Gambaran Hiperplasia Endometrium Pada Kasus Mioma Uteri Di RSUP. H. Adam Malik Medan

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Mioma uteri
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang umum dijumpai pada wanita

usia reproduksi (20 – 25%), namun pada usia lebih dari 30 tahun kejadiannya
biasanya lebih tinggi, mendekati angka 40%.3,4 Angka kejadian mioma uteri di
Amerika Serikat sebesar 8 orang per 1000 wanita tiap tahunnya, sedangkan
di Indonesia kasus mioma uteri ditemukan sebesar 2,39% - 11,70% dari
semua penderita ginekologi yang dirawat. Berdasarkan temuan otopsi, Novak
menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, dan
ditemukan lebih banyak pada wanita yang berkulit hitam. Jarang sekali
mioma uteri ditemukan pada wanita umur 20 tahun, paling banyak pada umur
35




45

tahun

(± 25%).

Mioma

uteri

belum

pernah

dilaporkan

sebelum menarche, walaupun menarche dini berhubungan positif dengan
ukuran, jenis, dan lokasi dari mioma uteri, namun lebih erat berhubungan
dengan kejadian mioma uteri multipel. Setelah menopause hanya kira – kira

10% mioma yang masih dapat tumbuh.3,5,6,7,8

Mioma uteri juga dijumpai (dengan menggunakan USG) sekitar 1 –
2% pada wanita hamil. Kehamilan memiliki efek protektif terhadap terjadinya
mioma uteri, walaupun mekanisme protektif tersebut masih belum dipahami
sepenuhnya.9 Risiko terjadinya mioma uteri menurun dengan peningkatan

6

paritas dan peningkatan usia saat kehamilan aterm. Hal ini sejalan dengan
peningkatan risiko mioma uteri pada keadaan infertil.10 Mioma uteri risiko
rendah berhubungan dengan faktor – faktor yang yang menurunkan kadar
estrogen, seperti wanita yang sangat kurus, menarche >13 tahun11,
merokok12, paritas yang tinggi13 dan wanita yang sering berolahraga.
Penggunaan kontrasepsi oral tidak berhubungan dengan peningkatan risiko
mioma uteri.6
Diperkirakan sekitar lebih dari 40% saudara tingkat pertama dari
wanita yang menderita mioma akan menderita mioma uteri juga dalam
kehidupannya.14 Hal ini mungkin tanpa gejala, dan jumlah serta lokasi sulit
diprediksi. Sementara mioma umum terjadi di semua ras, tampaknya wanita

kulit hitam memiliki insidensi sedikit lebih tinggi dari wanita etnis lain,
meskipun mioma umum terjadi pada semua ras. Di Amerika warna kulit hitam
3-9 kali lebih tinggi menderita mioma uteri.3,5,10,14 Mioma uteri ini
menimbulkan masalah besar dalam kesehatan dan terapi yang paling efektif
belum ditemukan, karena sedikit sekali informasi mengenai etiologi mioma
uteri itu sendiri.

2.1.1.

Jenis mioma uteri
Pada prinsipnya, mioma uteri dapat tumbuh disemua bagian dari

uterus. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya,
maka mioma uteri dibagi atas 3 jenis, yaitu13 :
 Mioma submukosum

7

 Mioma intramural


 Mioma subserosum
Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%),
diikuti jenis subserosum (48,2%), jenis submukosum (6,1%) dan varian jenis
intraligamenter (4,4%). Bentuk khusus yang lain dari mioma uteri adalah
bonggol otot pada serviks dan portio. Bentuk ini sangat jarang ditemukan
(0,5%).15

Gambar 1. Jenis mioma uteri

2.1.2.

13

Patogenesis
Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang muncul dari otot polos

uterus. Penyebab pasti mioma uteri sampai saat ini masih belum ditemukan.

