Hubungan Kadar Procalcitonin dengan Jenis Bakteri Penyebab Infeksi pada Sepsis di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis

2.1.1. Definisi

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah respon tubuh secara klinis terhadap inflamasi, yang termasuk dua atau lebih dari gejala berikut: Temperatur >38° C atau <36° C, Denyut jantung >90x/menit, Laju pernafasan >20x/menit atau Pa02 <32 mmHG, Hitung lekosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm3, atau >10% neutrofil yang imatur (Tazbir, 2012; Perman, Goyal, & Gaieski, 2012). Sepsis adalah respon tubuh terhadap adanya infeksi yang timbul bersama dengan manifestasi klinis dari suatu infeksi sistemik. Sepsis berat (severe sepsis) didefinisikan sebagai sepsis dengan disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan (Dellinger, et al., 2013), sedangkan dikatakan syok septik (septic shock) apabila hipotensi tidak dapat dikompensasi setelah dilakukan resusitasi cairan (Napitupulu, 2010).

Tubuh memiliki respon terhadap invasi terhadap mikroba, respon ini dapat berupa respon lokal atau respon sistemik. Respon sistemik ini disebut SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), yang memiliki ciri-ciri klasik berupa: demam atau hipotermi, leukositosis atau leukopenia, takipnu dan takikardi. SIRS dengan infeksi (yang dicurigai atau terbuktikan) disebut sebagai sepsis (Munford dalam Fauci, 2008).

2.1.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko

Menurut sebuah tinjauan tahun 2009, dari data pasien internasional yang menderita sepsis, dengan data lebih dari 11.000 pasien dari 37 negara. Dari pasien tersebut, 57% mengalami infeksi bakteri gram negatif, 44% mengalami infeksi bakteri gram positif, dan 11% mengalami infeksi jamur (beberapa mengalami infeksi campuran, maka totalnya adalah >100%) (Stearns-Kurosawa, et al., 2013).


(2)

Paru-paru adalah sumber utama daripada infeksi pada 47% pasien, diikuti dengan abdomen 23%, saluran kemih 8%. Sebagian pasien memiliki komorbiditas (comorbidities), termasuk diabetes (24%), penyakit paru kronis atau kanker (16%), gagal jantung kongestif (congestive heart failure) (14%), dan penurunan fungsi ginjal (11%). Mortalitas daridatabaseadalah mendekati 50%, yang menunjukkan sepsis masih bertahan sebagai sindroma yang mematikan (Stearns-Kurosawa, et al., 2013).

Faktor resiko untuk mengembangkan sepsis bergantung pada munculnya kondisi komorbiditas yang berasosiasi dengan penurunan sistem imun dan atau dengan terapi imunosupresif. Tempat terjadinya infeksi primer dan jenis mikroba tertentu yang menginfeksi memainkan peran tambahan, dimana faktor genetik mungkin jugalah penting. Usia lanjut, penurunan fungsi limpa, alkoholisme dengan penyakit hati yang signifikan, penyakit ginjal kronik, penggunaan obat secara intravena, malnutrisi, infeksi HIV, diabetes mellitus dan keganasan merupakan predisposisi untuk infeksi spesifik, sering dengan peningkatan keparahan. Kemoterapi kanker, terapi imunosupresif setelah transplantasi organ dan terapi pengguanaan steroid yang lama juga meningkatkan resiko terjadinya sepsis (Taljaard, 2010).

2.1.3. Etiologi

Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, atau riketsia (Powell dalam Behrman, 1996). Menurut Uthman (1997), sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.

Menurut Munford dalam Fauci (2008), kultur darah dapat mendeteksi bakteri atau jamur pada 40-70% kasus syok septik dan 20-40% pada kasus sepsis berat. Bakteri gram negatif atau gram positif mencakup 70% dari kasus sepsis jika gagal terdeteksi, harus dilakukan tes mikroskopik pada jaringan lokal. Sehingga terkadang sulit untuk mendeteksi bakteri dalam darah pada kasus sepsis.


