Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Putus Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Medan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. Setiap tahun ada
sekitar 9 juta kasus baru TB, dengan 2 juta orang meninggal karena penyakit
tuberkulosis. Tuberkulosis paru banyak dijumpai diseluruh negara, tetapi kasus
tertinggi (85%) terjadi di Afrika (30%)dan Asia (55%), dengan India dan Cina
mencakup 35% dari semua kasus dunia. Didapati 22 negara dengan beban tinggi
TB atau high-burdens countries (HBCs) yang mencapai sekitar 80% dari kasus
TB didunia, dan yang telah diberikan perhatian khusus dalam pengendalian TB
sejak sekitar tahun2000. TB paru merupakan penyebab utama kematian peringkat
kedelapan dinegara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (ketujuh untuk
pria dan kesembilan untuk perempuan). Penderitanya umumnya adalah orang
dewasa berusia 15-59tahun, peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah
Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Aquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) dan penyakit jantung iskemik. Namun dalam kebanyakan kasus, TB
merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Terapi kombinasi lini pertama
pertama kali diperkenalkan antara tahun 1950-an dan 1980-an, dimana 90%
penderita TB paru dapat disembuhkan dalam waktu enam bulan.1
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia
maupun didunia dan merupakan penyebab utama kematian. Sekitar 8 juta kasus
baru terjadi setiap tahun diseluruh dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk
dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) secara laten.
1
Kemampuan untuk mendeteksi secara akurat infeksi M.tuberculosis menjadi
sangat penting untuk mengendalikan epidemi tersebut. Cara yang tepat untuk
mendeteksi infeksi M.tuberculosis akan mempercepat diagnosis dini pada pasien
yang secara klinis tersangka tuberkulosis dan segera diikuti penatalaksanaan yang
tepat.
Saat ini prevalensi penderita TB paru di Indonesia berdasarkan hasil survei
Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2004 di 30 provinsi adalah 104 per
100.000 penduduk. Menurut RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional) 2010-2014, prevalensi penderita TB paru adalah 235 per 100.000
penduduk dengan persentase kasus baru TB paru BTA (Bakteri Tahan Asam)
positif yang ditemukan sebanyak 73 per 100.000 penduduk dengan persentase
kasus baru TB paru BTA + yang disembuhkan 85 per 100.000 penduduk.
Keterbatasan akses terhadap DOTS (Directly observed treatment short-course)
yang berkualitas masih dijumpai terutama pada masyarakat miskin dan rentan di
perkotaan, populasi dirutan/lapas, dan penduduk di kawasan terpencil, perbatasan
dan kepulauan terutama dikawasan Indonesia Timur khususnya. Masyarakat
miskin di perkotaan mempunyai masalah sosial ekonomi untuk dapat mengakses
pelayanan DOTS. Sebagian besar rutan dan lapas belum terintegrasi dalam
program pengendalian TB dan belum melaksanakan pengendalian infeksi TB,
sehingga akses pelayanan DOTS juga terbatas. Selain kelompok masyarakat
miskin-rentan tertentu, perhatian khusus perlu diberikan kepada kawasan timur
Indonesia secara umum, termasuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di
wilayah tersebut. Kesenjangan kuantitas dan kualitas SDM (sumber daya
manusia) di provinsi tersebut masih sangat lebar sehingga memerlukan investasi
2
yang cukup besar untuk memenuhi persyaratan ketenagaannya. Tantangan lain
dikawasan ini adalah tingginya angka kasus putus berobat dikarenakan masalah
akses serta tingginya biaya transportasi serta opportunity cost.2,3
Salah satu penyebab paling penting peningkatan TB di seluruh dunia
adalah ketidakpatuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan tidak adekuat,
migrasi, endemik HIV, resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR). Prevalensi
MDR di dunia sekitar 4,3%. Selain itu diabetes mellitus (DM) merupakan salah
satu keadaan yang mempermudah reaktivasi infeksi TB dengan risiko relatif
berkembangnya TB bakteriologik positif sebesar 5 kali lebih tinggi.Selain itu DM
secara bermakna juga berkaitan dengan MDR TB.4
Respon kekebalan terhadap tuberkulosis (TB) memainkan peranan penting
dalam hasil infeksi M.tuberculosis. Hal ini jelas bahwa sistem kekebalan tubuh
bereaksi efisien dalam sebagian besar infeksi. Hal ini terutama jelas dalam kasus
TB, dimana sebagian besar orang terinfeksi oleh basil tuberkel (~90%) tidak
mengembangkan penyakit sepanjang hidup mereka. Namun demikian, risiko
mengembangkan penyakit tersebut meningkat infeksi TB jauh ketika co-exist
dengan perubahan dalam sistem kekebalan tubuh, seperti co-infection dengan
HIV.5
Insiden kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk. Pada
tahun 2009, prevalensi HIV pada kelompok TB Indonesia sekitar 2.8% kekebalan
ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) diantara
kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang
sebesar 20%.(WHO, 2009).Tahun 1995, hasil survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
3
tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada
semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. Hasil
survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara
regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah,
pertama, wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000
penduduk, kedua, wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per
100.000 penduduk, ketiga, wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah
210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk provinsi DIY (Daerah Istimewa
Yogyakarta) dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk.
