HUKUM SYARA'
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan mazhab,
bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah,
muamalah, pidana, perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau pembelanjaan, maka semua
itu mempunyai hukum di dalam syariat Islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan
oleh berbagai nash yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan sebagian lagi belum
dijelaskan oleh nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi syariat telah menegakkan
dalil dan mendirikan tanda-tanda dari bagi hukum itu, di mana dengan perantaraan dalil dan
tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya.
Dari kumpulan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan ucapan dan
perbuatan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash dalam berbagai kasus yang
ada nashnya, maupun yang diistinbatkan dari berbagai dalil syar’I lainnya dalam kasus-kasus
yang tidak ada nashnya, terbentuklah fiqh.
A. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Syara?
2. Mengapa hukum syara sampai terbagi ke dalam beberapa bentuk?
3. Apakah yang dimaksud dengan hokum taklifi dan wadh’i?
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
a). Pengertian hukum syara’
Hukum Syari’ (hukum syara) adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum”
dan kata Syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “ Hukum” yang secara etimologi
berarti memutuskan, menetapkan & menyelesaikan. Kata hukum sudah menjadi bahasa baku
dalam bahasa indonesia. Dalam pengertian secara definisi kata “hukum” itu terdapat
perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum adalah : “seperangkat peralatan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan & di akui oleh satu negara / kelompok masyarakat, berlaku & mengikat untuk
seluruh anggotanya.
Kata Syara secara etimologis berarti : Jalan, jalan yang biasa dilalui air, maksudnya
adalah jalan dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Jadi Hukum Syara adalah :
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
& diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Terdapat juga perbedaan Hukum Syara menurut ahli Ushul Fiqh & Ahli Fiqh dalam
memberikan definisi terhadap hukum syara. Hukum Syara menurut ahli ushul fiqh yaitu :
Khitab (Titah) Allah yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
berbuat / tidak, atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Ahli Ushul memandang pengatahuan
tentang titah Allah yang menyangkut tindak-tanduk manusia itulah yang disebut Hukum
Syara.
Seperti titah Allah : Kerjakanlah Sholat, atau larangannya: Janganlah kamu memakan
harta orang lain secara bathil. Sedangkan Ahli Fiqh memberikan definisi Hukum Syara
sebagai berikut: Sifat yang merupakan pengaruh / akibat yang timbul dari titah Allah terhadap
orang mukallaf itu.
HUKUM (al-hukm) secara bahasa (etimologi) berarti mencegah, memutuskan.
Menurut terminologi ushul fiqh, hukum syar’i adalah khitab (kalam) Allah Swt yang
berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf , baik berupa iqtidha` (perintah, larangan,
anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang/m ā ni’).
b). Penjelasan definisi hukum Syara’
Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik Qur’an,
Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode
menyingkapkan hukum dari Qur’an dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah
secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah
Saw tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman
Allah:
(3 - 2 : وما ينطق عن الهوى ان هو ال وحي يوحى ) النجم
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah.
Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa,
berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).
c). Pembagian Hukum Syara’
1. Hukum Taklifi dan Wadh’i
a) HUKUM TAKLIFI
adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap
seorang mukallaf untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat. ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه
عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه.
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba
haram, makan-minum mubah. وكلوا واشربو/// ... وأقيموا الصلة وآتوا الزكاة...
Bentuk-bentuk Hukum Taklifi menurut Jumhur Fiqih:
WAJIB
Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, sesuatu yang
diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan
mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Misalnya, dalam surat An-Nur: 56
نوأ نطقيمموا ال ل نصنلانة نوآمتوا ال ل نزنكانة نوأ نططيمعوا ال لنرمسونل ل ننعل ل نك مرم تمررنحممونن
yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
MANDUB
secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang
dianjurkan
oleh Allah
dan
RasulNya
dimana
akan
diberi
pahala
orang yang
melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb
disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah. Misalnya: dalam
surah al-Baqarah ayat 282
yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…..”
HARAM
Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu
yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan
dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala. Misal:
larangan zina.
MAKRUH
Secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan
syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala,
dan jika dilanggar tidak berdosa. Misal, dalam mazhab Hanbali makruh berkumur-kumur dan
memasukkan air ke hidung ( ) المضمضة والستنشاقsecara berlebihan ketika wudhu di siang hari
Ramadhan.
