitur (dalam kekuasaan kreditur)
Dari ketentuan Pasal 1150 KUH Perdatadapat dilihat bahwa para pihak yang
terlibat dalam perjanjian gadai, ada 2 (dua), yaitu pihak berutang (pemberi
gadai/debitur) dan pihak berpiutang (penerima gadai/kreditur).29 Kadang-kadang
di dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi
gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai sebagai jaminan piutangnya.
Kedudukan pemegang gadai di sini lebih kuat dari pemegang fidusia, karena
benda jaminan berada dalam penguasaan kreditur. Dalam hal ini kreditur terhindar
dari iktikad jahat (te kwader trouw) pemberi gadai, sebab dalam gadai benda
jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan (inbezitstelling)
pemberi gadai.30
Dalam hukum adat, gadai juga dikenal dengan istilah jual gadai. Jual gadai,
atau dalam bahasa Jawa disebut adol sende, dalam bahasa Sunda disebut gade
atau ngajual akad, dan dalam bahasa Minangkabau disebut sando, adalah
persetujuan dengan pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak lain yang
membayar sejumlah uang atau benda, dan selama tanah tersebut belum ditebus
28

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Jakarta, 2003, hal 228
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum
Perikatan, Nuansa Mulia, Bandung, 2007, hal 43
30
Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal 263.
29

Universitas Sumatera Utara

oleh pemiliknya atau ahli warisnya maka selama itu pula penerima gadai atau
ahliwarisnya berhak menguasai tanah tersebut.31
Defenisi gadai dalam Pasal 1150 dapat dikatakan bahwa gadai merupakan
perjanjian riil, yaitu perjanjian yang disamping kata sepakat diperlukan suatu
perbuatan nyata (dalam hal ini penyerahan kekuasaan atas barang gadai).32
Penyerahan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah penyerahan yang dilakukan
oleh debitur sebagai pemberi gadai dan ditunjukan kepada kreditur sebagai
penerima gadai. Perjanjian gadai menimbulkan hubungan hukum antara
pemegang gadai dengan pemberi gadai dimana memberikan kewajiban-kewajiban
pada masing-masing pihak. Hak gadai terjadi dengan memperpanjangkannya
terlebih dahulu, hal ini berarti terjadinya hak gadai tersebut baru ada setelah
proses perjanjian gadai dilaksanakan.
Perjanjian gadai pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih, hanya saja perbedaannya disini terdapat pada adanya
barang dalam perjanjian gadai, yang digunakan sebagai jaminan bahwa debitur
akan melunasi hutangnya kepada kreditur. Pada hakikatnya perjanjian gadai
terjadi apabila debitur atau pemberi gadai menyerahkan benda bergerak sebagai
jaminan kepada si kreditur atau pemegang gadai dan kreditur diberi kekuasaan

31

Ifan Noor Adham, Perbandingan Hukum Gadai di Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2009,

hal 59.
32

Gunawan widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, hal 93.

Universitas Sumatera Utara

untuk mengambil pelunasan dengan menjual barang jaminan itu apabila debitur
wanprestasi.
Perjanjian gadai merupakan perjanjian acceessoir, artinya perjanjian tambahan
terhadap perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam – meminjam uang.33 Yang
dimaksud perjanjian pokok, yaitu perjanjian antara pemberi gadai atau debitur
dengan pemegang gadai atau kreditur yang membuktikan kreditur telah
memberikan pinjaman kepada kreditur yang dijamin dengan gadai. Ketentuan ini
dapat dilihat pada Pasal 1151 KUHPerdata yang berbunyi :
“Persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi
pembuktian persetujuan pokoknya”
Berarti suatu perjanjian gadai dapat dibuktikan dengan apa-apa yang
digunakan untuk pembuktian perjanjian pokoknya.
Menurut ketentuan undang-undnag, hak gadai ini lahir setelah dilakukan
penyerahan kekuasaan atas barang yang digadaikan tersebut dari debitur kepada
kreditur atau pihak ketiga (bezit). Penguasaan benda pada pihak ketiga harus
berdasarkan kesepakatan pihak debitur dan pihak kreditur. Hal ini jelas terlihat
dalam Pasal 1152 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa
diletakan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si
berpiutang atau pihak ketiga, tentang siapa yang telah disetujui oleh kedua
bela pihak.

33

Djaja S. Meliala, Op.Cit. hal 44.

