ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM PESTA ADAT FALÖWA( PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN

ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM PESTA ADAT FALÖWA ( PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN SKRIPSI SARJANA OL H NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ

NIM: 080707005

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012

ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM PESTA ADAT FALÖWA (PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN OLEH: NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ NIM: 080707005

Dosen Pembimbing I,

Dosen Pembimbing II,

Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 19

NIP 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomuskologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka menjalani kehidupannya, manusia melakukan berbagai upacarayang berkaitan dengan siklus atau pusingan hidupnya/ Di antaranya adalah upacara menyambut hadirnya janin, seperti halnya tikeban yaitu upacara tujuh bulanan janin dalam budaya Jawa. Kemudian ketika lahir pun diadakan upacara penyambutan kelahiran bayi sebagai penerus generasi terdahulu. Kemudian dalam rangkaian ini dibuat juga upacara pemebrian nama. Setelah itu diadakan lagi upacara memijak tanah untuk pertama kalinya ia dapat berjalan dan akan menjalani kehidupannya kelak sebagai apa. Setelah itu dalam beberapa masyarakat di dunia ini ada juga tradisi berkhitan atau sunatan, termasuk dalam kebudayaan Nias.

Selanjutnya dalam rangkaian siklus hidup ini ada pula upacara perkawinan, yang berbeda-beda antara setiap suku bangsa, namun ini adalah fenomena yang universal dalam kebudayaan manusia. Dalam rangkaian upacara perkawinan ini bisa jadi dibagi- bagi ke dalam beberapa tahapan, seperti meminang, kenduri, menghantar uang mahar, pengabsahan secara religi, persandingan, dan upacara pasca perkawinan. Demikian pula yang terjadi dalam kebudayaan Nias. Mereka memiliki upacara perkawinan yang disebut dengan fangowalu.

Setelah membentuk rumah tangga, mereka akan memperoleh keturunan dan keturunannya ini mengalami dan menjalani berbagai upacara siklus hidup yang dilatarbelakangi oleh budaya tersebut. Seterusnya dalam rangka bermasyarakat, manusia juga melakukan upacara-upacara seperti menjamu para tetangga dan kerabat,melakukan upacara religi di kediaman atau juga rumah ibadah, dan juga kematian. Upacara Setelah membentuk rumah tangga, mereka akan memperoleh keturunan dan keturunannya ini mengalami dan menjalani berbagai upacara siklus hidup yang dilatarbelakangi oleh budaya tersebut. Seterusnya dalam rangka bermasyarakat, manusia juga melakukan upacara-upacara seperti menjamu para tetangga dan kerabat,melakukan upacara religi di kediaman atau juga rumah ibadah, dan juga kematian. Upacara

Orang-orang Nias merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku-suku yang ada di Indonesia, yang berada di bagian barat Sumatera Utara, khususnya di Pulau Nias dan sekitarnya. Secara rasial atau fisik, etnik Nias ini dapat dikelompokkan ke dalam ras Mongoloid. Masyarakat Nias pada masa religi Sanömba Adu mempercayai sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Di dalam bosi ini diatur tentang kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia.

Namun demikian, salah satu dari urutan bosi ini ialah fangowalu atau pesta perkawinan. Di dalam persta perkawinan ini ada tahap-tahap yang harus ditempuh namun ketika dilangsungkannya pesta perkawinan ada sebuah tarian yang dipertunjukan pada urutan perkawinan ini yaitu maena.

Maena merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Nias, yang di dalamnya mengandung seni tari dan nyanyian (musik vokal)/ Tariannya dipolakan dengan gerakan yang membenmtuk segi empat dan dalam pertunjukannya bermakna kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang dilangsungkan. Musik vokal adalah musik yang dihasilkan oleh suara manuasia dimana musik tersebut diiringi alat musik atau tidak dan penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan banyak orang (kelompok).

Maena tidak terlepas dari tari yang saling mempengaruhi antara nyanyian dengan tari. Didalam tari ada gerakan, yang gerakannya membentuk segi empat (öfa sagi ) dan kaki membentuk segi tiga (tölu sagi), kedua lengan diayunkan ke depan dan ke belakang sehingga selama pertunjukan maena gerekan inilah yang terus di ulang- ulang dari awal hingga berakhirnya pertunjukan. Gerakan pada maena tidak terlalu banyak dan sangat mudah untuk dipelajari, tetapi pada pertunjukannya harus memiliki kekompakkan gerakkan tersebut walaupun dikatakan mudah namun dari sekian banyaknya jumlah penyaji maena ini harus yang diperlukan ialah kekompakkan, selain itu gerakan maena berputar kearah kiri.

