Efektivitas Konseling Realitas Untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Taruna

14

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri
Penyesuaian mengacu pada seberapa jauhnya kepribadian individu
berfungsi secara efisien dalam masyarakat (Hurlock, 2005). Penyesuaian
adalah usaha menusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan
pada lingkungannya (Sunarto dan Hartono, 2008). Penyesuaian merupakan
suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan
tuntutan lingkungan (Mu’tadin, 2002).
1.

Pengertian Penyesuaian Diri
Seorang individu tidak dilahirkan dalam keadaan sudah mampu

menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Penyesuaian diri
berlangsung secara terus menerus antara memuaskan kebutuhan diri
sendiri dan tuntutan lingkungan, termasuk tuntutan orang lain secara
kelompok ataupun masyarakat. Hal ini yang menjadikan penyesuaian diri

sebagai komponen penting agar tercapai individu yang sehat secara fisik
dan mental (Mu’tadin, 2002).
Penyesuaian diri adalah reaksi individu terhadap tuntutan yang
dihadapkan kepada individu tersebut. Tuntutan psikologis yang dimaksud
dapat diklasifikasikan menjadi tuntutan eksternal dan tuntutan internal
(Vembriarto, 1993). Selanjutnya Vembriarto (1993) juga menjelaskan
bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu dapat dipahami sebagai

15

hasil (achievement) dan atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai hasil
berhubungan dengan kualitas atau efisiensi penyesuaian diri yang
dilakukan individu. Penyesuaian diri individu dapat dievaluasi menjadi
baik atau buruk dan secara praktis dapat dibandingkan dengan penyesuaian
diri yang dilakukan oleh individu lain dengan meninjau kualitas atau
efesiensinya. Konsep kedua, yaitu penyesuaian diri sebagai proses
menekankan pada cara atau pola yang dilakukan individu untuk
menghadapi tuntutan yang dihadapkan kepadanya.
Runyon dan Haber (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri
dapat dipandang sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian

diri sebagai keadaan berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu
tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Menurut Runyon dan Haber,
konsep penyesuaian diri sebagai keadaan mengimplikasikan bahwa
individu merupakan keseluruhan yang bisa bersifat well adjusted dan
maladjusted. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik terkadang
tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkannya, membuat dirinya atau orang
lain kecewa, merasa bersalah, dan tidak dapat lepas dari perasaan takut dan
kuatir. Penyesuaian diri sebagai tujuan atau kondisi ideal yang diharapkan
tidak mungkin dicapai oleh individu dengan sempurna. Tidak ada individu
yang berhasil menyesuaikan diri dalam segala situasi sepanjang waktu
karena situasi senantiasa berubah. Runyon dan Haber (1984) menjelaskan
bahwa penyesuaian dirimerupakan proses yang terus berlangsung dalam
kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu

16

mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi
di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses,
penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana
kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah.

Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa penyesuaian diri
adalah interaksi individu yang terus-menerus dengan dirinya sendiri,
dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitar tempat individu hidup.
Schneiders menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses
yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu
berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena
terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan
keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya. Penyesuaian diri
juga

sebagai

interaksi

terus-menerus

antara

individu


dengan

lingkungannya yang melibatkan sistem behavioral, kognisi, dan emosional.
Dalam interaksi tersebut baik individu maupun lingkungan menjadi agen
perubahan. (Schneiders, 1991).
Penyesuaian diri diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk
menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap
kelompok pada khususnya (Hurlock, 2006). Orang

yang dapat

menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial
seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan
orang lain, baik teman maupun orang yang tidak dikenal sehingga sikap
orang lain terhadap mereka menyenangkan. Meichiati (1983) menyebutkan

17

penyesuaian sosial adalah usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi
yang serasi antara seseorang dengan masyarakat sekitarnya sehingga

terjadi hubungan yang bertimbal balik yang harmonis antara keduanya.
Penyesuaian sosial dapat berlangsung karena ada dorongan manusia untuk
memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah untuk mencapai
kesimbangan antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada dalam
dirinya.
Schneiders (1991) mendefenisikan penyesuaian diri sebagai suatu
kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dan bermanfaat terhadap
realitas, situasi dan relasi sosial sehingga kriteria yang harus dipenuhi
dalam kehidupan sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat
diterima dan memuaskan. Menurut Agustina (2006), penyesuaian diri
merupakan penyesuaian yang dilakukan individu terhadap lingkungan
yang berada di luar dirinya seperti lingkungan rumah, sekolah dan
masyarakat.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi
perubahan yang terjadi dalam hidupnya, untuk mempertemukan tuntutan
diri dan lingkungan agar tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan
oleh diri sendiri dan lingkungannya.

