Uji In Vitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Kecacingan

Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik yang diakibatkan oleh cacing parasit (Zulkoni, 2009). Infeksi cacing tidak hanya terjadi di negara tropis dan subtropis tetapi juga di berbagai daerah yang tingkat kebersihan lingkungannya rendah (Pagariya, et al., 2013). Badan Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina dan Asia Tenggara (WHO., 2015). Angka kecacingan mencapai 28% (Kemenkes., 2015) dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak terinfeksi cacing parasit di Indonesia (Tjay dan Rahardja, 2002).

Prevalensi infeksi cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan, walaupun jarang menyebabkan kematian, namun infeksi cacing menyebabkan penderita khususnya anak-anak mengalami kekurangan gizi, kemunduran pertumbuhan fisik, mental, kognitif dan intelektual (Tiwow, dkk., 2013), pada orang dewasa menyebabkan menurunnya produktivitas kerja. Kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya manusia dalam jangka panjang (Zulkoni, 2010).

2.2 Penyebab Kecacingan

Filum utama cacing yang mempengaruhi kesehatan manusia yaitu filum Platyhelminthes dan filum Nemathelminthes. Filum Platyhelminthes terdapat 2 kelas penting, yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda. Filum Nemathelminthes


(2)

yang penting adalah kelas Nematoda (Soedarto, 2008). Nematoda atau cacing bundar berbentuk bulat, tidak bersegmen, memiliki rongga tubuh dengan saluran pencernaan dan kelamin terpisah (Zulkoni, 2010). Nematoda menyebabkan infeksi pada usus, darah dan jaringan. Trematoda atau cacing pipih berbentuk seperti daun dan bersifat hermaphrodit kecuali cacing hati (Zulkoni, 2010). Cestoda atau cacing pita secara khas berbentuk pita yang besegmen, bersifat hermaphrodit, tidak memiliki saluran pencernaan (Zulkoni, 2010) dan menempel pada usus (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Infeksi cacing umumnya masuk melalui mulut atau luka di kulit atau lewat telur (kista) atau larvanya yang ada di atas tanah dan pembuangan kotoran yang dilakukan dengan sembarangan yang tidak memenuhi syarat kebersihan (Zulkoni, 2010; Tjay dan Rahardja, 2002). Kebiasaan penggunaan kotoran sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah. Persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran yang tidak dicuci bersih, kebiasaan makan masyarakat mengkonsumsi makanan mentah atau setengah matang sepeti ikan, kerang, daging atau sayuran akan meningkatkan penderita kecacingan, bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing maka dapat mengakibatkan kecacingan pada manusia (Entjang, 2003).

Tergantung dari jenisnya, cacing tetap bermukim dalam saluran cerna atau berpenetrasi ke jaringan. Cacing menyerap nutrisi dari tubuh manusia yang ditumpanginya, penyerapan ini akan menyebabkan kelemahan tubuh dan penyakit, dalam saluran pencernaan jika terdapat 20 ekor cacing dewasa, cacing-cacing tersebut bisa menyedot 2,8 g karbohidrat dan 0,7 g protein dalam sehari (Zulkoni, 2009; Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala dan keluhan kecacingan dapat disebabkan oleh penyumbatan usus halus dan saluran empedu atau penarikan gizi yang


(3)

penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa gangguan lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang-kejang dan diare berkala dengan hilangnya nafsu makan. Tuan rumah dapat menderita kekurangan darah akibat terinfeksi sejumlah cacing yang menghisap darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita dan cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2.1 Infeksi nematoda

Infeksi nematoda yang sering dijumpai adalah: a. Onkoserkiasis (river blindness)

Penyakit ini disebabkan oleh Onchocerca volvulus yang ditandai dengan adanya benjolan dibawah kulit, ruam kulit yang terasa gatal dan lesi okular yang sering menyebabkan kebutaan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Enterobiasis (penyakit cacing kremi)

Penyebab penyakit ini adalah infeksi dari Enterobius vermicularis (Tjahyanto dan Salim, 2013). Cacing kremi biasanya menimbulkan gatal di sekitar dubur (anus) dan kejang hebat pada anak-anak. Infeksi ini dapat menyebabkan radang umbai-usus buntu akut (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing kremi yaitu gatal disekitar dubur terutama pada malam hari pada saat cacing betina meletakkan telurnya, gelisah dan sukar tidur (Irianto, 2013).

c. Askariasis (penyakit cacing gelang)

Penyebab penyakit ini adalah Ascaris lumbricoides. Panjangnya 10-15 cm dan biasanya bermukim pada usus halus. Cacing betina mengeluarkan telur dalam jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung), kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan dan demam (Irianto, 2013).