Musik vokal pada maena berupa susunan pantun yang dinyanyikan atau disuarakan oleh sanutunö 1 maena (pemimpin maena) yang dipimpin oleh satu atau dua

orang. Sanutunö maena juga dapat dipimpin oleh satu orang saja namun yang menjadi pimpinannya ialah seorang perempuan. Apabila sanutunö maena dua orang, maka yang satu perempuan dan satu lagi laki-laki dan terkadang juga dua-duanya dipimpin oleh perempuan

Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh penulis dalam tulisan ini yakni antara sanutunö maena (pemimpin) dengan sanehe atau ono maena (peserta maena), dimana sanutunö maena berpisah tempatnya ataupun terkadang juga bisa gabung dengan sanehe atau ono maena tetapi pada umumnya selalu berpisah. Sanehe (ono maena) merupakan orang yang menyanyikan syair maena yang bersifat tetap dan terus diulang-ulang oleh peserta maena setelah sanutunö maena menyanyikan syair yang berupa susunan pantun- pantun sampai berakhirnya maena tersebut (strophic). Fanutunö maena (syair maena) yaitu suatu lirik yang dibacakan oleh sanutunö maena (orang yang membacakan syair maena ). Syair maena berisi tentang kegiatan dalam hal ini pesta perkawinan dan syair

1 Dalam pengucapan serta penulisan atau pronounsiasi dalam bahasa Nias, seperti diakukan oleh masyarakat Nias, ö dibaca e sama dengan pengucapan huruf e pada kata menganalisis.

maena disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam maena yang disebut dengan ono maena atau fanehe maena (peserta maena). Pada maena tidak dibatasi siapa-siapa saja

yang ikut dalam pertunjukannya laki-laki dan perempuan dapat melakukan tari 2 maena ini. Sanutunö maena dengan sanehe maena saling bersahut-sahutan (call and respons)

dimana ada yang memimpin dan ada koor yang dinyanyikan secara bersamaan oleh penyaji maena.

Apabila kita melihat bahwa setiap suku bangsa biasanya memiliki istilah tertentu dalam menyebut musik vokal itu sendiri, sama halnya juga dengan masyarakat Nias bahwa musik vokal atau nyanyian disebut juga sinunö. Dalam kesenian tradisional, baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka, dapat disebut kesenian tradisional. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang-ulang (Sedyawati, 1981:48).

Pesta perkawinan pada masyarakat Nias memiliki beberapa musik vokal (sinunö) seperti bolihae, fangowai, dan hendri-hendri. Ketiga jenis sinunö ini murni tidak menggunakan alat musik pengiring--hanya disuarakan oleh suara manusia. Namun dalam skripsi ini penulis menitikberatkan musik vokal pada maena, dimana maena dahulunya juga tidak menggunakan alat musik pengiring tetapi karena perubahan zaman atau karena dalam pertunjukannya bermakna suatu kegembiraan dan sukacita sehingga digunakan ensambel pengiring yang terdiri dari gong, gondra, faritia, dan ukulele. Tetapi karena dilihat bahwa dengan menggunakan alat-alat tersebut sangat sulit dalam penyediaannya, maka berubah dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard.

2 Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:1378) tari ialah tarian gerakan badan serta tangan dan kaki berirama mengikuti rentak music. Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, berbagai macam

penyebutan untuk tari ini. Dalam kebudayaan Batak Toba, Mandailing, dan Angkola disebut dengan tortor . Dalam kebudayaan Karo disebut dengan landek. Kemudian dalam kebudayaan Pakpak disebut dengan tatak. Dalam kebudayaan dunia ada yang menyebutnya dance atau juga dansa.

Pada pesta perkawinan ada beberapa bagian musik vokal yang dinyanyikan oleh sanutunö maena yaitu, (1) fanehe maena wangowai dome (syair yang berisi sapaan atau ucapan selamat datang). Dalam menyajikannya berisi tentang sapaan karena para tamu-tamu dari pihak laki-laki sudah datang sehingga disapa lewat sebuah tarian. Tarian tersebut ialah tarian maena wangowai dome. Pada syair ini yang melakukan atau melaksakannya ialah pihak perempuan, (2) fanehe maena zowatö (syair yang berisi sapaan kepada sowatö ). Dalam syair ini keluarga laki-laki menyapa keluarga mempelai perempuan dengan cara menyajikan tarian. Pada syair ini pihak laki-laki yang melaksanakannya, (3) fanehe maena wangandrö sokona (syair meminta sokongan dari pihak laki-laki). Pada syair ini keluarga pihak laki-laki khususnya pengantin laki-laki wajib memberikan uang,rokok, atau sejenis minuman kepada para ono maena (peserta maena ). Fanutunö maena ini yang melakukannya atau melaksanakannya ialah pihak perempuan.

Ketiga syair fanehe maena diatas sanutunö maena selalu berpisah dengan para sanehe maena tetapi terkadang juga sanutunö maena bergabung bersama dengan sanehe maena. Setiap gerakan yang dilakukan oleh para sanehe maena tidak diikuti oleh sanutunö maena namun pada umumnya sanutunö maena ikut juga menyanyikan syair zanehe maena (syair yang dinyanyikan oleh peserta maena).

Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertutur bahasa Nias (amaedola/duma-duma), karena syair-syair semuanya memakai bahasa Nias. Namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya.

Menurut Bapak A. Gunawan, 3 sanutunö [sanutun ∑ ] maena merupakan orang yang sangat penting dalam pertunjukan maena karena tanpa sanutunö maena tarian

maena tidak bisa berjalan apabila hanya sanehe maena (peserta maena) saja yang ada. Itulah menjadi pertanyaan dan yang akan dijawab dalam tulisan ini yaitu seberapa pentingkah sanutunö maena itu pada pertunjukan maena? Bagaimanakah tata cara sanutunö maena menyanyikan syair wanutuno maena tesebut?

Kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan sangat menarik jika kita teliti lebih dalam. Namun pada kenyataannya masyarakat pendukungnya tidak begitu memprioritaskan tentang kesenian tersebut disebabkan karena kurangnya kepedulian generasi muda orang Nias yang terhadap kebudayaannya. Selain itu juga minat masyarakat Nias terutama para generasi muda lebih tinggi terhadap lagu-lagu populer (pop) dibanding dengan lagu-lagu tradisional. Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu populer Nias semakin lama semakin beredar lewat kaset rekaman (hasil wawancara penulis dengan A. Gunawan Januari 2012).

Melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan (musik) Nias sekarang ini, maka kecenderungan hilang tanpa didokumentasikan memang dapat terjadi kapan saja karena kurangnya antusias dan pengetahuan generasi muda masyarakat Nias terhadap budaya-budaya yang sebelumnya ada. Hal inilah akhirnya dapat mengaburkan bentuk asli dari tradisi Nias itu sendiri, karena semakin disederhanakan atau dipersingkat menurut pelaksanaan suatu acara adat, (Elisian Waruwu, 1994:11).

Dalam kutipan ini muncul dibenak penulis bahwa kesenian masyarakat Nias tidak banyak yang melestarikan keseniannya, hanya sekedar mengetahuinya saja tetapi tidak dituangkan dalam satu tulisan. Dengan adanya tulisan tentang kesenian masyarakat Nias, setiap orang yang melihat dan membaca tulisan tersebut dapat

3 Seorang aktivis budaya Nias di Kota Medan serta sebagai Pemusik Gereja BNKP di Kota Medan.

memberi inspirasi bahwa kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan ada rasa ingin tahu lebih dalam. Karena pernyataan tersebut penulis memiliki alasan tersendiri mengapa musik vokal pada maena ditulis dalam satu tulisan yaitu karena kurangnya masyarakat Nias yang memiliki pengetahuan tentang kesenian masyarakat Nias, walaupun tahu tetapi tidak di tulis dalam satu tulisan sehingga penulis merasa sebagai seorang etnomusikolog maka kewajiban penulis untuk menulis tentang salah satu kesenian tradisional Nias yaitu musik vokal pada maena apalagi penulis merupakan salah satu orang yang akan melestarikan kesenian tradisional Nias sehingga penting untuk di kaji dan dituangkan dalam satu tulisan berupa skripsi yang berjudul “Analisis

Musik Vokal pada Pertunjukan Maena Dalam Pesta Adat Falöwa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota Medan.”

1.2. Pokok Permasalahan

Aspek yang terkandung dalam musik vokal maena fanehe maena wangowai dome , fanehe maena zowatö [zowat ∑ ], dan fanehe maena wangandrö sokona yaitu dapat diteliti seperti struktur teks, fungsi dan kegunaan, juga aspek musikalnya serta konteks penggunaannya. Namun demikian dalam melakukan penelitian penulis membatasi dalam dua hal yaitu:

1. Aspek musikalnya, yaitu bagaimana struktur melodi seperti bentuk, unsur-unsur pola kadensa, kontur, dan unsur-unsur lain yang membentuk melodi pada musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona ?

2. Aspek tekstual, yaitu bagaimanakah struktur bahasa serta makna yang tersirat dalam teks musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö , dan fanehe maena wangandrö sokona ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana struktur teks dan melodi musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona dalam pesta perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan

2. Untuk mengetahui makna syair yang terkandung dalam musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona yang dinyanyikan pada saat pesta perkawinan berlangsung.

3. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan masyarakat Nias yang dapat menjadi masukan bagi Departemen Etnomusikologi dimana referensi tentang kesenian tradisional Nias sangat minim.

1.4. Konsep dan Teori

1.4.1. Konsep

Musik vokal ialah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk menghasilkan bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga dikatakan nyanyian dimana kita dapat berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi yang berirama yang merupakan alat atau media untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan musik.

Musik vokal atau nyanyian seperti yang kemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680 ) sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi. Musik vokal dalam masyarakat Nias sama dengan Sinunö [sinun ∑ ]. Apabila dikatakaan sinunö (ks) berarti Musik vokal atau nyanyian seperti yang kemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680 ) sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi. Musik vokal dalam masyarakat Nias sama dengan Sinunö [sinun ∑ ]. Apabila dikatakaan sinunö (ks) berarti

Maena pada masyarakat pendukungnya mempunyai arti sebagai sebuah tarian yang memiliki gerak segi empat. Sifamaena (kb) berati orang yang menari maena. Famaena (kk) berarti menari maena. Famaena menyiratkan makna masyarakat hadir dan berkumpul disuatu tempat melakukan kegiatan budaya yaitu maena. Padanan dari kata maena yaitu fanehe maen. fanehe maena berarti syair maena.

Sehingga apabila kita gabungkan kedua kata tersebut diatas makan dapat dikatakan sinunö maena yang berarti musik vokal atau nyanyian pada tarian maena. Nyanyian tersebut dalam pembahasan ini dibagi atas tiga bagian yaitu, (1) Fanehe maena wangowai dome , (2) Fanehe maena wangowai zowatö, dan (3) Fanehe maena wangandrö sokona.

