Integrasi Sosial Antara Etnis Cina dan Etnis Aceh (Studi Deskriptif Pada Etnis Cina dan Etnis Aceh di Kota Juang Kabupaten Bireuen)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam
masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat
meliputi ras, etnis, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan lain sebagainya. Apakah dua
kelompok masyarakat yang berbeda budaya etnis tidak mungkin dapat di persatukan dan
hidup secara berdampingan? Meski di sebagian komunitas, perseteruan antar etnis riskan
terjerumus dalam konflik yang berdarah, tetapi ternyata beberapa komunitas yang lain
perbedaan yang ada tidak selalu harus berbuntut dengan konflik yang terbuka, keadaan inilah
yang membuat adanya masyarakat yang terintegrasi (Bagong, 2010 : 203)
Defenisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan dimana kelompok-kelompok
etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat,
namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka.
Masing-masing integrasi memilik 2 pengertian, yaitu:
a. Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem
sosial tertentu
b. Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu.
Dalam KBBI disebutkan bahwa integrasi adalah pembauran sesuatu yang tertentu
hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Istilah pembauran tersebut mengandung arti
masuk ke dalam, menyesuaikan, menyatu, atau melebur sehingga menjadi satu.

Banton (dalam Sunarto, 2000 : 154) mendefenisikan integrasi sebagai suatu pola
hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan
makna penting pada perbedaan ras tersebut.

Universitas Sumatera Utara

2.1.1 Syarat terjadinya Integrasi
a) Anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhankebutuhan mereka.
b) Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (konsensus) bersama mengenai
nilai dan norma.
c) Nilai dan norma sosial itu berlaku cukup lama dan dijalankan secara konsisten.
2.1.2. Bentuk-bentuk integrasi sosial
a)

Integrasi Normatif, integrasi yang terjadi akibat adanya norma-norma yang
berlaku dimasyarakat, contoh masyarakat Indonesia dipersatukan oleh semboyan
Bhineka Tunggal Ika

b)


Integrasi Fungsional, integrasi yang terbentuk sebagai akibat adanya fungsifungsi tertentu dalam masyarakat. Contoh Indonesia yang terdiri dari berbagai
suku, mengintegrasikan dirinya dengan melihat fungsi masing-masing, suku
bugis melaut, jawa pertanian, Minang pandai berdagang.

c)

Integrasi Koersif, integrasi yang terbentuk berdasarkan kekuasaan yang dimiliki
penguasa.

2.1.3 Proses Integrasi
Proses integrasi dapat dilihat melalui proses-proses berikut:
1) Asimilasi : berhadapannya dua kebudayaan atau lebih yang saling memengaruhi
sehingga memunculkan kebudayaan baru dengan meninggalkan sifat asli.
2) Akulturasi : proses sosial yang terjadi bila kelompok sosial dengan kebudayaan
tertentu dihadapkan pada kebudayaan asing (baru), sehingga kebudayaan asing
(baru)

diserap/diterima

dan


diolah

dalam

kebudayaan

sendiri,

tanpa

meninggalkan sifat aslinya.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Faktor-faktor Pendorong Integrasi Sosial
1)

Adanya toleransi terhadap kebudayaan yang berbeda


2)

Kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi

3)

Mengembangkan sikap saling menghargai orang lain dengan kebudayaannya

4)

Adanya sikap yang terbuka dengan golongan yang berkuasa

5)

Adanya persamaan dalam unsur unsur kebudayaan.

6)

Adanya perkawinan campur (amalgamasi)


7)

Adanya musuh bersama dari luar.

2.1.5. Solidaritas Sosial
Menurut Emile Durkheim (dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2013:130), masyarakat
tradisional dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur internal dan fungsi
eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok, baik itu
solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
Integrasi yang terjadi adalah karena adanya solidaritas yang didasarkan pada
pembagian kerja sehingga pembagian kerja ialah syarat hidup bagi masyarakat modern,
karena merupakan kewajiban moral. Ia menunjukkan pembagian kerja tersebut sebagai salah
satu sumber terpenting dalam solidaritas, karena pada dasarnya manusia yang hidup saling
bergantung sehingga perlu adanya aturan-aturan yang mengatur hubungan masyarakat.
Pembagian solidaritas tersebut menjadi dua macam, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas
organik. Solidaritas mekanik didasarkan atas persamaan. Persamaan dan kecenderungan
untuk berseragam, inilah yang membentuk struktur sosial masyarakat segmenter dimana
masyarakat bersifat homogen dan mirip satu sama lain.
Apabila salah satu segmen ini hilang maka tidak akan berpengaruh besar terhadap
segmen lainnya. Ciri masyarakat dengan solidaritas mekanik ini ditandai dengan adanya

kesadaran kolektif dimana mereka mempunyai kesadaran untuk hormat pada ketaatan, karena