MUBAH
Secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu
yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada
hubungannya dengan dosa serta pahala. Misal: jika terjadi puncak cekcok suami-istri, maka
boleh (mubah) bagi istri membayar sejumlah uang kepada suami dan meminta suami
menceraikannya (QS. Al-Baqarah: 229).
Pembagian WAJIB (1) Dari segi Orang Yang dibebani kewajiban WAJIB ‘AINI
Kewajiban yg dibebankan kepada setiap mukallaf (sudah baligh dan berakal), tanpa
terkecuali. Misal: shalat wajib. WAJIB KIFYĀ `I Kewajiban yg dibebankan kepada seluruh
mukallaf, namun jika telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah
dianggap terpenuhi (Shalat jenazah). Pembagian WAJIB (2) Dari segi Kandungan Perintah
WAJIB MU’AYYAN Kewajiban dimana yg menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada
pilihan. Misal: kewajiban puasa di bulan Ramadhan. WAJIB MUKHAYYAR Kewajiban
dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. (kaffarat sumpah)
فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم او كسوتهم اوتحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلثة ايام.
Pembagian WAJIB (3) Dari segi Waktu Pelaksanaannya WAJIB MUTHLAQ Kewajiban yg
pelaksanaannya tidak dibatasi dg waktu tertentu. Misal: kewajiban membayar puasa
Ramadhan yg tertinggal. WAJIB MUAQQAT Kewajiban yg pelaksanaannya dibatasi dengan
waktu tertentu. MUWASSA’ . Waktu yg tersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan
kewajiban itu sendiri. Misal: Shalat 5 waktu. MUDHAYYAQ . Waktu yg tersedia hanya
mencukupi untuk melaksanakan kewajiban itu. Misal: Puasa bulan Ramadhan, haji.
Pembagian MANDUB MANDUB / NADB / SUNNAH MUAKKADAH Sunnah
sangat dianjurkan, dibiasakan oleh Rasul Saw dan jarang ditinggalkannya. Misal: Shalat
sunnah 2 rakaat sebelum fajar. GHAIR MUAKKADAH Sunnah biasa, sesuatu yg dilakukan
Rasul, namun bukan menjadi kebiasaannya. (Shalat sunnah 2x dua rakaat sebelum shalat
zuhur). ZAW Ā ID Sunnah mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah Saw sebagai manusia.
Misal: cara makan rasul, tidur, dll.
Pembagian HARAM, HARAM AL-MUHARRAM LI DZATIHI Diharamkan krn
esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia. Misal: Larangan zina, makan
bangkai, darah, babi. AL-MUHARRAM LI GHAIRIHI Dilarang bukan krn esensinya, tapi
pada kondisi tertentu dilarang krn ada pertimbangan eksternal. Misal: larangan jual beli saat
azan jumat.
Pembagian MAKRUH TAHRIM Dilarang oleh syari’at, tapi dalilnya bersifat dhanni
al-wurud (dugaan keras, seperti hadis ahad yg diriwayatkan perorangan). Misal: Larangan
meminang wanita yg sedang dalam pinangan orang lain. MAKRUH TANZIH Dianjurkan
oleh syariat untuk meninggalkannya. Misal: memakan daging kuda pada waktu sangat butuh
di waktu perang, menurut sebagian Hanafiah.
Pembagian MUBAH Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab Muwafaqat membagi mubah
menjadi 3 macam: a) Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal
yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yg mubah, namun berfungsi
untuk menggerakkan seseorang mengerjakan kewajiban shalat dsb. b) Sesuatu dianggap
mubah hukumnya jika dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap
waktu. Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk bermain
dan bermusik maka menjadi haram. c) Sesuatu yg mubah yg berfungsi sebagai sarana
mencapai sesuatu yg mubah pula. Misal: membeli perabot rumah untuk kepentingan
kesenangan.
Pembagian SEBAB a) Sebab yg bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di
luar kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena
syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yg harus
dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi
datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi sebab bagi
kewajiban puasa ramadhan. b) Sebab yg merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan
kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di
siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli.
b) WADH’I, HUKUM WADH’I adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk
melakukan hukum taklifi). ما اقتضى وضع شيء سببا لشيئ او شرطا له او مانعا منه.