Maena wangowai dome bagi masyarakat Nias bermakna bahwa ada orang yang menyambut tamu yang dinamakan Sowatö (keluarga perempuan) mengucapkan selamat datang kepada keluarga pihak mempelai laki-laki, lalu menyapa mereka dengan tarian wangowai dome . maena wangowai berarti penghormatan, tome berarti tamu sehingga musik vokal pada tari ini dapat dikatakan sekelompok orang, keluarga pihak perempuan menyapa hormat para tamu pihak laki-laki karena sudah tiba di lokasi tempat dimana pesta perkawinan itu berlangsung.

Demikian juga halnya dengan fanutunö maena wangowai zowatö kebalikan dari fanutunö maena wangowai dome yaitu sekelompok orang dari pihak laki-laki menyapa hormat atau memberi penghormatan kepada para sowatö (pihak perempuan). Berbeda halnya dengan fanutunö maena wangandrö sokona yaitu fanutunö maena dalam masyarakat Nias berarti syair yang akan dinyanyikan oleh sanutunö maena. wangandrö berti berarti permintaan. Sedangkan sokona ialah dapat dikatakan memberikan sesuatu Demikian juga halnya dengan fanutunö maena wangowai zowatö kebalikan dari fanutunö maena wangowai dome yaitu sekelompok orang dari pihak laki-laki menyapa hormat atau memberi penghormatan kepada para sowatö (pihak perempuan). Berbeda halnya dengan fanutunö maena wangandrö sokona yaitu fanutunö maena dalam masyarakat Nias berarti syair yang akan dinyanyikan oleh sanutunö maena. wangandrö berti berarti permintaan. Sedangkan sokona ialah dapat dikatakan memberikan sesuatu

Pertunjukan atau disiplinnya seni pertunjukan adalah satu bidang seni yang terdiri dari pertunjukan seperti musik, tari, dan teater.

Perkawinan pada masyaraakat Nias merupakan pembentukan suatu keluarga baru yang bernilai sakral untuk melahirkan keturunan (regenerasi). Kata perkawinan bagi masyarakat Nias mengandung arti yaiu faelöwa [fael ∑wa] atau fangowalu. Apabila dikatakan mangowalu (kk) berarti seorang laki-laki yang dikatakan marafule [marafule] melamar satu orang wanita yang dikatakan ono nihalö dan melakukan suatu pesta yang dikatakan pesta adat perkawinan. Selanjutnya apabila dikatakan sangowalu (ks) berarti orang yang melangsungkan pesta perkawinan. Dalam melaksanakan satu pesta adat perkawinan ada beberapa tahap-tahap yang akan dilakukan sebelumnya sehingga dapat terlaksana satu upacara dari awal sampai di acara puncaknya yaitu fangowalu .

1.4.2. Kerangka Teori

Kalau kita memandang dari segi teks dan lagu (melodi) Dananjaya membagi nyanyian rakyat menjadi dua yaitu: (1) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan lagunya daripada liriknya, (2) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan liriknya daripada lagunya (Dananjaya, 1986:145 )

Dalam menganalisis melodi musik vokal maena Malm (1964 :8) mengemukakan bahwa ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu bentuk nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk nyanyian yang memakai Dalam menganalisis melodi musik vokal maena Malm (1964 :8) mengemukakan bahwa ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu bentuk nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk nyanyian yang memakai

Musik vokal juga dapat dilihat dari bentuknya dimana Bruno Nettl (1964:145- 155 ) mengemukakan bahwa dalam pendistribusian suatu musik ada beberapa yang perlu dilihat yaitu, (1) materi nada, (2) ritem, (3) bentuk, (4) elemen lain seperti timber dan dinamika.

Pembahasan hubungan teks dengan melodi musik vokal maena fanehe maena wangowai dome , fanehe maena zowatö, fanehe maena wangandrö sokona digunakan tulisan Mallm (1977:8) yang mengatakan bahwa jika satu buah not dipakai satu suku kata disebut silabis, dan jika beberapa buah not dalam satu suku kata disebut melismatis. Selain itu juga. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan antara aksen dalam ucapan bahasa dengan aksen dalam bahasa musik, serta untuk melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarna dalam puisi atau pantun (Malm, 1977:18). Demikian halnya juga dengan teks atau syair musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, fanehe maena wangandrö sokona memiliki susunan syair yang berbentuk pantun dimana cara penyajiannya dinyanyikan.

Alan P. Marriam (1964:46) menyebutkan yang perlu dibahas hubungan linguistik dengan bunyi musik apakah teks mempunyai arti sesuai dengan yang diucapkan. Pada teks atau syair musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona menghasilkan makna.

Makna tersebut ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif ialah makna kata yang terkandung arti tambahan, sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna yang sebenarnya, ( Groce Kraft, 1991:25).

Pada pembahasan tentang aspek musikologis musik vokal maena fanehe maena wangowai dome , fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona (melodinya) digunakan teori weighted scale Malm (1977:8) dimana ia mengatakan bahwa dalam mendeskripsikan suatu melodi ada beberapa karekteristik yang harus diperhatikan yaitu Tangga Nada, Nada Dasar, Wilayah Nada, Interval, Jumlah Nada, Formula Melodi, Pola-pola Kadensa, Kontur.