18


2.

Kriteria Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus dalam diri
individu dan lingkungan. Schneiders (1991) memberikan kriteria
individu dengan penyesuaian diri yang baik, yaitu sebagai berikut :
a) Pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya.
b) Objektivitas diri dan penerimaan diri
c) Kontrol dan perkembangan diri
d) Integrasi pribadi yang baik
e) Adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya
f)

Adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang adekuat

g) Mempunyai rasa humor
h) Mempunyai rasa tanggung jawab
i)


Menunjukkan kematangan respon

j)

Adanya perkembangan kebiasaan yang baik

k) Adanya adaptabilitas
l)

Bebas dari respon-respon yang simtomatis atau cacat

m) Memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap
orang lain
n) Memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain
o) Adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain
p) Memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas

19

Lazarus (1961) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang baik

mencakup empat ciri sebagai berikut :
a) Kesehatan fisik yang baik
Kesehatan fisik yang baik berarti individu bebas dari gangguan
kesehatan seperti sakit kepala, gangguan pencernaan dan masalah
selera makan ataupun masalah fisik yang disebabkan faktor
psikologis.
b) Kenyamanan psikologis
Individu yang merasakan kenyamanan psikologis berarti terbebas
dari gejala psikologis seperti obsesif-kompulsif, kecemasan dan
depresi.
c) Efisiensi kerja
Efisiensi kerja dapat dicapai bila individu mampu memanfaatkan
kapasitas kerja maupun sosialnya.
d.

Penerimaan sosial
Penerimaan sosial terjadi bila individu diterima dan dapat
berinteraksi dengan individu lain. Individu dapat diterima dan
berinteraksi dengan individu lain jika individu mematuhi norma dan
nilai yang berlaku.


20

3.

Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Schneiders (1991) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang
baik meliputi enam aspek sebagai berikut :
a.

Kontrol terhadap emosi yang berlebihan
Aspek pertama menekankan kepada adanya kontrol dan ketenangan
emosi

individu

yang

memungkinkannya


untuk

menghadapi

permasalahan secara inteligen dan dapat menentukan berbagai
kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Bukan
berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi lebih kepada kontrol
emosi ketika menghadapi situasi tertentu.
b) Mekanisme pertahanan diri yang minimal
Aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih
mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian
masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan
diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi.
Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan
yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian
jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan
tersebut tidak berharga untuk dicapai.
c) Frustrasi personal yang minimal
Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak

berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk

21

mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah
laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
d) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri
Individu

memiliki

kemampuan

berpikir

dan

melakukan

pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan
mengorganisasi

pikiran,

tingkah

laku

dan

perasaan

untuk

memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan
penyesuaian yang normal. Individu tidak mampu melakukan
penyesuaian diri yang baik apabila individu dikuasai oleh emosi
yang

berlebihan

ketika

berhadapan

dengan

situasi

yang

menimbulkan konflik.
e) Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa
lalu.
Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu merupakan proses
belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil
dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. Individu
dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain
melalui proses belajar. Individu dapat melakukan analisis mengenai
faktor-faktor

apa

penyesuaiannya.

saja

yang

membantu

dan

mengganggu

22

f) Sikap realistik dan objektif
Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang
rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan
individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Hurlock (2006) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian
diri, antara lain :
a) Penampilan nyata
Overperformance yang diperlihatkan individu sesuai norma yang
berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi
harapan kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok
tersebut.
b) Penyesuaian diri terhadap kelompok
Hal ini berarti bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri
secara baik dengan kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya
maupun orang dewasa.
c) Sikap sosial
Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap
orang lain, ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya
dengan baik dalam kegiatan sosial.
d) Kepuasan pribadi
Hal ini ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia
karena dapat ikut ambil bagian dalam aktifitas kelompoknya dan
mampu menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.

