Gambaran Penderita Mastoiditis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012-2014

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah terdiri dari :
1. Membran timpani.
2. Kavum timpani.
3. Tuba Eustachius
4. Prosesus mastoideus.

Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah (Dikutip dari Ludman dan
Bradley, 2007)

Universitas Sumatera Utara

7


2.1.1. Membran Timpani
Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Diameter rata-rata
membran timpani sekitar 1cm. Letak membrana timpani tidak tegak lurus
terhadap liang telinga, tetapi miring dengan membentuk sudut 450 terhadap
potongan sagital dan horizontal. Membran timpani merupakan struktur yang
terus tumbuh sehingga memungkinkannya menutup bila terjadi perforasi
(Latief, 2007).
Membran timpani terbagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di
umbo (bagian puncak dari membrana timpani yang menonjol kearah kavum
timpani) sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan,
serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani
(Djaafar, et al., 2007).

Gambar 2.2. Membran timpani (kanan) (Dikutip dari Kalmanovich,
2006)

Universitas Sumatera Utara


8

Secara anatomis membran timpani terbagi dalam 2 bagian, yaitu:
a. Pars Tensa.
Bagian ini adalah bagian terbesar dari membran timpani. Pars tensa merupakan
suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan
melekat di anulus timpanikus pada sulkus timpanikus di tulang temporal.
b. Pars Flaksida (membran Shrapnell)
Terletak di bagian atas depan dan lebih tipis dari pars tensa. Pars falksida dibatasi
oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan depan) dan plika maleolaris
posterior belakang (Dhingra, 2007).
Bentuk perforasi membran timpani adalah :
1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-superior,
kadang-kadang sub total.

Gambar 2.3. Perforasi Sentral (Dikutip dari Ludman & Bradley, 2007)
2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus.

Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.

Universitas Sumatera Utara

9

Gambar 2.4. Perforasi Marginal (Dikutip dari Ludman & Bradley, 2007)
3. Perforasi total
Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total.

2.1.2. Kavum Timpani

Gambar 2.5. Kavum timpani (Dikutip dari Probst, Grevers, dan Iro,
2006)
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa tulang temporal dan
berbentuk bikonkaf. Kavum timpani merupakan sebuah rongga yang di sebelah
lateral dibatasi oleh membran timpani, di sebelah medial oleh promontorium,

Universitas Sumatera Utara


10

di sebelah superior oleh tegmen timpani dan disebelah inferior oleh bulbus
jugularis dan nervus fasialis (Helmi, 2005).
Berdasarkan ketinggian batas superior dan inferior membrana timpani,
kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Epitimpanum.
Berada dibagian atas membran timpani, dan merupakan bagian superior
kavum timpani, disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani.
Atik menyempit di daerah posterior menjadi jalan masuk ke antrum
mastoid, disebut aditus ad antrum.
b. Mesotimpanum
Merupakan ruang antara batas atas dan batas bawah membran timpani.
Dinding anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani dan pada bagian
superior terdapat tuba eustachius.
c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbus jugulare
(Helmi, 2005; Dhingra, 2007).
Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu :
1. Atap kavum timpani.

Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani.
Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus
temporalis dari otak. Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang
temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama.
Pada anak-anak, penulangan dari sutura petroskuamosa belum terbentuk
pada daerah tegmen timpani, sehingga memungkinkan terjadinya
penyebaran infeksi dari kavum timpani ke meningen dari fosa kranial
media. Pada orang dewasa vena-vena dari telinga tengah menembus sutura
ini dan berakhir pada sinus petroskuamosa dan sinus petrosal superior