Universitas Sumatera Utara

Tak salah ada adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam
kekuasaan siberutang atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas
kemauan siberpiutang.”
Dari pasal tersebut dapat diketahui, bahwa selama barang tersebut masih
dalam kekuasaan sipenggadai maka perjanjian ini belum terjadi. Penyerahan
kekuasaan ini oleh undang-undang dianggap sebagai syarat mutlak lahirnya suatu
hak gadai.34 Hak menguasai barang-barang jaminan oleh kreditur tidak meliputi
hak memakai, menikmati atau memungut hasil dari barang yang telah dipakai
sebagai jaminan.35
Si pemberi gadai (debitur) tidak diperkenankan memiliki barangnya yang
telah berpindah penguasaannya pada pemegang gadai (kreditur) sebelum
melaksanakan kewajibannya yaitu membayar kembali pinjamannya atau
hutangnya pada kreditur. Dapat dilihat dalam ayat 1 Pasal 1154 KUHPerdata
yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila si berutang atau si pemberi gadai tidak memenuhi kewajibankewajibannya, maka tak diperkenankan si berpiutang memiliki barang yang
digadaikan”
Di dalam perjanjian gadai tidak boleh diperjanjikan bahwa benda gadai
sebagai jaminan, menjadi milik si penerima gadai apabila si pemberi gadai lalai
dalam melunasi hutangnya. Karena selain bertentangan dengan Pasal 1154 ayat
(1) KUHPerdata juga dipertegas dengan ayat (2) pasal tersebut menyatakan :
“ Segala janji yang bertentangan dengan ini adalah batal”
34
35

R. Subekti 2, Op.Cit, Hal 80.
Sri Soedewi M.S, Op.Cit, hal 98.

Universitas Sumatera Utara

Undang-undang menyatakan bahwa apabila debitur lalai melunasi hutangnya
maka kreditur diberi hak untuk menjual benda jaminan tersebut menurut syaratsyarat yang telah ditentukan dan kebiasaan setempat, dari hasil penjualan ini si
kreditur mendapatkan pelunasan atas piutangnya. 36 Si kreditur juga diberi hak
untuk menarik bunga dan biaya yang telah dikeluarkan untuk perawatan benda
tersebut setelah pelunasan atas piutangnya.
Penjualan terhadap benda jaminan merupakan konsekuensi dari wanprestasi
si debitur dalam memenuhi kewajibannya, sebagaimana diatur dalam pasal 1155
KUHPerdata yang berbunyi :
“Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka si berpiutang
adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai bercedera janji, setelah
tenggang waktu yang ditentukan lampau, atau jika telah ditentukan suatu
tenggang waktu, setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar,
menyuruh menjual barang gadainya di muka umum menurut kebiasaankebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang dengan lazim berlaku,
dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta
bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut”
Penjualan benda jaminan itu dilakukan di muka umum dengan cara lelang.
Pelelangan baru dapat dilakukan apabila batas waktu yang diperjanjikan antara
dua pihak telah lampau atau lewat. Jika batas waktu pemenuhan prestasi yang
harus dilakukan debitur tidak diperjanjikan sebelumnya maka oleh kreditur
pelelangan baru dapat dilakukan apabila debitur telah diberi peringatan (somatie),
supaya hutangnya dibayar, namun tidak diindahkannya.
Pelelangan dilakukan dengan terlebih dahulu memberitahukannya kepada
debitur (pemberi gadai). Setelah pelelangan tersebut kemudian kreditur akan
36

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, 2009, hal 112

Universitas Sumatera Utara

mengambil pelunasan atas piutang berikut biaya untuk pelelangan dan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan untuk perawatan dan pemeliharaan benda jaminan serta
bunganya. Kelebihan hasil yang didapat dari pelelangan benda jaminan
diberitahukan dan diserahkan kepada debitur.37 Dengan itu berakhirlah atau
hapuslah perjanjian pokok berupa pinjaman uang dan perjanjian gadai (pand)
sebagai accesoirnya.
Pasal yang berakhir dari pasal yang mengatur tentang gadai adalah Pasal 1160
KUHPerdata yang menggambarkan tentang salah satu sifat dari pada gadai yaitu
tidak dapat dibagi-bagi. Pasal 1160 KUHPerdata berbunyi :
“Barang gadai tidak dapat dibagi-bagi, sekalipun utangnya di antara para
waris si berutang atau di antara para warisnya si berpiutang dapat dibagibagi”.
Dari pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hutang tersebut dapat
dicicil, namun pembayaran sebagian hutang tidaklah melepaskan sebagian atau
seluruh gadai. Gadai akan hapus apabila seluruh hutang telah dilunasi.
Sumber hukum perjanjian gadai adalah tempat ditemukannya ketentuan
hukum atau perundang-undangan yang mengatur mengenai perjanjian gadai.
Adapun ketentuan yang secara khusus mengatur atau berkaitan dengan perjanjian
gadai tersebut dapat ditemukan dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgelijk Wetboek). Adapun keseluruhan gadai diatur dalam Pasal 1150
sampai dengan Pasal 1160. Di dalam ketentuan ini diatur tentang pengertian gadai
37

Ibid, hal 123.

