Analisis Struktur Musik dan Fungsi Keyboard Sebagai Musik Pengiring Tari Maena Pada Upacara Pernikahan Masyarakat Nias di Kota Medan

BAB II
ETNOGRAFI KEADAAN MASYARAKAT
NIAS DI KOTA MEDAN

2.1 Keadaan Geografis Kota Medan
Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota
ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Kota Medan merupakan pintu
gerbang wilayah Indonesia bagian barat dan juga sebagai pintu gerbang bagi
para wisatawan untuk menuju objek wisata Brastagi di daerah dataran
tinggi Karo, objek wisata Orangutan di Bukit Lawang,

Danau Toba. Secara

geografis, Kota Medan terletak pada 2 27'-2 47' Lintang Utara dan 98 35'-98 44'
Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara
dengan topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,537,5 m di atas permukaan laut. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10
km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian,
dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang
relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar (www.wikipedia.com).

2.1.1 Demografi

Berdasarkan data sensus kependudukan pada tahun 2010 yang dilakukan
oleh pemerintah kota Medan, penduduk kota Medan diperkirakan telah
mencapai 2.097.610 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.060.684
jiwa > 1.036.926 jiwa). Selain itu, Kota Medan juga merupakan daerah

13
Universitas Sumatera Utara

perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis, dengan latar belakang yang berbeda
pula.
Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa
dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Sebagian besar penduduk
Medan berasal dari kelompok umur 0-19 dan 20-39 tahun (masing-masing 41%
dan 37,8% dari total penduduk).
Dilihat dari struktur umur penduduk, Medan dihuni lebih kurang
1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat
pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan
demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja
pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri
manufaktur.

Populasi masyarakat Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku
seperti: Melayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola),
Nias dan Tionghoa. Mayoritas kependudukan di kota Medan sekarang
ialah Suku Jawa, dan suku-suku dari tapanauli (Batak, Mandailing, Karo).
Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah mesjid, gereja, dan vihara
Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Daerah di sekitar Jl. Zainul
Arifin dikenal sebagai Kampung Keling, yang merupakan daerah pemukiman
orang keturunan India.
Secara historis, pada tahun 1918 tercatat bahwa Medan dihuni 43.826
jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan Eropa, 35.009 berketurunan
Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal dari ras Timur
lainnya.

14
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1: Perbandingan Etnis di Kota Medan pada
Tahun 1930, 1980, dan 2000.
Etnis


Tahun 1930

Tahun 1980

Tahun 2000

Jawa

24,89%

29,41%

33,03%

Batak

2,93%

14,11%


20,93%*

Tionghoa

35,63%

12,8%

10,65%

Mandailing

6,12%

11,91%

9,36%

Minangkabau


7,29%

10,93%

8,6%

Melayu

7,06%

8,57%

6,59%

Karo

0,19%

3,99%


4,10%

Aceh

--

2,19%

2,78%

Sunda

1,58%

1,90%

--

Lain-lain


14,31%

4,13%

3,95%

Sumber: 1930 dan 1980: Usman Pelly, 1983; 2000: BPS Sumut
*Catatan: Data BPS Sumut tidak menyenaraikan "Batak" sebagai suku bangsa, total Simalungun (0,69%),
Tapanuli/Toba (19,21%), Pakpak (0,34%), dan Nias (0,69%) adalah 20,93%
Bangsa Punjabi dan lainnya(3,95%)

Tabel 2.2: Penduduk Kota Medan Menurut Kecamatan
dan Jenis Kelamin Tahun 2010
No
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10
11
12
13
14

Kecamatan
Medan Tuntungan
Medan Selayang
Medan Johor
Medan Amplas
Medan Denai
Medan Tembung
Medan Kota
Medan Area
Medan Baru
Medan Polonia

Medan Malmun
Medan Sunggal
Medan Helvetia
Medan Barat

Laki-laki
39 414
48 293
61 085
56 175
71 181
65 391
35 239
47 813
17 576
25 989
19 411
55 403
70 705
34 733