8


Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genitoblas.
Menurut Meyer asal mioma uteri adalah sel matur, bukan dari selaput otot
yang matur. Mioma uteri dipercaya berasal dari mutasi somatik pada sel
miometrium, hasil dari kegagalan proses pertumbuhan. Beberapa penelitian
Glucose-6-phospate dehydrogenase menunjukkan bahwa mioma uteri
berasal dari monoklonal. Tumor tumbuh sebagai klon abnormal secara
genetik muncul dari sel progenitor tunggal (tempat asal mulanya proses
mutasi). 6,13,14,15,16
Perbedaan kecepatan pertumbuhan dapat menunjukkan perbedaan
sitogenetik yang muncul pada masing-masing tumor. Mioma uteri multipel
dalam satu uterus tidak berkaitan secara klonal satu dengan yang lainnya,
masing – masing mioma tumbuh secara individualis. Kehadiran mioma uteri
multipel (dimana memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi dibandingkan
yang

tunggal)

dianggap

merupakan


predisposisi

genetik

terhadap

pembentukan mioma uteri. Namun, warisan mioma uteri dalam keluarga
masih masih belum diteliti dengan baik. Tidak pasti apakah mioma uteri
tumbuh secara individu atau berasal dari mioma yang lain.6
Baru-baru ini penelitian sitogenetik, molekuler dan epidemiologi
mendapatkan peranan besar komponen genetik dalam patogenesis dan
patobiologi mioma uteri. Penelitian sitogenetik dari jenis mioma uteri tunggal
menemukan bahwa sepertiga mengalami aberasi kromosom, diantaranya
translokasi antara kromosom 12 dan 14, delesi lengan pendek dari
kromosom 7, dan penyusunan ulang lengan panjang dari kromosom 6.14,16

9

2.1.3.


Hormon steroid
Secara umum estrogen, progesteron dan androgen merupakan

hormon yang banyak berperan dalam sistem reproduksi wanita. ketiga
hormon ini diproduksi oleh ovarium. Bahan dasar pembentukan hormon –
hormon ini adalah kolesterol dan proses pembentukan hormon – hormon,
disebut juga steroidogenesis ini dibantu oleh beberapa enzim dan protein
regulator. Kemudian hormon steroid ini akan aktif dan bekerja pada organ
target.6

Gambar 2. Alur steroidogenesis

13

10

Dalam melakukan proses terhadap organ target, hormon – hormon ini
membutuhkan protein reseptor intraseluler. Terdapat beberapa mekanisme
bekerjanya hormon steroid pada organ, diantaranya6 :

1.

hormon steroid berdifusi melalui membran sel

2.

hormon steroid berikatan dengan protein reseptor

3.

interaksi kompleks hormon-reseptor dengan DNA nukleus

4.

sintesis RNA mesenger

5.

transport mRNA menuju ribosom


6.

sintesis protein dalam sitoplasma yang menghasilkan aktifitas sel
spesifik.
Utamanya reseptor – reseptor hormon steroid mempengaruhi

transkripsi gen, namun juga regulasi pasca transkripsi dan non-genomik.
Reseptor steroid meregulasi transkripsi gen melalui beberapa mekanisme,
tidak semuanya membutuhkan interaksi langsung dengan DNA, namun
umumnya hormon steroid bekerja sesuai mekanisme yang ada pada gambar
di atas.3 Peran estrogen yang penting adalah memodifikasi aktifitas
hormonnya sendiri dan yang lainnya dengan mempengaruhi konsentrasi
reseptor. Estrogen meningkatkan respon jaringan target untuknya sendiri dan
terhadap progesteron serta androgen dengan meningkatkan konsentrasi
reseptornya sendiri.6

11

Gambar 3. Mekanisme kerja hormon steroid


2.1.4.

15

Reseptor estrogen
Ada dua jenis reseptor estrogen yang telah diidentifikasi. Reseptor ini

dikenal sebagai reseptor estrogen alpha (ER-α) dan reseptor estrogen beta
(ER-β). Reseptor estrogen alpha ditranslasi dari 6.8 – kilobase mRNA
mengandung 8 ekson yang berasal dari lengan panjang kromosom 6.
Reseptor ini memiliki berat molekul sekitar 66.000 dengan 595 asam amino.
Penelitian terbaru reseptor estrogen beta di kode pada gen yang berlokasi di
kromosom 14,q22 – q24.6
Uterus merupakan jaringan target yang sensitif terhadap estrogen
memiliki kedua reseptor dalam jumlah yang banyak. Namun reseptor ini juga
ditemukan di jaringan yang lain, contoh ER-α banyak dijumpai juga pada