Mengacu pada hasil survei prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden
TB BTA positif secara nasional 3-4% setiap tahunnya. Situasi TB didunia
semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan
masalah TB besar (high burden countries).6
Pada tahun 2011, sebuah kasus insiden diperkirakan 8,7 juta TB (kisaran,
8,3 juta-9,0 juta) secara global, setara dengan 125 kasus per 100.000 penduduk.
Sebagian besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi di Asia (59%)
dan Afrika (26%), 1 proporsi lebih kecil dari kasus terjadi di wilayah Mediterania
Timur (7,7%), Wilayah Eropa (4,3%) dan daerah Amerika (3%). Ada sekitar 12
juta kasus umum (kisaran, 10.000.000-13.000.000) dari TB pada tahun 2011,
setara dengan 170 kasus per 100 000 penduduk. Tingkat prevalensi telah menurun
36% secara global sejak tahun 1990. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa target
Stop TB Partnership mengurangi separuh prevalensi TB pada tahun 2015
4
dibandingkan dengan awal tahun 1990 tidak akan terpenuhi diseluruh dunia.
Secara regional, tingkat prevalensi menurun disemua enam wilayah yang
disebutkan WHO. Kelima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada
tahun 2011 adalah India (2,0-2,5 juta), Cina (0.9-1.1 juta), Afrika Selatan (0.4-0.6
juta), Indonesia (0.4-0.5 juta) dan Pakistan (0.3-0.5 juta). India dan Cina sendiri
menyumbang 26% dan 12% dari masing-masing kasus global. Dari 8,7 juta kasus
insiden pada tahun 2011, 1,0 juta-1,2 juta (12-14%) berada diantara orang yang
hidup dengan HIV, dengan prediksi terbaik dari 1,1 juta (13%).7Kasus putus
berobat merupakan masalah yang tidak kalah penting, angka penderita TB paru
putus berobat di Indonesia menurut hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan
oleh tim TB external monitoring mission pada tahun 2005 dan evaluasi yang
dilakukan oleh WHO serta program nasional TB menunjukkan bahwa meskipun
angka penemuan kasus TB paru dirumah sakit masih tinggi, angka keberhasilan
pengobatan masih rendah yaitu dibawah 50% dengan angka putus berobat yang
mencapai 50% sampai 80%. Putus berobat merupakan masalah dalam
penanggulangan TB paru, putus berobat merupakan salah satu penyebab
terjadinya kegagalan pengobatan yang berpotensi meningkatkan kemungkinan
terjadinya resistensi terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan biaya
pengobatan akan lebih banyak dan waktu berobat yang lama dan meningkatnya
angka mortalitas dan morbiditas penderita TB paru.
Menurut Hasker E dkk, Belgia 2008, bahwa penyebab putus berobat pada
pasien TB paru banyak disebabkan oleh jenis kelamin dan usia. Selain itu faktor
sosial berupa status perkawinan dan status pekerjaan juga berperan penting.