Universitas Sumatera Utara

nilai-nilai keagamaan masih sangat tinggi. Hukuman yang terjadi bersifat represif yang
dibalas dengan penghinaan terhadap kesadaran kolektif sehingga memperkuat kekuatan
diantara mereka. Persoalan tentang solidaritas dikaitkan dengan sanksi yang diberikan kepada
warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Indikator yang paling jelas untuk
solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat
yang bersifat menekan (refresip).
Hukum-hukum ini mendefenisikan setiap prilaku penyimpangan sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan nilai serta mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman refresif
tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap
keteraturan sosial. Sanksi dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik tidak dimaksudkan
sebagai suatu proses yang rasional. Singkatnya, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
“kesadaran kolektif” yang dilakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen
total diantara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung
homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek
kehidupan, baik sosial, politk, bahkan kepercayaan atau agama.
2.1.6. Bentuk-bentuk interaksi

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan
(competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Suatu
pertikaian mungkin mendapatkan suatu penyelesaian. Mungkin penyelesaian tersebut hanya
akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi (accomodation);
dan ini berarti bahwa kedua belah pihak belum tentu puas sepenuhnya. Suatu keadaan dapat
dianggap sebagai bentuk keempat dari bentuk interaksi sosial. Keempat bentuk pokok dari
interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa
interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak
menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi. Akan tetapi ada baiknya untuk

Universitas Sumatera Utara

menelaah proses-proses interaksi tersebut di dalam kelangsungannya Selo Soemardjan
(dalam Soerjono Soekanto, 2007:64).
Bentuk-bentuk interaksi sosial terbagi menjadi dua, diantaranya adalah asosiatif yaitu
interaksi sosial yang mengarah pada bentuk penyatuan dan disosiatif, yaitu interaksi sosial
yang mengarah pada bentuk pemisahan.
Proses-proses interaksi yang pokok adalah sebagai berikut.
1. Proses Asosiatif
Bentuk interaksi sosial asosiatif adalah interaksi sosial yang melahirkan kerjasama.

Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial asosiatif diantaranya adalah sebagai berikut:
a.

Kerjasama, yaitu suatu bentuk interaksi sosial dimana ada usaha yang

dilakukan bersama-sama antara individu ataupun kelompok untuk mencapai suatu
tujuan bersama. Bentuk interaksi ini timbul karena adanya kesamaan,kepentingan,atau
tujuan dan pandangan antara individu di dalamnya.
b.

Akomodasi, yaitu suatu proses dalam hubungan sosial yang sama artinya

dengan pengertian adaptasi yang menunjuk pada suatu proses dimana makhluk hidup
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Ada beberapa bentuk-bentuk akomodasi, di
antaranya adalah sebagai berikut: Toleransi (suatu sikap yang di ambil untuk
menghindari suatu perselisihan) kompromi (interaksi sosial dimana terjadi sikap saling
pengertian antar pihak, sehingga terjadi suatu penyelesaian terhadap perselisihan.
Kompromi sering disebut juga dengan perundingan). Koersi (suatu bentuk akomodasi,
dimana proses pelaksaannya dilakukan dengan cara paksaan. Bentuk koersi ini terjadi
apabila satu pihak memiliki posisi yang lebih kuat).

c.

Asimilasi, yaitu proses sosial dalam taraf lanjut yang ditandai dengan adanya

usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau
kelompok-kelompok manusia yang meluputi usaha untuk mempertinggi kesatuan

Universitas Sumatera Utara

tindak, sikap, dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan
bersama.
d.

Akulturasi yaitu proses sosial dalam masyarakat yang terdapat unsur

kebudayaan baru yang timbul sebagai akibat pergaulan orang-orang dari kelompok
sosial lainnya.
e.