Universitas Sumatera Utara

11

dimana hal ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga tengah
secara langsung ke sinus-sinus venosus kranial.
2. Lantai kavum timpani
Memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus jugularis. Bagian ini
dibentuk oleh tulang yang tipis atau bahkan tidak ada tulang sama sekali,
sehingga infeksi dari kavum timpani mudah menjalar ke bulbus vena

jugularis.
3. Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam
sekaligus sebagai dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada
mesotimpanum menonjol kearah kavum timpani, disebut promontorium.
Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea. Dibelakang dan
bagian atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau foramen ovale
(oval windows). Tempat jalannya nervus fasialis berada diatas fenestra
vestibuli.
Fenestra koklea atau foramen rotundum ( round windows) ditutupi oleh
suatu membran yang tipis, yaitu membran timpani sekunder yang terletak
dibelakang bawah. Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum
berhubungan satu sama lain pada batas posterior mesotimpanum melalui
suatu fosa yang dalam yaitu sinus timpanikus. Area lain yang secara klinis
sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang terdapat
disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal. Resesus fasialis
tidak bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis ini penting karena
berfungsi sebagai pembatas antara kavum timpani dengan kavum mastoid,
sehingga bila aditus as antrum tertutup karena suatu sebab maka resesus
fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan kavum timpani dengan kavum

mastoid.
4. Dinding posterior

Universitas Sumatera Utara

12

Dinding posterior mempunyai satu saluran disebut aditus, yang
menghubungkan

kavum

timpani

dengan

atrum

mastoid


melalui

epitimpanum. Sel - sel udara dapat meluas kearah posterior seperti yang
dilaporkan Anson dan Donaldson (1981), bahwa apabila diukur dari ujung
piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm kearah tulang mastoid.
5. Dinding anterior
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius
6. Dinding lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian
tulang berada diatas dan bawah membran timpani (Djaafar ZA, 2007).
2.1.2.1. Vaskularisasi Kavum Timpani
Pembuluh-pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi kavum timpani
adalah arteri-arteri kecil yang melewati tulang yang tebal. Sebagian besar
pembuluh darah yang menuju kavum timpani berasal dari cabang arteri
karotis eksterna.
Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari arteri timpanika
anterior, yang merupakan cabang dari arteri maksilaris interna yang masuk
ke telinga tengah melalui fisura petrotimpanika.
Pada daerah posterior mendapat vaskularisasi dari arteri timpanika
posterior, yang merupakan cabang dari arteri mastoidea yaitu arteri

stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat perdarahan dari cabang arteri
meningea media juga arteri petrosa superior, arteri timpanika superior dan
ramus inkudomalei.
Pembuluh vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan
pembuluh arteri menuju pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus
superior. Pembuluh getah bening kavum timpani masuk ke dalam pembuluh
getah bening retrofaring atau ke nodulus limfatikus parotis (Helmi, 2005).

Universitas Sumatera Utara

13

2.1.3. Tuba Eustachius

Gambar 2.6. Tuba Eustachius (Dikutip dari Probst dan Grevers, 2006)
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani.
Bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan
kavum timpani dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36
mm, dimana tuba ini berjalan ke arah bawah, depan dan medial dari telinga
tengah. Sedangkan pada anak dibawah 9 bulan panjang tuba adalah sekitar

17,5 mm.
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira
2-2,5 cm, lebih tinggi dibandingkan dengan ujung dari muara tuba pada bagian
nasofaring. Sedangkan pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya
mendatar. Akibatnya infeksi akan lebih mudah untuk menjalar dari nasofaring
ke telinga tengah.
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga, yaitu menjaga agar
tekanan udara dalam kavum timpani selalu sama dengan tekanan udara luar,

Universitas Sumatera Utara

14

drainase sekret dari kavum timpani ke nasofaring akan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring ke kavum timpani. (Djaafar ZA, 2007).
2.1.4. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk segitiga dengan puncak mengarah ke

kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada
daerah ini (Latief, 2007).
Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Aditus
antrum mastoid adalah suatu pintu iregular berasal dari epitimpanum posterior