23

Runyon dan Haber (1984) menyebutkan bahwa penyesuaian diri
yang dilakukan individu memiliki 5 (lima) aspek sebagai berikut :
a) Persepsi terhadap realitas
Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan
menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang
realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali
konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku
yang sesuai.
b) Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan
Mempunyai kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti
individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam
hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami.
c) Gambaran diri yang positif
Gambaran diri yang positif berkaitan dengan penilaian individu
tentang dirinya sendiri. Individu mempunyai gambaran diri yang
positif baik melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian
orang lain, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan
psikologis.
d) Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik
Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik berarti individu
memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik.

24

e) Hubungan interpersonal yang baik
Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan
hakekat individu sebagai makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung
pada orang lain.Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik
mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan
bermanfaat.
Berdasarkan penjelasan diatas, aspek-aspek yang digunakan dalam
penelitian ini adalah aspek penyesuaian diri menurut Scchneider (1991),
yaitu kontrol terhadap emosi yang berlebihan, mekanisme pertahanan diri
yang minimal, frustrasi personal yang minimal, pertimbangan rasional dan
kemampuan

mengarahkan

diri,

kemampuan

untuk

belajar

dan

memanfaatkan pengalaman masa lalu, sikap realistik dna objektif
4.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Sawrey dan Telford (1968) mengemukakan bahwa penyesuaian
bervariasi sifatnya, apakah sesuai atau tidak dengan keinginan sosial,
sesuai atau tidak dengan keinginan personal, menunjukkan konformitas
sosial atau tidak, dan atau kombinasi dari beberapa sifat di atas. Sawrey
dan Telford (1968) lebih jauh lagi mengemukakan bahwa penyesuaian
yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman
terdahulu, sumber frustrasi, kekuatan motivasi, dan kemampuan individu
untuk menanggulangi masalah.

25

Menurut Schneiders (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri adalah :
a) Keadaan fisik
Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik
merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik.
Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi
adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian
diri.
b) Perkembangan dan kematangan
Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap
perkembangan.

Sejalan

dengan

perkembangannya,

individu

meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal
tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan
karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam
segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana
individu melakukan penyesuaian diri.
c) Keadaan psikologis
Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya
penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya
frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi
adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik
akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras

26

dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel
yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah
pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.
d) Keadaan lingkungan
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh
penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan
kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan
memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu
tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak
aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam
melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang
dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan
hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual,
tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam
kehidupan

sehari-hari.

Sekolah

juga

berpengaruh

dalam

pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi
dasar penyesuaian diri yang baik (Schneiders, 1991).
Keadaan keluarga memegang peranan penting pada individu dalam
melakukan penyesuaian diri. Susunan individu dalam keluarga,
banyaknya anggota keluarga, peran sosial individu serta pola
hubungan orang tua dan anak dapat mempengaruhi individu dalam
melakukan penyesuaian diri. Keluarga dengan jumlah anggota yang
banyak mengharuskan anggota untuk menyesuaikan perilakunya

27

dengan harapan dan hak anggota keluarga yang lain. Situasi tersebut
dapat mempermudah penyesuaian diri, proses belajar, dan sosialisasi
atau justru memunculkan persaingan, kecemburuan, dan agresi.
Setiap individu dalam keluarga memainkan peran sosial sesuai
dengan harapan dan sikap anggota keluarga yang lain. Orang tua
memiliki sikap dan harapan supaya anak berperan sesuai dengan
jenis kelamin dan usianya. Sikap dan harapan orang tua yang
realistik dapat membantu remaja mencapai kedewasaannya sehingga
remaja dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan tanggung
jawab. Sikap orang tua yang overprotektif atau kurang peduli akan
menghasilkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan diri.
Hubungan anak dengan orang tua dapat mempengaruhi penyesuaian
diri.

Penerimaan

orangtua

terhadap

remaja

memberikan

penghargaan, rasa aman, kepercayaan diri, afeksi pada remaja yang
mendukung penyesuaian diri dan stabilitas mental. Sebaliknya,
penolakan orang tua menimbulkan permusuhan dan kenakalan
remaja. Identifikasi anak pada orang tua juga mempengaruhi
penyesuaian diri. Apabila orang tua merupakan model yang baik,
identifikasi akan menghasilkan pengaruh yang baik terhadap
penyesuaian diri.
e) Tingkat religiusitas dan kebudayaan
Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis
yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan

28

ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan
sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang
diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi
dalam hidupnya (Schneiders, 1991). Kebudayaan pada suatu
masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan
tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau
justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik individu,
perkembangan dan kematangan psikologis, lingkungan, serta religiusitas
dan kebudayaan.