Universitas Sumatera Utara

sekaligus menjelaskan tentang perjanjian gadai yang terdapat dalam Pasal 1151,
hak-hak para pihak dalam Pasal 1152 sampai dengan Pasal 1153, kewajiban para
pihak dalam Pasal 1154 sampai dengan Pasal 1155, wanprestasi dalam Pasal
1156, tanggung jawab para pihak dalam Pasal 1157, bunga dalam Pasal 1158,
debitur tidat berhak untuk menuntut kembali barang gadai sebelum dilunasi
seluruhnya dalam Pasal 1159, dan tidak dibagi-baginya barang gadai dalam Pasal
1160.
Dalam artikel 1196 vv, titel 19 buku III NBW yang berbunyi bahwa gadai
adalah38 :
“Hak kebendaan atas barang bergerak untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan” atau gadai adalah “suatu perjanjian
yang dibuat antara kreditur dengan debitur dimana debitur menyerahkan
benda bergerak kepada kreditur untuk menjamin pelunasan suatu
hutanggadai, ketika debitur lalu melaksanakan prestasinya”

2. Syarat Sah Perjanjian Gadai
Syarat sahnya perjanjian gadai sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yaitu
yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditambah dengan syarat benda gadai
dikuasai pemegang gadai (in bezit stelling) yaitu penyerahan benda jaminan
kepada penerima atau pemegang gadai (pemberi hutang) di mana benda gadai
berada dalam kekuasaan penerima atau pemegang gadai sampai hutang dilunasi
oleh pemberi gadai.

38

http://blograhmawatysasak.blogspot.co.id/2013/05/aspek-hukum-tentang-gadai.html
Pada Tanggal 10 Mei 2017, Pukul 19.53 Wib

Universitas Sumatera Utara

Kreditur dilarang memiliki barang gadai, hal ini untuk melindungi kaum
lemah yang memerlukan pinjaman, dari perbuatan curang pemilik uang yang akan
memberikan pinjaman kepada pemilik barang gadai. Walaupun dalam
pelaksanaannya masih ditemukan cara yang tidak baik dari pemilik uang yang
akan memberikan kekuasaan barang gadai milik pinjaman uang yaitu dengan
diperjanjikan bahwa bila lewat waktu gadai tidak ditebus, maka barang gadai
segera dijual untuk melunasi hutang. Kelicikan yang sering terjadi adalah bila
telah jatuh tempo untuk membayar hutang dan harus menebus barang gadai,
pemilik yang sulit dijumpai, sehingga setelah lewat waktu seolah-olah ada
kelalaian debitor, dan pemilik uang “menjual” barang untuk melunasi debitur.
Barang gadai dijual kepada diri pemilik uang itu sendiri. 39
Dengan kata lain, benda yang digadaikan harus keluar dari kekuasaan
pemberi gadai, jika syarat inbezitstelling tidak dipenuhi maka perjanjian gadai
dianggap tidak pernah ada. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1152 ayat (2) KUH
Perdata.
Syarat sahnya perjanjian gadai mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata, yaitu:40
a. Adanya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri.
Kesepakatan merupakan perwujudan dari kehendak dua pihak atau lebih
mengenai hal yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, mengenai cara

39
40

Peter Mahmud Marzuki, Hukum Jaminan Indonesia, Jakarta, 1998, hal 238-239
Hasanudin Rahman, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 5

Universitas Sumatera Utara

melaksanakan perjanjian, mengenai saat pelaksaan dan mengenai pihak yang
berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang telah disepakati tersebut.
b. Adanya kecakapan dari para pihak untuk membuat perjanjian gadai.
Kecakapan bertindak ini berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak
dalam hukum.
c. Adanya suatu hal tertentu.
KUHPerdata memberikan rumusan mengenai suatu hal tertentu dalam Pasal
1333, menyatakan: suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah
barang tidak tentu, asal saja

jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau

dihitung. Ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata, pada dasarnya hanya menegaskan
kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi
kewajiban dalam perjanjian adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan
harta kekayaan.
d. Adanya kausa yang halal/ tentang sebab yang halal dalam perjanjian gadai.
Perjanjian gadai yang dibuat tidaklah boleh bertentangan dengan undangundang yang berlaku, norma kesopanan dan norma kesusilaan.

