Analisis Interdependensi Instrumen Kebijakan Moneter Dan Pengaruhnya Terhadap Indikator Ekonomi Makro Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Kebijakan moneter merupakan kebijakan
pengendalian

besaran moneter

untuk

bank sentral dalam bentuk

mencapai

perkembangan

kegiatan

perekonomian yang diinginkan yaitu kesempatan kerja yang tinggi, laju inflasi
stabil, keseimbangan neraca pembayaran dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang

mantap. (Pohan,2008).
Penerapan kebijakan moneter tidak dapat dilakukan terpisah dengan
kebijakan ekonomi makro lainnya. Hal ini terutama mengingat interdependensi
atau keterkaitan antara kebijakan moneter dan bagian kebijakan ekonomi makro
lain yang sangat erat. Pemahaman tentang interdependensi antara instrumen
moneter dan indikator makro dirasa sangat perlu bagi pengambil kebijakan agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan atau distorsi ekonomi. Gambaran
tentang adanya interdependensi antara instrumen moneter dan indikator ekonomi
makro sudah sejak lama dijelaskan. Berikutnya akan diuraikan teori-teori yang
menjelaskan interdependensi instrumen moneter dan indikator makro dalam
menentukan kegiatan perekonomian
Dalam teori Keynes dijelaskan bahwa kebijakan fiskal merupakan faktor
penting dalam menentukan permintaan agregat, sedangkan kebijakan moneter atau
perubahan jumlah uang beredar (money supply) berpengaruh lemah terhadap
permintaan agregat dan bahkan pada situasi tertentu dikatakan tidak bepengaruh.
Jumlah uang beredar memerlukan instrumen lain

agar bisa mempengaruhi

permintaan agregat, melalui efeknya atas investasi dan bersifat tidak langsung


yaitu melalui tingkat suku bunga, dimana pengaruh tingkat suku bunga terhadap
investasi relatif sangat lemah atau permintaan investasi swasta relatif sensitif
terhadap tingkat suku bunga selama resesi (Ahuja, 2002).
Golongan monetaris mengkritik pandangan Keynes, golongan ini
dipelopori oleh Milton Friedman. Friedman meyakini sistem pasar bebas mampu
menciptakan kesempatan kerja penuh dan penawaran uang sangat penting artinya
dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi dan tingkat harga. Mengenai bentuk
kebijakan pemerintah, jika diperlukan kebijakan moneter lebih berperan dalam
mempengaruhi kegitan perekonomian dibandingkan dengan kebijakan fiskal
seperti yang diuraikan golongan Keynes. (Sukirno, 2004).
Menurut Mundell-Fleming, efektif tidaknya kebijakan fiskal dan moneter
dalam mempengaruhi pendapatan agregat bergantung pada regim nilai tukar yang
berlaku. Pada kurs tukar mengambang atau fleksibel (floating or flexible exchange
rate), kebijakan moneter efektif mempengaruhi pendapatan nasional. Sebaliknya
untuk negara yang menganut nilai tukar tetap, hanya kebijakan fiskal yang efektif
mempengaruhi pendapatan nasional. (Mankiw, 2000)
Bercermin dari krisis pada tahun 1997 yang telah menimbulkan banyak
permasalahan


Krisis yang berawal contagion effect regional di Thailand,

mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat internasional kepada
negara-negara Asia termasuk Indonesia akhirnya

nilai tukar rupiah merosot

tajam. Kondisi ini diperparah dengan masalah perbankan yang harus segera
diatasi, sehingga dilakukan likuidasi 16 bank bermasalah untuk menekan biaya
produksi. Kegiatan ini ternyata menimbulkan rush, dan capital flight.Untuk

mengatasi masalah ini Bank Indonesia memberikan bantuan pencairan dana
likuiditas.
Tak ada asap kalau tidak ada api, ternyata bantuan yang diharapkan bisa
mengatasi masalah malah mengakibatkan bleeding besar-besaran sehingga
mendorong laju inflasi semakin meningkat.Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
jumlah uang beredar yang tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, naiknya
biaya produksi akibat kurs overshooting, disribusi yang tidak lancar karena
kondisi politik dan keamanan, dan seterusnya. Krisis moneter ini terjadi karena
pembangunan nasional yang dilaksanakan sebelum krisis mengandung banyak

kelemahan struktur dan penyimpangan atau distorsi ekonomi sehingga akhirnya
menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks.
Kondisi yang digambarkan pada saat krisis moneter itu adalah bukti yang
menjelaskan bahwa terdapat hubungan interdependensi antara instrumen moneter
dan indikator ekonomi makro dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
Perubahan pada suatu instrumen moneter dapat berakibat pada perubahan seluruh
instrumen moneter lain dan indikator ekonomi makro.
Selain itu, pemahaman akan interdependensi instrumen moneter dan
indikator makro ini akan mengoptimalkan koordinasi kebijakan moneter dan
kebijakan lainnya dalam melaksanakan tugas masing-masing. Mengerti tentang
kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan suatu kebijakan dan apa efek nya
terhadap instrumen dan indikator lainnya, merupakan modal bagi pelaku
kebijakan untuk merumuskan suatu kebijakan agar kegiatan perekonomian yang
diinginkan dapat tercapai.