B. Konseling Realitas
1. Pengertian Konseling Realitas
Konseling realitas diperkenalkan oleh William Glasser pada tahun
1950. Konseling realitas merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan
sebagai reaksi melawan konseling konvensional. Konseling realitas adalah
konseling yang bersifat jangka pendek yang berfokus pada kondisi saat ini,
menekankan pada kekuatan pribadi, dan mendorong individu untuk
mengembangkan tingkah laku yang lebih realistik agar dapat mencapai
kesuksesan (Corey, 2005).
Glasser (dalam Latipun, 2008) mendasari pendekatan realitas
dengan pandangannya yaitu bahwa setiap manusia memiliki dua

29

kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan
fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan pandangan ahli lain,
sedangkan kebutuhan psikologis manusia yang mendasar ada dua macam,
yaitu : (1) kebutuhan dicintai dan mencintai, dan (2) kebutuhan akan
penghargaan. Kedua kebutuhan psikologis itu bila digabungkan menjadi
satu kebutuhan yang sangat utama yang disebut kebutuhan identitas
(identity). Identitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri
sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya.
Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya (identity image)
berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Individu yang
berhasil menemukan kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan cinta
dan penghargaan akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang
berhasil dan membentuk identitasnya dengan success identity sebaliknya
jika

individu

yang

gagal

menemukan

kebutuhannya,

akan

mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan membentuk
identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity). Gambaran
identitas ini dimiliki oleh setiap orang mulai dari usia lima tahun hingga
dewasa. Berdasarkan segenap pengalaman-pengalamannya, individu akan
memberikan gambaran terhadap dirinya sebagai orang yang berhasil atau
gagal. Konseling realitas dalam hal ini berperan untuk membantu individu
dalam mencapai success identity, dimana dalam konseling, konselor akan
berfokus pada perilaku individu saat ini. Namun, konseling realitas
berbeda dengan pendekatan behavioral yang berfokus pada stimulus

30

respon. Konseling ini berpusat pada person yang melihat perilaku dalam
konteks fenomenologis.
Berdasarkan pandangan-pandangan diatas, dapat dinyatakan bahwa
konseling realitas adalah konseling yang bersifat jangka pendek. Konselor
pada konseling realitas menekankan pada kekuatan pribadi yang dimiliki
oleh individu. Konseling realitas berfokus pada perilaku individu saat ini
dan membuka jalan kepada individu untuk menampilkan perilaku yang
dapat

membawa

individu

ke

keberhasilan

dan

pada

akhirnya

memunculkan success identity di dalam diri individu.
2. Prosedur Konseling Realitas
Prosedur konseling realitas dapat dilakukan dengan langkah
WDEP, yaitu wants, direction and doing, evaluation, dan planning(Corey,
1996).
Berikut ini adalah penjelasan dari langkah WDEP :
a) Wants : Wants merupakan suatu tahapan dimana konselor melakukan
eksplorasi terhadap harapan, kebutuhan dan persepsi dari individu.
Konselor dapat bertanya, “Apa yang anda inginkan?”. Melalui
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan konselor, seorang individu
diharapkan dapat memahami apakah harapan-harapan mereka sejalan
dengan kebutuhan mereka saat ini. Konselor pada tahapan ini harus
bersifat hangat dan menerima sehingga memungkinkan konseli untuk
menjabarkan setiap hal yang ia inginkan baik dalam keluarga,
pertemanan, ataupun pekerjaan. Beberapa pertanyaan yang dapat