Amalgamasi merupakan istilah perkawinan campuran antar etnis ataupun


proses sosial yang meleburkan berbagai kelompok budaya yang ada disuatu wilayah
yang sama menjadi kesatuan.
2.2 Teori Interaksionis Simbolik
Interaksionis simbolik adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara
manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi
antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial
merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat.
Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsug secara sadar. Interaksi simbolik juga
berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vocal, gerakan fisik, ekspresi tubuh,
yang semuanya itu mempunyai maksud yang di sebut dengan simbol.
Setiap makhluk hidup merupakan mahkluk sosial, yang tidak hanya berlaku bagi
manusia. Seperti semut, ulat dan hewan lainnya juga hidup berkumpul dalam kelompok
tertentu. Akan tetapi dasar dari kehidupan bersama hewan-hewan tadi adalah dasar fisiologis
dan naluriah. Sedangkan dasar kehidupan bersama dari manusia adalah komunikasi terutama
lambang-lambang, sebagai kunci untuk memahami kehidupan sosial manusia.
Interaksionis simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya
symbol yang terpenting, dan melalui syarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah
jadi, symbol berada dalam proses kontinu. Proses penyampaian makna inilah yang
merupakan subject matter dari sejumlah analisis kaum interaksionis simbolik. Dalam


Universitas Sumatera Utara

interaksi orang belajar memahami simbol-simbol konvensional dan dalam satu pertandingan
mereka belajar menggunakannya sehingga mampu memahami aktor-aktor lainnya.
Bagi blumer (dalam Margaret M. Poloma 2010:2) interaksionis simbolik bertumpu
pada tiga premis:
1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
sesuatu itu bagi mereka.
2) Makna tersebut berasa dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”
3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Keistimewaan pendekatan kaum interaksionis simbolik ialah manusia dilihat saling
menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan itu menurut mode stimulus-respon.
Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh
pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Manusia mempunyai kemampuan untuk
menciptakan dan memanipulasi

simbol-simbol dan diperlukan kemampuan untuk

komunikasi antarpribadi dan pikiran subjektif.
Kemampuan manusia menggunakan simbol suara yang dimengerti bersama
memungkinkan perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin
melalui isyarat fisik saja (Wirawan, 2012:124). Seperti masyarakat di Kecamatan. Kota Juang
Kabupaten Bireuen, dimana dengan berkomunikasi mereka akan menggunakan simbolsimbol etnis mereka masing-masing dan menunjukkan identitas mereka dalam penyesuaian
diri dengan lingkungannya.
2.3 Adaptasi Sosial Budaya
Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat
begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya, karena individu
tersebut mempunyai lingkungan diluar dirinya, baik lingkungan fisik maupun ligkungan

Universitas Sumatera Utara

sosial. Lingkungan tersebut mempunyai aturan berupa norma-norma yang membatasi tingkah
laku individu dan proses penyesuian tersebut merupakan proses adaptasi sosial.
Soerjono soekonto (2007:10) memberikan beberapa batasan pengertian adaptasi
sosial, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketengangan.
Proses perubahan untuk menyesesuaikan dengan situasi yang berubah.
Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan.
Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
Salah satu adaptasi sosial tersebut adalah adaptasi budaya yang terdiri dari dua kata

masing-masing makna yakni, kata adaptasi dan budaya, adaptasi adalah kemampuan atau
kecenderungan makhluk hidup dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru untuk dapat
tetap hidup dengan baik. Sedangkan budaya atau kebudayaan adalah segala daya dan
kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Dengan kata lain kebudayaan
mencakup segala yang di dapat atau yang di pelajari dari pola-pola perilaku yang normatif.
Artinya mencakup segala cara-cara atau pola pikir, merasakan dan bertindak.
Dalam masyarakat, adaptasi sosial budaya dimulai melalui penyesuaian cara hidup
dengan lingkungan sekitarnya yang memiliki perbedaan secara adat istiadat, bahasa dan
agama yang berbeda. Dimana dalam adaptasi sosial budaya terdapat nilai dan norma sosial
dalam tata cara bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkunngannya. Seperti
Etnis Cina sebagai masyarakat pendatang yang tempat tinggal mereka berada di lingkungan
yang memiliki adat istiadat yang kuat dan konservatif terhadap agama. Sehingga etnis Cina
harus mampu untuk menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan agar dapat diterima
dengan baik oleh lingkungannya.