(3)

2.1.4. Patogenesis

Sekarang diduga bahwa SRRS (Sindrom Respon Radang Sistemik) disebabkan oleh sepsis, akibat dari cedera jaringan pasca-respons hospes terhadap produk-produk bakteri misalnya endotoksin dari bakteri gram-negatif dan kompleks asam lipoteikoat-peptidoglikan dari bakteri gram-positif. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram-negatif (H.influenza, N.meningitidis, E.coli, Pseudomonas) dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibodi monoclonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septik pada model percobaan. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan ke dalam aliran darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih lanjut. (Gambar 2.1). Jumlah sitokin yang terkait dengan SRRS terus bertambah dan sekarang mencakup faktor nekrosis tumor (FNT), interleukin (IL)-1, -6 dan -8, faktor pengaktif-trombosit (platelet-activating factor= PAF) dan interferon (Powell dalam Behrman, 1996).

Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu respons fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba. Respons ini adalah:

1. Aktivasi sistem komplemen

2. Aktivasi faktor Hageman (faktor XII), yang kemudian mencetuskan tingkatan-tingkatan koagulasi

3. Pelepasan hormon adrenokortikotropin dan beta-endorfin, 4. Rangsangan neutrofil polimorfonuklear

5. Rangsangan sistem kalikrein-kinin.

FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, menimbulkan kebocoran kapiler difus, mengurangi tonus vaskuler, dan terjadi ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan kebutuhan metabolik


(4)

jaringan. Aktivitas mediator radang atau respons yang berlebihan berperan dalam pathogenesis sepsis (Powell dalam Behrman, 1996).


(5)

2.1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sepsis meliputi tiga dari kriteria SIRS, suhu tubuh >38.0°C atau <36.0°C, takikardi (denyut jantung lebih dari 90x/menit), dan takipnu (laju pernafasan lebih dari 20x/menit, hasil hitung leukosit lebih dari 12.000/mm3 atau kurang dari 4.000/mm3 atau lebih dari 10% sel yang imatur yang merupakan kriteria dari SIRS yang keempat (Perman, Goyal, & Gaieski, 2012).

Dari skenario sebelumnya, ditambah dengan tanda-tanda disfungsi organ tingkat akhir yang diakibatkan oleh ketidakmampuan dari mikrovaskular dan perfusi yang miskin, mendefinisikan sepsis berat. Dimanfaatkan teknik pencitraan polarisasi spektral orthogonal menetapkan bahwa mikrosirkulasi sublingual pada pasien septik terganggu dibandingkan dengan relawan yang sehat dan pasien kritis non-septik. Selain itu, proporsi perfusi pembuluh darah kecil langsung berkorelasi dengan kelangsungan hidup, di mana pasien yang selamat memiliki tingkat perfusi yang lebih tinggi. Perfusi yang buruk di otak dapat mengakibatkan perubahan status mental, perfusi yang buruk di ginjal dapat menyebabkan oliguria atau anuria, perfusi jantung yang buruk dapat mengakibatkan depresi miokard, penurunan curah jantung, dan hipotensi atau tanda-tanda kegagagalan jantung, kulit mungkin berbintik-bintik, disfungsi paru dapat mengakibatkan cedera paru akut atau sindroma gangguan pernapasan akut (Perman, Goyal, & Gaieski, 2012).

Syok septik adalah bagian dari sepsis berat yang ditandai oleh hipotensi yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan. Sepsis yang diinduksi hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (Systolic Blood Pressure) yaitu kurang dari 90 mmHg atau pengurangan yang lebih besar dari 40 mmHg dari baseline. Meskipun disfungsi organ tingkat akhir ditemukan pada sepsis berat, mekanisme yang sebenarnya mengapa pasien


(6)

meninggal karena sepsis masih tidak diketahui dengan jelas (Perman, Goyal, & Gaieski, 2012).