Faktor risiko lain adalah penyakit bersamaan, infeksi HIV, mantan narapidana,
5
tunawisma, penggangguran, migrasi, penyalahgunaan alkohol dan penggunaan
narkoba jenis suntikan.8
Menurut penelitian Silva Garrido Mdkk di Brazil 2012, bawa penyebab
putus berobat pasien TB paru di negara Amazona adalah tingkat pengetahuan,
jarak dari pelayanan kesehatan, efek samping obat, jenis kelamin, usia,
penggunaan obat-obatan saat dirawat inap dan selama pengobatan, riwayat
penyakit paru sebelumnya dan infeksi TB / HIV. Dalam pengobatan TB paru,
putus berobat merupakan sebuah persoalan besar, Kemungkinan putus berobat
pada pasien TB lebih tinggi pada pasien yang sudah pernah meninggalkan
pengobatan sebelumnya. Petugas kesehatan harus mempertimbangkan bahwa
penyebab putus berobat pada pasien TB mungkin karena tidak menerima
informasi
mengenai
penggobatan
dan
penyakitnya.
Rendahnya
kualitas
penyediaan pelayanan TB dan pelaksanaan kegiatan difasilitas kesehatan
masyarakat adalah penentu utama terhadap penggobatan TB paru.9
Menurut Emi Erawatyningsih, Purwanta, Heru Subekti, Yogyakarta 2009,
tingkat pendidikan, pengetahuan, pendapatan keluarga, lama sakit dan efek
samping obat berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita TB
paru, sedangkan jenis kelamin, umur, kualitas pelayanan, peran PMO (pengawas
minum obat), dan jarak rumah tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita TB paru. Pendidikan yang
rendah merupakan faktor dominan yang mempengaruhi ketidak patuhan berobat
pada penderita TB paru, untuk itu petugas perlu untuk meningkatkan penyuluhan
untuk meningkatkan pemahaman dan memberikan motivasi bagi penderita yang
berpendidikan rendah agar penderita dan keluarga dapat memahami tentang
6
penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat ketidak teraturnya menjalankan
pengobatan, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang
berobat. Mengingat pengobatan penderita TB paru membutuhkan waktu yang
cukup lama dengan berbagai risiko kebosanan dan putus berobat, maka disarankan
agar dilakukan penanganan terpadu pada penderita, PMO maupun keluarga
penderita. Memberdayakan Puskesmas pembantu dan bidan didesa dalam proses
pendistribusian obat serta memberikan pembinaan kepada PMO dirumah agar
dapat mengawasi penderita dengan rasa tanggung jawab.10 Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa, didaerah perkotaan, kepatuhan terkait dengan pengetahuan
pasien tentang TB dan penyediaan pendidikan tentang penyakit tertentu oleh
penyedia layanan kesehatan pada pasien. Putus berobat lebih sering diantara
mereka yang telah gagal pengobatan awal, sedangkan kegagalan yang paling
umum diantara orang-orang dengan gagal sebelumnya. Meskipun pedoman
penafsiran sering sama untuk pasien dengan gagal, default, atau kambuh selagi
pengobatan awal, hasil ini menunjukkan bahwa dapat diambil manfaat dari
strategi manajemen yang berbeda. Misalnya kegagalan pengobatan umumnya
karena resistensi obat, sedangkan kekambuhan mungkin karena ketidak patuhan,
tingginya pertumbuhan bakteri.11
Menurut penelitian Santha T dkk di India, penyebab putus berobat lebih
banyak terjadi pada mereka yang melakukan pengobatan pada akhir fase intensif,
umur, alkoholisme, perokok, jenis penyakit, pendidikan dan masalah ekonomi.
12
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti mencoba mencari faktor penyebab
putus berobat pada pasien TB paru di Medan.
7
1.2.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas maka
rumusan masalah penelitian ini adalah apakah faktor-faktor yang berhubungan
dengan putus berobat pasien TB Paru.
1.3.
TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan putus berobat
pada pasien TB paru di Medan.
1.3.2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin terhadap putus berobat pada
penderita TB paru.
b. Untuk mengetahui hubungan umur terhadap putus berobat pada penderita
TB paru.
c. Untuk mengetahui hubungan pendidikan terhadap putus berobat pada
penderita TB paru.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang lama pengobatan
terhadapputus berobat pada penderita TB paru.
e. Untuk mengetahui hubungan Tahu risiko menghentikan pengobatan
terhadap putus berobat pada pasien penderita TB paru.
f. Untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga terhadap putus berobat
pada penderita TB paru.
g. Untuk mengetahui hubungan efek samping obat terhadap putus berobat
pada penderita TB paru.