12

ginjal, hari dan jantung. RE-β juga dijumpai pada jaringan otak, paru, saluran

pencernaan dan folikel ovarium.6,15
Pada seluruh sel endometrium dan miometrium, ekspresi reseptor
estrogen mencapai maksimum pada fase folikuler akhir. Selama fase luteal
awal, ekspresi reseptor estrogen menurun, diikuti dengan peningkatan pada
pertengahan dan akhir fase luteal. Perubahan ini menggambarkan perubahan
siklus estradiol (meningkatkan ekspresi reseptor estrogen). Walaupun
reseptor estrogen beta dijumpai pada endometrium manusia, namun kurang
menonjol dibandingkan reseptor estrogen alpha dan memperlihatkan
perubahan yang minimal selama siklus menstruasi.6

2.1.5.

Reseptor estrogen pada mioma uteri
Lingkungan

dalam

mioma

uteri

bersifat

hiperestrogenik

dan

hipersensitif terhadap estrogen. Mioma uteri menciptakan lingkungan
hiperestrogeniknya

sendiri,

yang diperlukan

untuk pertumbuhan

dan

pemeliharaan mereka (mioma uteri). Mioma uteri memiliki reseptor estrogen
dan progesteron yang lebih banyak dari sekelilingnya (jaringan miometrium
normal),13,15,16,17 sehingga mioma uteri mengikat estrogen lebih banyak dan
mioma uteri juga sangat sedikit merubah estradiol menjadi estrone lemah.
Hermon juga menemukan kondisi yang sama pada saat fase proliferasi dan
fase sekresi. Tidak dijumpai perbedaan reseptor estrogen yang signifikan
berdasarkan ukuran massa mioma uteri.18 Selain itu, teori mengenai kadar
aromatase sitokrom 450 yang lebih tinggi pada mioma dibandingkan dengan

13

miosit normal. Aromatase sitokrom 450 merupakan kelompok enzim yang
terlibat dalam biosintesis hormon steroid juga aktivasi metabolik karsinogen.
Isoform sitokrom yang spesifik ini mengkatalisasi konversi androgen menjadi
estrogen pada beberapa jaringan. Diduga sel – sel mioma uteri mensintesis
estrogen in-situ.17 Estrogen dapat menyebabkan pembesaran tumor dengan
meningkatkan produksi ekstraseluler matriks. 6,13,19

Gambar 4.

Pengaruh hormon steroid dan reseptor hormon terhadap
9
mioma uteri

14

2.2.

Hiperplasia Endometrium
Hiperplasia endometrium adalah kondisi abnormal yang merupakan

pertumbuhan endometrium yang berlebihan. Terminologi ini mencakup
berbagai macam kondisi. Beberapa di antaranya adalah jelas jinak dan
beberapa berpotensi menjadi ganas. Sayangnya, ada begitu banyak
klasifikasi

yang

berbeda

selama

bertahun-tahun

yang

menunjukkan

kebingungan yang signifikan mengenai makna dari hiperplasia endometrium.
Selama bertahun-tahun, hiperplasia endometrium dianggap gambaran
histologis dari rangkaian antara proliferasi endometrium normal dan
adenokarsinoma in situ. Teori ini didasarkan pada studi pertama kali
dilaporkan oleh Gusberg dan Kaplan pada tahun 1963. Dalam penelitian
tersebut, para penulis melaporkan bahwa 20% dari pasien yang menjalani
histerektomi ditemukan memiliki adenokarsinoma dan kanker endometrium
tersebut berkembang di hampir 12% pasien, dengan rata-rata follow-up 5,3
tahun. Mereka menyimpulkan bahwa risiko kanker secara signifikan lebih
tinggi pada wanita dengan hiperplasia endometrium daripada mereka yang
tidak dan bahwa setelah 10 tahun resiko kumulatif untuk kanker adalah
sekitar 30%.dalam14
Hiperplasia endometrium merupakan temuan histopatologi yang sulit
untuk dibedakan dengan karakteristik standar. Lesi ini memiliki rentang
persepsi yang luas mulai anggapan keadaan endometrium yang an-ovulasi
sampai dengan lesi pre-kanker. Terkadang pada pasien yang lebih tua,
kanker endometrium yang kurang terdiferensiasi dengan baik ternyata dapat

15

berkembang secara spontan, dan dalam sebagian besar kanker endometrium
dijumpai

fase

prakanker

hiperplasia

endometrium.