Gambaran tentang interdependensi perkembangan instrumen moneter dan
indikator makro dapat juga dijelaskan dari trend perkembangan indikator makro
pasca krisis ekonomi tahun 1997 yang dapat dilihat dari gambar-gambar dibawah
ini


Gambar 1.1 (a) Trend RSBI (%)

Gambar 1.1 (b) Trend Suku Bunga Domestik (%)

Gambar 1.2 (a) Trend Jumlah Uang Beredar

Gambar 1.2 (b) Trend Giro Wajib Minimum

Gambar 1.3 (a) Trend Pinjaman Investasi oleh Gambar 1.3 (b) Trend Nilai Ekspor Barang dan Jasa
Bank Umum (Milyar Rupiah)

Gambar 1.4 (a) Trend Tingkat Pengangguran Gambar 1.4 (b) Trend Pertumbuhan Ekonomi
Terbuka

Gambar 1.5 (a) Trend Inflasi

Gambar 1.5 (b) Trend Nilai Tukar Rupiah terhadap
US Dollar

Bila kita lihat trend pergerakan RSBI satu dekade belakangan ini Gambar

1.1(a), SBI menunjukkan trend yang menurun. Kondisi ini diikuti oleh penurunan
tingkat suku bunga domestik dan peningkatan jumlah uang beredar (Gambar
1.2(a). Dalam waktu yang bersamaan, BI cenderung meningkatkan GWM. Secara
parsial, kenaikan GWM akan berdampak pada pengurangan jumlah uang beredar
(Pohan, 2008) dan jumlah kredit yang disalurkan. Namun dari Gambar 1.2(b) dan
Gambar 1.3(a) tidak demikian halnya. Trend jumlah uang beredar justru
meningkat, demikian juga dengan jumlah kredit pinjaman investasi yang
disalurkan. Sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Julaihah
(2004), bahwa pada dekade yang diteliti, kenaikan JUB bukan disalurkan kepada

masyarakat, tetapi justru terserap oleh kenaikan GWM, akibatnya peningkatan
JUB tidak menyebabkan pertumbuhan dalam sektor riil.
Penurunan tingkat suku bunga domestik, secara teori akan direspon oleh
dunia kerja dengan meningkatnya investasi, peningkatan lapangan kerja
(penurunan tingkat pengangguran) dan naiknya pertumbuhan ekonomi. Demikian
juga halnya yang terjadi di Indonesia seperti diperlihatkan pada Gambar 1.3 dan
Gambar 1.4. Jumlah pinjaman investasi baik dalam bentuk rupiah maupun valas
yang diberikan oleh Bank Umum selama periode 2002-2011

mengalami


peningkatan. Seperti terlihat pada Gambar 1.1 (a), 1.2(a), penurunan tingkat suku
bunga diikuti oleh penambahan JUB. Namun bila kita lihat Gambar 1.5(a), tingkat
inflasi memiliki trend yang cenderung menurun. Ini mengindikasikan bahwa
peningkatan JUB tidak signifikan mampu menyebabkan tingkat inflasi menaik.
Hal ini sejalan dengan temuan Julaihah (2004), bahwa peningkatan jumlah uang
beredar menyebabkan tingkat inflasi menunjukkan trend menurun.
Kondisi ini tentu saja tidak sesuai dengan teori kuantitas uang yang
disampaikan oleh kaum monetaris, bahwa kenaikan jumlah uang beredar akan
menyebabkan kenaikan secara proporsional terhadap inflasi (Mankiw, 2007).
Secara teori, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar akan berpengaruh
terhadap ekspor, dan selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sesuai dengan teori Mundell-Fleming (Mankiw, 2000), bahwa suatu negara yang
memiliki perekonomian terbuka kecil dengan tingkat mobilitas modal yang tinggi,
penurunan tingkat suku bunga dalam negeri akan memicu capital out flow.
Akibatnya nilai tukar dapat turun sehingga harga barang domestik relatif lebih
murah dibanding dengan harga barang di negara lain. Kondisi ini akan memicu