8
h. Untuk mengetahui hubungan jarak rumah ke yankes terhadap putus
berobat pada penderita TB paru.
i. Untuk mengetahui apakah ada hubungan merasa sudah sembuh/enak saat
minum OAT terhadap putus berobat pada penderita TB paru.
j. Untuk mengetahui apakah ada hubungan merasa tidak ada perbaikan saat
minum OAT (makin memburuk) terhadap putus berobat pada penderita
TB paru.
k. Untuk mengetahui apakah ada hubungan penyakit penyerta/penyakit lain
terhadap putus berobat pada penderita TB paru.
l. Untuk mengetahui apakah ada hubungan biaya terhadap putus berobat
pada penderita TB paru.
1.4.
MANFAAT PENELITIAN
1. Peneliti :
a. Dapat diketahui apa faktor-faktor yang menyebabkan putus berobat
pada pasien TB paru.
2. Pasien :
a. Meningkatkan pengetahuan pasien tentang pentingnya pengobatan TB
secara teratur.
b. Mengurangi risiko penyebaran TB terhadap lingkungan dan keluarga.
c. Pasien tidak lagi putus berobat dalam pengobatan TB paru.
3. Praktisi Spesialis Paru :
a. Untuk mengetahui apa penyebab putus berobat pada pasien TB paru.
b. Untuk mencegah terjadinya Multi drugs resistance (MDR) TB paru.
9
4. Rumah Sakit Umum :
a. Untuk mengetahui kualitas pelayanan petugas kesehatan terhadap
pengobatan pasien TB paru.
b. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan TB paru.
5. Pemerintah :
a. Sebagai masukan dalam program nasional penanggulangan TB paru.
b. Mengambil kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya putus berobat
pada pasien TB paru.
10
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. Setiap tahun ada
sekitar 9 juta kasus baru TB, dengan 2 juta orang meninggal karena penyakit
tuberkulosis. Tuberkulosis paru banyak dijumpai diseluruh negara, tetapi kasus
tertinggi (85%) terjadi di Afrika (30%)dan Asia (55%), dengan India dan Cina
mencakup 35% dari semua kasus dunia. Didapati 22 negara dengan beban tinggi
TB atau high-burdens countries (HBCs) yang mencapai sekitar 80% dari kasus
TB didunia, dan yang telah diberikan perhatian khusus dalam pengendalian TB
sejak sekitar tahun2000. TB paru merupakan penyebab utama kematian peringkat
kedelapan dinegara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (ketujuh untuk
pria dan kesembilan untuk perempuan). Penderitanya umumnya adalah orang
dewasa berusia 15-59tahun, peringkat ketiga sebagai penyebab kematian setelah
Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Aquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) dan penyakit jantung iskemik. Namun dalam kebanyakan kasus, TB
merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Terapi kombinasi lini pertama
pertama kali diperkenalkan antara tahun 1950-an dan 1980-an, dimana 90%
penderita TB paru dapat disembuhkan dalam waktu enam bulan.1
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia
maupun didunia dan merupakan penyebab utama kematian. Sekitar 8 juta kasus
baru terjadi setiap tahun diseluruh dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk
dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) secara laten.
1
Kemampuan untuk mendeteksi secara akurat infeksi M.tuberculosis menjadi
sangat penting untuk mengendalikan epidemi tersebut. Cara yang tepat untuk
mendeteksi infeksi M.tuberculosis akan mempercepat diagnosis dini pada pasien
yang secara klinis tersangka tuberkulosis dan segera diikuti penatalaksanaan yang
tepat.
Saat ini prevalensi penderita TB paru di Indonesia berdasarkan hasil survei
Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2004 di 30 provinsi adalah 104 per
100.000 penduduk. Menurut RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional) 2010-2014, prevalensi penderita TB paru adalah 235 per 100.000
penduduk dengan persentase kasus baru TB paru BTA (Bakteri Tahan Asam)
positif yang ditemukan sebanyak 73 per 100.000 penduduk dengan persentase
kasus baru TB paru BTA + yang disembuhkan 85 per 100.000 penduduk.