Perempuan
41 528
50 024
62 766
56 968
70 214
68 188
37 341
48 731
21 490
26 805
20 170
57 341
73 552
36 038

Jumlah
80 942
98 317

123 851
113 143
141 395
133 579
72 580
96 544
39 516
52 794
39 581
112 744
144 257
70 771

15
Universitas Sumatera Utara

15
16
17
18
19
20
21

Medan Petisah
Medan Timur
Medan Perjuangan
Medan Deli
Medan Labuhan
Medan Marelan
Medan Belawan
TOTAL

29 367
52 635
45 144
84 520
56 676
71 287
48 889
1 036 926

32 382
55 998
48 184
82 273
54 497
69 127
46 617
1 060 684

61 749
108 633
93 328
166 793
111 179
140 414
95 506
2 097 610

Sumber : Sensus Penduduk 2010, BPS Kota Medan

2.1.2 Wilayah Administrasi Pemerintahan
Adapun beberapa kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu antara
lain: Kecamatan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan
Petisah, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung,
Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan
Polonia,

Kecamatan

Medan

Selayang,

Kecamatan

Medan

Tuntungan,

Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai,
Bandar Udara Polonia.
Kota medan terdiri dari dua puluh satu kecamatan, yaitu seperti yang
terurai di dalam Tabel 2.3 sebagai berikut.

Tabel 2.3: Kecamatan-kecamatan dan Luasnya dalam Kilometer
Di Kota Medan Tahun 2013

No
1
2
3
4

Luas (Km2)
20,68
12,81
14,58
11,19

Kecamatan
Medan Tuntungan
Medan Selayang
Medan Johor
Medan Amplas

16
Universitas Sumatera Utara

5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Medan Denai
Medan Tembung
Medan Kota
Medan Area
Medan Baru
Medan Polonia
Medan Malmun
Medan Sunggal
Medan Helvetia
Medan Barat
Medan Petisah
Medan Timur
Medan Perjuangan
Medan Deli
Medan Labuhan
Medan Marelan
Medan Belawan
TOTAL
Sumber : BPS Kota Medan, 2013

9,05
7,99
5,27
5,52
5,84
9,01
2,98
15,44
13,16
6,82
5,33
7,76
4,09
20,84
36,67
23,82
26,25
265,1

2.1.3 Kecamatan Medan Tuntungan
Kecamatan Medan Tuntungan adalah daerah tempat penelitian yang
dipilih oleh penulis, terkhusus daerah Simalingkar Perumnas. Di daerah ini telah
lama bermukim orang-orang Nias. Hal itu bisa kita lihat dari adanya gereja suku
Nias yang telah berdiri dan adanya STM (serikat tolong menolong) khusus suku
Nias. Kecamatan Medan Tuntungan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota
Medan Sumatera Utara, Indonesia . secara wilayah geografis, kecamatan Medan
Tuntungan berbatasan dengan:
- Sebelah utara berbatasan dengan Medan Selayang,
- Sebelah timur berbatasan dengan Medan Johor,
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang.

17
Universitas Sumatera Utara

Sensus pada tahun 2010 mengatakan kecamatan ini mempunyai penduduk
sebesar 69.447 jiwa. Luasnya adalah 20,68 km² dan kepadatan penduduknya
adalah 3.174,32 jiwa/km². Sebagaian besar penduduk di kecamatan ini adalah
suku-suku pendatang seperti: Tionghoa, Minang, Batak, Aceh dan Jawa
sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 40% saja.