Sekitar

sepertiga

karsinoma endometrium dipercaya diawali oleh hiperplasia endometrium.

Gambar 5. Hubungan hiperplasia endometrium dengan kanker endometrium

20

Gangguan endometrium ini berhubungan dengan stimulasi estrogen
yang berkepanjangan pada keadaan an-ovulasi atau produksi estrogen
meningkat

dan

pengaruh

hormon

progesteron

yang

tidak

adekuat.

Hiperplasia terjadi biasanya terjadi pada wanita perimenopause, dengan
siklus haid yang an-ovulasi, namun dapat juga terjadi pada kondisi termasuk
obesitas, penyakit ovarium polikistik, fungsi dari sel granulosa tumor ovarium
dan fungsi kortikal yang berlebihan.20,21,22

16

2.2.1.

Insidensi
Insidensi terjadinya hiperplasia endometrium berhubungan dengan

usia : 40-50 tahun (40%), 50-60 tahun (25%), 30)
memiliki peningkatan risiko dua sampai tiga kali lipat. Alasan diyakini karena
tingkat estrogen yang beredar meningkat yang merupakan hasil dari konversi
androstenedion menjadi estron pada jaringan adiposa dan penurunan
hormon seks yang berikatan dengan globulin. Demikian pula, kombinasi
kontrasepsi (yang mengandung progestin) dan kontrasepsi oral akan

17

mengurangi risiko. Kondisi lain yang menyebabkan stimulasi estrogen jangka
panjang pada endometrium, termasuk sindrom ovarium polikistik (sindrom
Stein-Leventhal) dan tumor feminisasi ovarium, juga dikaitkan dengan
peningkatan risiko karsinoma endometrium.12,14,20

2.2.3.

Patologi
Hiperplasia endometrium merupakan proliferasi non-invasif jaringan

endometrium yang menyebabkan pola morfologi kelenjar dengan bentuk
yang ireguler, dilatasi dan ukuran yang bervariasi. Kriteria utama untuk
menegakkan diagnosis hiperplasia adalah penebalan endometrium yang
disebabkan oleh karena peningkatan jumlah dan ukuran proliferasi kelenjar
yang tidak teratur Saat ini, klasifikasi hiperplasia endometrium dibagi atas
simpel atau kompleks, dan dengan gambaran sitologi atipik atau non-atipik.
Semua jenis hiperplasia ditandai dengan peningkatan rasio kelenjar stroma, kelenjar yang ireguler, dan variasi dalam ukuran kelenjar. Di samping
itu, dijumpai aktivitas mitosis yang jelas, meskipun jumlahnya sangat
bervariasi dan mungkin kurang dibandingkan proliferasi endometrium. Jumlah
stroma yang memisahkan kelenjar membedakan bentuk-bentuk hiperplasia
sederhana dan kompleks, terlepas dari dijumpainya atipikal. Biasanya disertai
peningkatan kompleksitas kelenjar. Hiperplasia simpel ditandai dengan
proliferasi jinak dari kelenjar endometrium, ireguler dan dilatasi, tidak terlalu
padat atau sel – sel atipik. Sedangkan pada hiperplasia kompleks ditandai
dengan vaskularisasi aendometrium yang sangat ireguler dan abnormal.