1.5 Metode Penelitian

Dalam tulisan ini yang dilakukan oleh penulis ialah dengan melakukan penelitian deskriptif. Nazir (1983:63) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif ialah bertujuan untuk mencari fakta-fakta dengan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta tata cara yang belaku dalam masyarakat dengan situasi tertentu yang berhubungan dengan kegiatan, sifat, sikap, pandangan serta proses dan pengaruh suatu fenomena. Dengan demikian penelitian ini dilakukan dengan tiga jenis yakni masing – masing terdiri dari aspek-aspek berikut ini.

1.5.1 Studi Pustaka

Sebagai landasan untuk berfikir dalam tuisan ini penulis melakukan studi kepustakaan dengan tujuan untuk menambah data atau sumber bacaan seperti Skripsi yang berjudul “Analsisis Ritmik Famözi Göndra Yang Dipertunjukan Dalam Pesta

Perkawinan Masyarakat Nias Di Kota Medan, Analisis Tekstual Dan Musikal Nyanyian Onang-Onang Dalam Upacara Perkawinan Adat Nagodang Pada Masyarakat Angkola di Kota Medan” , untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penulisan dan menyesuaikan pengamatan dari hasil penelitian lapangan. Di samping itu juga studi kepustakaan yang dilakukan penulis juga dilakukan untuk menentukan pendekatan dalam pengumpulan data serta mengetahui informasi tentang geografis daerah penelitian.

1.5.2. Penelitian Lapangan

Untuk kebutuhan dan kepentingan penulis mengumpulkan data-data informasi, penulis menentukan lokasi penelitian yaitu di Kota Medan yang terfokus terhadap lokasi yang merupakan tempat menyelenggarakan pesta perkawinan masyarakat Nias. Dalam konteks penelitian ini, penulis melakukan kerja lapangan dalam bentuk mengamati pertunjukan musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona yang berlangsung. Mencatat dan merekam tahap- tahap yang dilakukan terutama dalam pesta perkawinan adat Nias. Untuk mendapatkan data-data geografis dan etnografi tentang budaya Nias baik yang ada diwilayah budaya Nias maupun di kota Medan, penulis melakukan studi pustaka dan wawancara kepada tokoh budaya Nias.

1.5.2.1 Wawancara

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penulisan tentang musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona ini, penulis melakukan wawancara kepada orang yang ahli dan mengetahui tentang musik vokal pada maena. Wawancara adalah satu-satunya teknik Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penulisan tentang musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona ini, penulis melakukan wawancara kepada orang yang ahli dan mengetahui tentang musik vokal pada maena. Wawancara adalah satu-satunya teknik

Dalam wawancara, penulis melakukan dengan tiga cara yaitu : (1) wawancara terfokus (focused interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara sambil lalu (casual interview) (Koentjaraningrat, 1990:140 ).

1.5.2.2 Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan, yang juga berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan.(Soehartono, 1995:69). Selain itu juga Bregt (1989:77) mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode yang dipakai di samping wawancara. Metode observasi sangat membantu proses pengumpulan data, di samping observasi biasa penulis juga melakukan partisipas observasi pada lokasi dimana penulis meneliti. Metode ini sangat membantu untuk mempererat antara penelitian dengan informan sehingga informasi dapat diharapkan lebih lancar tanpa dibarengi rasa curiga.

1.5.2.3 Rekaman

Untuk merekam hasil wawancara pada pertunjukan musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona, penulis menggunakan alat bantu rekam visual yaitu camera digital dengan merek olympus untuk memotret sebagai dokumentasi gambar dan merekam pertunjukannya pada tanggal 29 Maret 2012 di Gedung Serba Guna BNKP Hilisawatö.

1.5.2.4 Kerja Laboratorium

Untuk pentranskripsian dan penganalisis data serta informasi dilakaukan kerja laboratorium. Semua data-data yang diperoleh dari lapangan dan studi kepustakaan akan dianalisis untuk diseleksi sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam melakukan penelitian. Dengan demikian penulis mengadakan evaluasi ulang, dan penulis juga terkadang melakukan wawancara dengan pengamatan ulang untuk memperoleh data yang akurat.

Kerja laboratorium ini semua hasil dari penelitian lapangan baik dari perekaman visual maupun audio penulis putar dan dengar secara berulang-ulang supaya dapat dipahami dan dapat di transkripsikan dengan baik dan sesuai dengan fakta-fakta yang didapat dari lapangan penelitian.