Misalnya, hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah
hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat zuhur. Wudhu’ menjadi
syarat sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi penghalang/ māni’ seorang wanita
melakukan kewajiban shalat dan puasa.
Hukum Wadh’I bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang
ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi / merupakan
akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu.
SEBAB
Secara bahasa berarti sesuatu yg bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg
lain. Secara istilah, sebab yaitu sesuatu yg dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya
hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Misalnya dalam
firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari
tergelincir” Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
SYARAT
Secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yg lain, atau sebagai
tanda. Secara istilah, syarat yaitu sesuatu yg tergantung kepadanya ada sesuatu yg lain, dan
berada di luar hakikat sesuatu itu. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6
yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin
(dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya
perwalian atas dirinya.
M Ā NI’
Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu. Secara istilah, maksudnya adalah
sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “ pembunuh tidak
mendapat waris.” Hadits tersebut menunjukan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk
mendapatkan warisan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum Syari’ (hukum syara) adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum”
dan kata Syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “ Hukum” yang secara etimologi
berarti memutuskan, menetapkan & menyelesaikan. Kata hukum sudah menjadi bahasa baku
dalam bahasa indonesia. Dalam pengertian secara definisi kata “hukum” itu terdapat
perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum adalah : “seperangkat peralatan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan & di akui oleh satu negara / kelompok masyarakat, berlaku & mengikat untuk
seluruh anggotanya.
Kata Syara secara etimologis berarti : Jalan, jalan yang biasa dilalui air, maksudnya
adalah jalan dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Jadi Hukum Syara adalah :
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
& diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
B. SARAN
Kami sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam
makalah ini. Oleh sebab itu harapan kami dari teman-teman sekalian serta bapak ibu dosen
pembimbing dapat memberikan masukan-masukan kepada kami selaku penulis untuk
perbaikan makalah ini kearah yang lebih baik kedepannya.
Daftar Pustaka
Khllaf Wahab Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Pustaka, 1994)
Zahra Abu Muhammad, Ushul Fiqh, (Pajaten Barat: Pustaka Firdaus, 1999)
Al-Bardisi, Ushil Fiqh, (Mesir Dar al Nahda, 1969)
Harun Nasrun, “ Ushul Fiqih” (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan mazhab,
bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah,
muamalah, pidana, perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau pembelanjaan, maka semua
itu mempunyai hukum di dalam syariat Islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan
oleh berbagai nash yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan sebagian lagi belum
dijelaskan oleh nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi syariat telah menegakkan
dalil dan mendirikan tanda-tanda dari bagi hukum itu, di mana dengan perantaraan dalil dan
tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya.
Dari kumpulan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan ucapan dan
perbuatan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash dalam berbagai kasus yang
ada nashnya, maupun yang diistinbatkan dari berbagai dalil syar’I lainnya dalam kasus-kasus
yang tidak ada nashnya, terbentuklah fiqh.
A. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Syara?
2. Mengapa hukum syara sampai terbagi ke dalam beberapa bentuk?
3. Apakah yang dimaksud dengan hokum taklifi dan wadh’i?
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
a). Pengertian hukum syara’
Hukum Syari’ (hukum syara) adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum”
dan kata Syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “ Hukum” yang secara etimologi
berarti memutuskan, menetapkan & menyelesaikan. Kata hukum sudah menjadi bahasa baku
dalam bahasa indonesia. Dalam pengertian secara definisi kata “hukum” itu terdapat
perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum adalah : “seperangkat peralatan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan & di akui oleh satu negara / kelompok masyarakat, berlaku & mengikat untuk
seluruh anggotanya.
Kata Syara secara etimologis berarti : Jalan, jalan yang biasa dilalui air, maksudnya
adalah jalan dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Jadi Hukum Syara adalah :
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
& diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Terdapat juga perbedaan Hukum Syara menurut ahli Ushul Fiqh & Ahli Fiqh dalam
memberikan definisi terhadap hukum syara. Hukum Syara menurut ahli ushul fiqh yaitu :
Khitab (Titah) Allah yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
berbuat / tidak, atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Ahli Ushul memandang pengatahuan
tentang titah Allah yang menyangkut tindak-tanduk manusia itulah yang disebut Hukum
Syara.
Seperti titah Allah : Kerjakanlah Sholat, atau larangannya: Janganlah kamu memakan
harta orang lain secara bathil. Sedangkan Ahli Fiqh memberikan definisi Hukum Syara
sebagai berikut: Sifat yang merupakan pengaruh / akibat yang timbul dari titah Allah terhadap
orang mukallaf itu.
