Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Silvofishery di Desa Percut, Desa Tanjung Rejo, Desa Tanjung Set Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam
silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat
bermanfaat bagi pengguna model silvofishery dan masyarakat luas
2. Data dan hasil penelitian dapat menjadi referensi bagi penelitian lebih lanjut
tentang upaya-upaya peningkatan peranan ekosistem mangrove sebagai salah
satu komponen pengembangan wilayah dalam ekologi dan ekonomi.

TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem mangrove
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di
suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai
dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai
yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon,
remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut,
dan gelombang badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang,
pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna

lain, serta pembentuk daratan (Nur, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang khas terdapat di
sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang
datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau dibelakang
terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove yang
merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sejak lama diketahui
mempunyai peran penting dalam kehidupan dan merupakan mata rantai yang
sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan,
(Abdullah, 1984).

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga
merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan
lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian,
daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun
perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.

Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga
kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai,
mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat
pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang,
dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman
biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman
anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomi mangrove yaitu sebagai

Universitas Sumatera Utara

sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan
tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004).
Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga
produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi
kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove
yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian
didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan
secara

bersama-sama


membentuk

rantai

makanan.

Detritus

selanjutnya

dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti
bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting bakau.

Karena keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk
budi daya perikanan harus rasional (Ahmad dan Mangampa, 2000).
Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan
mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos),
udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin
(Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut. Sedangkan

komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya silvofishery di kawasan
mangrove adalah kepiting bakau. Kepiting bakau mempunyai karakteristik yang
sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena kemampuannya untuk bertahan
hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu membudidayakan kepiting tidak
memerlukan tambak yang luas (Triyanto, 2012).

Silvofishery

Universitas Sumatera Utara

Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk
kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan
pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Bengen, 1998).
Silvofishery merupakan pola pemanfaatan hutan mangrove yang
dikombinasikan dengan dengan tambak/empang. Pola ini dianggap paling cocok

untuk pemanfatan hutan mangrove bagi perikanan saat ini. Dengan pola ini
diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan yang hutan
mangrove masih tetap terjamin kelestariannya. Silvofishery atau tambak
tumpangsari merupakan suatu bentuk “agroforestry” yang pertama kali
diperkenalkan di Birma dimana bentuk tersebut dirancang agar masyarakat dapat
memanfaatkan hutan bagi kegiatan perikanan tanpa merusak hutan mangrove
(Dewi, 1995).
Kegiatan wanamina (silvofishery) berdasarkan David (2008) berbagai
kajian yang telah banyak dilakukan mempunyai tujuan antara lain:
1. Sebagai sarana/metode konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, sumber
daya tanah,sumber daya kelautan dan spesies air.
2. Sebagai

sarana

pengembangan

ekonomi

kerakyatan,


dimana

dengan

berlangsungnya kegiatan budidaya maka kegiatan produksi perikanan akan
tetap berlangsung sehingga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

3. Sebagai sarana ekowisata, pertanian/perikanan budidaya ramah lingkungan.
Perairan tambak merupakan ekosistem perairan payau, salinitasnya ada di
antara salinitas air laut dan air tawar. Bandeng merupakan spesies yang adaptif,
perubahan – perubahan sampai batas tertentu dapat ditoleransi namun apabila
melampaui batas tertentu dapat membahayakan bandeng. Perakaran jenis
Rhizophora sp. Pada umumnya hanya terendam.
Pada saat air pasang berlangsung. Idealnya untuk kegiatan silvofishery
tersebut perlu dibuat kangulu dan sebagai area penanaman khusus di dalam
tambak. Guludan tersebut dikondisikan agar tanaman tidak selalu tergenang di
mana tanaman hanya akan terendam pada saat terjadinya air pasang, sedangkan


Pada saat air surut tanaman tidak terendam air. Sementara itu untuk current area
atau area pemeliharaan ikan, dilakukan pada tempat yang lebih rendah sehingga
pada saat air surut pun tetap dalam keadaan terendam air (Raswin, 2003).
Peranan Hutan Mangrove Terhadap Tambak
Tambak merupakan bangunan air yang dibangun pada daerah pasang surut
yang diperuntukkan sebagai wadah pemeliharaan ikan/udang dan memenuhi
syarat yang diperlukan sesuai dengan sifat biologi hewan yang dipelihara.
pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai, khususnya
yang mempunyai atau dipengaruhi oleh sungai besar. Sebab banyak petambak
beranggapan,bahwa dengan adanya air payau akan memberikan pertumbuhan
ikan/udang yang lebih baik (Wibowo dan Handayani,2006).

