Hubungan Kadar Interleukin – 6 (IL-6) dengan Procalcitonin (PCT) pada Pasien Sepsis Berat di RSUP.H.Adam Malik Medan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepsis merupakan suatu sindroma klinik oleh karena adanya respon tubuh
yang berlebih terhadap rangsangan mikroorganisme dan seringkali menjadi
penyebab utama kematian di sejumlah rumah sakit di Indonesia, khususnya di
Ruangan Intensive Care Unit (ICU). Sepsis sendiri merupakan kelanjutan dari
sindrom respons inflamasi sistemik (systemic infalammatory response syndrome /
SIRS) disertai infeksi yang diketahui atau ditentukan dengan biakan positif terhadap
organisme. Sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas terutama
pada usia lanjut, ditandai dengan penurunan sistem kekebalan tubuh yang melemah
(immunocompromised), penderita dengan kondisi kritis dan penderita rawatan ICU
yang bukan penyakit jantung koroner (Guntur, 2008).
Menurut data penelitian sebelumnya, tercatat bahwa pada periode Januari
2006 – Desember 2007 di bagian ICU RSUD Dr. Moewardi Surakarta, angka
kejadian sepsis sebesar 33,5% dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2%,
sedangkan pada ICU RSUP Dr.Kariadi Semarang tercatat pada tahun 2004 sampai
dengan 2005 didapatkan hasil positif timbulnya kuman pada kultur darah pasien
sepsis sebesar 35,5% (Pudjiastuti, 2008). Penelitian di berbagai ICU rumah sakit di
Eropa dicatat bahwa angka kejadian mortalitas pasien sepsis di rumah sakit adalah
rawat inap sebesar 36% dan ICU sebesar 27%. (Vincent, 2006) Pada tahun 2001

penelitian oleh Angus et.al menyatakan bahwa sepsis menyumbang 9,3% kematian
di Amerika. Harrison et.al memperkirakan bahwa sepsis menyebabkan 30 sampai 50
kematian tiap 100.000 populasi. Dan hal ini menempatkan sepsis pada peringkat 10

1
Universitas Sumatera Utara

besar penyakit yang menyebabkan kematian terbanyak di seluruh dunia (Angus DC,
2001).
Prediksi mortalitas pada pasien di ICU sangatlah penting, baik secara klinik
maupun administrasi. Tetapi prediksi mortalitas pasien bukanlah merupakan
penilaian kinerja ICU suatu rumah sakit. Memprediksi kondisi pasien saat keluar dari
ICU dapat membantu memantau keadaan pasien dan membantu memberikan
informasi yang berhubungan dengan keadaan penyakit pasien serta dapat dijadikan
panduan untuk menentukan terapi selanjutnya pada pasien. Evaluasi disfungsi
organ setiap waktu selama perawatan di ICU sangat membantu dalam mengikuti
perkembangan penyakit dan dapat memberikan gambaran korelasi yang kuat
dengan hasil akhir dari perawatan di ICU (Kepmenkes RI, 2010).
ICU yang secara khusus menangani pasien – pasien kritis seringkali
membutuhkan tindakan invasif seperti pemasangan infus, kateterisasi, dan ventilator

yang dapat merubah sistem pertahanan tubuh dan mempermudah timbulnya sepsis.
Di samping itu, faktor lain seperti diabetes melitus, penyakit limfoproliferatif, sirosis
hepatis, luka bakar, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan, dan
penggunaan obat yang menurunkan sistem imun (glukokortokoid, imunosupresan)
juga telah dilaporkan dapat menimbulkan sepsis (Adelman, 2001) (Hazzard WR,
1999).
Penegakan diagnosis sepsis pada pasien biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan kultur darah, namun hasil dari pemeriksaan tersebut baru dapat
diketahui setelah 48 jam sampai 72 jam, sehingga penatalaksanaan sepsis
seringkali terjadi keterlambatan pengobatan yang dapat memperburuk keadaan
pasien dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Pengobatan yang hanya
berdasarkan gambaran klinis dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan

2
Universitas Sumatera Utara

terjadi peningkatan pola resistensi terhadap antibiotik dan efek toksisitasnya
dikemudian hari. Di samping itu, pemeriksaan kultur darah hanya baik pada keadaan
bakteriemia dan septikemia. Selain itu, penegakan sepsis dengan kultur darah juga
dibutuhkan sebagai kriteria pendamping sepsis untuk dapat memperkuat diagnosis

pada pasien (Balk RA, 2000).
Diperlukan pemeriksaan penunjang yang sensitif dan spesifik yang dapat
menegakkan sepsis pada pasien secara cepat tanpa menunggu hasil kultur darah
sehingga dapat memberikan terapi secara cepat dan tepat untuk mengurangi angka
mortalitas dan morbiditas pada pasien, seperti C- Reactive Protein (CRP),
Procalcitonin (PCT), maupun Interleukin-6 (IL-6) (Assicot M, 1993).
Pemeriksaan CRP tidak spesifik sebagai marker sepsis pada pasien karena
nilai CRP juga dapat positif pada keadaan trauma.
PCT merupakan prekursor kalsitonin yang terdiri dari 116 asam amino yang
disekresi oleh sel C dari kelenjar tiroid. Procalcitonin merupakan protein yang terdiri
dari 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa. Calcitonin dihasilkan oleh sel C
tiroid dan punya peran penting dalam homeostasis kalsium. Gen yang mengkode
procalcitonin dikenal sebagai CALC-I yang terletak di lengan pendek kromosom 11.
Pada keadaan normal kadar PCT meningkat pada kasus septikemia, meningitis,
pneumonia dan infeksi saluran kemih. Marker ini juga diproduksi oleh makrofag dan
sel monosit pada beberapa kasus infeksi bakteri yang berat dan sepsis (Becker KL,
1993).
Pelepasan procalcitonin pada keadaan inflamasi diinduksi oleh dua jalur
utama, yang pertama adalah jalur langsung yang diinduksi oleh lipopolisakarida atau
toksin lainnya yang dilepaskan oleh mikroba. Jalur yang kedua adalah jalur tidak