Universitas Sumatera Utara

2.4 Karakteristik Masyarakat Aceh
Aceh dilatarbelakangi oleh berbagai sukubangsa dan budaya yang merupakan suatu
integrasi antar suku bangsa sehingga pada masa kerajaan Aceh Darussalam disebut dengan
suku bangsa Aceh.
Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal wali, karong, kaom yang merupakan
bagian dari sistem kekerabatan. Agama islam adalah agama yang paling mendominasi di
Aceh oleh karena itu Aceh dijuluki dengan “serambi mekkah”. Dari struktur masyarakat
Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya.
Suku Aceh adalah salah satu kelompok “asal” di daerah Aceh yang kini merupakan
Provinsi Aceh. Orang Aceh biasa menyebut dirinya dengan “ureueng Aceh”. Suku Aceh
adalah penduduk asli yang tersebat populasinya di daerah Provinsi Aceh. Mereka mendiami
daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara,
Bireuen, Aceh Timur, Aceh Selatan dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan oleh suku Aceh
termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, diantaranya
dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Suku Aceh atau Suku yang menggunakan bahasa Aceh umumnya hidup di daerah
pesisir Aceh. Suku Aceh ini merupakan yang terbanyak diantara sub-suku Aceh yang lainnya.
Suku Aceh mempunyai peranan yang baik di bidang ekonomi, politik dan sosial keagamaan.
Suku Aceh ini berbicara dalam bahasa Aceh dan berbudaya Aceh serta mempunyai peranan
dalam pengembangan agama Islam di Aceh. Suku
Aceh berdomisili di sembilan daerah tingkat II. Suku Aceh ini diperkirakan berasal
dari negara India, Indo Cina dan Persia, hidupnya terpencar baik di pesisir maupun di
pedalaman Aceh. demikian juga mata pencaharian, mereka dapat kuasai dalam berbagai
bidang. Kehidupan mereka lebih cepat menerima pembaruan. Keberadan Suku Aceh ini

Universitas Sumatera Utara

memperkuat sistem dan struktur masyarakat Aceh selanjutnya membentuk suatu peradaban
Aceh yang Islami.
Suku Aceh atau yang sering disebut dengan Aceh pesisir merupakan masyarakat
yang mayoritas hidup dan berkembang sebagaimana sub-suku lainnya. Suku aceh merupakan
mayoritas dominan dalam segi politik, ekonomi, dan perdagangan di Aceh. Suku Aceh ini
juga sering diidentikkan dengan pekerja keras, tahan akan tantangan dan giat serta ulet dalam
segala bidang. Suku Aceh atau Aceh pesisir merupakan salah satu suku yang sangat mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik dengan para pendatang atau apabila mereka
keluar daerah. Realita tersebut terlihat dengan banyaknya para tokoh politik, pendidikan dan
para saudagar dari Suku Aceh yang memainkan peranannya di Aceh maupun di tingkat pusat.
Di Provinsi Aceh terdapat pula beberapa suku bangsa lainnya, sekaligus antar suku
tersebut mempunyai budaya sendiri dan berbeda satu dengan yang lainnya. Berbagai suku
tersebut diantaranya, Suku Gayo, Suku Tamiang, Suku Alas, Suku aneuk Jamee (pendatang),
Suku Kluet, Suku Melayu Singkil, Suku Defayan, dan Suku Sigulai.
Gayo merupakan salah satu sub-suku Aceh yang hidup dan berkembang didataran
tinggi tanah Gayo. Etnik Gayo merupakan sub-etnik yang mendekati atau hampir sama
dengan etnik Batak. Etnik Gayo sebelumnya hidup di pedalaman Aceh tengah, akan tetapi
setelah kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam antara tahun 1550-1650, etnik ini disatukan oleh
Sultan Aceh sehingga statusnya sama dengan etnik Aceh yang hidup dan berkembang di
daerah Aceh. Etnik gayo dilihat dari kehidupan dan dalam interaksi dengan lingkungan
budaya luar hidupnya agak khas dibanding dengan etnik lainnya, karena etnik Gayo sangat
menghargai nilai-nilai budayanya. Kenyataannya tersebut dapat dilihat dari interaksinya
dalam masyarakat. Akan tetapi selama perkembangan teknologi informasi kehidupan mereka
telah mulai terbuka dengan lingkungannya. Etnik ini dalam kehidupan sehari-hari sangat
menjujung tinggi nilai-nilai budaya serta bahasa mereka.