kenaikan ekspor. Dari Gambar 1.3(b) terlihat bahwa trend ekspor meningkat,
namun pada Gambar 1.5(b) terlihat bahwa trend nilai tukar relatif stabil. Ini

menandakan bahwa penurunan tingkat suku bunga domestik (Gambar 1.1(b)
dalam jangka panjang tidak berpengaruh terhadap trend nilai tukar yang relatif
stabil dan peningkatan eskpor juga tidak dipengaruhi oleh nilai tukar (ceteris
paribus). Di satu sisi tingkat suku bunga cenderung menurun, namun nilai tukar
relatif stabil.
Demikian juga hubungan nilai tukar dengan ekspor. Ketika nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing (katakan US dollar) rendah, ini berarti bahwa
secara relatif harga barang Indonesia lebih murah dibanding dengan barang asing.
Kondisi ini akan memicu meningkatnya volume ekspor.Dari gambar 1.3 (b) dan
Gambar 1.5 (b) tidak terlihat adanya hubungan jangka panjang antara nilai tukar
dengan ekspor. Di satu sisi nilai tukar relatif stabil sementara di sisi lain ekspor
terus meningkat. Hubungan nilai tukar dengan inflasi, dari data yang ada
menunjukkan bahwa trend nilai tukar stabil mengakibatkan trend inflasi menjadi
turun, tidak seperti penelitian yang dilakukan oleh (Achsani dan Nababan), yang
menyimpulkan bahwa terdepresiasinya nilai tukar akan meningkatkan inflasi
khususnya pada kelompok transportasi dan komunikasi, hal ini terjadi karena
masih banyaknya barang domestik yang mengandung unsur impor.
Secar ringkas gambaran beberapa instrumen moneter dan indikator makro
dapat dilihat pada Tabel 1.1


Tabel 1.1. Instrumen Moneter dan Indikator makro periode 2000-2010
Tahun GWM
JUB
RDOM EXC
INF
GROW
(Milyar)
(Milyar)
(%)
(Rupiah) (%)
(%)
16,55
215.710,40
2.743.523,7
2000
8534,418
4.85
4.90
17,11
242.856,56

3.146.987,3
2001
10265,67 12.075
3.34
18,03
262.361,76
3.397.604,3
2002
9261,17 11.425
3.43
17,04
480.175,20
3.615.833,0
2003
8571,165
6.25
3.88
14,67
756.629,76
3.875.299,0

2004
8985,418
6.15
5.13
14,20
761.995,92
4.377.772,7
2005
9750,585
10.7
5.53
15,73
965.287,84
5.054.577,7
2006
9141,248 12.275
5.35
13,93
1.196.515,12
5.860.192,3
2007
9163,665
6.475
6.32
13,06
6.819.287,3
2008 1.512.056,24
9756,748
10.6
6.00
13,65
7.902.730,9
2009 1.660.822,64
10356,17
4.295
4.50
12,62
8.866.562,3
2010 1.742.763,84
9078,25 5.2775
6.15
Sumber : SEKI, Bank Indonesia

Interdependensi dari masing-masing indikator dapat jelas terlihat dari Tabel 1.1,
Walaupun beberapa

fenomena terlihat berbeda

dengan teori (theory gap).

Peningkatan jumlah giro wajib minimum pada tahun 2001 sebesar 12,58%,
ternyata tidak mampu menahan peningkatan jumlah uang beredar uang beredar
sebesar 40,35 %, walapun Bank Indonesia mencoba untuk mengurangi efeknya
dengan melakukan tight money policy , meningkatkan suku bunga sebesar 17,11%
akibatnya inflasi meningkat tajam sebesar 12,08% dari 4,85%. Peningkatan inflasi
yang sangat tinggi ini juga dipicu oleh peningkatan dari sisi penawaran, yaitu
peningkatan biaya produksi bagi industri-industri yang berbasis bahan baku
impor. Kondisi ini mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 20,28%
dari nilai tahun 2000. Akumulasi dari interdependensi seluruh instrumen moneter
dan indikator makro ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi turun menjadi
3,34% pada tahun 2000.
Kebijakan tight money policy yang dilakukan pada tahun 2001, dengan
menaikkan tingkat suku bunga diharapkan dapat menurunkan jumlah uang
beredar (Dornbusch 2008), tetapi ternyata kebijakan ini tidak cukup ampuh untuk