langsung yang diinduksi oleh berbagai sitokin inflamasi seperti interleukin-1β,
3
Universitas Sumatera Utara

interleukin-6, dan tumor necrosis factor-α (TNF-α). Kadar procalcitonin meningkat
secara selektif pada proses inflamasi oleh bakteri.(Maruna P, 2000; Nakamura M,
2013)
Endotoksin dari bakteri gram negatif akan merangsang mekanisme
pertahanan seluler dan humoral, yang kemudian akan mengaktifkan koagulasi dan
fibrinolisis, mengaktifkan makrofag dan netrofil, dan menstimulasi pelepasan
berbagai mediator inflamasi. Sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1, IL-6 dan IL-8 yang
dilepaskan oleh berbagai sel, memiliki peranan penting dalam patogenesis sepsis.
(Maruna P, 2000; Nakamura M, 2013)
Efek antiinflamasi dari procalcitonin juga telah dilaporkan dalam beberapa
penelitian. Leukosit merupakan mediator dari pertahanan host melawan infeksi
bakteri. Selama inflamasi sitemik atau selama episode syok sepsis, sel-sel ini
menunjukkan perubahan dalam kemotaksis, fagositosis dan pembunuhan mikroba.
Pelepasan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-10, dan IL-13 melibatkan mekanisme
antiinflamasi yang berhubungan dengan pengaturan respon imun. Pada penelitian
tentang sepsis, peningkatan kadar IL-10 berhubungan dengan kadar IL-6 dijumpai

dalam serum anak-anak dengan kegagalan multi organ. (Nakamura M, 2013)

Kadar IL- 6 yang tinggi terkait dengan inflamasi kronik dan sepsis. IL- 6
memiliki peranan penting dalam menginduksi sintesis protein fase akut seperti CRP.
Peningkatan IL- 6 ditemukan lebih cepat dibandingkan dengan peningkatan protein
fase akut pada CRP. Ini menjadikan IL- 6 sebagai molekul yang menarik untuk
mengevaluasi fase awal infeksi dan sepsis (Meisner M, 1996).
Oleh karena faktor – faktor yang sudah dikemukakan tersebut di atas, yaitu
masih besarnya angka kejadian sepsis dan mortalitas akibat sepsis di rumah sakit
khususnya ICU, serta diperlukan waktu yang lama dalam menegakkan diagnosis
4
Universitas Sumatera Utara

sepsis

dengan

pemeriksaan

kultur


sebagai

dasar

penegakan

diagnosis,

dikemukakan bahwa pemeriksaan PCT dan IL-6 dapat mengevaluasi fase awal
infeksi dan sepsis, maka penulis tertarik dan ingin mengetahui lebih dalam lagi
apakah terdapat hubungan kadar IL- 6 dan peningkatan kadar PCT pada pasien
sepsis berat. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis akan mengambil tempat
penelitian di ICU RSUP H. Adam Malik Medan, menimbang bahwa rumah sakit
tersebut merupakan rumah sakit pusat rujukan daerah Sumatera Utara dan
sekitarnya, dan merupakan rumah sakit mendidikan yang juga merupakan wilayah
kerja

bagi


penulis

sebagai

residen,

sehingga

diharapkan

penulis

dapat

memperlihatkan kejadian sebenarnya dalam masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: apakah terdapat hubungan kadar IL- 6 dan peningkatan
kadar PCT pada pasien sepsis berat?


1.3. Hipotesis Penelitian
Terdapat hubungan kadar IL- 6 dengan peningkatan kadar PCT pada pasien
sepsis berat.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan kadar IL- 6 dan peningkatan kadar PCT pada pasien
sepsis berat.

5
Universitas Sumatera Utara

1.4.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui data kadar IL- 6 penderita sepsis berat.
2. Mengetahui data kadar PCT penderita sepsis berat.
3. Mengetahui hubungan kadar IL- 6 dan PCT pada penderita sepsis
berat.


1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Bagi sejawat dokter
Memberikan informasi kepada sejawat dokter tentang hubungan
kadar IL- 6 dan peningkatan kadar PCT

pada pasien sepsis

sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam penatalaksanaan
pasien sepsis berat.
2. Bagi dunia pendidikan
Memberikan informasi bagi dunia pendidikan dan kesehatan
tentang peran IL- 6 dan PCT serta hubungannya pada pasien
sepsis berat, sehingga dapat menambah kepustakaan tentang hal
tersebut.
3. Bagi masyarakatan
Menjadi data dasar bagi penelitian lebih lanjut tentang peran IL- 6
dan PCT serta hubungannya pada pasien sepsis berat.
Diharapkan dengan mengetahui keakuratan IL- 6 dan PCT dalam mendiagnosa
sepsis berat pada pasien, maka pemeriksaan ini mungkin dapat dipakai sebagai alat

diagnostik yang lebih cepat dan akurat dalam mendeteksi dan prognostik sehingga
dapat membantu klinisi dalam pemberian terapi yang lebih efektif.

6
Universitas Sumatera Utara