Universitas Sumatera Utara

Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau kawasan
mangrove adalah Kepiting Bakau (Scylla serrata), Ikan Bandeng (Chanos
chanos), Udang Windu (Penaeus Monodon), Udang Vanamei (Penaeus
vannamei), Ikan Patin (Pangasius pangasius), Ikan Kakap (Lates calcarifer) dan
Rumput Laut. Sedangkan komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya

silvofishery di kawasan mangrove adalah Kepiting Bakau. Kepiting bakau
mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda dengan komoditas lainnya karena
kemampuannya untuk bertahan hidup dalam kondisi kurang air. Oleh karena itu
membudidayakan kepiting tidak memerlukan tambak yang terlalu luas
(Triyanto,2012).
Teknologi budidaya tambak yang ada selalu mengalami perkembangan,
mulai dari teknologi sederhana hingga maju. (Kusnendar,1999). Menguraikan
teknologi yang ditetapkan tentu akan mempengaruhi dari tipologi tambak yang di
Pergunakan. Karakter pembagian teknologi tersebut adalah:
1. Tambak sederhana dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air
umumnya tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan tidak
teratur, luas petakan tambak antara 0,5-5 hektar, kedalaman air umumnya
hanya mampu 90 cm, produksi yang dicapai umumnya lebih tinggi dari tambak sederhana
3. Tambak intensif dicirikan dengan : Pemasukan dan pengeluaran air tidak
tergantung sepenuhnya dengan pasang surut, bentuk petakan teratur, luas

Universitas Sumatera Utara

petakan tambak antara 0,3-0,5 hektar, kedalaman air umumnya >1,0
cm,produksi yang dicapai umumnya tinggi

Model Pengelolaan Mangrove
Teknologi budidaya dalam tambak dilakukan dengan beberapa tingkatan
yaitu non intensif, semi intensif, dan intensif. Perbedaan dari system tersebut
terletak pada penerapan tingkat teknologi pengelolaan yaitu padat penebaran, pola
pemberian pakan serta system pengelolaan air dan lingkungan. Sistem budidaya
non intensif dilakukan secara sederhana dengan input dan manajemen yang
minimal, sistem semi intensif menggunakan input yang menengah, dan system
budidaya intensif biasanya membutuhkan input sumber daya dan manajemen yang
lebih banyak (Widigdo, 2000).
Pada umumnya jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah
bibit per hektar 320 batang, menurut Sofiawan (2000) bentuk tambak silvofishery
terdapat 5 macam pola yaitu tipe empang parit tradisonal, tipe komplangan, tipe
empang parit terbuka, tipe kao-kao serta tipe tasik rejo Keterangan :

A

B

C


D

Universitas Sumatera Utara

E
Gambar 1. Sarana Pembuatan Tambak A. Saluran air, B. Tanggul/pematangtambak, C.
Pintu air, D. Empang, E. Pelatarantambak

A

B

C

D

E

Gambar 2. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery : (A) tipe empang parit
tradisonal, (B) tipe komplangan, (C) tipe kao-kao, (D) tipe empang terbuka,

(E) tipe tasik rejo

Universitas Sumatera Utara

A. Tipe empang Parit Tradisional Pada tambak silvofishery
Model Empang Parit Tradisional penanaman bakau dilakukan merata di
pelataran tambak dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 1 x 1 m sehingga tanaman
terkonsentrasi di tengah-tengah pelataran tambak. Luas daerah penanaman
mangrove pada system ini bias mencapai 80% dari keseluruhan luas tambak.
Tempat mangrove tumbuh dikelilingi oleh saluran air dan berbentuk sejajar
dengan pematang tambak. Saluran biasanya memiliki lebar 3-5 m dan tinggi muka
air berada 40-80 cm di bawah pelataran tanah tempat tumbuhnya mangrove.