2.1.6. Diagnosis

Tidak ada uji diagnostik yang khusus untuk respon septik. Parameter klasik septik adalah temuan klinis sensitif untuk infeksi dan termasuk demam atau hipotermi, takipnu, takikardi, dan lekositosis atau leukopenia. Dalam status mental akut, trombositopenia, peningkatan serum laktat dan hipotensi meningkatkan kecurigaan klinis terhadap sepsis. Respon septik bisa bervariasi dan pasien dengan sepsis mungkin saja tidak disertai dengan beberapa temuan klinis yang khas. Sebaliknya, pasien mungkin disertai dengan semua gejala klinis dari inflamasi sistemik, tapi tidak disetai dengan penyebab infeksi (Taljaard, 2010).

SIRS Non Infeksi dapat terjadi dengan beberapa etiologi, sebagai berikut: pankreatitis, terbakar, trauma, infark miokardiak, emboli paru, aneurisma pembedahan aorta, cardiac tamponade, insufisiensi adrenal, anafilaksis, dan overdosis obat-obatan (Taljaard, 2010).

Diagnosis etiologi pasti membutuhkan isolasi dari mikroorganisme. Setidaknya 2 sampel kultur darah harus diperoleh dari vena yang berbeda. Invasi mikroba pada aliran darah tidaklah selalu harus ada untuk berkembang menjadi sepsis, karena infeksi lokal juga dapat menyebabkan respon inflamasi sistemik dengan disfungsi organ. Oleh karena itu sangatlah penting untuk melakukan kultur dengan bahan kultur didapat dari tempat infeksi utama atau dari lesi kulit yang terinfeksi. Hasil kultur sering menunjukkan hasil negatif, meskipun tanda infeksi bersifat pasti. Kultur negatif dapat terjadi karena penggunaan antibiotika belakangan ini, dengan pertumbuhan yang lambat atau tidak adanya invasi pada aliran darah (Taljaard, 2010).

Kriteria diagnostik untuk sepsis dapat dibagi dalam beberapa bagian, yaitu: variabel umum, variabel inflamasi, variabel hemodinamik, variabel


(7)

disfungsi organ, dan variabel perfusi jaringan. Pada variabel umum, terdapat demam (> 38°C), hipotermi (temperatur inti < 36°C), denyut jantung > 90x/menit, takipnu, perubahan status mental, edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (> 20mL/kg melebihi 24 jam), hiperglikemi (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes. Pada variabel inflamasi, terdapat leukositosis (hitung lekosit > 12000 μ L), leukopenia (hitung lekosit < 4000μ L), hitung lekosit normal dengan lebih dari 10% bentuk yang imatur, plasmaC-Reactive Proteinlebih dari dua sd diatas nilai normal, plasma procalcitonin lebih dari dua sd diatas nilai normal. Pada variabel hemodinamik, terdapat hipotensi arterial (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP berkurang > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari dua sd. Pada variabel disfungsi organ, terdapat hipoksia arterial (PaO2/FiO2 < 300), oligouria akut (output urine < 0,5 mL/kg/hari minimal 2 jam meskipun resusitasi cairan adekuat), peningkatancreatinine

(> 0.5 mg/dL atau 44,2 μ mol/L), abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau aPTT > 60 detik), ileus, trombositopenia (< 100.000μ L), hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4 mg/dL atau 70 μ mol/L). Pada variabel perfusi jaringan, terdapat hiperlaktatnemia (> 1 mmol/L) dan penurunan pengisian kapiler atau bintik-bintik (Dellinger et al., 2013)