menarik jumlah uang beredar dimasyarakat, ditambah nilai rupiah yang terus
merosot karena capital flight masih terus terjadi. Hal ini disebabkan karena
berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor moneter dan pemerintah.
Bank Indonesia harus berhati-hati dalam penerapan kebijakan moneter, hal
ini disebabkan karena pengaruh suatu variabel lain terhadap variabel lainnya
dimungkinkan setelah adanya aksi (policy action) dilakukan. Sehingga perumusan
kebijakan harus mengakomodasi efek tunda (time lag) yang akan menunjukkan
pengaruh kebijakan setelah terlewatinya beberapa waktu tetentu. Ada unsur
ketidakpastian dalam menyusun policy action akibat informasi berupa
pengetahuan untuk perumusan kebijakan tidak sepenuhnya tercukupi.
1.2. Pernyataan Masalah
Interdependensi variabel-variabel moneter dan makro merupakan suatu yang
harus terjadi untuk pencapaian tujuan perekonomian secara umum. Ada beberapa
kondisi

yang menjadi fenomena dalam penelitian ini yang menjelaskan

keterkaitan diantara instrumen moneter dan indikator ekonomi makro. Secara
agregat berdasarkan trend perkembangan indikator ekonomi makro ada beberapa
kondisi menarik yang menjadi fenomena dari Gambar di atas, yaitu ketika trend
GWM naik ternyata trend JUB juga naik. Selanjutnya jika dihubungkan antara
trend JUB dengan trend tingkat inflasi, dari kondisi yang ada menujukkan bahwa
ketika terjadi peningkatan trend JUB, trend inflasi menunjukkan angka yang
menurun. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan teori kuantitatif yang menjelaskan
bahwa kenaikan jumlah uang beredar akan menyebabkan kenaikan harga secara
proporsional.

Fenomena berikutnya adalah jika dihubungkan antara trend RSBI dan
tingkat suku bunga domestik yang turun, diikuti oleh peningkatan trend investasi,
peningkatan ekspor dan peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi trend nilai
tukar rupiah stabil, kondisi ini sebenarnya tidak sesuai dengan teori yang
dinyatakan Mundell-Fleming (1960), menyatakan bahwa ketika bank sentral
melakukan kebijakan ekspansif dengan menambah JUB, akan menurunkan tingkat
suku bunga domestik. Penurunan tingkat suku bunga domestik dibawah tingkat
suku bunga internasional akan mendorong arus keluar (capital outflow),
banyaknya arus modal keluar mengakibatkan terdepresiasinya nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing dan depresiasi ini akan memicu kenaikan ekspor. Tetapi
kondisi yang ada bahwa nilai mata uang rupiah menunjukkan trend yang relatif
tetap (datar).
Jika dianalisis secara parsial berdasarkan Tabel 1.1 , data pada tahun 2001
dibandingkan dengan tahun 2000, ketika trend giro wajib minimum selanjutnya
disebut GWM naik sebesar 12,58% ternyata jumlah uang beredar (JUB) juga naik
sebesar 40,35% , usaha untuk mengatasi bleeding liquiditas terus dilakukan
dnegan menaikkan tingkat bunga menjadi 17,11% dari sebelumnya 16,55% .
Kebijakan tight money policy ini ternyata tidak berhasil mengatasi meningkatnya
laju inflasi yang signifikan dari 4,58% menjadi 12,65% pada tahun 2011.
Akibatnya nilai rupiah pun menjadi terdepresiasi 20,28% dari kondisi
sebelumnya. Beranjak pada tahun 2002, kenaikan GWM sebesar 0,08%, sama
sekali tidak membawa pengaruh terhadap JUB. Nilai JUB terus meningkat sebesar
25,06%, selanjutnya

bank menaikkan suku bunga menjadi 18, 32% untuk

mengatasi jumlah uang beredar yang melimpah dimasyarakat, ternyata jalan ini

cukup ampuh karena telah berhasil menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar
sebesar 10,05%.Apresiasi nilai tukar telah menurunkan inflasi dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi periode 2000-2011, data tertera pada tabel 1.1.
1.3 Perumusan Masalah
Dari fenomena ini muncul beberapa pertanyaan, seperti; apakah ada
keterkaitan antara instrumen moneter terhadap indikator ekonomi makro ? Apakah
instrumen moneter berperan signifikan dalam mempengaruhi kinerja indikator
makro ? Pada periode yang akan datang, variabel manakah yang akan memberi
kontribusi terbesar terhadap indikator ekonomi makro ? Secara umum
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana interdependensi instrumen
kebijakan moneter terhadap indikator ekonomi makro di Indonesia. Secara khusus
permasalahan yang akan dianalisis adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri dari
Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan Tingkat
Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang Beredar (JUB),
Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US
(EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor (IMP), Jumlah Investasi
(INV) terhadap Tingkat Pengangguran (UNEMP) pada tahun 2000-2011 di
Indonesia.
2. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri dari
Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan Tingkat
Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang Beredar (JUB),
Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US
(EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor (IMP), Jumlah Investasi