menuju rongga antrum yang berisi udara. Dinding medial merupakan
penonjolan dari kanalis semisirkularis lateral. Berhubungan dengan telinga
tengah melalui aditus dan mempunyai sel-sel udara mastoid yang berasal dari
dinding-dindingnya. Antrum sudah berkembang baik pada saat lahir dan pada
dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan kebelakang sekitar 14
mm, dari atas kebawah 9 mm dan dari sisi lateral ke medial 7 mm.
Dinding medial dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis
posterior dan lebih ke dalam dan inferiornya terletak sakus endolimfatikus dan
dura dari fosa kranii posterior. Atapnya membentuk bagian dari lantai fosa
kranii media dan memisahkan antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding
posterior terutama dibentuk oleh tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral
merupakan bagian dari pars skuamosa tulang temporal dan meningkat
ketebalannya selama hidup dari sekitar 2 mm pada saat lahir hingga 12-15 mm
pada dewasa. Dinding lateral pada orang dewasa berhubungan dengan
trigonum suprameatal (Macewen’s) pada permukaan luar tengkorak. Lantai
antrum mastoid berhubungan dengan otot digastrik di lateral dan sinus sigmoid
di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid yang jelek, struktur ini bisa
berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding anterior antrum memiliki

Universitas Sumatera Utara

15

aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui n.fasialis dalam
perjalanan menuju ke foramen stilomastoid (Djaafar ZA, 2007).
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga.
Pneumatisasi

didefinisikan

sebagai

suatu

proses

pembentukan

atau

perkembangan rongga-rongga udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara
yang terdapat di dalam mastoid adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang
meliputi banyak bagian dari tulang temporal. Sel-sel prosesus mastoid yang
mengandung udara berhubungan dengan udara didalam telinga tengah. Bila
prosesus mastoid tetap berisi tulang-tulang kompakta maka dikatakan sebagai
pneumatisasi jelek dan sel-sel yang berpneumatisasi terbatas pada daerah
sekitar antrum (Helmi, 2005).
Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :
1.Prosesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), dimana tidak ditemui sel-sel.
2.Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.
3.Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini
besar.
Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Di dekat

antrum sel-selnya kecil, semakin keperifer sel-selnya bertambah besar. Oleh
karena itu bila ada radang pada sel-sel mastoid, drainase tidak begitu baik
hingga mudah terjadi radang pada mastoid (mastoiditis) (Djaafar ZA, 2007).

2.2.

Mastoiditis

2.2.1. Definisi
Mastoiditis adalah infeksi sel udara pada tulang mastoid, infeksi biasanya di
sebelah lateral korteks mastoid, medial konka pinna dan jarang sampai ke
leher (Bailey, et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

16

Gambar 2.7. Mastoiditis (Dikutip dari Probst dan Grevers, 2006)

2.2.2. Klasifikasi
a. Mastoiditis akut
Penyakit ini lebih banyak menyerang anak-anak terutama yang berusia
< 4 tahun dan biasanya berhubungan dengan OMA (Aziz & Hoshy, 2010).
Diagnosis mastoiditis akut dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis
yang ditemukan. Adapun gejala klinis tersebut berupa:
1) Penonjolan aurikula dan anterior bowing pada kanal auditori eksterna.
2) Nyeri postauricular
3) Eritema dan pembengkakan di belakang telinga
4) Tenderness pada prosesus mastoideus (Spiro & Arnold, 2011).
Hasil pemeriksaan radiografi untuk mastoiditis akut tergantung tingkatan
proses inflamasinya dan luasnya pneumatisasi tulang temporal. Temuan
awal mastoiditis akut adalah kaburnya rongga telinga tengah dan sel udara
mastoid. Semakin memburuknya proses infeksi dan difusse clouding pada

Universitas Sumatera Utara

17

kavitas telinga tengah, maka sel udara mastoid akan terbentuk (Mafee;
Valvassori; Becker, 2012).
b. Mastoiditis subakut
Meskipun relatif jarang, mastoiditis subakut bisa muncul sebagai
akibat pengobatan

otitis media akut yang inadekuat atau gagal untuk

sembuh spontan dalam kurun waktu 10 hingga 14 hari. Tahap ini disebut
juga masked mastoiditis.
Nyeri yg persisten atau rekuren dapat menjadi satu- satunya tanda dan
gejala dari masked mastoiditis. Pada nyeri yang menetap atau rekuren
selama 2 minggu setelah pemberian antibiotik spesifik dengan non-air
containing mastoid, maka hasil pemeriksaan radiografi akan ditemukan