2.1.7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Abnormalitas awal termasuk leukositosis atau leukopenia, trombositopenia (sampai dengan 30% pasien), dan proteinuria. Neutrofil mungkin mengandung granulasi beracun atau vakuola sitoplasma. Dengan progresi dari respon septik, trombositopenia menjadi lebih berat (<50.000) dan jika disertai dengan perpanjangan waktu trombin (thrombin time), penurunan fibrinogen dan peningkatan D-dimer adalah sugestif dari DIC. Hemolisis aktif dengan fragmen pada hapusan darah memperkuat diagnosis DIC. Enzim hati yang abnormal adalah manifestasi awal yang umum dari sepsis dan mungkin juga disertaicholestatic jaundice dengan peningkatan serum bilirubin terkonjungasi dan alkali fosfatase. Hipotensi berat yang


(8)

berkepanjangan dapat menyebabkan elevasi yang ditandai dengan transaminase karena nekrosis hepatosit iskemik (Taljaard, 2010).

Selama respon septik, jaringan tidak dapat mengekstraksi oksigen dari darah seperti biasa, yang kemudian mengakibatkan metabolisme anerobik. Kadar laktat darah meningkat pada awal dan akhirnya berlanjut menjadi asidosis metabolik. Hiperglikemi sering muncul, kebanyakan pada penderita diabetes, dan mungkin juga memicu ketoasidosis diabetik. Hiperventilasi selama awal sepsis bisa menyebabkan alkalosis respiratorik, tetapi ini akan segera diganti dengan asidosis metabolik (dengan peningkatan anion gap) dikarenakan kelelahan pernafasan dan hiperlaktatnemia (Taljaard, 2010).

Hasil respon fase akut menunjukkan peningkatan produksi dari C-reactive protein, ferritin, fibrinogen dan komponen komplemen. Temuan foto polos dada bervariasi dari normal sampai konsolidasi pneumonia ke kelebihan cairan dan infiltrat difus dari sindroma gangguan pernapasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome), tergantung pada proses penyakit yang mendasari. EKG biasanya menunjukkan sinus takikardi dan terkadang beberapa kelainan gelombang ST-T nonspesifik (Taljaard, 2010).

2.2. Jenis bakteri penyebab infeksi

2.2.1. Cara untuk membedakan jenis bakteri

Kriteria yang sesuai dengan tujuan untuk mengklasifikasi bakteri meliputi banyak cara. Informasi bernilai dapat didapatkan melalui mikroskop, yaitu mengobservasi bentuk sel dan ada atau tidaknya struktur spora ataupun flagella. Prosedur pewarnaan seperti pewarnaan Gram bisa menjadi penaksiran yang dapat diandalkan dari lapisan sel yang alamiah. Sebagian bakteri memproduksi pigmen-pigmen ber-karakteristik tertentu, dan sebagian dapat dideferensiasikan menurut basis dari komplemen dari enzim ekstraseluler, aktifitas dari protein tersebut dapat dideteksi sebagai


(9)

zona yang bebas dari kumpulan koloni yang tumbuh di substrat yang tak larut (Morse dalam Brooks, 2007).

Prosedur pewarnaan Gram pada awalnya dikembangkan oleh dokter dari Denmark. Hans Christian Gram membedakan pneumokokus dengan Klebsiella pneumonia. Secara singkat, prosedur melibatkan penerapan larutan yodium ke sel yang sebelumnya diwarnai dengan kristal violet atau

gentian violet. Prosedur ini menghasilkan "ungu berwarna kompleks yodium" dalam sitoplasma bakteri. Sel-sel yang sebelumnya diwarnai dengan kristal violet dan yodium yang selanjutnya diperlakukan dengan agen peluntur warna seperti etanol 95% atau campuran aseton dan alcohol (Gram stain Technique,2001).

Perbedaan antara bakteri Gram-positif dan Gram-negatif adalah dalam permeabilitas dinding sel, dengan "ungu berwarna kompleks yodium" ketika diberikan dengan pelarut peluntur warna. Sementara bakteri Gram-positif mempertahankan ungu kompleks iodin setelah diberikan dengan agen peluntur warna, bakteri Gram-negatif tidak dapat mempertahankan kompleks warna ketika dilunturkan. Untuk memvisualisasikan bakteri gram negatif yang tak mempertahankan warna, pewarna kontra merah seperti safranin digunakan setelah dilakukan pelunturan warna (Gram stain Technique,2001).