BAB II KEBERADAAN MASYARAKAT NIAS DI KOTA MEDAN

2.1 Geografis Kota Medan

Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar (www.wikipedia.com)

Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut:

- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka - Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu

(Kabupaten Deli Serdang) - Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang) - Sebelah timur berbatasan dengan kecamtan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa

(Kabupaten Deli Serdang)

Adapun beberapa kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu antara lain : Kecamatan Medan helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area,

Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Bandar Udara Polonia. Secara geografis Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain- lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

Selain itu, untuk mencegah banjir yang terus melanda beberapa wilayah Medan, pemerintah telah membuat sebuah proyek kanal besar yang lebih dikenal dengan nama Medan Kanal Timur. Menurut stasiun Polonia pada tahun 2008 suhu udara berkisar antara 22.9°C-32.8°C dan menurut stasion Sampali antara 23.1°-32,3°C, Kelembaban udara: 82-84%, Curah hujan 176,08-203,5 mm

2.1.1 Demografi

Populasi Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku seperti: Melayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola), Nias dan Tionghoa. Berdasarkan data kependudukan Tahun 2010, penduduk Medan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria. Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan Populasi Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku seperti: Melayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola), Nias dan Tionghoa. Berdasarkan data kependudukan Tahun 2010, penduduk Medan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria. Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan

2.1.2 Identifikasi Kecamatan Medan Tuntungan

Pada identifikasi tentang Kecamatan Medan Tuntungan ini menjadi pusat perhatian penulis karena di daerah ini khususnya di daerah Simalingkar perumnas masyarakat Nias kebanyakan telah lama bermukin didaerah ini terbukti dari organisasi- organisasi seperti STM serta telah mendirikan gereja yang termasuk gereja besar dibandingkan dengan daerah-daerah lain dimana masyarakat Nias tinggal di Kota Medan. Kecamatan Medan Tuntungan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan Sumatera Utara, Indonesia . Secara geografis kecamatan ini berbatasan dengan

- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, - Sebelah timur berbatasan dengan Medan Johor, - Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, - Sebelah utara berbatasan dengan Medan Selayang. Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 69.447 jiwa. Luasnya adalah 20,68 km² dan kepadatan penduduknya adalah 3.174,32 jiwa/km². Sebagaian besar penduduk di kecamatan ini adalah suku-suku pendatang seperti: Tionghoa, Minang, Batak, Aceh dan Jawa sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 40% saja.Yang terletak di kecamatan ini yaitu, (1) Kebun Binatang Medan , (2) RSU Adam Malik , (3) RSJ Tuntungan .

2.2 Gambaran Umum Budaya Nias

Kabupaten Nias terdiri dari beberapa pulau yang mengelilinginya, pulau kecil dan pulau besar yang jumlahnya mencapai 131 pulau. Pada awalnya pulau Nias merupakan pulau yang hanya memiliki satu kabupaten saja. Namun pada saat ini pulau Nias telah dimekarkan dan dibagi menjadi tiga kabupaten dan satu kotamadya. Pada awalnya pulau Kota Gunungsitoli merupakan ibukota daripada pulau Nias itu sendiri akan tetapi dengan adanya pemekaran sesuai dengan otonomi daerah di Indonesia, maka Kota Gunungsitoli pada saat ini ialah ibukota Nias Utara sekaligus Kotamadya sedangkan Nias Selatan beribukota Teluk Dalam dan Nias Barat beribukota Mandrehe.

Kabupaten Nias memiliki luas sebesar 5.625 km 2 atau 7,26% dari seluruh luas

pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di antara 0,12 o LU – 1,32 LU dan 90 BT - 98 BT. Pulau Nias berbatasan dengan, (1) Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau

Murshala (kepulauan Tapanuli Tengah) disebelah timur, (3) kepulauan banyak (Nanggroe Aceh Darrusalam) disebelah utara, dan (4) kepulauan Mentawai (Sumatera barat) disebelah selatan.

Wilayahnya yang berbukit-bukit dan dataran rendah hanya terdapat di bagian utara, barat, dan sepanjang pantai serta tepi-tepi hilir sungai. Sebagian besar wilayah pulau Nias merupakan hutan karena belum adanya penggarapan secara menyeluruh disebabkan karena kurangnya transportasi dan jauh dari daerah pemukiman, sebagian lagi sebagai pemukiman dan lahan pertanian. Iklim di pulau Nias sama dengan iklim di Indonesia yaitu tropis dengan curah hujan yang cukup besar dan berkisar 3000 sampai 4000 mililiter per tahun.

2.3 Asal Usul Orang Nias

Pada dasarnya orang Nias yang tinggal di Kota Medan ini tidak terlepas dari asalnya darimana dan tidak terlepas dari para leluhurnya yaitu asal usul ono niha (orang Nias). Ono niha termasuk kedalam rumpun melayu yang berasal dari ras Mongoloid dari daratan Asia di wilayah Hassir, Provinsi Yunan (Hunan), yang diperkirakan meninggalkan negerinya sekitar 3000 tahun yang lalu. Baermukim disuatu tempat yang disebut dengan nalawö sia,a mbanua yang kemudian membangun pemukiman baru di sekitar Gomo, hingga disebut oleh orang Nias sebagai tempat pertama manusia diturunkan yaitu mbanua niha (Bas Telaumbanua dalam Joni K. Manalu 2000:17). Menurut S. Zebua (1984) suku Nias berasal dari wilayah Timur Tengah yang kemudian

berpindah kearah timur melalui Semenanjung India dan Birma terus ke pulau Nias. Menurut Bas Telaumbanua (2000 : 18) kedatangan orang Nias terjadi dua tahap,

yaitu pada abad ketiga masehi dan awal abad keempat masehi. Dimulai dengan perjalanan rahib Fa Hien dengan rombongannya yang berawal dari Mongol menuju India untuk menuntut ilmu agama. Setelah itu meneruskan pelayaran menuju Jawa Dwipa (diperkirakan bisa saja Sumatera, Jawa, atau pulau-pulau lain di Asia tengga).