18

Hiperplasia umumnya dijumpai abnormalitas yang difus tetapi mungkin juga
dijumpai kelainan fokal, mungkin karena perbedaan reseptor estrogen dan
progesteron regional pada endometrium. Kriteria untuk histopatologi atipikal
termasuk nukleus yang membesar dengan ukuran yang beragam dan bentuk
yang telah kehilangan polaritas, peningkatan rasio nukleus terhadap
sitoplasma, nukleolus yang menonjol, dan kromatin yang berkelompok
dengan tidak teratur dengan parakromatin jernih. Atipik dapat dijumpai pada
keduanya simpel maupun kompleks. 21,25,26,27
Beberapa

menduga

bahwa

istilah

hiperplasia

endometrium

seharusnya digunakan menjelaskan lesi non-atipik dan istilah neoplasia
intraepitel endometrium digunakan untuk menjelaskan lesi dengan gambaran
inti yang atipik pada sel – sel kelenjar endometrium (membesar, membulat,
pleomorfis, dan aneuploidi). Penebalan endometrium tanpa dijumpainya
gambaran inti yang atipik, lesi disebut sebagai gangguan proliferasi
endometrium persisten atau pemadatan fokus kelenjar.6,23

2.2.4.

Klasifikasi hiperplasia endometrium
Klasifikasi yang digunakan saat ini adalah kriteria WHO yang

dimodifikasi oleh Kurman, Karminski dan Norris dan direvisi pada tahun 1994,
membagi hiperplasia

menjadi

sederhana dan

kompleks atas

dasar

strukturnya masing - masing dan membagi menjadi jenis tipikal dan atipikal
berdasarkan sitologi.3,26,28,29

19

Tabel 1. Klasifikasi hiperplasia endometrium menurut WHO
Hiperplasia sederhana
Hiperplasia kompleks (edenomatosa)
Hiperplasia atipikal sederhana
Hiperplasia atipikal kompleks (adenomatosa)

Risiko hiperplasia endometrium yang berkembang menjadi karsinoma
berhubungan dengan ada tidaknya dan tingkat keparahan dari sitologi
atipikal. Potensi keganasan pada hyperplasia endometrium dipengaruhi oleh
usia, penyakit ovarium yang mendasari, endokrinopati, obesitas, dan paparan
hormon eksogen. Ditandai sitologi atipikal, tingkat mitosis yang tinggi, dan
stratifikasi seluler ditandai fitur hiperplasia endometrium atipikal yang paling
sering

dikaitkan

dengan

ditemukannya

karsinoma

terdiagnosis

histerektomi.26

Gambar 6. Gambaran hiperplasia endometrium simpel dan kompleks

30

di

20

2.2.5.

Prognosis
Progresifitas

hiperplasia

endometrium

sampai

kepada

proses

keganasan tergantung jenis hiperplasia endometrium yang diketahui dari
pemeriksaan histopatologi. 28,31,32

Tabel 2. Progresifitas hiperplasia endometrium – kanker13
Jenis

Persentase menjadi kanker

Hiperplasia simpel

1

Hiperplasia kompleks

3

Hiperplasia atipikal simpel

8

Hiperplasia atipikal kompleks

29

Secara mayoritas lesi akan mengalami regresi (60%) tanpa
penanganan, dan 84% dengan terapi progestin. Risiko perkembangan
hiperplasia endometrium menjadi ganas sangat bervariasi sesuai dengan
jenis hiperplasia. Dalam penelitiannya, hiperplasia endometrium yang
dilakukan terapi mengalami regresi secara spontan sekitar 74% dan tetap
stabil selama lebih dari 10 tahun sekitar 18%. Risiko perkembangan menjadi
kanker sekitar 1 % untuk pasien dengan hiperplasia sederhana tanpa atipikal,
3% dengan hiperplasia kompleks tanpa atipikal, 8% dengan hiperplasia
atipikal sederhana, dan 29% dengan hiperplasia adenomatosa atipikal
kompleks. 27,28,32

21

2.3.