(4)

d. Trikuriasis (penyakit cacing cambuk)

Agen penyebab penyakit ini adalah Trichuris trichiura. Umumnya terdapat di negara beriklim panas dan lembab. Cacing cambuk bermukim di mukosa usus halus dan usus besar dalam tubuh manusia, biasanya dengan menimbulkan kerusakan dan peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002). Gejala penyakit cacing cambuk yaitu nyeri di ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare dan anemia (Irianto, 2013).

e. Ankilostomiasis (penyakit cacing tambang)

Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung. Penularannya terjadi oleh larva yang memasuki kulit kaki yang terluka. Setelah memasuki vena, larva menuju ke paru-paru dan bronki, akhirnya masuk ke saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). Cacing menempel pada mukosa usus dan menyebabkan anoreksia dengan gejala adanya luka mengakibatkan pendarahan usus kronis yang menyebabkan anemia, selain itu gejala penyakit ini adalah gangguan pencernaan berupa mual, muntah, diare, nyeri ulu hati, pusing, nyeri kepala, lemas, lelah dan gatal di daerah masuknya cacing (Irianto, 2013).

f. Trikinosis (cacing rambut)

Agen penyebab penyakit ini adalah Trichinella spiralis, biasanya disebabkan oleh konsumsi daging yang tidak cukup matang, khususnya babi (Tjahyanto dan Salim, 2013).

g. Strongiloidiasis (penyakit cacing benang)

Penyebab penyakit ini adalah Strongyloides stercoralis (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penularannya lewat larva yang berbentuk benang yang menembus kulit.


(5)

Cacing dapat bertahan puluhan tahun lamanya di mukosa bagian atas usus halus, ditempat ini cacing merusak jaringan dan menimbulkan reaksi radang (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.2 Infeksi trematoda

Infeksi trematoda yang sering dijumpai adalah: a. Skistosomiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum yang merupakan cacing pipih. Penyakit ini ditularkan melalui sejenis keong sebagai pembawa larva. Parasit ini menembus kulit manusia dan memasuki peredaran darah. Skistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebarkan melalui air yang terinfeksi di beberapa bagian dunia (Tjay dan Rahardja, 2002). Lokasi infeksi utama adalah traktus gastrointestinal. Kerusakan pada dinding usus disebabkan oleh respons inflamasi terhadap telur-telur yang disimpan dalam daerah tersebut. Telur-telur tersebut juga mensekresikan enzim proteolitik yang menambah kerusakan jaringan. Gambaran klinis berupa pendarahan GI, diare dan kerusakan hati (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh Schistosoma haematobium, lokasi infeksi utama adalah vena kandung kemih. Penyakit ini ditularkan melalui penetrasi pada kulit secara langsung. Bentuk skistomiasis ini didiagnosa dengan menemukan telur yang khas dalam urin atau dinding kantung kemih (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Paragonimiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Paragonisum westermani (trematoda paru). Organisme berpindah dari saluran pencernaan ke paru, yang merupakan tempat


(6)

kerusakan utama. Infeksi dapat menimbulkan batuk yang menghasilkan sputum dengan darah. Penyakit ini ditularkan dengan memakan daging kepiting yang mentah. Parogonimiasis didiagnosa dengan menemukan telur dalam sputum dan feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

c. Klonorkiasis

Penyakit ini disebabkan oleh Clonorchis sinensis. Lokasi infeksi utama adalah saluran empedu, responnya berupa inflamasi yang dapat menyebabkan fibrosis dan hiperplasia. Penyakit ini ditularkan dengan memakan ikan air tawar yang mentah. Klonorkiasis didiagnosis dengan menemukan telur dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.2.3 Infeksi cestoda

Infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah: a. Ekinokokkosis

Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh Echinococcus granulosis (cacing pita anjing). Infeksi menyebabkan kista hidatid yang besar di dalam hati, paru dan otak. Reaksi anafilaktik terhadap antigen cacing dapat terjadi bila terjadi ruptur kista. Penyakit timbul sesudah tercernanya telur dalam feses anjing. Domba sering berperan sebagai perantara. Einokokkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi jaringan yang terinfeksi dan diterapi dengan eksisi kista melalui pembedahan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

b. Taeniasis

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita babi). Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare, walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit


(7)

ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013). Penyakit ini juga disebabkan oleh larva dari Taenia saginata (cacing pita sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat. Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian

scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan

Rahardja, 2002). c. Sistiserkosis

Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala dan muntah) dan di mata. Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013).

d. Difilobotriasis

Penyakit ini disebabkan oleh Diphyllobothrium latum (cacing pita ikan). Cacing dewasa pada usus penderita dapat sepanjang 15 meter. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).


(8)

2.3 Pengobatan Kecacingan

Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh (Gunawan dan Sulistia, 2011).

2.3.1 Antelmintik untuk infeksi nematoda a. Tiabendazol

Tiabendazol merupakan benzimidazol sintetik berspektrum luas terhadap nematoda. Obat ini efektif mengobati strongiloidiasis yang disebabkan oleh cacing benang, larva migran kutaneus dan stadium awal trikinosis. Thiabendazol bekerja dengan mempengaruhi agregasi mikrotubulus (Tjahyanto dan Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011).

b. Ivermektin

Ivermektin merupakan hasil fementasi dari jamur Streptomyces avermitilis (Tjay dan Rahardja, 2002). Ivermektin adalah antelmintik pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus, larva migran kutaneus dan strongiloidosis. Ivermektin membidik reseptor kanal Cl- yang bergerbang glutamat pada parasit. Aliran masuk klorida meningkat dan terjadi hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing (Tjahyanto dan Salim, 2013).

c. Mebendazol

Mebendazol merupakan senyawa benzimidazol sintetik yang berspektrum luas terhadap nematoda. Obat ini banyak digunakan sebagai monoterapi untuk penanganan infeksi cacing tunggal maupun infeksi campuran dengan dua atau lebih cacing (Tjay dan Rahardja, 2002). Mebendazol merupakan obat pilihan pada terapi infeksi oleh cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang dan cacing gelang. Mebendazol bekerja dengan mengikat dan mengganggu pembentukan


(9)

mikrotubulus parasit serta menurunkan ambilan glukosa (Tjahyanto dan Salim, 2013; Tjay dan Rahardja, 2002).

d. Pirantel pamoat

Pirantel pamoat bersama dengan mebendazol, efektif pada pengobatan infeksi cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Obat ini bekerja sebagai agen penghambat neuromuskular dan depolarisasi, menyebabkan aktivasi permanen pada reseptor nikotinik parasit. Cacing yang terparalisis kemudian dikeluarkan dari saluran cerna (Tjahyanto dan Salim, 2013).

e. Dietilkarbamasin

Dietilkarbamasin digunakan pada pengobatan filiarisis karena kemampuannya melumpuhkan mikrofilaria dan membuat mikrofilaria rentan terhadap mekanisme pertahanan (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.3.2 Antelmintik untuk infeksi trematoda

Infeksi trematoda, secara umum diobati dengan praziquantel. Obat ini adalah agen pilihan untuk pengobatan seluruh bentuk skistosomiasis dan infeksi trematoda lainnya, serta infeksi cestoda seperti sistiserkosis. Permeabilitas membran sel terhadap kalsium meningkat, meyebabkan kontraktur dan paralisis parasit (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.3.3 Antelmintik untuk infeksi cestoda a. Albendazol

Albendazol adalah suatu benzimidazol berspektrum lebar yang dapat diberikan peroral (Gunawan dan Sulistia, 2011). Obat ini bekerja dengan cara berikatan

dengan β-tubulin parasit sehingga menghambat sintesis mikrotubulus dan ambilan

glukosa pada larva atau nematoda dewasa sehingga persediaan glikogen menurun dan pembentukan ATP berkurang, akibatnya cacing akan mati. Aplikasi


(10)

terapeutik utamanya adalah pengobatan infeksi cacing kremi, cacing tambang, cacing gelang, penyakit neuro-sistiserkosis dan penyakit hidatid (Tjahyanto dan Salim, 2013; Gunawan dan Sulistia, 2011).

b. Niklosamid

Niklosamid adalah obat pilihan untuk sebagian besar infeksi cestoda (cacing pita). Kerjanya dianggap menghambat fosforalisasi adenosin difosfat mitokondria parasit, yang menghasilkan energi yang dapat digunakan dalam bentuk adenosin trifosfat dan metabolisme anaerobik juga dapat dihambat (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Kebanyakan obat cacing efektif terhadap satu macam cacing, hanya beberapa obat yang memiliki khasiat terhadap lebih jenis cacing (broad spectrum), misalnya mebendazol. Diagnosis tepat diperlukan sebelum menggunakan obat cacing. Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama obat pencahar seperti praziquantel dan niklosamid. Posmedikasi banyak antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan cacing, jadi tidak mematikannya (Gunawan dan Sulistia, 2011; Tjay dan Rahardja, 2002).