Keterbatasan akses terhadap DOTS (Directly observed treatment short-course)
yang berkualitas masih dijumpai terutama pada masyarakat miskin dan rentan di
perkotaan, populasi dirutan/lapas, dan penduduk di kawasan terpencil, perbatasan
dan kepulauan terutama dikawasan Indonesia Timur khususnya. Masyarakat
miskin di perkotaan mempunyai masalah sosial ekonomi untuk dapat mengakses
pelayanan DOTS. Sebagian besar rutan dan lapas belum terintegrasi dalam
program pengendalian TB dan belum melaksanakan pengendalian infeksi TB,
sehingga akses pelayanan DOTS juga terbatas. Selain kelompok masyarakat
miskin-rentan tertentu, perhatian khusus perlu diberikan kepada kawasan timur
Indonesia secara umum, termasuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di
wilayah tersebut. Kesenjangan kuantitas dan kualitas SDM (sumber daya
manusia) di provinsi tersebut masih sangat lebar sehingga memerlukan investasi
2
yang cukup besar untuk memenuhi persyaratan ketenagaannya. Tantangan lain
dikawasan ini adalah tingginya angka kasus putus berobat dikarenakan masalah
akses serta tingginya biaya transportasi serta opportunity cost.2,3
Salah satu penyebab paling penting peningkatan TB di seluruh dunia
adalah ketidakpatuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan tidak adekuat,
migrasi, endemik HIV, resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR). Prevalensi
MDR di dunia sekitar 4,3%. Selain itu diabetes mellitus (DM) merupakan salah
satu keadaan yang mempermudah reaktivasi infeksi TB dengan risiko relatif
berkembangnya TB bakteriologik positif sebesar 5 kali lebih tinggi.Selain itu DM
secara bermakna juga berkaitan dengan MDR TB.4
Respon kekebalan terhadap tuberkulosis (TB) memainkan peranan penting
dalam hasil infeksi M.tuberculosis. Hal ini jelas bahwa sistem kekebalan tubuh
bereaksi efisien dalam sebagian besar infeksi. Hal ini terutama jelas dalam kasus
TB, dimana sebagian besar orang terinfeksi oleh basil tuberkel (~90%) tidak
mengembangkan penyakit sepanjang hidup mereka. Namun demikian, risiko
mengembangkan penyakit tersebut meningkat infeksi TB jauh ketika co-exist
dengan perubahan dalam sistem kekebalan tubuh, seperti co-infection dengan
HIV.5
Insiden kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk. Pada
tahun 2009, prevalensi HIV pada kelompok TB Indonesia sekitar 2.8% kekebalan
ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) diantara
kasus TB baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang
sebesar 20%.(WHO, 2009).Tahun 1995, hasil survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
3
tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada
semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. Hasil
survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara
regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah,
pertama, wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000
penduduk, kedua, wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per
100.000 penduduk, ketiga, wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah
210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk provinsi DIY (Daerah Istimewa
Yogyakarta) dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk.
Mengacu pada hasil survei prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden
TB BTA positif secara nasional 3-4% setiap tahunnya. Situasi TB didunia
semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan
masalah TB besar (high burden countries).6
Pada tahun 2011, sebuah kasus insiden diperkirakan 8,7 juta TB (kisaran,
8,3 juta-9,0 juta) secara global, setara dengan 125 kasus per 100.000 penduduk.
Sebagian besar dari perkiraan jumlah kasus pada tahun 2011 terjadi di Asia (59%)
dan Afrika (26%), 1 proporsi lebih kecil dari kasus terjadi di wilayah Mediterania
Timur (7,7%), Wilayah Eropa (4,3%) dan daerah Amerika (3%). Ada sekitar 12
juta kasus umum (kisaran, 10.000.000-13.000.000) dari TB pada tahun 2011,
setara dengan 170 kasus per 100 000 penduduk. Tingkat prevalensi telah menurun
36% secara global sejak tahun 1990. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa target
Stop TB Partnership mengurangi separuh prevalensi TB pada tahun 2015
4
dibandingkan dengan awal tahun 1990 tidak akan terpenuhi diseluruh dunia.