Universitas Sumatera Utara

Etnik Tamiang merupakan salah satu sub-etnis Aceh yang menurut sejarah merupakan
turunan melayu dari Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini berlayar ke daerah Sumatera bagian barat
karena memudarnya Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini merupakan etnik pendatang ke Aceh,
karena sebelumnya di ujung sumatera tersebut sudah ada penghuninya. Oleh karena itu
mereka singgah di daerah Kuala Simpang. Etnik ini identik dengan Melayu Riau dan Melayu
Malaysia. Akan tetapi secara keseluruhan etnik ini dapat menyatu dengan etnik Aceh, karena
kelembutan dan keramahan etnik Melayu tersebut. Etnik Tamiang sering disebut Melayu
Tamiang atau Aceh Tamiang. Dilihat dari bahasa dan warna kulitnya memang lebih banyak
Melayunya dibandingkan dengan Acehnya. Demikian juga kebudayaan mereka hampir sama
dengan kebudayaan Melayu Deli dan Suku Melayu lainnya di Semenanjung Malaka. Aceh
Tamiang selain memakai bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, sekaligus budayanya
mirip dengan etnik Melayu lainnya di Nusantara.
Sedangkan etnis Alas merupakan etnik yang tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara dan
Hulu Sungai Singkil. Secara Antropologi Etnik Alas ini mendekati etnik Karo, yang ada di
Sumatera Utara. Demikian juga bahasa mereka pun hampir dengan bahasa Karo. Namun
demikian etnis Alas ini hidup dan berkembang serta berbudaya dengan budayanya sendiri.
Mereka juga umumnya tinggal di daratan tinggi Aceh Tenggara. Etnis Alas sampai saat ini di
perdesaan masih memakai marga, akan tetapi marganya pun berbeda dengan marga Batak,
selain karena kedekatan budaya sekaligus berdekatan dengan Sumatera Utara. Demikian juga
dengan budaya baik pakaian ataupun bahasanya mirip dengan budaya dan bahasa Batak.
Etnik Aneuk Jamee merupakan etnik pendatang, umumnya dari Sumatera Barat.
Etnik Aneuk Jamee ini tidak jauh berbeda dengan etnik Aceh yang lainnya. Akan tetapi
mereka sebenarnya merupakan integrasi antara etnis Minang dengan etnis Aceh, sehingga
lahir lah satu etnik yang disebut dengan Aneuk Jamee (kamu-pendatang). Sedangkan etnik
Kleut, baik Kleut Utara maupun Kleut Selatan, merupakan salah satu turunan dari etnis Alas.

Universitas Sumatera Utara

Bahkan etnis Alas menurut cerita berasal dari berasal dari etnis Kleut ini. Dan etnis Singkil
adalah satu etnis yang hidup di Kabupaten Aceh Singkil. Etnis ini mirip bahasanya dengan
etnis Melayu dan bahasa kleut dan bahasa Batak Karo.
Terakhir adalah etnik Defayan dan Singulai. Etnik ini hidupnya di kabupaten Simeulu
atau Pulau Simeulu. Etnik ini mendekati turunan dari etnis Nias Sumatera Utara. Akan tetapi
etnis Defayan dan Singulai semuanya menganut agama islam dan berbudaya seperti budaya
islam. Secara antropologi etnis ini jika dilihat bentuk mukanyapun mendekati etnis Nias dan
kebanyakan mereka berkulit agak putih. Inilah etnik-etnik Aceh yang hidup dan berkembang
saat ini. Mereka umumnya beragama Islam dan tunduk kepada syariat Islam. Etnik-etnis
Aceh tersebut disatukan kedalam satu bangsa pada masa Kerajaan Islam dengan nama
Bangsa Aceh (Rani Usman 2003:38-42).
2.5 Etnis Cina di Indonesia
Indonesia adalah negara yang multikultural dan multi etnis, akan tetapi golongan
keturunan yang paling sulit kedudukannya dalam masyarakat Indonesia adalah masyarakat
etnis Cina. Etnis Cina memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan
yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, dan khususnya mempunyai keyakinan
keagamaan yang lain sama sekali dari masyarakat yang terdapat di Indonesia.
Keberadaan etnis Cina sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan
dalam konteks relasi minoritas - mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka
dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran
pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde
Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Cina yang sempat marak. Kedudukan
sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang
lemah maupun minoritas yang kuat. Secara umum etnis Cina di Indonesia membuat
lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara "eksklusif dengan tetap mempertahankan