Antelmentik dapat menimbulkan efek samping seperti rasa mual, hilangnya nafsu makan, muntah, sakit kepala dan diare (Vennila, et al., 2015; Nitave, et al., 2014; Liu dan Weller, 1996). Resistensi cacing parasit pada ternak juga telah banyak dilaporkan seperti pada golongan benzimidazol, imidotiazol-tetrahidropirimidin dan lakton makrosiklik yang digunakan lebih dari periode yang ditentukan dan diberikan dengan dosis rendah oleh para petani sehingga menyebabkan resistensi, infeksi cacing dari hewan ternak dapat berlanjut terjadi pada manusia dan keadaan resistensi kemungkinan kedepannya dapat terjadi pada


(11)

manusia (Vercruysse, et al., 2011; Sutherland dan Leathwick, 2011; Wolstenholme, et al., 2004). Dilaporkan juga terjadinya kegagalan dan penurunan efektivitas obat antelmintik dosis tunggal seperti kegagalan pirantel terhadap cacing tambang Ancylostoma duodenale (Reynoldson, et al., 1997), menurunnya efikasi mebendazol dan levamisol terhadap cacing tambang dan nematoda pada saluran pencernaan (Flohr, et al., 2007; Albonico, et al., 2003), menurunnya efikasi albendazol terhadap cacing tambang (Humphries, et al., 2011) dan terjadinya kegagalan tiabendazol terhadap Haemochus contortus (Kotze, et al., 2009). Kegagalan dan penurunan efektivitas obat-obat antelmintik tersebut merupakan petanda telah terjadinya resistensi pada manusia (Lalchhandama, K., 2010; Prichard, R.K., 2007). Menggunakan dosis berganda atau dosis berulang merupakan solusi terbaik, tetapi hal tersebut sulit diaplikasikan oleh masyarakat karena bermasalah pada waktu penggunaan sehingga dapat menyebabkan resistensi dan tidak tuntasnya pengobatan (Vercruysse, et al., 2011).

2.4 Potensi Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik

Masyarakat Indonesia sudah sejak zaman dahulu mengenal dan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi. Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya bangsa terus ditingkatkan dan didorong pengembangannya melalui penggalian, pengujian dan penemuan obat-obat baru, termasuk budidaya tanaman yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan (Syukur dan Hernani, 2002). Pengobatan dengan menggunakan tanaman berkhasiat obat merupakan salah satu alternatif yang dipilih untuk memperkecil adanya efek samping karena pemberian obat sintetis.


(12)

Telah banyak diketahui tanaman obat yang berkhasiat sebagai antelmintik yang pernah dan masih digunakan hingga saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh tanaman yang mempunyai khasiat antelmintik diantaranya daun pepaya, pare, temu giring, temu hitam, biji pinang (Tiwow, dkk., 2013), putri malu (Ratnawati, 2013) dan andong (Asih, 2014).

Studi in vitro menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan dari famili

Amaranthaceae, Arecaceae, Asteraceae, Crassulaceae, Dryopteridaceae,

Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae,

Rutaceae, Zingiberaceae, Apiaceae (Wink, 2012), Ranunculaceae,

Cucurbitaceae, Dryopteridaceae, Araliaceae, Junglandaceae, Valerianaceae (Urban, et al., 2015), Lythraceae (Bairagi, et al., 2011), Moraceae (Mughal, et al., 2013) dan Schropulariaceae (Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013) mampu membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi pada manusia.