Perubahan endometrium yang berhubungan dengan mioma uteri
Dijumpai bukti dari stimulasi estrogen eksogen atau endogen

terhadap

endometrium

pada

sebagian

wanita

dengan

hiperplasia

endometrium. Secara umum, estrogen merangsang endometrium, tidak
seperti progesteron yang memiliki efek enti-proliferasi. Pemaparan estrogen
jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium dan
kanker endometrium. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, mioma uteri
merupakan tumor yang bersifat hiperestrogenik dimana pada jaringan mioma
sangat banyak dijumpai reseptor estrogen dibandingkan miometrium. Selain
itu, juga enzim sitokrom 450 juga dijumpai dalam jumlah yang signifikan pada
mioma uteri. Kondisi ini membuat jaringan mioma uteri sangat sensitif
terhadap estrogen.
Hiperplasia endometrium sering dijumpai pada pinggiran mioma
submukosa.6 Penelitian awal pada awal 1930-an menunjukkan antarhubungan antara kista folikel ovarium, hiperplasia endometrium dan mioma
uteri. Mereka menunjukkan sebab dan akibat hubungan antara hiperestrogen
stimulasi ovarium dan hiperplasia endometrium. Abnormalitas stimulus
estrogenik mengakibatkan hiperplasia endometrium. Beberapa penelitian
yang dilakukan sebelum era molekuler ditemukan hiperplasia endometrium
sering berhubungan dengan mioma uteri.
Beberapa wanita yang memiliki suatu neoplasma ovarium (sel tumor
granulosa ovarium), yang menghasilkan kelebihan estrogen endogen akan
menyebabkan

hiperplasia

endometrium

atau

kanker

dan

pasien

22

mengeluhkan terjadi perdarahan melalui vagina. Penyebab kelebihan
estrogen umumnya karena obesitas, polikistik ovarium, atau perimenopause
berkepanjangan

dengan

pola

perdarahan

anovulasi.

Perkembangan

hiperplasia sekunder untuk anovulasi pada menarche sangat jarang, dan
mudah reversibel, dengan melakukan normalisasi siklus menstruasi dengan
pil kontrasepsi oral. Hiperplasia endometrium dan kanker yang berhubungan
dengan stimulasi estrogen memiliki prognosis yang baik.15,22,28
Hiperplasia endometrium lebih sering ditemukan sehubungan dengan
mioma uteri yang kecil, berbeda dengan ukuran yang besar, akibat
peregangan dan tekanan, lebih mungkin menghasilkan atrofi endometrium.
Sehubungan dengan kondisi endometrium pada wanita dengan mioma
menunjukkan bahwa sejumlah besar dikaitkan dengan jenis siklus yang nonovulasi dan sering dijumpai dengan hiperplasia endometrium. Pada penelitian
yang dilakukan oleh King mencatat sering dijumpai hubungan antara
hiperplasia endometrium dan mioma uteri. Dari 114 kasus mioma uteri sekitar
71% menunjukkan adanya hiperplasia endometrium. Penelusuran lebih lanjut
menemukan

biasanya

kombinasi

hiperplasia

endometrium

dan

miometrium.dalam33
Pada

tahun

1935,

Witherspoon

mendeskripsikan

beberapa

perubahan patologis, dimana secara etiologi berhubungan erat, antara : (1)
mioma uteri, (2) degenerasi mikrokistik pada ovarium dengan luteinisasi
inkomplit, dan (3) hiperplasia kistik kelenjar endometrium. Pada penelitian
hiperplasia endometrium yang dilakukan kepada 44 orang pasien. Setiap

23

pasien dilakukan kuretase dan didiagnosis. Sebanyak 20 orang (45%)
dilakukan laparotomi dan ditemukan multipel kista folikel pada setiap kasus.
Setelah empat tahun sembilan bulan seluruh pasien menjalani operasi
karena multipel mioma uteri. Lapisan miometrium memperlihatkan gambaran
hiperplasia pada 24 kasus (55%). Pada endometrium juga dijumpai
gambaran hiperplasia pada 40 kasus. 2,33,34

24

2.4.

Kerangka Teori

ESTROGEN

M IOM ETRIUM

ENDOM ETRIUM

PATOLOGIS

PATOLOGIS

M IOM A UTERI

HIPERPLASIA
ENDOM ETRIUM

25

2.5.

Kerangka Konsep

M IOM A UTERI

PEM ERIKSAAN
HISTOPATOLOGI

ENDOM ETRIUM

HE (+)

HE (-)