2.2 Gambaran Umum Adat Nias Termasuk di Kota Medan
Nias merupakan salah satu pulau besar yang ada di Sumatera Utara. Nias
memiliki luas sebesar 5.625 km2 atau 7,26% dari seluruh luas pulau Sumatera.
Pulau Nias terletak di antara 0,120LU – 1,32o LU dan 90o BT - 98o BT. Pulau
Nias berbatasan dengan, (1) Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau
Murshala (kepulauan Tapanuli Tengah) disebelah timur, (3) kepulauan banyak
(Nanggroe Aceh Darrusalam) disebelah utara, dan (4) kepulauan Mentawai
(Sumatera barat) disebelah selatan.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö
yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.
Kemudian bagi siapa saja yang melanggar hukum tersebut akan di kenakan
sanksi sesuai dengan apa yang dilakukannya, bahkan ada sanksi yang sampai
kepada kematian.
Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan kasta). Dimana tingkatan
kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang
harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. telah memberi. Ada 3

18
Universitas Sumatera Utara

jenis pesta dari berbagai varian yang sedemikian banyak. Integrasi individu ke
dalam komunitas (lahir, menikah, meninggal, naiknya status sosial), pesta antar
desa seketurunan untuk menghormat leluhur, dan fondrakö yaitu perayaan
peneguhan norma-norma adat yang dirayakan 7 tahun sekali. Pesta yang
pertamalah yang paling meriah dirayakan, paling banyak babi yang dimasak.
Pada perayaan naiknya status seseorang batu-batu megalith dibuat dan
ditegakkan di halaman rumah balugu sebagai tanda dari status sosialnya. Tanpa
adanya pesta, megalith tidak punya alasan untuk didirikan.

2.3 Masyarakat Nias di Kota Medan
Masyarakat Nias yang ada di kota Medan pada awalnya berasal dari
orang-orang yang merantau untuk mencari pekerjaan. Sama juga dengan orang
Nias seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian dari orang
Nias pergi dari pulau Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi
keberbagai daerah dengan tujuan dan kepentingan yang bermacam-macam dan
menuju ke daerah-daerah sepert, Tapanuli, Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan
bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka, Negeri Sembilan, pulau Pinang),
India, dan Madagaskan. Migras ataupun perpindahan yang dilakukan oleh orang
Nias sudah berlangsung lama dan diperkirakan sudah terjadi dari abad ke-17
yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa
Cina serta Hindia belakang. Pada saaat berlangsungnya jalur perdagangan
menuju Baros. Tanö Niha (pulau Nias) menjadi lumbung tempat penyimpanan
bahan bahan untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros.
Nias merupakan daerah terdekat menuju Baros yang ramai dilayari kapal-kapal

19
Universitas Sumatera Utara

dagang dari berbagai daerah sehingga orang Nias mempunyai peran penting
dalam kelangsungan perdagangan waktu itu seperti menyediakan tenaga kerja
yang kuat dan mudah dihimpun, karena karakter orang Nias ialah menghormati
dan patuh pada pemimpinnya. Menjadikannya mudah diorganisir sebagai pelaku
perdagangan pada zaman itu. Bersamaan dengan itu, orang Nias mulai
mengunjugi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja
Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran
tahun tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit
perang dan ada juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita di
jadikan istri.
Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu
itu) banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah
perkebunan di luar pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah
tersebut hinga sekarang. Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan
(dahulunya

Sumatera

Timur)

diperkirakan

dimulai

sejak

dibukanya

onderneming perkebunan tembakau dan perkebunan karet yang dikenal dengan
HVA. Banyak orang Nias bekerja di perkebunan-perkebunan, pada waktu itu
karet menjadi “primadona” oleh orang Belanda. Sehingga pohon karet oleh
orang Nias disebut hafea, yang tak lain adalah penyebutan lain untuk HVA yang
berada di Sumatera Timur. Inilah awalnya dan sejarahnya masyarakat suku Nias
tinggal dan menetap di Kota Medan. Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur
kemudian berkembang menjadi Kota Medan. Orang Nias terus melakukan
proses perpindahan atau urbanisasi yang dahulunya hanya kelompok kecil,
semakin lama terbentuk sebuah masyarakat suku Nias. Hidup berdampingan

20
Universitas Sumatera Utara

dengan suku lainnya, hal ini terlihat dari berbagai macam keterlibatan dalam
berbagi dengan masyarakat sekitar dimana saling melakukan aktifitas budaya
masing-masing suku.