Secara regional, tingkat prevalensi menurun disemua enam wilayah yang
disebutkan WHO. Kelima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada
tahun 2011 adalah India (2,0-2,5 juta), Cina (0.9-1.1 juta), Afrika Selatan (0.4-0.6
juta), Indonesia (0.4-0.5 juta) dan Pakistan (0.3-0.5 juta). India dan Cina sendiri
menyumbang 26% dan 12% dari masing-masing kasus global. Dari 8,7 juta kasus
insiden pada tahun 2011, 1,0 juta-1,2 juta (12-14%) berada diantara orang yang
hidup dengan HIV, dengan prediksi terbaik dari 1,1 juta (13%).7Kasus putus
berobat merupakan masalah yang tidak kalah penting, angka penderita TB paru
putus berobat di Indonesia menurut hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan
oleh tim TB external monitoring mission pada tahun 2005 dan evaluasi yang
dilakukan oleh WHO serta program nasional TB menunjukkan bahwa meskipun
angka penemuan kasus TB paru dirumah sakit masih tinggi, angka keberhasilan
pengobatan masih rendah yaitu dibawah 50% dengan angka putus berobat yang
mencapai 50% sampai 80%. Putus berobat merupakan masalah dalam
penanggulangan TB paru, putus berobat merupakan salah satu penyebab
terjadinya kegagalan pengobatan yang berpotensi meningkatkan kemungkinan
terjadinya resistensi terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan biaya
pengobatan akan lebih banyak dan waktu berobat yang lama dan meningkatnya
angka mortalitas dan morbiditas penderita TB paru.
Menurut Hasker E dkk, Belgia 2008, bahwa penyebab putus berobat pada
pasien TB paru banyak disebabkan oleh jenis kelamin dan usia. Selain itu faktor
sosial berupa status perkawinan dan status pekerjaan juga berperan penting.
Faktor risiko lain adalah penyakit bersamaan, infeksi HIV, mantan narapidana,
5
tunawisma, penggangguran, migrasi, penyalahgunaan alkohol dan penggunaan
narkoba jenis suntikan.8
Menurut penelitian Silva Garrido Mdkk di Brazil 2012, bawa penyebab
putus berobat pasien TB paru di negara Amazona adalah tingkat pengetahuan,
jarak dari pelayanan kesehatan, efek samping obat, jenis kelamin, usia,
penggunaan obat-obatan saat dirawat inap dan selama pengobatan, riwayat
penyakit paru sebelumnya dan infeksi TB / HIV. Dalam pengobatan TB paru,
putus berobat merupakan sebuah persoalan besar, Kemungkinan putus berobat
pada pasien TB lebih tinggi pada pasien yang sudah pernah meninggalkan
pengobatan sebelumnya. Petugas kesehatan harus mempertimbangkan bahwa
penyebab putus berobat pada pasien TB mungkin karena tidak menerima
informasi
mengenai
penggobatan
dan
penyakitnya.