HUKUM (al-hukm) secara bahasa (etimologi) berarti mencegah, memutuskan.
Menurut terminologi ushul fiqh, hukum syar’i adalah khitab (kalam) Allah Swt yang
berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf , baik berupa iqtidha` (perintah, larangan,
anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang/m ā ni’).
b). Penjelasan definisi hukum Syara’
Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik Qur’an,
Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode
menyingkapkan hukum dari Qur’an dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah
secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah
Saw tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman
Allah:
(3 - 2 : وما ينطق عن الهوى ان هو ال وحي يوحى ) النجم
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah.
Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa,
berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).
c). Pembagian Hukum Syara’
1. Hukum Taklifi dan Wadh’i
a) HUKUM TAKLIFI
adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap
seorang mukallaf untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat. ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه
عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه.
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba
haram, makan-minum mubah. وكلوا واشربو/// ... وأقيموا الصلة وآتوا الزكاة...
Bentuk-bentuk Hukum Taklifi menurut Jumhur Fiqih:
WAJIB
Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, sesuatu yang
diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan
mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Misalnya, dalam surat An-Nur: 56
نوأ نطقيمموا ال ل نصنلانة نوآمتوا ال ل نزنكانة نوأ نططيمعوا ال لنرمسونل ل ننعل ل نك مرم تمررنحممونن
yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
MANDUB
secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang
dianjurkan
oleh Allah
dan
RasulNya
dimana
akan
diberi
pahala
orang yang
melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb
disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah. Misalnya: dalam
surah al-Baqarah ayat 282
yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…..”
HARAM
Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu
yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan
dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala. Misal:
larangan zina.
MAKRUH
Secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan
syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala,
dan jika dilanggar tidak berdosa. Misal, dalam mazhab Hanbali makruh berkumur-kumur dan
memasukkan air ke hidung ( ) المضمضة والستنشاقsecara berlebihan ketika wudhu di siang hari
Ramadhan.
MUBAH
Secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu
yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada
hubungannya dengan dosa serta pahala. Misal: jika terjadi puncak cekcok suami-istri, maka
boleh (mubah) bagi istri membayar sejumlah uang kepada suami dan meminta suami
menceraikannya (QS. Al-Baqarah: 229).
Pembagian WAJIB (1) Dari segi Orang Yang dibebani kewajiban WAJIB ‘AINI
Kewajiban yg dibebankan kepada setiap mukallaf (sudah baligh dan berakal), tanpa
terkecuali. Misal: shalat wajib. WAJIB KIFYĀ `I Kewajiban yg dibebankan kepada seluruh
mukallaf, namun jika telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah
dianggap terpenuhi (Shalat jenazah). Pembagian WAJIB (2) Dari segi Kandungan Perintah
WAJIB MU’AYYAN Kewajiban dimana yg menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada
pilihan. Misal: kewajiban puasa di bulan Ramadhan. WAJIB MUKHAYYAR Kewajiban
dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. (kaffarat sumpah)
فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم او كسوتهم اوتحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلثة ايام.
Pembagian WAJIB (3) Dari segi Waktu Pelaksanaannya WAJIB MUTHLAQ Kewajiban yg
pelaksanaannya tidak dibatasi dg waktu tertentu. Misal: kewajiban membayar puasa
Ramadhan yg tertinggal. WAJIB MUAQQAT Kewajiban yg pelaksanaannya dibatasi dengan
waktu tertentu. MUWASSA’ . Waktu yg tersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan
kewajiban itu sendiri. Misal: Shalat 5 waktu. MUDHAYYAQ . Waktu yg tersedia hanya
mencukupi untuk melaksanakan kewajiban itu. Misal: Puasa bulan Ramadhan, haji.
Pembagian MANDUB MANDUB / NADB / SUNNAH MUAKKADAH Sunnah
sangat dianjurkan, dibiasakan oleh Rasul Saw dan jarang ditinggalkannya. Misal: Shalat
sunnah 2 rakaat sebelum fajar. GHAIR MUAKKADAH Sunnah biasa, sesuatu yg dilakukan
Rasul, namun bukan menjadi kebiasaannya. (Shalat sunnah 2x dua rakaat sebelum shalat
zuhur). ZAW Ā ID Sunnah mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah Saw sebagai manusia.