2.4 Adaptasi Masyarakat Nias Di Kota Medan
Masyarakat Nias yang datang ke kota Medan beradaptasi dengan cara
berbaur dengan etnis-etnis lain yang ada di kota Medan. Suku Nias merupakan
salah satu suku pendatang yang menetap di kota Medan. Suku bangsa lain juga
merupakan suku yang menetap di Medan terbagi, (1) suku bangsa tempatan
(natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly, 1990:84), dengan alas an bahwa suku
Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan, (2) suku
pendatang antara lain: Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi,
Pesisir Sibolga, Mandailing. Suku pendatang ini merupakan etnis yang wilayah
teritorialnya paling dekat dengan Kota Medan dan tergolong dalam satu struktur
pemerintahan setingkat propinsi dengan Medan menjadi pusat pemerintahannya.
Juga etnis seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, serta kelompok kecil etnis
Nusantara lainnya serta etnis datang dari luar nusantara seperti etnis yang datang
dari Cina, India, dan yang lain dalam jumlah kecil. Tibanya orang Nias di Kota
Medan dan tinggal menetap dan melakukan aktifitas budaya dengan berbagai
cara. Sistem pemerintahan di Nias saat ini berbentuk kabupaten dan Kotamadya
dimana sebelumnya pulau Nias hanya memiliki satu kabupaten saja namun saat
ini pulau Nias telah menajdi empat kabupaten satu Kotamadya sehingga semakin
memudahkan untuk dipahami bagi dari segi kebudayaannya maupun segi dialek
bahasanya.

21
Universitas Sumatera Utara

2.5 Mata Pencaharian
Kedatangan orang Nias di Kota Medan berlangsung secara berkelompok
dan juga secara individual. Para pemuda Nias melakukan perjalanan (merantau)
bersama-sama dengan teman sekampung ke Kota Medan dengan tujuan untuk
mencari pekerjaan. Kelompok ini menyebar keberbagai wilayah Kota Medan,
bekerja di Pabrik, petani, nelayan, tukang becak, karyawan swasta, bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau TNI / POLRI, buruh lepas juga ada
yang berbaur lewat perkawinan antara orang Nias dengan orang dari etnis lain.
Dengan bertambahnya jumlah orang Nias yang menetap di Kota Medan
menimbulkan keinginan untuk bersatu dalam satu ikatan organisasi dan
perkumpulan orang Nias dalam bentuk organisasi sosial, pendidikan, dan
kepemudaan. Pada saat ini diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan
menetap di Kota Medan sekitar 25.000. yang tersebar dalam wilayah Medan
seperti, Daerah Belawan, Perumnas Mandala, daerah Perumnas Simalingkar,
daerah Padang Bulan, daerah Helvetia, serta daerah lainnya dalam jumlah kecil
namun khusus didaerah objek penelitian penulis diperkirakan berdasarkan hasil
yang di kumpulkan penulis dari Kecamatan Medan Tuntungan sekitar 8.743 jiwa
(BPS Kota Medan 2013).

2.6 Agama Dan Sistem Kepercayaan
Kebudayaan Nias merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang
bebas dari pengaruh Hindu-Budha maupun Islam. Orang Nias mengalami
banyak perubahan dalam hal kepercayaan dan agamanya. Dahulu kepercayaan
orang Nias percaya pada sistem yang bersumber pada kekuatan alam dan roh