2.5 Golongan Senyawa Kimia yang Terbukti Berkhasiat Sebagai Antelmintik Senyawa kimia tumbuhan yang mempunyai aktivitas antelmintik adalah tanin, flavonoid, terpenoid (Vincent, et al., 2011), alkaloid, saponin (Bidkar, et al., 2011), glikosida (Bhawan, et al., 2011), leutin, kaempherol, kumarin, steroid (Tekeshwar, et al., 2011), di-terpenoid (Daked, et al., 2011), geraniol (Katikia, et al., 2011), ketodiol dan karpenoil ester (Shri, et al., 2011).

2.6 Pugun Tanoh

Salah satu tumbuhan yang berkhasiat obat adalah pugun tanoh. Studi in vitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu


(13)

membunuh cacing pasrasit penyebab infeksi (Padal, et al., 2014; Ranjani, et al., 2013).

2.6.1 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan ini adalah empedu taneh (Karo), pugun tanoh, pugun tana, pagon tanoh (Dairi), tamah raheut (Sunda), kukurang (Maluku) dan papaita (Ternate) (Prohati, 2015).

2.6.2 Nama asing

Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta tjao (Cina), longritong (india) (Quattrocchi, 2012), kong saden (Laos) dan thanh (Vietnam) (Globinmed, 2015).

2.6.3 Sinonim

Curanga amara, Curanga amara Juss. dan Picria fel-terrae (Lansdown, R.V., 2011)

2.6.4 Sistematika dan morfologi tumbuhan

Menurut Lansdown, R.V. (2011) Sistematika tumbuhan pugun tanoh adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Scrophulariales Famili : Scrophulariaceae Genus : Curanga


(14)

Pugun tanoh merupakan tanaman berbatang basah dan berbaring (Agung dan Tinton, 2008). Pugun tanoh tumbuh merambat. Tumbuhan pugun tanoh memiliki tinggi 40 sampai 60 cm. Batangnya dengan cabang-cabang yang ramping, jarang, tegak atau melata, berakar dibuku-buku dan berbulu halus (Prohati, 2015). Tangkai daun tumbuh berhadapan, permukaan tidak berbulu, rata dan tipis. Tandan bunga bewarna merah (Agung dan Tinton, 2008), bunga berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, mahkota bunga bentuk tabung dan berbibir rangkap. Daunnya berbulu halus, berbentuk bundar telur dengan panjang 3-6 cm dan lebar 2-3 cm, ujung daun agak melancip dan tepi daun beringgit (Prohati, 2015).

2.6.5 Habitat tumbuhan

Pugun Tanoh terdapat di lereng hutan atau pinggiran hutan (Prohati, 2015), ladang, daerah lembab dan daerah dataran rendah (Lansdown, R.V., 2011). 2.6.6 Khasiat tumbuhan

Masyarakat menggunakan pugun tanoh sebagai obat cacing, obat sakit perut, serta mengatasi kudis, memar, bengkak, batuk rejan dan sesak napas (Agung dan Tinton, 2008). Tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak, mengobati kolik dan malaria di Maluku dan Filipina, di Indonesia, daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya (Prohati, 2015). Pugun tanoh digunakan sebagai obat malaria, diuretik, demam dan gangguan pada kulit (Perry, 1980). Pugun tanoh digunakan untuk pengobatan demam, infeksi herpes, kanker dan inflamasi di Cina Selatan (Zhong, et al., 1979). Daun pugun tanoh di Sumatera Utara umumnya digunakan sebagai obat untuk diabetes mellitus (Harfina, et al., 2012; Sitorus, et al., 2014). Pugun tanoh memiliki aktivitas sebagai antidiuretik (Lewis, 2003), sebagai obat panas (Data, 2003), antidiabetik


(15)

(Harahap, dkk., 2013), obat luka bakar ( Fithra, 2013), antiasma (Ramadhani, 2014) dan antiinflamasi (Juwita, 2009).

2.6.7 Kandungan kimia

Pugun tanoh mengandung curangin dan zat pahit (Agung dan Tinton, 2008), flavonoid (Huang, et al., 1999), saponin (Fang, et al., 2009), tanin, glikosida (Jie, et al., 2005; Zou, et al., 2005; Zou, et al., 2004; Huang, et al., 1998) serta steroid/terpenoid (Wang, et al., 2006).

2.7 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan pelikan yang belum diolah dengan cara sederhana atau belum berupa zat kimia murni (Depkes RI., 2000).