(10)

Gambar 2.2 Gambaran kokus gram positif dan basil gram negatif pada pewarnaan Gram (Gram Stain Technique, 2001)

2.2.2. Bakteri Gram Positif

Kelompok bakteri ini memiliki profil dinding sel tipe gram positif. Sel mungkin berbentuk bulat, batang, atau filamen (Gambar 2.3); batang dan filamen mungkin saja tidak bercabang, atau mungkin saja menunjukkan percabangan. Reproduksi umumnya dengan cara pembelahan biner. Beberapa bakteri dalam kategori ini menghasilkan spora sebagai bentuk istirahat (endospora) (Morse dalam Brooks, 2007).


(11)

2.2.3. Bakteri Gram Negatif

Kelompok bakteri heterogen yang memiliki amplop sel kompleks yang terdiri dari membran luar, dalam, dan peptidoglikan tipis (yang mengandung asam muramik dan terdapat di semua, namun beberapa organisme telah kehilangan bagian dari amplop sel ini), dan sebuah membran sitoplasma. Bentuk sel (Gambar 2.3) bisa bulat, oval, lurus atau batang melengkung, heliks, atau filamen; beberapa bentuk ini mungkin memiliki sarung atau kapsul. Reproduksi adalah dengan cara pembelahan biner, tetapi beberapa kelompok bereproduksi dengan carabudding(Morse dalam Brooks, 2007)

(A) Kokus, (B) Batang, (C) Spiral

Gambar 2.3 Bentuk dari Bakteri (Morse, 2007)

2.3. PROCALCITONIN

2.3.1. Biokimia dan Patofisologi 2.3.1.1.Biokimia

Procalcitonin pertama kali disebutkan sebagai protein yang diasosiasikan dengan sepsis pada tahun 1993. Protein ini terdiri dari 116 asam amino dan dapat dideteksi didalam plasma ketika sepsis, infeksi, dan reaksi inflamasi yang berat. Rantai asam amino ini identik dengan protein prekursor hormon calcitonin. Kedua protein ini (PCT dan calcitonin) berasal dari gen yang sama, tetapi cara induksinya berbeda. Procalcitonin yang diinduksi oleh sepsis


(12)

juga berasal dari sel-sel yang berbeda, yaitu sintesis primernya oleh C-cellsdi kelenjar adrenal dan sebagian oleh hormon aktif neuroendrokrin di organ-organ lain. Selain prohormon yang lengkap (116 asam amino), fragmen dari procalcitonin yang berbeda juga muncul di plasma. Pertama, didalam plasma terdapat bentuk N-terminal yang terdiri dari 2 sampai 114 asam amino dengan enzym dipeptidyl peptidase IV, yang bersifat tidak aktif. Kedua, fragmen procalcitonin dengan panjang yang bervariasi, termasuk rangkaian calcitonin yang berhubungan dengan ujung terminal dari molekul N- atau C- (Meisner, 2010).

2.3.1.2.Mekanisme induksi PCT

Induksi dari PCT diatur dengan sangat teliti, memerlukan tahap-tahap yang berbeda untuk aktivasi (gambar 2.4). Tidak seperti sitokin-sitokin, proses untuk pelekatan dan komunikasi antara sel memegang peran, bersamaan dengan progresi pengaktifan yang tergantung waktu. Regulasi yang sangat teliti dari induksi bisa menjadi salah satu sebab untuk tingginya spesifisitas dari marker, yang korelasi antara konsentrasi plasma dengan tingkat keparahan atau derajat inflamasi yang baik (Meisner, 2010).