22
Universitas Sumatera Utara

leluhur. Juga dua kekuatan supernatural di kosmos, yang menampakkan diri
sebagai gejala-gejala alam dan arwah leluhur mereka. Kekuatan adikodrati
(supernatural) bersumber pada gejala-gejala alam yang memiliki nama sesuai
dengan tempat atau sistem kekuatannya. Para leluhur Nias kuno menganut
kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak
kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lowalangi, Laturadanö, Zihi,
Nadoya, Luluö, dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi
yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak kelihatan dan tidak
dapat diraba tersebut di atas, mereka juga memberhalakan roh-roh yang berdiam
di dalam berbagai benda berwujud. Misalnya berbagai jenis patung, (Adu Nama,
Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lain-lain)
yang dibuat dari bahan batu atau kayu. Mereka juga percaya pada leluatan
supernatural pada pohon tertentu, misalnya: Fösi, Böwö, Endruo, dan lain-lain.
Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering
disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan
politeisme.
Dalam sistem religi terutama sebelum masuknya ajaran agama Islam dan
Kristen, masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut dengan
Sanomba Adu. Kata-kata ini secara etimologis sanomba berarti menyembah, dan
adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu yang dipercayai
sebagai media roh bersemayam. Adu atau patung di tempatkan di Osali
bȍrȍnadu, yaitu bagunan tempat ibadah untuk penyembah patung (sonomba
adu). Pada abad-19 masuklah ajaran agama kristen di Pulau Nias yang pertama
kali dibawa oleh Denninger tahun 1865 tepatnya di Kota Gunungsitoli.

23
Universitas Sumatera Utara

Sebelumnya ia sudah belajar bahasa Nias dan bergaul dengan orang Nias yang
ada di Padang. Orang Nias yang berjumlah kurang lebih 3000 jiwa ini
merupakan pendatang. Dari mereka inilah Denninger banyak mempelajari
kebiasaankebiasaan orang Nias, adat istiadatnya sehingga ia tertarik untuk
datang ke Nias untuk menyebarkan dan mengajarkan ajaran Kristen yang
ternyata berhasil dengan baik ia sebarkan. Misi selanjutnya dilanjutkan oleh
Thomas yang datang ke Nias pada tahun1873. Masa terpenting pada penyebaran
agama Kristen tersebut terjadi antara tahun 1915-1930 dan tahun ini disebut
sebagai tahun pertobatan (fangesa dȍdȍ sebua).
Transformasi adat ini berlangsung cukup massif. Keajaiban dalam
pengabaran Injil terjadi pada 1916 ketika digelar Fangefa SebuaFangesa Sebua
(Pertobatan Massal) yang dimotori oleh misionaris Kristen (zendeling). Sejak
peristiwa tersebut, orang-orang Nias mulai berani menghanyutkan patungpatung perwujudan nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan
benda-benda peninggalan leluhur lainnya ke sungai. Keberhasilan misi Kristen
di Nias juga banyak ditentukan oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi
ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Contohnya adalah
diberlakukannya ritual fanano buno (menanam bunga) sebagai ganti famaoso
dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal).
Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap kepercayaan orang Nias,
yang mana kepercayaan yang sebelumnya ditinggalkan dengan membuang atau
menghancurkan dan membakar patung-patung yang tadinya mereka jadikan
sebagai dewa. Sangsi-sangsi hukum adat dengan hukum badan, poligami,
penyembahan patung, penyembuhan penyakit melalui dukun sudah semakin

24
Universitas Sumatera Utara

berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias beragam kristen (S. Zebua
1984:62). Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen
tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias yang berada di
pulau Nis maupun di kota Medan menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu
dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan
1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63).