Misal: cara makan rasul, tidur, dll.
Pembagian HARAM, HARAM AL-MUHARRAM LI DZATIHI Diharamkan krn
esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia. Misal: Larangan zina, makan
bangkai, darah, babi. AL-MUHARRAM LI GHAIRIHI Dilarang bukan krn esensinya, tapi
pada kondisi tertentu dilarang krn ada pertimbangan eksternal. Misal: larangan jual beli saat
azan jumat.
Pembagian MAKRUH TAHRIM Dilarang oleh syari’at, tapi dalilnya bersifat dhanni
al-wurud (dugaan keras, seperti hadis ahad yg diriwayatkan perorangan). Misal: Larangan
meminang wanita yg sedang dalam pinangan orang lain. MAKRUH TANZIH Dianjurkan
oleh syariat untuk meninggalkannya. Misal: memakan daging kuda pada waktu sangat butuh
di waktu perang, menurut sebagian Hanafiah.
Pembagian MUBAH Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab Muwafaqat membagi mubah
menjadi 3 macam: a) Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal
yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yg mubah, namun berfungsi
untuk menggerakkan seseorang mengerjakan kewajiban shalat dsb. b) Sesuatu dianggap
mubah hukumnya jika dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap
waktu. Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk bermain
dan bermusik maka menjadi haram. c) Sesuatu yg mubah yg berfungsi sebagai sarana
mencapai sesuatu yg mubah pula. Misal: membeli perabot rumah untuk kepentingan
kesenangan.
Pembagian SEBAB a) Sebab yg bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di
luar kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena
syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yg harus
dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi
datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi sebab bagi
kewajiban puasa ramadhan. b) Sebab yg merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan
kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di
siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada
pembeli.
b) WADH’I, HUKUM WADH’I adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk
melakukan hukum taklifi). ما اقتضى وضع شيء سببا لشيئ او شرطا له او مانعا منه.
Misalnya, hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah
hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat zuhur. Wudhu’ menjadi
syarat sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi penghalang/ māni’ seorang wanita
melakukan kewajiban shalat dan puasa.
Hukum Wadh’I bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang
ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi / merupakan
akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu.
SEBAB
Secara bahasa berarti sesuatu yg bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg
lain. Secara istilah, sebab yaitu sesuatu yg dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya
hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Misalnya dalam
firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari
tergelincir” Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
SYARAT
Secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yg lain, atau sebagai
tanda. Secara istilah, syarat yaitu sesuatu yg tergantung kepadanya ada sesuatu yg lain, dan
berada di luar hakikat sesuatu itu. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6
yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin
(dewasa).”
Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya
perwalian atas dirinya.
M Ā NI’
Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu. Secara istilah, maksudnya adalah
sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “ pembunuh tidak
mendapat waris.” Hadits tersebut menunjukan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk
mendapatkan warisan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum Syari’ (hukum syara) adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum”
dan kata Syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “ Hukum” yang secara etimologi
berarti memutuskan, menetapkan & menyelesaikan. Kata hukum sudah menjadi bahasa baku
dalam bahasa indonesia. Dalam pengertian secara definisi kata “hukum” itu terdapat
perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum adalah : “seperangkat peralatan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan & di akui oleh satu negara / kelompok masyarakat, berlaku & mengikat untuk
seluruh anggotanya.
Kata Syara secara etimologis berarti : Jalan, jalan yang biasa dilalui air, maksudnya
adalah jalan dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Jadi Hukum Syara adalah :
seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui
& diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
B. SARAN
Kami sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam
makalah ini. Oleh sebab itu harapan kami dari teman-teman sekalian serta bapak ibu dosen
pembimbing dapat memberikan masukan-masukan kepada kami selaku penulis untuk
perbaikan makalah ini kearah yang lebih baik kedepannya.
Daftar Pustaka
Khllaf Wahab Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Pustaka, 1994)
Zahra Abu Muhammad, Ushul Fiqh, (Pajaten Barat: Pustaka Firdaus, 1999)
Al-Bardisi, Ushil Fiqh, (Mesir Dar al Nahda, 1969)
Harun Nasrun, “ Ushul Fiqih” (Jakarta: Logos Publishing House, 1996)