31

digunakan pada sesi ini adalah : “Jika anda sudah menjadi sosok
impian anda, bagaimanakah sosok itu?” “Bagaimana reaksi keluarga
anda jika keinginan mereka dan keingsinan anda sejalan?” “Apakah
anda ingin berubah?” “Menurut anda, apa yang membuat anda tidak
dapat berubah?”
b) Direction and Doing : Konselor realitas menekankan pada perilaku
saat ini dan bukan pada masa lalu. Oleh karenanya, seorang konselor
realitas biasanya sering bertanya, “Apa yang anda lakukan saat ini?”
Meskipun suatu masalah bisa berakar dari pengalaman masa lalu,
namun individu perlu belajar bagaimana cara berdamai dengan masa
lalunya dan menunjukkan perilaku yang lebih baik untuk mencapai
keinginannya. Kondisi masa lalu individu boleh saja didiskusikan
apabila hal itu memang dapat membantu individu menyusun
perencanaan hidup yang lebih baik.
Pada sesi ini, konselor mendiskusikan dengan individu mengenai apa
saja tujuan hidup mereka, apa yang akan mereka lakukan, dan kemana
hidup mereka akan berjalan dengan perilaku yang mereka tunjukkan
saat ini. Seorang konselor dapat bertanya, “Apa yang anda lihat pada
diri anda saat ini? Bagaimana masa depan anda?”.
c) Evaluation
Inti dari konseling realitas adalah untuk membantu individu
mengevaluasi perilakunya. Konselor dapat bertanya, “Apakah
perilaku anda saat ini cukup rasional untuk membawa anda ke

32

keinginan anda? Apakah perilaku anda dapat mewujudkan apa yang
menjadi

keinginan

anda?”.Konselor

pada

tahapan

ini

dapat

mengkonfrontasi individu mengenai konsekuensi dari perilakunya.
d) Planning and Commitment
Ketika individu sudah dapat menentukan apa yang mereka inginkan
dan siap untuk diajak mengeksplorasi bentuk-bentuk perilaku yang
dapat membawa mereka ke tujuan yang mereka inginkan, maka sudah
waktunya konselor mengajak individu membuat rencana aksi.
Wubbolding (dalam Corey, 1996) mengemukakan bahwa dalam
membuat perencanaan perilaku, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
yaitu :
a) Pembuatan rencana

perilaku harus memperhatikan kapasitas

motivasi dan kemampuan dari setiap individu. Seorang konselor
yang

terlatih

dapat

membantu

individu

untuk

membuat

perencanaan yang memuaskan kehidupannya. Konselor misalnya
dapat bertanya kepada individu, “rencana seperti apa yang harus
anda buat agar anda lebih puas dengan hidup anda?”
b) Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang sederhana dan
mudah dimengerti. Perencanaan perilaku harus bersifat spesifik,
konkrit, dapat diukur, dan harus fleksibel atau dapat diubah-ubah
ketika individu sudah memahami perilaku apa yang sebenarnya
ingin diubah.

33

c) Perencanaan yang dibuat haruslah berdasarkan pada persetujuan
individu.
d) Konselor

harus

mendorong

individu

untuk

membuat

perencanaannya sendiri
e) Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang bersifat repetitif
dan dilakukan setiap hari
f) Perencanaan harus dilakukan sesegera mungkin
g) Perencanaan yang baik meliputi aktivitas yang bersifat process
centered, misalnya : individu dapat memiliki rencana untuk
melamar pekerjaan, menulis surat untuk teman, masuk klub yoga,
makan makanan bergizi, dan berlibur
h) Sebelum individu melakukan perencanaan, ada baiknya jika
individu diminta untuk mengevaluasi perencanaan yang dibuat,
apakah perencanaan tersebut sudah realistis.
i) Untuk memastikan bahwa individu akan melaksanakan rencana
yang sudah dibuat, maka individu harus membuat pernyataan
secara tertulis.
Pelaksanaan konseling realitas pada penelitian ini akan dilakukan secara
berkelompok. American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa
konseling kelompok adalah konseling yang melibatkan satu atau dua orang
konselor yang membawakan konseling untuk satu kelompok yang terdiri dari 5
(lima) hingga 15 (lima belas) orang individu yang memiliki permasalahan yang
sama (Corey, 1996). Spitz dan Spitz (1999) menyebutkan bahwa konseling

34

kelompok adalah konseling yang dibawakan oleh seorang profesional untuk
sekelompok