Rendahnya
kualitas
penyediaan pelayanan TB dan pelaksanaan kegiatan difasilitas kesehatan
masyarakat adalah penentu utama terhadap penggobatan TB paru.9
Menurut Emi Erawatyningsih, Purwanta, Heru Subekti, Yogyakarta 2009,
tingkat pendidikan, pengetahuan, pendapatan keluarga, lama sakit dan efek
samping obat berpengaruh terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita TB
paru, sedangkan jenis kelamin, umur, kualitas pelayanan, peran PMO (pengawas
minum obat), dan jarak rumah tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap ketidak patuhan berobat pada penderita TB paru. Pendidikan yang
rendah merupakan faktor dominan yang mempengaruhi ketidak patuhan berobat
pada penderita TB paru, untuk itu petugas perlu untuk meningkatkan penyuluhan
untuk meningkatkan pemahaman dan memberikan motivasi bagi penderita yang
berpendidikan rendah agar penderita dan keluarga dapat memahami tentang
6
penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat ketidak teraturnya menjalankan
pengobatan, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang
berobat. Mengingat pengobatan penderita TB paru membutuhkan waktu yang
cukup lama dengan berbagai risiko kebosanan dan putus berobat, maka disarankan
agar dilakukan penanganan terpadu pada penderita, PMO maupun keluarga
penderita. Memberdayakan Puskesmas pembantu dan bidan didesa dalam proses
pendistribusian obat serta memberikan pembinaan kepada PMO dirumah agar
dapat mengawasi penderita dengan rasa tanggung jawab.10 Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa, didaerah perkotaan, kepatuhan terkait dengan pengetahuan
pasien tentang TB dan penyediaan pendidikan tentang penyakit tertentu oleh
penyedia layanan kesehatan pada pasien. Putus berobat lebih sering diantara
mereka yang telah gagal pengobatan awal, sedangkan kegagalan yang paling
umum diantara orang-orang dengan gagal sebelumnya. Meskipun pedoman
penafsiran sering sama untuk pasien dengan gagal, default, atau kambuh selagi
pengobatan awal, hasil ini menunjukkan bahwa dapat diambil manfaat dari
strategi manajemen yang berbeda. Misalnya kegagalan pengobatan umumnya
karena resistensi obat, sedangkan kekambuhan mungkin karena ketidak patuhan,
tingginya pertumbuhan bakteri.11
Menurut penelitian Santha T dkk di India, penyebab putus berobat lebih
banyak terjadi pada mereka yang melakukan pengobatan pada akhir fase intensif,
umur, alkoholisme, perokok, jenis penyakit, pendidikan dan masalah ekonomi.
12
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti mencoba mencari faktor penyebab
putus berobat pada pasien TB paru di Medan.
7
1.2.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas maka
rumusan masalah penelitian ini adalah apakah faktor-faktor yang berhubungan
dengan putus berobat pasien TB Paru.
1.3.
TUJUAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan putus berobat
pada pasien TB paru di Medan.
1.3.2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin terhadap putus berobat pada
penderita TB paru.
b. Untuk mengetahui hubungan umur terhadap putus berobat pada penderita
TB paru.
c. Untuk mengetahui hubungan pendidikan terhadap putus berobat pada
penderita TB paru.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang lama pengobatan
terhadapputus berobat pada penderita TB paru.
e. Untuk mengetahui hubungan Tahu risiko menghentikan pengobatan
terhadap putus berobat pada pasien penderita TB paru.
f. Untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga terhadap putus berobat
pada penderita TB paru.
g. Untuk mengetahui hubungan efek samping obat terhadap putus berobat
pada penderita TB paru.
8
h. Untuk mengetahui hubungan jarak rumah ke yankes terhadap putus
berobat pada penderita TB paru.
i. Untuk mengetahui apakah ada hubungan merasa sudah sembuh/enak saat
minum OAT terhadap putus berobat pada penderita TB paru.
j. Untuk mengetahui apakah ada hubungan merasa tidak ada perbaikan saat
minum OAT (makin memburuk) terhadap putus berobat pada penderita
TB paru.
k. Untuk mengetahui apakah ada hubungan penyakit penyerta/penyakit lain
terhadap putus berobat pada penderita TB paru.
l. Untuk mengetahui apakah ada hubungan biaya terhadap putus berobat
pada penderita TB paru.
1.4.
MANFAAT PENELITIAN
1. Peneliti :
a. Dapat diketahui apa faktor-faktor yang menyebabkan putus berobat
pada pasien TB paru.
2. Pasien :
a. Meningkatkan pengetahuan pasien tentang pentingnya pengobatan TB
secara teratur.
b. Mengurangi risiko penyebaran TB terhadap lingkungan dan keluarga.
c. Pasien tidak lagi putus berobat dalam pengobatan TB paru.
3. Praktisi Spesialis Paru :
a. Untuk mengetahui apa penyebab putus berobat pada pasien TB paru.
b. Untuk mencegah terjadinya Multi drugs resistance (MDR) TB paru.
9
4. Rumah Sakit Umum :
a. Untuk mengetahui kualitas pelayanan petugas kesehatan terhadap
pengobatan pasien TB paru.
b. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pengobatan TB paru.
5. Pemerintah :
a. Sebagai masukan dalam program nasional penanggulangan TB paru.
b. Mengambil kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya putus berobat
pada pasien TB paru.
10