Monosit yang disirkulasi juga memproduksi PCT setelah stimulasi dari endotoksin konsentrasi tinggi. Hanya sel-sel yang melekat memperlihatkan produksi PCT yang signifikan. Ini hanya berlangsung selama beberapa jam. Hanya kontak langsung dari sel-sel monosit dengan sel-sel parenkim, menunjukkan sampai saat ini hanya untuk adiposity, mengarah untuk memproduksi PCT di sel-sel tersebut dengan komunikasi antar sel (Meisner, 2010).


(13)

Gambar 2.4. Induksi dan efek biologis dari PCT (Meisner, 2010)

2.3.2. Stabilitas PCT

PCT memiliki beberapa karakteristik yang mendukung kegunaannya dibeberapa prosedur rutin. Contohnya, PCT di sampel darah adalah protein yang relatif stabil, juga dapat diambil menjadi sampel untuk pengukuran bersama dengan pemeriksaan darah rutin lainnya. Di dalam tubuh, waktu paruh dari protein yang tidak aktif dalam sirkulasi dapat dideteksi lebih kurang 24 sampai 35 jam. Waktu induksi yaitu 4 sampai 12 jam, yaitu lebih lama daripada sitokin, tetapi lebih singkat secara signifikan daripada CRP (Meisner, 2010).

2.3.3. Metode pengukuran kadar PCT

Ada beberapa uji imunologi yang tersedia, termasuk yang otomatis, untuk pengukuran kuantitatif atau semikuantitatif dari procalcitonin. Tergantung dengan metodenya, pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan serum ataupun plasma, dan tergantung pada test yang digunakan, dibutuhkan sampel sebanyak 20 sampai 200 µL. Waktu yang


(14)

dibutuhkan sampai hasil PCT keluar adalah 19 menit sampai 2,5 jam (Meisner, 2010).

2.3.4. Sifat Induksi dan Eliminasi PCT

Induksi PCT sangatlah cepat, dapat dideteksi didalam sirkulasi hanya dalam waktu 2 sampai 6 jam setelah stimulus yang adekuat. Konsentrasi plasma yang signifikan secara umum dicapai setelah kira-kira 6 jam, dengan kadar puncak setelah terjadi 12 sampai 48 jam. Dengan waktu paruh sekitar 20 sampai 30 jam, berkurang lagi setelah beberapa hari. Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain dapat dilihat di gambar 2.5 (Meisner, 2010).

Gambar 2.5 Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain (Meisner, 2010)

2.3.5. Apa saja yang menyebabkan PCT meningkat 2.3.5.1.Infeksi bakteri dan sepsis

Infeksi bakteri menginduksi PCT dalam konsentrasi yang terukur sesaat setelah respon inflamasi (lokal ataupun sistemik) terjadi, dan respon ini dapat mencapai tingkat keparahan tertentu. Ini menunjukkan bahwa apabila PCT meningkat, dapat diasumsikan telah terjadi infeksi (diagnosis dari sepsis) yang ditandai dengan respon


(15)

inflamasi sistemik. Peningkatan kadar PCT mengindikasikan resiko yang nyata pada pasien. Infeksi bakteri lokal yang sederhana, dibeberapa kasus, mungkin saja tidak selalu menginduksi PCT, dan apabila ada, hanya menginduksi kadar PCT dalam jumlah yang sangat sedikit (Meisner, 2010).

2.3.5.2.Peningkatan PCT dengan penyebab non Bakteri

PCT dapat diinduksi tanpa adanya infeksi bakteri, ini dapat terjadi pada kejadian traumatis parah atau di situasi, terlepas dari fokus bakteri spesifik, dibebani oleh endotoxin didalam tubuh, misalnya setelah prosedur operasi abdomen, trauma abdomen, masalah sirkulasi mikro umum yang berat dengan persyaratan katekolamin tinggi, pankreatitis berat, atau kerusakan hepar yang berat. Bahkan infeksi jamur yang berat juga dapat menginduksi PCT. Dengan contoh, candidiasis dengan kadar PCT lebih dari 5ng/mL. Apabila kadar PCT tidak memberikan respon terhadap terapi antibiotik, maka bisa diindikasikan sebagai suatu infeksi jamur (Meisner, 2010).