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Setiap perjanjian yang dibuat tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban
bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut, begitu juga dengan perjanjian
gadai. Dalam Pasal 1155 KUHPerdata telah diatur tentang hak dan kewajiban
kedua belah pihak. Selama gadai berlangsung pemegang gadai dan pegadaian

Universitas Sumatera Utara

mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang timbul dari adanya
perjanjian gadai.
Pemegang gadai mempunyai beberapa hak sebagai berikut41:
1. Menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi)
Apabila para pihak tidak telah diperjanjikan lain, si berpiutang adalah berhak,
jika si berutang atau si pemberi gadai cedera janji, maka tenggang waktu yang
akan ditentukan lampau atau jika telah ditentukan suatu, menjual benda gadai.
Parate eksekusi, yaitu wewenang yang diberikan kepada kreditor untuk
mengambil pelunasan piutang dari kekayaan debitur, tanpa memiliki eksekutoriale
titel. Jadi hak pemegang gadai ini tidak lahir dari perjanjian secara tegas
dinyatakan para pihak, tetapi terjadi demi hukum, kecuali kalau diperjanjikan lain.
Untuk melakukan hal penjualan ini, pemegang gadai harus terlebih dahulu
memberikan peringatan (sommatie) kepada pemberi gadai supaya utangnya
dibayar. Penjualan harus dilakukan di depan umum, menurut kebiasaan setempat
serta atas syarat yang lazim berlaku (Pasal 1150 ayat 1 KUHPerdata). Ketentuan
ini bersifat memaksa, karena berhubungan dengan ketertiban umum. Setelah
penjualan dilakukan, pemegang gadai memberikan pertanggungjawaban tentang
hasil penjualan itu kepada pemberi gadai.
2. Menjual benda gadai dengan perantaraan hakim
Penjualan benda gadai untuk mengambil pelunasan dapat juga terjadi jika si
berpiutang menuntut di muka hakim supaya barang gadai dijual menurut cara
yang ditentukan untuk melunasi utang beserta bunga dan biaya.
41

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai, dan Fiducia,
Alumni, Bandung, 1979, hal 76. (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman 3).

Universitas Sumatera Utara

3. Atas izin hakim tetap menguasai benda gadai
Jika si berpiutang atau pemegang gadai dapat menuntut agar barang gadai
tetap berada pada si pemegang gadai untuk suatu jumlah yang akan di tetapkan
dalam vonis hingga sebesar piutangnya beserta bunga dan biaya (Pasal 1156 ayat
1 KUHPerdata).
4. Hak untuk mendapatkan ganti rugi
Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti rugi berupa biaya yang
perlu dan berguna, yang telah dikeluarkan si berpiutang atau pemegang gadai
untuk menyelamatkan benda gadai tersebut.42
5. Hak retensi (recht van terughouden)
Selama pemegang gadai tidak menyalahgunakan barang yang diberikan dalam
gadai maka si berpiutang tidak berkuasa menuntut pengembaliannya, sebelum ia
membayar sepenuhnya baik uang pokok maupun bunga dan biaya hutangnya,
yang untuk menjamin barang gadai telah diberikan, beserta segala biaya-biaya
yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang-barang gadai.

6. Hak di dahulukan
Kreditur (pemegang gadai) mempunyai hak didahulukan terhadap tagihantagihannya, baik terhadap utang pokok, bunga, dan biaya (Pasal 1150
KUHPerdata), hak mana diwujudkan dalam hak kreditur menjual barang gadai
sendiri ataupun melalui bantuan hakim (Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPerdata).
Terhadap hak didahulukan ini ada pengecualiannya, yaitu biaya lelang dan biaya

42

Ibid, hal 77.

Universitas Sumatera Utara

yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang gadai (Pasal 1150
KUHPerdata).
Kewajiban pemegang gadai diatur dalam Pasal 1154, Pasal 1156 dan Pasal
1157 KUHPerdata. Kewajiban-kewajiban kreditur pemegang gadai adalah sebagai
berikut:
1. Bertanggung jawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu
telah terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1) KUHPerdata)
2. Kewajiban untuk memberitahukan kepada pemberi gadai, jika barang gadai
dijual (Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata).
Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya
apabila ada sesuatu perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan
telegraf, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama
(Pasal 1156 ayat (2) KUHPerdata). Pemberitahuan dengan telegraf atau dengan
surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat (3)
KUHPerdata).
3. Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai (Pasal 1159 ayat (1)
KUHPerdata).43
4. Menjaga barang yang digadaikan sebaik-baiknya.
5. Tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya,
walaupun pemberi gadai wanprestasi (Psal 1154 KUHPerdata). 44
Sedangkan hak-hak pemberi gadai adalah sebagai berikut:

43

Ibid, hal 200-201
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hal 47
44

Universitas Sumatera Utara

1. Menerima uang gadai dari pemegang gadai.
2. Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah
di lunasinya.
3. Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk
melunasi hutang-hutangnya (Pasal 1156 KUHPerdata).
Kewajiban pemberi gadai:
1. Menyerahkan barang gadai kepada pemegang gadai.
2. Membayar pokok dan sewa modal kepada pemegang gadai.
3. Membayar biaya yang dikeluarkan oleh pemegang gadai untuk menyelamatkan
barang-barang gadai (Pasal 1157 KUHPerdata).45

45

Ibid, hal 48

Universitas Sumatera Utara