2.7 Organisasi Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, sistem kekerabatan dan kerjasama sangat
menonjol pada masyarakat Nias di kota Medan, walaupun terdapat perbedaan
dalam kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Ini mencerminkan kenyataan
sosial bahwa orang-orang Nias yang ada di kota Medan sangat baik dalam
menjalin keakraban walaupun berbeda keyakinan. Organisasi sosial sangat
penting dalam kehidupan sehari-sehari, kekerabatan dan kerja sama sangat
menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham keagamaan yang saling berbeda.
Orang Nias memakai satu bahasa tunggal, akan tetapi dialeknya agak berbeda
disetiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa Nias adalah huruf vocal
yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat, dan selalu ditandai dengan
akhiran huruf vokal. Ini juga secara tak langsung mempengaruhi adaptasi sosial
antara sesame orang Nias dengan daerah budaya yang berbeda.
Walaupun sudah berpindah ke tempat yang jauh, tetapi orang-orang Nias
yang datang ke kota Medan tetap berusaha untuk mempertahankan sistem
keakraban yang telah dibangun oleh para leluhur terdahulu. Kebudayaan Nias
dapat dilihat melalui organisasi-organisasi atau perkumpulanperkumpulan

25
Universitas Sumatera Utara

masyarakat Nias yang ada di Kota Medan. Ada yang membentuk perkumpulan
berdasarkan wilayah dimana asal mereka di pulau Nias seperti Persatuan
Masyarakat Gomo (PERMASGOM), Lahewa, Sirombu, Gidö, Pulau Batu,
Teluk Dalam. Ada juga berdasarkan marga (mado) seperti Persatuan Marga
Harefa, Persatuan Marga Mendröfa, Persatuan Marga Lase, Persatuan Marga
Telaumbanua, Persatuan Marga Zalukhu, Persatuan Marga Larosa, Persatuan
Marga Nazara. Selain itu juga masyarakat Nias juga membentuk perkumpulan
berdasarkan dimana mereka tinggal di Kota Medan berupa Serikat Tolong
Menolong (STM), seperti STM Sehati, STM Faomakhöda, STM Kasih Karunia,
STM Saradödö. Ada juga organisasi lain yang bersifat kepemudaan, gerejawi,
pendidikan dan pembanguan juga berdiri di Kota Medan, seperti Gerakan
Mahasiswa Nias (GMN), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias (FORMANISPE),
KMN, FORMAN, Komisi pemuda BNKP Hilisawatö.

2.8 Sistem Kekerabatan
Suku Nias memiliki sistem kekerabatan dan sistem kekerabatan tersebut
menurut garis keturunan ayah (patrineal) dengan menurunkan marga (mado)
kepada anak-anak mereka yang menjadi perlambangan pada keluarga tersebut
dan selalu maarga (mado) ayah yang ditempatkan dibelakang nama lahir untuk
generasi dibawahnya. Marga-marga yang ada pada masyarakat Nias adalah
Amazihönö,Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali,
Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu, Bidaya,
Bulolo, Baewa Ba'i menewi Boda hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare,
Dohona, Duha, Duho, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu,

26
Universitas Sumatera Utara

Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae,
Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura,
Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa,
Lase,

Lawölö,

Lo'i,

Lömbu,

Lamölö,

Lature,

Luahambowo,

lazira,

Lawolo,Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndu go'o, lase, larosa, Maduwu,
Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya,
Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya,
Nduru, Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö,
Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö,
Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili,
Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö,
Zamago zamauze.

2.9 Kesenian
Masyarakat Nias memiliki beberapa kesenian yang menarik dan menjadi
ciri khasnya. Salah satunya adalah lompat batu (hombo batu) merupakan contoh
budaya yang paling terkenal dan unik, di mana seorang pria melompat di atas
sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Lompatan itu untuk
menunjukkan kedewasaan seorang pria, para pengunjung dapat menyaksikan
lompat batu tersebut di Desa Bawomatolua, Hilisimaetano, atau di desa-desa
sekitarnya. Lompat batu dilakukan untuk menunjukkan kedewasaan seorang
pria. Masyarakat Nias juga memiliki seni musik Adapun alat-alat musik Nias
sebagai berikut : (a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat
pemukul dari rotan. Alat pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu

27
Universitas Sumatera Utara

digunakan dalam pesta pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik
mengiringi tarian atau lagu. (b) Aramba (gong), alat musik jenis gong berpencu,
teridiri dari gua gong yaitu aramba dan faritia. Aramba lebih besar dari
faritia.fungsi sosialnya adalah untuk memberi berita yang terjadi di Medan
perang, misalnya ada yang meninggal. (c) Tamburu, gendang yang ukurannya
lebih kecil dari göndra dan bagianluarnya tidak diikat oleh rotan tetapi luarnya
dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi prosesi
pengantin, laug dan tarian. (d) doli-doli adalah xilophon kayu laore berupa
bilahan bilahan yang diletakkan diatas kaki pemainnya dan dipukul dengan
pemukul terbuat dari kayu. Alat musik ini kadang juga dikatakan gambang. (e)
Suling adalah alat musik tiup terbuat dari bambu (lewuö mbanua). (f) Ndruri
dana adalah alat musik jew’s harp, memiliki satu lidah yang disebut lela.
Masyarakat Nias juga memiliki beberapa tarian tradisional, antara lain
sebagai berikut: 1. Faluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di
bahagian utara namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria,
dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang,
gerakannya sangat kuat. Maluaya ini di Pulau-pulau Batu berbeda dengan daerah
Nias lainnya, di Pulau-pulau Batu para wanita juga turut menari. Para wanita
menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan
pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas, penguburan, dan pesta
untuk menyambut pendatang baru. 2. Tari maena yaitu tari yang biasa
dipertunjukkkan dalam acara pesta pernikahan, pesta owasa, dan juga dilakukan
untuk menyambut tetamu terhormat. Tari maena biasanya dilaksanakan
dilapangan terbuka, sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak sulit

28
Universitas Sumatera Utara

untuk diikuti. Tari ini dilakukan oleh masyarakat umum, tidak terbatas usia dan
bebas (siapapun bisa melakukannya). Gerakan yang utama dalam tari-tarian ini
adalah gerakan kaki yang diayunkan. Variasi gerakan yang umum dilakukan
yaitu kaki membentuk segi tiga (tölu sagi) dan gerakan kaki membentuk segi
empat (öfa sagi). Tari ini dipedomani oleh beberapa orang sambil melantunkan
syair dalam bahasa Nias dan di respon oleh yang ikut melakukan tari tersebut.3.
Fanarimoyo (tarian perang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan
dan Utara oleh 20 penari wanita. Kadang-kadang di dalam lingkaran ditarikan
oleh penari pria. Di bagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai
dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan.
Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak
dicintainya. Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang. 4. Tari
Ya’ahowu merupakan sebuah tari kreasi baru yang biasanya di pertunjukan pada
acara penyambutan tamu adat, pesta-pesta adat seperti pernikahan, penyambutan
tamu pemerintahan atau daerah. Tarian ini merupakan tari kreasi baru dan sudah
disahkan menjadi salah satu tarian kesenian Nias. Dan tarian ini selalu di
pertunjukan setiap kali ada penyambutan tamu di pulau Nias.
Orang Nias juga mengenal seni rupa yang termasuk di dalamnya seni
lukis, seni ornamentasi, seni arsitektur tradisional, seni kerajinan, seni patung,
dan lain-lainnya. Masyarakat Nias juga mengenal seni patung dan kerajinan
angan. Kedua kegiatan ini dilakukan umumnya mengambil tempat di mbelembele atau emper depan rumah adat. Kegiatan ornamen, untuk mengisi bagian
penting rumah, sebagai pencerminan penghormatan kepada nenek moyang. Pada
megalith tersebut dipahat berbagai ukiran sehingga menjadi ornamen yang

29
Universitas Sumatera Utara

merupakan simbol-simbol. Contoh dari seni patung itu antara lain, seperti
pembuatan patung (nadu) yang menjadi simbol kekuasan, patung yang menjadi
simbol marga, dan lain-lain.

30
Universitas Sumatera Utara