(1)

Gambar 2.2 Gambaran kokus gram positif dan basil gram negatif pada pewarnaan Gram (Gram Stain Technique, 2001)

2.2.2. Bakteri Gram Positif

Kelompok bakteri ini memiliki profil dinding sel tipe gram positif. Sel mungkin berbentuk bulat, batang, atau filamen (Gambar 2.3); batang dan filamen mungkin saja tidak bercabang, atau mungkin saja menunjukkan percabangan. Reproduksi umumnya dengan cara pembelahan biner. Beberapa bakteri dalam kategori ini menghasilkan spora sebagai bentuk istirahat (endospora) (Morse dalam Brooks, 2007).


(2)

2.2.3. Bakteri Gram Negatif

Kelompok bakteri heterogen yang memiliki amplop sel kompleks yang terdiri dari membran luar, dalam, dan peptidoglikan tipis (yang mengandung asam muramik dan terdapat di semua, namun beberapa organisme telah kehilangan bagian dari amplop sel ini), dan sebuah membran sitoplasma. Bentuk sel (Gambar 2.3) bisa bulat, oval, lurus atau batang melengkung, heliks, atau filamen; beberapa bentuk ini mungkin memiliki sarung atau kapsul. Reproduksi adalah dengan cara pembelahan biner, tetapi beberapa kelompok bereproduksi dengan carabudding(Morse dalam Brooks, 2007)

(A) Kokus, (B) Batang, (C) Spiral

Gambar 2.3 Bentuk dari Bakteri (Morse, 2007) 2.3. PROCALCITONIN

2.3.1. Biokimia dan Patofisologi 2.3.1.1.Biokimia

Procalcitonin pertama kali disebutkan sebagai protein yang diasosiasikan dengan sepsis pada tahun 1993. Protein ini terdiri dari 116 asam amino dan dapat dideteksi didalam plasma ketika sepsis, infeksi, dan reaksi inflamasi yang berat. Rantai asam amino ini identik dengan protein prekursor hormon calcitonin. Kedua protein ini (PCT dan calcitonin) berasal dari gen yang sama, tetapi cara induksinya berbeda. Procalcitonin yang diinduksi oleh sepsis


(3)

kelenjar adrenal dan sebagian oleh hormon aktif neuroendrokrin di organ-organ lain. Selain prohormon yang lengkap (116 asam amino), fragmen dari procalcitonin yang berbeda juga muncul di plasma. Pertama, didalam plasma terdapat bentuk N-terminal yang terdiri dari 2 sampai 114 asam amino dengan enzym dipeptidyl peptidase IV, yang bersifat tidak aktif. Kedua, fragmen procalcitonin dengan panjang yang bervariasi, termasuk rangkaian calcitonin yang berhubungan dengan ujung terminal dari molekul N- atau C- (Meisner, 2010).

2.3.1.2.Mekanisme induksi PCT

Induksi dari PCT diatur dengan sangat teliti, memerlukan tahap-tahap yang berbeda untuk aktivasi (gambar 2.4). Tidak seperti sitokin-sitokin, proses untuk pelekatan dan komunikasi antara sel memegang peran, bersamaan dengan progresi pengaktifan yang tergantung waktu. Regulasi yang sangat teliti dari induksi bisa menjadi salah satu sebab untuk tingginya spesifisitas dari marker, yang korelasi antara konsentrasi plasma dengan tingkat keparahan atau derajat inflamasi yang baik (Meisner, 2010).