koalesen (Bailey, et al., 2006).
Tanda dan gejala mastoiditis akut seperti pinna displacement, eritema
postaurikular, dan abses subperiosteal biasanya tidak ada, tetapi otalgia
dengan nyeri postaurikular dan demam biasanya muncul.
Kebanyakan kasus mastoiditis subakut terjadi pada pasien dengan
otitis media akut yang lama, pasien ini diduga akibat pengobatan OMA
yang gagal. Lakukan timpanosentesis utuk menentukan organisme pasti
penyebab dan miringotomi untuk drainase telinga tengah dan mastoid
(Bluestone & Klein, 2007).
c. Mastoiditis kronik
Mastoiditis kronik biasanya terjadi akibat OMSK dengan perforasi
kronik membran timpani. Mastoiditis kronik juga biasanya berhubungan
dengan formasi kolesteatoma. Kolesteatoma merupakan agregasi epitel

Universitas Sumatera Utara

18

skuamos jinak yang dapat tumbuh dan mengubah struktur dan fungsi normal
dari jaringan lunak dan tulang sekitar (Devan, et al., 2010).
Gejala berupa:
a. Demam subfebris
b. Otalgia kronik
c. Tenderness (Bluestone & Klein, 2007).
Mastoiditis kronik disertai dengan sekret purulen yang bau dan pada
pemeriksaan radiografi terdapat lesi litik yang irregular pada bagian lateral
tulang temporal hingga ke sinus sigmoid, dan dikelilingi oleh hyperostotic
areas.

Mastoiditis kronik yang disertai dengan osteitis harus dicurigai ketika
ada sekret bau yang persisten meskipun telah dilakukan pengobatan dalam 2
minggu (Bailey, et al., 2006)
2.2.3. Patofisiologi
OMA merupakan suatu infeksi yang dimulai dari saluran nafas atas dan
nasofaring, naik ke tuba eustachius, dan mempengaruhi telinga tengah.
Mastoiditis akut merupakan komplikasi / kelanjutan dari penyakit infeksi
telinga tengah karena sel udara mastoid umumnya juga ikut mengalami
inflamasi selama OMA berlangsung tergantung virulensi organisme yang
menginfeksi, daya tahan tubuh, dan jenis pengobatan. Mastoiditis dapat juga
timbul sebagai komplikasi dari leukemia, mononukleosis, sarkoma pada tulang
temporal, dan penyakit Kawasaki (Mafee; Valvassori; Becker, 2012).
Infeksi-infeksi pada telinga tengah menyebabkan pembengkakan
mukosa dan blokade aditus ad antrum. Aditus ad antrum merupakan

Universitas Sumatera Utara

19

penghubung sempit antara telinga tengah dan sel udara mastoid. Jika
penghubung ini terblok, maka akan terjadi gangguan dalam proses drainase,
sehingga terkumpul cairan di sel udara yang mendukung pertumbuhan bakteri,
berkembangnya abses dan pengrusakan tulang. Infeksi bisa menyebar dari sel
udara mastoid, yaitu melalui venous chanels mengakibatkan inflamasi pada
bagian atas periosteum. Inflamasi tersebut mengakibatkan destruksi trabekula
tulang mastoid dan koalesen sel sehingga menjadi osteitis mastoid akut atau
mastoiditis koalesen. Pus yang dihasilkan dapat dideteksi melalu berbagai
jalur:
a. Melalui aditus ad antrum dengan resultant resolution (John, et al., 2013)
b. Permukaan lateral prosesus mastoideus dapat menyebabkan abses
subperiosteal. Pada pasien yang tidak membaik setelah 48 jam pemberian awal
antibiotik, dapat dicurigai sudah terjadinya abses subperiosteal (Spiro &
Arnold, 2011)
c. Di daerah anterior terbentuk abses di bawah pinna atau di belakang otot
sternokleidomastoideus di leher, menyebabkan abses Bezold.
d. Permukaan medial sel udara tulang temporal, ke apeks petrous
menyebabkan kondisi jarang yang disebut petrositis
e. Di posterior tulang oksipital, menyebabkan osteomielitis calvaria atau abses
Citelli (John et al, 2013).
Eritema dan edema postaurikular dapat mendorong aurikula dari posisi normal
dan tekanan dari antrum mastoid yang edema akan menyebabkan terjadinya
pembengkakan dan obstruksi pada kanal telinga eksternal, sehingga
menyebabkan tuli konduksi (Williams & Willkins, 2009).