(INV) terhadap Keseimbangan Neraca Pembayaran (BOP) pada tahun 20002011 di Indonesia.
3. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri dari
Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan Tingkat
Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang Beredar (JUB),
Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US
(EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor (IMP), Jumlah Investasi
(INV) terhadap Tingkat Inflasi (INF) pada tahun 2000-2011 di Indonesia.
4. Apakah ada interdependensi instrumen kebijakan moneter yang terdiri
dari Operasi Pasar Terbuka (OPT), Giro Wajib Minimum (GWM ) dan
Tingkat Bunga Fasilitas Diskonto (rDiskonto) melalui Jumlah Uang
Beredar (JUB), Tingkat Bunga Domestik (rDOM), Nilai Tukar Rupiah
Terhadap Dolar US (EXC), Jumlah Ekspor (EXPOR), Jumlah Impor
(IMP), Jumlah Investasi (INV) terhadap Tingkat Pertumbuhan (GROW)
pada tahun 2000-2011 di Indonesia.
5. Bagaimana dampak simulasi shock instrumen kebijakan moneter terhadap
shock indikator ekonomi makro yang terdiri dari shock pengangguran
(UNEMP), shock neraca pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan
shock pertumbuhan ekonomi (GROW).
6. Bagaimana dampak simulasi kenaikan 5% (lima persen) shock instrumen
Operasi Pasar Terbuka (OPT) padatahun 2010 terhadap indikator ekonomi
makro yang terdiri dari shock pengangguran (UNEMP), shock neraca
pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan shock pertumbuhan ekonomi
(GROW)

1.4. Tujuan Studi
Selain untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar doktor dalam Ilmu
Ekonomi pada Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Sumatera Utara, studi
ini juga bertujuan secara umum untuk menganalisis interdependensi instrumen
kebijakan moneter dan indikator ekonomi makro dan dampak shock instrumen
kebijakan moneter terhadap indikator ekonomi makro

periode 2000-2011 di

Indonesia. Sedangkan secara khusus dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk

menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter

terhadap indikator makro yaitu tingkat pengangguran pada tahun 20002011 di Indonesia.
2. Untuk menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter antara
terhadap indikator makro yaitu kestabilan neraca pembayaran (BOP)
pada tahun 2000-2011 di Indonesia.
3. Untuk

menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter

terhadap indikator makro yaitu tingkat inflasi (INF) pada tahun 20002011 di Indonesia.
4. Untuk

menganalisis interdependensi instrumen kebijakan moneter

terhadap indikator makro yaitu tingkat pertumbuhan pada tahun 20002011 di Indonesia.
5. Untuk menganalisis simulasi shock instrumen kebijakan moneter terhadap
shock indikator ekonomi makro yang terdiri dari shock pengangguran
(UNEMP), shock neraca pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan
shock pertumbuhan ekonomi (GROW).

6. Untuk menganalisis simulasi shock 5% (lima persen) shock instrumen
Operasi Pasar Terbuka (OPT) padatahun 2010 terhadap indikator ekonomi
makro yang terdiri dari shock pengangguran (UNEMP), shock neraca
pembayaran (BOP), shock inflasi (INF), dan shock pertumbuhan ekonomi
(GROW)
1.5. Manfaat Studi
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka manfaat
penelitian ini diharapkan sebagai berikut:
1. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu ekonomi, khususnya Ilmu
Ekonomi Moneter dan Ekonomi Makro. Secara lebih spesifik berupa
pengembangan model-model dinamik seperti Structual Vector Auto
Regression didalam mengkaji dan menganalisis dampak kebijakan moneter
terhadap indikator ekonomi makro.
2. Beberapa hasil temuan ini dimungkinkan sebagai bahan informasi (referensi)
untuk pendalaman penelitian selanjutnya, mencari dan menganalisis modelmodel kebijakan moneter serta model-model untuk stabilisasi ekonomi makro
di Indonesia.
3. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi pengambil keputusan
khususnya Bank Indonesia, mengenai indikator kebijakan moneter manakah
yang paling berpengaruh terhadap indikator ekonomi makro di Indonesia.
4. Hasil kajian ini dapat memberikan informasi bagi pelaku ekonomi (investor,
eksportir, importir dan produsen dalam negeri dalam merumuskan kebijakan
moneter dan strategi ekonominya dalam mengantisipasi adanya perubahan
kebijakan moneter.