Saat mereka kembali ke negeri asal mereka, perahu yang mereka tumpangi diterpa ombak kemudian hancur dan karama. Akan tetapi sebagian penumpangnya selamat mencapai daratan, menelusuri sungai yang diduga adalah sungai nalawö yang bermuara di pantai Nias sebelah timur.

Menurut masyarakat Nias, yang dipercayai melalui foklor yang diwariskan secara turun-temurun melalui tradisi hoho, leluhur orang Nias berasal dari langit. Awalnya diturunkan tiga orang masing-masing bernama Daeli, Hulu, dan Gösö. Ketiga orang tersebut turun dalam disebuah tempat yang bernama Gomo dan dari ketiga orang inilah terlahir orang Nias (ono niha).

Menurut cerita tradisional, leluhur orang Nias berasal dari langit dan merupakan keturunan Dewa yang disebut dengan Lowalangi yang berarti diatas langit. Menurut mite tersebut asal-usul orang Nias adalah dari tempat yang disebut Sirao, di lapis langit ke tujuh. Ditempat tersebut tingggallah seorang pria yang memiliki Sembilan orang anak dan seorang kemenakan yang bernama Luomewöna. Ketika itu timbul niat dalam diri raja untuk mewariskan kerajaan kepada salah seorang anak ataupun keponakannya. Raja meminta untuk menunjukkan kebolehan masing-masing menari di atas tombak. Ternyata ilmu kesaktian yang dimiliki keponakannya lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Sembilan orang anaknya. Takhta diserahkan kepada Luomewöna dan Sembilan anaknya diturunkan ke bumi.

Nias yang dikenal sekarang ini sebenarnya bukanlah merupakan bahasa asli ono niha (orang Nias). Dalam bahasa Nias, orang Nias menyebutnya ono niha (anak manusia) dan tempat mereka berada sebagai Tanö niha (tanah manusia). Istilah Nias kemungkinan merupakan istilah yang ditimbulkan semasa penguasa bangsa barat, yang karena faktor bahasa menyebutkan istilah niha dengan nihas (Nias). Perubahan nama ini juga terjadi dalam menyebutkan nama-nama berbagai tempat di Nias, seperti Kota Gunungsitoli yang dalam bahasa dahulu kala disebut luaha. Nama Gunungsitoli kemungkinan berasal dari kata onozitoli yang merupakan nama suatu daerah di dekat Gunungsitoli sekarang ini.

Suku Nias menganut sistem patrilineal dalam garis keturunannya. Dalam perkembangannya mereka membentuk marga (fam) yang sampai sekarang masih tetap dipakai yang diwarisi oleh oleh laki-laki.

2.4 Sistem Religi dan Agama

Zaman dulu sebelum agama Kristen dan Islam masuk di tanah Nias, masyarakat Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Yang secara harafiah dapat diterjemahkan sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu.

Dewa si’ai ialah dewa yang paling tinggi yang diyakini oleh para leluhur orang Nias dan semua alam semesta ini di kuasai oleh dewa itu. Pada waktu tertentu orang Nias memberikan sesajian sebagai tanda penghormatan kepada dewa yang orang Nias yakini itu. Untuk menghormati dewa itu mereka berkumpul dan mengadakan sambua alahoita atau berkumpul di bawah kayu besar (pohon fosi atau eho). Di bawah pohon itu mereka melakukan upacara dengan cara mengelilingi pohon besar itu kemudian menyampaikan apa yang mereka inginkan. Selain dewa si’ai orang Nias juga mempercayai adanya dewa-dewa lain diantaranya, luo walangi sebagai dewa pencipta alam semesta, lature sobawi sihönö sebagai dewa pemilik dan penguasa babi, uwu gere sebagai dewa pelindung, dan penguasa para ere (pemimpin religi sanömba adu), uwu wakhe sebagai dewa penguasa tanam-tanaman, gözö tuha zangaröfa sebagai dewa penguasa air.

Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki kepercayaan bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap kehidupan mereka. Sebagai ungkapan rasa hormat mereka Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki kepercayaan bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap kehidupan mereka. Sebagai ungkapan rasa hormat mereka

Masuknya agama Kristen di Nias yang dibawakan oleh Denninger pada tahun 1865, tepatnya di Kota Gunungsitoli dimana sebelumnya ia telah belajar banyak tentang Nias juga termasuk bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau di Padang sehingga ketika dia sampai di Nias, ia tidak asing lagi dan semua telah mengetahui tentang Nias termasuk bahasanya. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasan, adat- istiadat, dan kebudayaan Nias hingga Denninger tertarik untuk dating ke Nias, mengajarkan agama Kristen ternyata berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa dödö sebua ). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap, patung-patung mulai di bakar dan dihancurkan, poligama, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembahan patung, penyembahan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan sejenisnya sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar orang Nias memeluk agama Kristen, (S. Zebua, 1984 : 62). Setelah penyebaran injuli oleh misionaris ke Tanö Niha, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Khususnya di Kota Medan, masyarakat Nias diperkirakan berjumlah 25.000 jiwa dihimpun berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai gereja-gereja yang ada di Kota Medan.

Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam, dimana mereka mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu, fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur. Masyarakat muslim Nias, umumnya berintegrasi dengan pemukiman-pemukiman enkapulsari umat Islam, namun demikian Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam, dimana mereka mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu, fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur. Masyarakat muslim Nias, umumnya berintegrasi dengan pemukiman-pemukiman enkapulsari umat Islam, namun demikian

2.4 Sistem Pemerintahan Tradisi

Selain sistem religi, masyarakat Nias juga memiliki sistem pemerintahan tradisi yang dibagi dalam berdasarkan jabatan sebagai berikut yaitu, (1) tuhenöri-tuhe artinya tunggal dan nöri atau öri artinya kumpulan dari beberapa banua (desa). Tuhenöri dipilih antara pimpinan banua (desa) yang disebut salawa, (2) salawa artinya yang tinggi. Salawa ini memimpin satu wilayah yang disebut banua. Jabatan salawa mempunyai pengertian : fa’atulö (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abölö (kuat jasmani dan rohani), fokhö (kaya atau memiliki cukup harta benda), dan salawa sofu (berwibawa), (3) satua mbanua artinya penasihat salawa yang terdiri dari tiga orang pemegang jabatan: tambalinia (wakil atau orang kedua), fahandrona (orang ketiga), dan sidaöfa (orang keempat).

2.4 Bosi (Tingkat Kehidupan)

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus

Pada masa awal religi sanömba [ san ∑ mba ] adu, masyarakat Nias mempercayai sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Sistem penggolongan derajat

manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat.pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini bosi ini nanti mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam tetehöli [ t et eh ∑ li ] ana’a

(surga). Adapun kedua belas tingkat derajat manusia atau bosi itu yaitu, (1) fangaruwusi (memperlihatkan kandungan), (2) tumbu (lahir), (3) famatörö döi (memberi nama), (4) famoto (sirkumsisi), (5) falöwa (menikah), (6) famedadao omo (mendirikan rumah), (8) fa’aniha mbanua (memasuki persekutuan desa), (9) famaoli (menjadi anggota adat), (10) fangai töi (mengambil gelar ), (11) fa’amokhö (kekayaan), (12) meme’e gö mbanua (menjamu orang sedesa) dan mame’e gö nöri (menjamu orang satu öri),beberapa desa (Dasa manaö 1998:195-196).

2.5 Kedatangan Orang Nias Di Kota Medan

Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara mereka bepergian dari daerah asal ke daerah lain. Demikian juga halnya dengan orang Nias seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian dari orang Nias pergi dari pulau Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi keberbagai daerah dengan tujuan dan kepentingan yang bermacam-macam dan menuju ke daerah-daerah sepert, Tapanuli, Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka, Negeri Sembilan, pulau Pinang), India, dan Madagaskan.

Perpindahan jumlah yang besar orang Nias diperkirakan sudah terjadi sejak abad ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa Cina serta Hindia belakang. Pada saaat berlangsungnya jalur perdagangan menuju Baros. Tanö Niha (pulau Nias) menjadi lumbung tempat penyimpanan bahan-bahan untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros. Nias merupakan daerah terdekat menuju Baros yang ramai dilayari kapal-kapal dagang dari berbagai daerah sehingga orang Nias mempunyai peran penting dalam kelangsungan perdagangan waktu itu seperti menyediakan tenaga kerja yang kuat dan mudah dihimpun, karena karakter orang Nias ialah menghormati dan patuh pada pemimpinnya. Menjadikannya mudah diorganisisr sebagai pelaku perdagangan pada zaman itu. Bersamaan dengan itu, orang Nias mulai mengunjugi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran tahun tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit perang dan ada juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita di jadikan istri.

Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu) banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah perkebunan di luar pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah tersebut hinga sekrang.

Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan (dahulunya Sumatera Timur) diperkirakan dimulai sejak dibukanya onderneming perkebunan tembakau dan perkebunan karet yang dikenal dengan HVA. Banyak orang Nias bekerja di perkebunan-perkebunan, pada waktu itu karet menjadi “primadona” oleh orang Belanda. Sehingga pohon karet oleh orang Nias disebu hafea, yang tak lain adalah penyebutan lain untuk HVA yang berada di Sumatera Timur. Inilah awalnya dan sejarahnya masyarakat suku Nias tinggal dan menetap di Kota Medan.

Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur kemudian berkembang menjadi Kota Medan. Orang Nias terus melakukan proses perpindahan atau urbanisasi yang dahulunya hanya kelompok kecil, semakin lama terbentuk sebuah masyarakat suku Nias. Hidup berdampingan dengan suku lainnya, hal ini terlihat dari berbagai macam keterlibatan dalam berbagi dengan masyarakat sekitar dimana saling melakukan aktifitas budaya masing-masing suku.

2.7 Proses Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan

Adaptasi masyarakat suku Nias terjadi saat berbaur berbagai macam etnik lainnya yang ada di Kota Medan, dengan tetap melakukan aktifitas budaya yang mereka pertahankan keberlangsungannya yang pada akhirnya tercipta Kota Medan yang multikultural.