orang

yang

memiliki

keinginan

untuk

menyelesaikan

permasalahannya secara bersama-sama. Anggota kelompok adalah orang-orang
yang memiliki permasalahan psikologis yang sama dan membutuhkan konseling
untuk menyelesaikan permasalahannya.
American Psychological Association (APA) jugamenuliskan bahwa
konseling kelompok menawarkan keuntungan yang tidak didapatkan dalam
konseling individual, yaitu adanya dukungan dari individu-individu yang senasib
sehingga setiap anggota kelompok dapat menyadari bahwa ia bukan satu-satunya
orang yang mengalami masalah. Selain itu, konseling kelompok juga
memungkinkan anggota kelompok belajar dari pengalaman anggota kelompok
lain yang berhasil mengatasi masalahnya dengan strategi tertentu (Coey, 1996).
Berdasarkan prosedur konseling diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
konseling realitas secara garis besar melalui empat tahapan yang disebut WDEP
(wants, direction and doing, evaluation, dan planning and commitment). Saat
memasuki tahapan planning and commitment, seorang konselor juga harus
memperhatikan sembilan hal yang dikemukakan oleh Corey (1996) agar individu
dapat membuat suatu perencanaan yang relistis, spesifik, mudah dimengerti, dan
dapat segera dilaksanakan. Adapun pelaksanaan konseling realitas yang akan
diselenggarakan secara berkelompok dapat diartikan sebagai bentuk konseling
realitas yang dibawakan oleh satu, dua, atau beberapa konselor. Anggota
kelompok yang mengikuti konseling realitas berjumlah antara 5-15 orang,
memiliki permasalahan psikologis yang sama, membutuhkan bantuan psikologis,

35

dan bersedia mengikuti konseling kelompok (menyelesaikan permasalahannya
bersama-sama dengan orang lain).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling
Lynch (2012) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan dari suatu konseling, yaitu :
a)

Kedekatan antara konselor dan individu
Kedekatan antara konselor dengan individu merupakan hal yang
penting untuk meraih kesuksesan dalam konseling. Konselor
harus mampu menunjukkan beberapa karakteristik yang mampu
meningkatkan rapport dalam konseling seperti tertarik pada
masalah individu, tenang, hangat, dan penuh penghargaan
terhadap individu.
Kedekatan antara konselor dan individu biasanya dapat dibentuk
dalam waktu yang cukup cepat yaitu 2-4 sesi atau bahkan 10
menit saja, tergantung dari bagaimana pembawaan konselor saat
pertama kali bertemu dengan individu.

b) Motivasi Subjek
Motivasi individu dalam mengikuti konseling adalah kunci utama
yang menentukan keberhasilan dari suatu konseling. Motivasi
subjek dapat terlihat dari kehadiran subjek dalam seluruh sesi
konseling dan kemampuan subjek untuk selalu bersikap
kooperatif.

36

c)

Kemampuan subjek mempelajari perilaku baru
Subjek yang berhasil meraih kesuksesan adalah subjek yang
merasa kondisinya lebih baik setelah mengikuti konseling. Hal ini
ditunjukkan dengan kesediaan dan kemampuan subjek untuk
mempelajari perilaku baru seperti meningkatnya rasa percaya diri,
ataupun berkurangnya simptom-simptom yang sebelumnya
dimiliki.

C. Efektivitas Konseling Realitas untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri
Taruna
Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup
respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu
agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang
dialami dalam dirinya (Agustiani, 2009). Satriawan (2013) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa penyesuaian diri penting bagi siswa
untuk menyeimbangkan kebutuhannya dengan lingkungan sehingga tercipta
suasana yang harmonis antara siswa dengan tuntutan yang bersumber dari
lingkungan. Kemampuan siswa untuk menyesuaikan diri mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam memberikan persepsi terhadap keadaan
yang dihadapi, siswa yang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan
mampu menhadapi keadaan yang sulit dengan penyesuaian diri yang
positif. Davidoff (1991) mengatakan bahwa manusia dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam

37

sekitarnya. Proses penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
faktor fisiologis, faktor psikologis, faktor perkembangan dan kematangan,
faktor lingkungan, faktor budaya dan agama (Enung, 2008).
Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus dalam diri
individu dan lingkungan. Penjabaran defenisi tersebut memberikan
penjelasan bahwa dengan penyesuaian diri yang baik, siswa diharapkan
semakin mampu untuk menghadapi lingkungannya dan memiliki cara
pandang yang positif dalam menghadapi setiap tuntutan dalam lingkungan
pendidikan. Kemampuan untuk mampu menghadapi realita lingkungan
dapat ditingkatkan melalui pemberian intervensi berupa konseling realita.
Melalui pemberian konseling realita maka siswa akan semakin mampu
untuk menghadapi kenyataan hidup yang selanjutnya semakin mampu
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Fokus dalam konseling
realitas ini adalah permasalahan yang sedang dihadapi dan kenyataan yang
dihadapi siswa pada saat ini (Fauzan, 2004).
Konseling realitas mengidealkan tingkah laku sebagai individu
yang tercukupi kebutuhannya akan cinta dan harga diri, mengembangkan
tingkah laku yang normal yakni yang bertanggung jawab dan berorientasi
pada realita, mengidentifikasi diri sebagai individu yang berhasil atau
sukses (Fauzan, 2004). Proses konseling realita menggunakan prinsip 3 R
(Right, Responsibility,Reality), yang mempunyai arti: 1) Right, yang
dimaksud Glasser ada ukuran atau norma yang diterima secara umum
diamana tingkah laku dapat diperbandingkan; 2) Responsibility, prinsip ini