Universitas Sumatera Utara

kebudayaan atau tradisi leluhur. Ekslusivisme orang Cina itu disebabkan oleh kehendak
mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia
sebagai kelompok minoritas. Jika memang demikian, maka dalam pemikiran etnis Cina itu
masih seperti pola pikir masa silam pada masa penjajahan.
Etnis Cina adalah salah satu kelompok masyarakat non pribumi yang bermigrasi ke
Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar
dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di
perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Kedudukan istimewa etnis Cina mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok
masyarakat pribumi. Keberadaan etnis Cina di Indonesia menimbulkan berbagai masalah
dibandingkan dengan keberadaan orang asing lainnya seperti orang Arab, mdia, Eropa, dan
sebagainya.
Di Indonesia telah terjadi beberapa peristiwa tindak kerusuhan antara etnis Cina
dengan

pribumi. Penyebab kerusuhan tersebut sebahagian besar berkisar pada masalah

ekonomi, yang menunjukkan bahwa golongan pribumi merasa tidak puas akan pemerataan
pendapatan dan pemerataan kegiatan usaha. Jika dilihat dari format negara Indonesia yang
indigenous nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah
menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya. Di zaman Orde
Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina adalah salah satu suku di
Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya.
Dengan demikian orang Cina telah menjadi orang Indonesia Sejati. tanpa asimilasi
total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk
diwujudkan. Bahkan di era Orde Baru, orang Cina harus melakukan asimilasi total dengan
meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia. Faktor-faktor penghambat
integrasi antara orang Cina dengan pribumi, antara lain karena adanya perbedaan orientasi,

Universitas Sumatera Utara

adat istiadat, bahasa, agama, struktur ekonomi, serta partisipasi dalam bidang politik.
Sebaliknya, proses integrasi orang Cina cepat beijalan, karena mereka sudah meninggalkan
adat istiadat budaya Cina bahkan hampir semua generasi mudanya secara sempurna
berasimilasi dengan masyarakat Thai dan memakai nama, adat, nilai orang Thai, dan
menghilangkan identitas kesetiaan pada tanah leluhurnya.
Di beberapa daerah dimana terdapat orang Cina dan pribumi hidup dalam satu
wilayah, pada umumnya diakui bahwa hubungan sosial diantara mereka kurang harmonis,
sehingga masih terbentuk stereotipe-stereotipe yang kuat tentang etnis Cina di Indonesia.
Sebaliknya etnis Cina pun mempunyai stereotipe tertentu tentang orang pribumi meskipun
jarang dilontarkan secara terbuka. Orang selalu beranggapan bahwa karakteristik atau
perilaku tiap individu berlaku sama dalam satu kelompok primordial. Oleh karena itu,
permasalahan kecil pada tingkat individu dapat meluas pada tingkat kelompok etnis sehingga
akibatnya dapat menjadi masalah suku, agama dan ras (SARA).
Stereotipe biasanya terbentuk atas dasar kejadian yang sudah ada sebelumnya,
kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas yang biasanya berkonotasi
negatif. Pengamatan mi hanya melihat dari sisi luamya saja tanpa mengetahui latar belakang
sikap dan perilaku yang membentuknya sehingga stereotipe bisa menumbuhkan fanatisme
dan kecurigaan yang akhirnya akan menyebabkan masing-masing kelompok menutup diri
dan memperkuat stereotipe tersebut. Sifat tertutup seperti ini tentu menghambat komunikasi
yang sangat diperlukan dalam proses pembauran, sebab komunikasi merupakan salah satu
syara tmutlak untuk terjadinya interaksi sosial yang harmonis, yang pada gilirannya dapat
menumbuhkan rasa saling menghormati antar orang Cina dengan pribumi. Setiap kelompok
etnis biasanya mempunyai pandangan atau penilaian terhadap orang lain diluar kelompok
etnisnya. Stereotipe (prasangka) dipunyai oleh masingmasing etnis mengenai golongan etnis
lainnya yang ada di wilayahnya. Walaupun warga masing-masing etuis itu mempunyai