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.4. Tanda dan gejala
Gejala klinis utama berupa:
1) Otorhea
2) Otalgia
3) Demam subfebris
4) Sakit kepala, bahkan vertigo
5) Gangguan pendengaran konduksi pada telinga yang terinfeksi
6) Adanya kemerahan dan bengkak pada telinga yang terinfeksi (Williams &
Willkins, 2005).
Berdasarkan penelitian terbaru dengan metode sistematic review yang
menggunakan lebih dari 1000 artikel yang telah dipublikasikan menyebutkan
bahwa tanda klinis yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis
mastoiditis adalah pembengkakan postauricular, eritema, tenderness, dan
penonjolan aurikula (Conway & Wald, 2012).
2.2.5. Faktor resiko
1. Pasien yang beresiko seperti bayi baru lahir dan pasien imunosupresan
(orang - orang yg sudah menjalani kemoterapi atau obat steroid, pasien HIV,
pasien diabetes atau geriatrik (John, et al., 2013).
2. Penderita dengan infeksi telinga tengah sebelumnya (riwayat OMSK
berulang)
3.Umur, dengan rata - rata usia 32 bulan
4. Status sosioekonomi

Universitas Sumatera Utara

21

5. Kelainan anatomi seperti disfungsi tuba eustachius, hipertrofi konka, polip
hidung
6. Kedatangan ke day care / pusat penitipan anak
7. Riwayat rhinosinusitis / ISPA
8. Perokok aktif / pasif
9. Pemberian makan dalam posisi supine (Minovi & Dazert, 2014).

2.2.6. Terapi
Pada dasarnya penatalaksanaan untuk mastoiditis meliputi:
a. Pengobatan
Pengobatan meliputi analgetik, antipiretik, dan kombinasi steroid
dengan

antibiotik

topical.

Steroid

intravena

untuk

mengurangi

pembengkakan mukosa dan lebih memudahkan terjadinya pengaliran dari
aditus ad antrum ke dalam telinga tengah (Devan, et al., 2010).

b. Pembedahan
Indikasi dilakukannya tindakan bedah jika ada komplikasi intrakranial.
Tindakan bedah bisa berupa mastoidektomi sederhana dengan atau tanpa
timpanoplasti atau pneumatic equalization tube placement. Pada pasien
yang dilakukan pembedahan setelah operasi akan respon terhadap
antibiotik oral (Isaacs, 2007).
Kontraindikasi dilakukannya tindakan bedah jika hemoglobin rendah
dan terdapat penyakit-penyakit sistemik yang perlu dikontrol (diabetes,
hipertensi, kondisi jantung lemah, bleeding disorder dengan perdarahan
memanjang dan clotting time (Devan, et al., 2010).

Universitas Sumatera Utara

22

Secara garis besar, terdapat 3 jenis pembedahan:
1.Miringotomi/ timpanosentesis, biasanya digunakan untuk mendapatkan
spesimen dan meringankan rasa tidak nyaman.
2. Tympanocentesis tube placement
Tympanocentesis tube placement bertujuan untuk drainase pus yang

terjebak dan aerasi telinga tengah dan mastoid. Pemberian tuba untuk
mempertahankan pembukaan membrane timpani dan memudahkan jalan
masuk antibiotic / steroid ke telinga tengah dan mastoid (Devan, et al.,
2010).
Timpanosentesis seharusnya dilakukan jika membran timpani masih
utuh untuk uji mikrobiologi dan uji sensitivitas (Conway & Wald,
2012).
3. Mastoidektomi
Mastoidektomi dilakukan untuk membuang sel udara mastoid yang
terinfeksi.