Simplisia sebagai produk hasil petanian atau pengumpulan dari tumbuhan liar memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil


(16)

panen tumbuhan obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Depkes RI., 2000):

a. Genetik (bibit)

b. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)

c. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh) d. Panen (waktu dan pasca panen)

Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam artian, yaitu komposisi senyawa kandungan kontaminasi dan stabilitas bahan (Depkes RI., 2000).

2.8 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI., 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI., 2000).

Faktor yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. Faktor kimia yaitu: faktor internal (jenis senyawa aktif, komposisi kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran,


(17)

kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat dan kandungan pestisida) (Depkes RI., 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Depkes RI., 2000).

2.8.1 Ekstraksi cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

2.8.2 Ekstraksi cara panas a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).


(18)

d. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.9 Uji Aktivitas Antelmintik

Secara umum, uji aktivitas antelmintik dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode in vitro dan metode invivo. Penelitian secara in vitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti dari luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratorium (Djatmiko, 2009). Uji invivo adalah uji yang dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup (Dorland, 2012).

2.9.1 Uji in vitro

Uji in vitro dapat dilakukan dengan metode perendaman. Pengujian ini dilakukan dengan cara merendam cacing ke dalam ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas antelmintik dengan berbagai konsentrasi dengan parameter yang diperhatikan yaitu waktu paralisis dan waktu kematian. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015).

Uji aktivitas antelmintik secara in vitro dapat menggunakan cacing parasit pada manusia seperti Ascaris lumbricoides (Tjokopranoto, dkk., 2011), atau cacing parasit pada hewan seperti Fasciola gigantic (Jeyathilakan, et al., 2010), Ascaris


(19)

suum (Budiyanti, 2010) dan dapat menggunakan cacing tanah (Pheretima

posthuma). Pheretima posthuma dapat digunakan karena memiliki kemiripan

struktur anatomi dan fisiologis dengan cacing yang menginfeksi saluran cerna manusia (Vennila, et al., 2015; Nitave, et al, 2014; Borah, et al., 2013; Subash, et al., 2012; Sharma, et al., 2011; Sharma, 2010).

2.9.2 Uji in vivo

Uji in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan hewan sebagai percobaan dengan menginfeksi hewan dengan cacing parasit, lalu setelah mencapai masa prepaten, diberi perlakuan. Pemberian dilakukan peroral selama beberapa hari yang dibagi dalam beberapa kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif, ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas sebagai antelmintik dengan berbagai konsentrasi dan kontrol positif yaitu antelmintik sintetik, kemudian sampel tinja dikumpulkan untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja. Parameter pengamatan adalah jumlah telur, jumlah larva, daya tetas telur pada tinja hewan dan sisa telur cacing yang terdapat pada hewan percobaan. Hewan percobaan dapat berupa kambing, ayam, domba dan mencit (Fitri dan Sri, 2005; Sanbayu, 2005).


(1)

Pugun tanoh merupakan tanaman berbatang basah dan berbaring (Agung dan Tinton, 2008). Pugun tanoh tumbuh merambat. Tumbuhan pugun tanoh memiliki tinggi 40 sampai 60 cm. Batangnya dengan cabang-cabang yang ramping, jarang, tegak atau melata, berakar dibuku-buku dan berbulu halus (Prohati, 2015). Tangkai daun tumbuh berhadapan, permukaan tidak berbulu, rata dan tipis. Tandan bunga bewarna merah (Agung dan Tinton, 2008), bunga berupa tandan di ujung atau di batang, jumlah bunga 2-16, mahkota bunga bentuk tabung dan berbibir rangkap. Daunnya berbulu halus, berbentuk bundar telur dengan panjang 3-6 cm dan lebar 2-3 cm, ujung daun agak melancip dan tepi daun beringgit (Prohati, 2015).

2.6.5 Habitat tumbuhan

Pugun Tanoh terdapat di lereng hutan atau pinggiran hutan (Prohati, 2015), ladang, daerah lembab dan daerah dataran rendah (Lansdown, R.V., 2011). 2.6.6 Khasiat tumbuhan