Universitas Sumatera Utara

stereotipe mengenai etnis lainnya, tetapi hubungan kerja sama dan hubungan sosial etnis
yang berbeda tetap berlangsung.
Salah satu pencetus stereotipe terhadap etnis Cina adalah disebabkan selain jumlah
mereka yang makin lama semakin besar,juga disebabkan peranan mereka yang menonjol
dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia. Akibat kelebihan mereka dalam bidang
ekonomi, maka persepsi warga negara Indonesia asli (pribumi) terhadap mereka selalu
bersifat negatif, karena ada anggapan bahwa mereka memperoleh kekayaan secara tidakjujur,
sehingga timbullah tuduhan- tuduhan seperti : sombong, licik dalam berusaha, suka memberi
hadiah/menyogok untuk melicinkan usaha, hidup secara eksklusif, tinggal di pusat kota
dalam gedung tembok yang berpagar besi dari luar dan dalam, seolah-olah menganggap
semua warga pribumi sebagai pencuri/ orang-orang nakal. warga masyarakat Cina selain
sebagai pedagang, buruh juga bekerja sebagai karyawan di pabrik atau industri, seperti pabrik
plastik, kayu lapis, bir dan industri pengecoran logam miliki Cina. Mereka yang bekerja
sebagai karyawan pabrik itu pada umumnya mempunyai penghasilan yang cukup, seperti
tampak dari bangunan rumah mereka dan perlengkapannya. Gaji di pabrik atau perusahaan
lainnya antara karyawan pribumi dengan karyawan etnis Cina tidak sama besamya dan pada
umumnya gaji karyawan Cina lebih besar dibandingkan karyawan pribumi.
Pada umumnya etnis Cina masih berorientasi pada budaya leluhumya, seperti
mempercayai arwah leluhumya, yang tampak dari kebiasaan untuk menyediakan sesajen
kepada nenek moyang. Sesajen berupa air, kue apem merah, pisang, jeruk dan apel. Sesajen
yang dipilih dari buah-buahan yang terbaik itu akan diganti sekali seminggu. Pada waktuwaktu tertentu mereka juga selalu membuang bunga rampai di persimpangan jalan, yang
tujuannya adalah untuk mengucapkan rasa syukur kepada arwah nenek moyang yang telah
memberikan rezeki kepada mereka selama ini.

Universitas Sumatera Utara

Pada umumnya etnis Cina adalah pedagang biasanya akan selalu berbelanja kepada
grosir milik etnis Cina juga, karena itu harga yang diberikan grosir lebih murah dibandingkan
bagi pedagang pribumi atau masyarakat setempat. Ketika berbelanja dengan pedagang etnis
Cina di Kota Medan, pada umumnya orang pribumi harus hati-hati kalau tidak mau tertipu.
Kadangkala pedagang Cina pertama sekali menawarkan harga barang dagangannya tiga kali
lipat atau bahkan samapai lima kali lipat dari harga normal suatu barang. Jika berbelanja
dengan etnis Cina seringkali masyarakat pribumi harus terlebih dahulu tahu harga normal
suatu barang dan biasanya yang menjadi harga standart adalah harga yang terdapat di
swalayan. Sterotipes (prasangka- prasangka) tersebut sebenarnya dapat berkurang apabila
batas-batas sosial yang menghambat terwujudnya hubungan baik apabila suatu arena.
Interaksi yang dapat mengakomodasi sikap-sikap yang tidak bersahabat. Hal ini dapat
dilakukan pada tingkat kelurahan seperti menyambut hari kemerdekaan, gotongroyong,
karang taruna, atau kegiatan olah raga yang melibatkan semua golongan etnis atau bahkan
dengan perkawinan campur etnis Cina dengan etnis pribumi yang sudah barang tentu yang
seagama. Kegiatan tersebut mungkin dapat menjembatanai sikap-sikap yang tidak bersahabat
sehingga dapat lebih lunak. Di sisi lain, ada anjuran pemerintah agar warga negara keturunan
Cina mengganti nama-nama mereka yang sesuai/ "berbau" Indonesia asli. Penggunaan huruf
atau bahasa Cina tidak boleh digunakan di sekolah-sekolah. Akan tetapi, masih saja
terdapat jurang (gap) antara pribumi dan non-pribumi Cina, sehingga masih potensial untuk
sewaktu-waktu dapat menimbulkan benturan – benturan kembali.
2.6 Etnisitas dalam perspektip Max Weber
Dalam bahasa popular etnik adalah kumpulan masyarakat yang mendiami sebuah
wilayah yang memiliki identitas dan kebiasaan tersendiri dan berbeda dengan masyarakat
lainnya. Istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras,
agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai

Universitas Sumatera Utara

budayanya. Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia
yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama
sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem
budaya dan mereka terikat didalamnya.
Kelompok etnik pada umumnya dipahami sebagai suatu populasi orang atau
penduduk yang memiliki ciri-ciri yaitu :
1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan
2) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan

dalam

suatu bentuk budaya
3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan
4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain
dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Secara eksplinsif, Weber (dalam Yesmil anwar dan adang 2013:137) terlibat dengan
hubungan etnis dan menyediakan beberapa model yang terintegrasi dan koheren untuk
penjelasan hubungan antar etnik, model-model itu adalah sebagai berikut :
1. Etnisitas sebagai bentuk dari status kelompok.
Kelompok etnis sebagai kelompok yang menyuguhkan kepercayaan subjektif di
dalam keturunan mereka karena adanya tipe fisik yang mirip. Hal yang krusial dari prinsip ini
adalah etnisitas ada hanya ada didasar dari kepercayaan kelompok tertentu. lalu etnisitas
berakar di dalam satu kepercayaan yang mahakuasa. Selain itu, etnisitas ternyata diperkuat
dan di tegaskan di ranah kultural atau kessamaan fisik atau pada dasar dari pembagian
ingatan bersama.
3. Etnisitas sebagai mekanisme dari terpaan monopolistik sosial.
Status kelompok seering berjalan pada basis terpaan sosial dimana posisi
monopolistik mereka secara teratur dipakai untuk mencegah orang-orang yang

Universitas Sumatera Utara

bukan anggota kelompok dari memperoleh keuntungan simbolik atau material dari
kelompok mereka.
3. Keragaman bentuk etnik dari organisasi sosial.
Meskipun sebagian besar mereka beroperasi sebagai status kelompok, kelompok etnis
dapat menggunakan bentuk kelas, kasta dan tanah. Dengan adanya fenomena kasta etnis,
dimana kelompok, perbedaan kasta jauh lebih kaku dan mendekati kelompok sosial.
4. Etnisitas dan mobilisasi politik.
Weber mendefenisikan etnisitas dalam istilah dinamika aktivitas politik. menurutnya,
eksistensi dari komunitas politik merupakan prasyarat bagi perilaku kelompok etnis.
Kesadaran kelompok terutama dibentuk oleh pengalaman politik secara umum, bukan dengan
common descent.
Dilihat dari empat prinsip utama diatas,status kelompok merupakan hal yang paling
sering menjelaskan kelompok etnis. Status kelompok etnis membuat orang-orang percaya
bahwa mereka sama dari segi kultur, common descent, serta bahasa. Tak hanya itu, mereka
juga percaya bahwa semua itu adalah milik mereka. Contohnya ada disekitar kita, bila ada
seseorang berbicara Aceh, kita bisa menduga kalau ia berasal dari suku Aceh. Begitu juga
yang ditemukan pada masyarakat Kota Juang yaitu terdapatnya etnis-etnis dari berbagai jenis
etnis yang ada di Indonesia. Mereka menempati satu wilayah dan tinggal bersamaan secara
berdampingan dengan etnis lain dan masing-masing etnis memiliki karakteristiknya sendiri
yang dapat menunjukkan identitas etnis yang mereka miliki.
3.1 Defenisi Konsep
1. Integrasi sosial
Merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga
menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebur dapat meliputi ras, etnis, agama
bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan lain sebagainya

Universitas Sumatera Utara

2. Masyarakat
Masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya
sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
3. Adaptasi sosial
Adaptasi sosial adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini
dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti
mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi.
4. Adaptasi Budaya
Adaptasi budaya merupakan sebuah proses yang berjalan secara ilmiah dan tidak
dapat dihindari dimana seorang individu beruaha untuk mengetahui segala sesuatu tentang
budaya dan lingkungannya yang baru sekaligus memahaminya.
5. Toleransi
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan
perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda
atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.
6.

Kerja sama

Kerja sama adalah suatu bentuk interaksi antara orang-perorang atau kelompok
manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan yang bersama.
7. Etnis Aceh
Etnis yang mendiami utara Sumatra, mayoritas beragama islam. Bahasa yang di
pertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon
Khmer (wilayah champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa melayu-polynesia
barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.

Universitas Sumatera Utara

8. Etnis Cina (Cina)
Salah satu etnis di Indonesia yang asal usul dari Tiongkok. Biasanya mereka menyebut
dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka).
Cina atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang Cina di Indonesia, yang
berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin zhonghua dalam dialek Hokkian di
lafalkan sebagai Cina.
9. Kelompok Etnis
Suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan
sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang di anggap sama. Identitas etnis di
tandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan
budaya, bahasa, agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis.

Universitas Sumatera Utara