Indikasi mastoidektomi adalah pada kasus-kasus dengan

penyakit yang lebih berat seperti osteitis, komplikasi intrakranial,
pembentukan abses, terdapat kolesteatoma, atau sedikit perbaikan
setelah 24-48 jam pemberian antibiotik.
Mastoidektomi terbagi dalam:
a. Simple (closed) mastoidectomy
Dokter membuat insisi dibelakang telinga untuk bisa masuk ke
daerah mastoid atau membuang sel udara yang terinfeksi dengan
pendekatan melalui telinga.

Universitas Sumatera Utara

23

Simple mastoidectomy diperlukan ketika anak tidak membaik dalam

48 jam (dibuktikan dengan berkurangnya gejala lokal) dan kasus
OMSA yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik yang tepat
dan justru berkembang menjadi mastoiditis koalesen (Conway &
Wald, 2012).
Kombinasi simple mastoidectomy dengan terapi antibiotik dan
pemasangan tympanostomi tube diindikasikan sebagai tatalaksana
awal ketika abses subperiosteal muncul (Conway & Wald, 2012).
b. Radical mastoidectomy
Pada operasi ini, dokter membuang membran timpani, hamper semua
struktur telinga tengah dan sampai pembukaan tuba eustachius
(Devan, et al., 2010).
Radical mastoidectomy hanya dilakukan ketika tidak ada respon

dengan simple mastoidectomy yang ditandai dengan otorea masih
berlanjut (Conway & Wald, 2012).
Mastoiditis akut seharusnya ditangani dengan pemberian antibiotik intravena
dan biasanya miringotomi dengan atau tanpa tympanostomi tube placement
(Conway & Wald, 2012). Sedangkan pada mastoiditis kronik atau infeksi yang
berulang dan menetap memerlukan mastoidektomi. Penatalaksanaan yang
direkomendasikan adalah melalui drainase pada telinga tengah secara operasi,
yang biasanya meliputi timpanosintesis yang diikuti dengan miringotomi atau
timpanostomi tube, ditambah dengan antibiotik (Isaacs, 2007).
Jika kerusakan tulang minimal, lakukan miringotomi atau tympanocentesis
drains purulent fluid (Isaacs, 2007).

Universitas Sumatera Utara

24

2.2.7. Komplikasi
Faktor resiko terjadinya komplikasi mastoiditis, seperti: terjadi secara cepat
dan agresif dari yang diduga pada orang berusia muda, dan pada pemeriksaan
radiografi terdapat infeksi dengan resultant hyperostosis sebelumnya yang
signifikan (sclerosis) (Williams & Wilkins, 2006).

Gambar 2.8. Komplikasi Mastoiditis (Dikutip dari Probst, Grevers, dan
Iro, 2012)

Komplikasi mastoiditis terbagi dua, yaitu:
1) Komplikasi intratemporal
Komplikasi ini dapat berupa:
a. Perforasi membran timpani
b. Tuli konduksi
c. Lesi osikular

Universitas Sumatera Utara

25

d. Fasial palsi
e. Petrositis.
2) Komplikasi Ekstratemporal.
Komplikasi ekstratemporal terbagi 2, yaitu:
a. Komplikasi intrakranial:
Tanda yang paling umum dari komplikasi intrakranial adalah demam,
otalgia, sepalgia, dan penurunan kondisi umum. Mastoiditis akut dengan
perubahan status mental juga merupakan tanda komplikasi intrakranial
sudah terjadi.
Yang termasuk komplikasi intrakranial:
i. Abses Sistem Saraf Pusat
ii. Meningitis
iii. Lateral sinus thrombophlebitis
b. Komplikasi ekstrakranial:
i. Abses retroaurikular
ii. Abses zigomatikus
iii. Abses Bezold (Pang, Barakate, dan Havas, 2009).

Universitas Sumatera Utara