Masyarakat menggunakan pugun tanoh sebagai obat cacing, obat sakit perut, serta mengatasi kudis, memar, bengkak, batuk rejan dan sesak napas (Agung dan Tinton, 2008). Tanaman ini digunakan sebagai obat cacing untuk anak-anak, mengobati kolik dan malaria di Maluku dan Filipina, di Indonesia, daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya (Prohati, 2015). Pugun tanoh digunakan sebagai obat malaria, diuretik, demam dan gangguan pada kulit (Perry, 1980). Pugun tanoh digunakan untuk pengobatan demam, infeksi herpes, kanker dan inflamasi di Cina Selatan (Zhong, et al., 1979). Daun pugun tanoh di Sumatera Utara umumnya digunakan sebagai obat untuk diabetes mellitus (Harfina, et al., 2012; Sitorus, et al., 2014). Pugun tanoh memiliki aktivitas sebagai antidiuretik (Lewis, 2003), sebagai obat panas (Data, 2003), antidiabetik


(2)

(Harahap, dkk., 2013), obat luka bakar ( Fithra, 2013), antiasma (Ramadhani, 2014) dan antiinflamasi (Juwita, 2009).

2.6.7 Kandungan kimia

Pugun tanoh mengandung curangin dan zat pahit (Agung dan Tinton, 2008), flavonoid (Huang, et al., 1999), saponin (Fang, et al., 2009), tanin, glikosida (Jie, et al., 2005; Zou, et al., 2005; Zou, et al., 2004; Huang, et al., 1998) serta steroid/terpenoid (Wang, et al., 2006).

2.7 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan atas simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan pelikan yang belum diolah dengan cara sederhana atau belum berupa zat kimia murni (Depkes RI., 2000).

Simplisia sebagai produk hasil petanian atau pengumpulan dari tumbuhan liar memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan karena adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa dalam produk hasil


(3)

panen tumbuhan obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai berikut (Depkes RI., 2000):

a. Genetik (bibit)

b. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)

c. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh) d. Panen (waktu dan pasca panen)

Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat menentukan mutu simplisia dalam artian, yaitu komposisi senyawa kandungan kontaminasi dan stabilitas bahan (Depkes RI., 2000).

2.8 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI., 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI., 2000).

Faktor yang mempengaruhi kualitas dari ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan. Faktor kimia yaitu: faktor internal (jenis senyawa aktif, komposisi kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran,


(4)

kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat dan kandungan pestisida) (Depkes RI., 2000).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Depkes RI., 2000).

2.8.1 Ekstraksi cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

2.8.2 Ekstraksi cara panas a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).


(5)

d. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40-50oC).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

2.9 Uji Aktivitas Antelmintik

Secara umum, uji aktivitas antelmintik dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu metode in vitro dan metode invivo. Penelitian secara in vitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti dari luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratorium (Djatmiko, 2009). Uji invivo adalah uji yang dilakukan di dalam tubuh makhluk hidup (Dorland, 2012).

2.9.1 Uji in vitro

Uji in vitro dapat dilakukan dengan metode perendaman. Pengujian ini dilakukan dengan cara merendam cacing ke dalam ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas antelmintik dengan berbagai konsentrasi dengan parameter yang diperhatikan yaitu waktu paralisis dan waktu kematian. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015).

Uji aktivitas antelmintik secara in vitro dapat menggunakan cacing parasit pada manusia seperti Ascaris lumbricoides (Tjokopranoto, dkk., 2011), atau cacing parasit pada hewan seperti Fasciola gigantic (Jeyathilakan, et al., 2010), Ascaris


(6)

suum (Budiyanti, 2010) dan dapat menggunakan cacing tanah (Pheretima posthuma). Pheretima posthuma dapat digunakan karena memiliki kemiripan struktur anatomi dan fisiologis dengan cacing yang menginfeksi saluran cerna manusia (Vennila, et al., 2015; Nitave, et al, 2014; Borah, et al., 2013; Subash, et al., 2012; Sharma, et al., 2011; Sharma, 2010).

2.9.2 Uji in vivo

Uji in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan hewan sebagai percobaan dengan menginfeksi hewan dengan cacing parasit, lalu setelah mencapai masa prepaten, diberi perlakuan. Pemberian dilakukan peroral selama beberapa hari yang dibagi dalam beberapa kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif, ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas sebagai antelmintik dengan berbagai konsentrasi dan kontrol positif yaitu antelmintik sintetik, kemudian sampel tinja dikumpulkan untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja. Parameter pengamatan adalah jumlah telur, jumlah larva, daya tetas telur pada tinja hewan dan sisa telur cacing yang terdapat pada hewan percobaan. Hewan percobaan dapat berupa kambing, ayam, domba dan mencit (Fitri dan Sri, 2005; Sanbayu, 2005).