38

merupakan kemampuan untuk mencapai sesuatu kebutuhan dan untuk
berbuat dalam cara yang tidak merampas keinginan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan mereka; 3) Reality, dalam hal ini orang harus
memahami bahwa ada dunia nyata dari bahwa mereka harus memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dalam kerangka kerja tertentu (Fauzan, 2004).
Berdasarkan pandangan tersebut konseling realita mempunyai tujuan yaitu
membantu individu mencapai otonomi, konseling ini juga membantu
individu dalam mengartikan dan memperluas tujuan-tujuan hidup mereka,
menekankan tujuan konseling realita dari sudut pandang konselor (Fauzan,
2004). Seperti halnya pendekatan-pendekatn konseling lainnya yang
mempunyai pprosedur dalam pelaksanaannya konseling realita juga
mempunyai prosedur dalam melakukan konseling.
Fauzan (2004) juga mengungkapkan prosedur konseling realita
yang didasarkan pada delapan prinsip yaitu: (involvement: focus on
personal), berpusat pada tingkah laku (focus on behavior, pertimbangan
nilai (value judgment), perencanaan tingkah laku yang bertanggung jawab
(planning responsible behavior), kesepakatan (commitment), tiada ampunan
(no-excuse), dan membatasi hubungan (eliminate punishment). Oleh
karenaitu melalui penggunaan konseling realitas diharapkan individu
mampu merencanakan dan memunculkan perilaku yang bertanggung jawab
dan sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar. Terkait dengan penerapan
konseling realitas ini, Satriawan (2013) melakukan penelitian untuk melihat
efektivitas konseling realitas terhadap penyesuaian diri, ia membuktikan

39

bahwa konseling realitas efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri.
Berdasarkan penjelasan ini maka diharapkan konseling realitas dapat
meningkatkan

penyesuaian

diri

taruna

sehingga

semakin

menyesuaikan dirinya dan bersikap mandiri secara optimal.

mampu

40

Hasil preliminary research: ada taruna tingkat I ATKP
Medan yang memiliki penyesuaian diri rendah

Diberi intervensi konseling realitas (pretestposttest control group design)

Control
group
(CG):5 orang

Experiment
(EG):5 orang

group

Pretest:
Pengukuran skor penyesuaian
diri sebelum intervensi

Pretest:
Pengukuran skor penyesuaian
diri sebelum intervensi

Tidak mendapat
intervensi

Mendapat intervensi : konseling realitas
W : eksplorasi keinginan dan harapan taruna
D : mengidentififkasi tindakan/perilaku yang telah dilakukan
taruna
E : evaluasi kesesuaian antara harapan taruna dengan
tindakan/perilaku yang dilakukan
P : membuat rencana perubahan perilaku penyesuaian diri

Analisa hasil posttestuntuk melihat apakah ada
perbedaan skor penyesuaian diri pada CG dan EG

Follow up

Gambar 2.1 Bagan Paradigma Penelitian

41

D. Hipotesa Penelitian
Ho : Tidak terdapat perbedaan penyesuaian diri antara kelompok yang
diberi intervensi konseling realitas (kelompok eksperimen) dan kelompok
yang tidak diberi intervensi konseling realitas (kelompok kontrol).
Ha : terdapat perbedaan penyesuaian diri kelompok yang diberi
intervensi konseling realitas (kelompok eksperimen) dan kelompok yang
tidak diberi intervensi konsleing realitas (kelompok kontrol), dimana
kelompok

yang

mendapat

intervensi

konseling

realitas

memiliki

penyesuaian diri yang lebih tinggi dibanding kelompok yang tidak
mendapat intervensi konseling realitas.