Monosit yang disirkulasi juga memproduksi PCT setelah stimulasi dari endotoksin konsentrasi tinggi. Hanya sel-sel yang melekat memperlihatkan produksi PCT yang signifikan. Ini hanya berlangsung selama beberapa jam. Hanya kontak langsung dari sel-sel monosit dengan sel-sel parenkim, menunjukkan sampai saat ini hanya untuk adiposity, mengarah untuk memproduksi PCT di sel-sel tersebut dengan komunikasi antar sel (Meisner, 2010).


(4)

Gambar 2.4. Induksi dan efek biologis dari PCT (Meisner, 2010)

2.3.2. Stabilitas PCT

PCT memiliki beberapa karakteristik yang mendukung kegunaannya dibeberapa prosedur rutin. Contohnya, PCT di sampel darah adalah protein yang relatif stabil, juga dapat diambil menjadi sampel untuk pengukuran bersama dengan pemeriksaan darah rutin lainnya. Di dalam tubuh, waktu paruh dari protein yang tidak aktif dalam sirkulasi dapat dideteksi lebih kurang 24 sampai 35 jam. Waktu induksi yaitu 4 sampai 12 jam, yaitu lebih lama daripada sitokin, tetapi lebih singkat secara signifikan daripada CRP (Meisner, 2010).

2.3.3. Metode pengukuran kadar PCT

Ada beberapa uji imunologi yang tersedia, termasuk yang otomatis, untuk pengukuran kuantitatif atau semikuantitatif dari procalcitonin. Tergantung dengan metodenya, pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan serum ataupun plasma, dan tergantung pada test yang digunakan, dibutuhkan sampel sebanyak 20 sampai 200 µL. Waktu yang


(5)

(Meisner, 2010).

2.3.4. Sifat Induksi dan Eliminasi PCT

Induksi PCT sangatlah cepat, dapat dideteksi didalam sirkulasi hanya dalam waktu 2 sampai 6 jam setelah stimulus yang adekuat. Konsentrasi plasma yang signifikan secara umum dicapai setelah kira-kira 6 jam, dengan kadar puncak setelah terjadi 12 sampai 48 jam. Dengan waktu paruh sekitar 20 sampai 30 jam, berkurang lagi setelah beberapa hari. Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain dapat dilihat di gambar 2.5 (Meisner, 2010).

Gambar 2.5 Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain (Meisner, 2010)

2.3.5. Apa saja yang menyebabkan PCT meningkat 2.3.5.1.Infeksi bakteri dan sepsis

Infeksi bakteri menginduksi PCT dalam konsentrasi yang terukur sesaat setelah respon inflamasi (lokal ataupun sistemik) terjadi, dan respon ini dapat mencapai tingkat keparahan tertentu. Ini menunjukkan bahwa apabila PCT meningkat, dapat diasumsikan telah terjadi infeksi (diagnosis dari sepsis) yang ditandai dengan respon


(6)

inflamasi sistemik. Peningkatan kadar PCT mengindikasikan resiko yang nyata pada pasien. Infeksi bakteri lokal yang sederhana, dibeberapa kasus, mungkin saja tidak selalu menginduksi PCT, dan apabila ada, hanya menginduksi kadar PCT dalam jumlah yang sangat sedikit (Meisner, 2010).

2.3.5.2.Peningkatan PCT dengan penyebab non Bakteri

PCT dapat diinduksi tanpa adanya infeksi bakteri, ini dapat terjadi pada kejadian traumatis parah atau di situasi, terlepas dari fokus bakteri spesifik, dibebani oleh endotoxin didalam tubuh, misalnya setelah prosedur operasi abdomen, trauma abdomen, masalah sirkulasi mikro umum yang berat dengan persyaratan katekolamin tinggi, pankreatitis berat, atau kerusakan hepar yang berat. Bahkan infeksi jamur yang berat juga dapat menginduksi PCT. Dengan contoh, candidiasis dengan kadar PCT lebih dari 5ng/mL. Apabila kadar PCT tidak memberikan respon terhadap terapi antibiotik, maka bisa diindikasikan sebagai suatu infeksi jamur (Meisner, 2010).