B. Tipe Komplangan
Model ini merupakan modifikasi dari Model Empang Parit Tradisional.
Pepohonan mangrove ditanam pada daerah yang terpisah dengan empang tempat
memelihara ikan/udang, dimana diantara keduanya terdapat pintu air penghubung
yang mengatur keluar masuknya air.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Pola Komplangan (Bengen,2002)

C. Tipe Kao-kao
Pada Model Kao-Kao ini mangrove ditanam pada guludan-guludan. Lebar
guludan 1-2 m dengan jarak antara guludan adalah 5-10 m (disesuaikan dengan
lebar tambak). Variasi yang lain adalah mangrove ditanam di sepanjang tepian
guludan /kao-kao dengan jarak tanam 1 meter.
D. Tipe Empang Terbuka
Bentuk model empang terbuka ini tidak berbeda jauh dengan model
empang tradisional. Bedanya hanya pada pola penanaman tanaman mangrove.
Pada model ini mangrove ditanam pada tanggul yang mengelilingi tambak.
E. Tipe Tasik Rejo
Pada model ini mangrove ditanam di sepanjang tepian parit yang
berbentuk saluran air tertutup yang langsung berhubungan dengan saluran air

utama (saluran air yang menghubungkan tambak dengan laut). Mangrove ditanam
cukup rapat dengan jarak tanam 1 x 1 m atau bahkan 50 x 50 cm. Pada model ini
tambak hanya berbentuk parit sedalam kurang lebih dari 1 m yang juga dipakai
sebagai

tempat

pemeliharaan

ikan.

Pelataran

tambak

pada

umumnya

dibudidayakan untuk usaha pertanian tanaman semusim, seperti padi gogo,
palawija, atau bunga melati.
Pada awalnya sistem silvofishery merupakan pengelolaan daerah hutan
mangrove kuno yang membutuhkan pendekatan penelitian dan penilaian yang
lebih modern. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan
sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan
kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat

Universitas Sumatera Utara

menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini
menawarkan

alternatif

yang

praktis

untuk

tambak

tetap

berkelanjutan

(sustainable).
Silvofishery atau sering disebut sebagai wanamina adalah suatu bentuk
kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan
pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan (Nur, 2000).

Aspek Ekonomi silvofishery
Penelitian ini dilakukan di Desa Percut, Desa Tanjung Rejo, Desa Tanjung
Selamat di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Pendekatan teknis dilakukan dalam kegiatan silvofishery, sistem ini merupakan
salah satu alternatif yang cukup efektif dan ekonomis. Aspek keuntungan yang
diperoleh dengan model silvofishery ini antara lain dapat meningkatkan lapangan
kerja (aspek sosial), dapat mengatasi masalah pangan dan energi (aspek ekonomi).
Masyarakat di desa tersebut rata-rata mata pencarian sehari-hari adalah pengelola
tambak, petani dan nelayan. Masyarakat diuntungkan dengan adanya tambak
milik mereka yang dikelola dengan baik menggunakan sistem silvofishery,
dengan manfaat dari silvofishery adalah dengan adanya tegakan tanaman

Universitas Sumatera Utara

mangrove di daerah luasan tambak sangat berpengaruh terhadap hasil
pertumbuhan tambak

itu sendiri. Pemaduan vegetasi mangrove dalam

pertambakan menunjukkan pengaruh yang positif terhadap usaha budidaya.
Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pada tambak tanpa mangrove dimana masyarakat akan
mendapatkan hasil panen yang lebih baik dan diuntungkan dari segi penjualan
mereka. Sedangkan jenis mangrove yang paling sesuai untuk dikombinasikan
dengan tambak adalah Rhizophora mucronata. Bahwa salah satu peran mangrove
dalam kegiatan budidaya tambak adalah sebagai biofilter. Fungsi biofilter bagian
dari sistem perlakuan (treatment) terhadap air secara biologis dalam budidaya
tambak adalah untuk mengurangi beban pencemar yang akan dibuang ke perairan
(sungai atau laut), sehingga kegiatan budidaya yang dilakukan akan lebih
berkelanjutan (Raswin, 2003).
Peranan Aspek Kelembagaan
Perlunya dibentuk suatu kelembagaan penggarap kawasan hutan ialah
“Kelompok Tani Hutan” (KTH), petani di desa tersebut tergabung dalam
kelompok Tani Bagan Percut Deli Serdang dimana para petani penggarap
membangun hutan mangrove bersama-sama dengan kelompoknya dan membuat
program kerja yang akan dilaksanakannya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas,
perlu adanya pembentukan organisasi dan tanggung jawab masing-masing seksi
dari kelompok tani hutan. KTH ini perlu pula dilengkapi dengan koperasi sebagai
wadah penyediaan sarana produksi pertanian atau sarana pengelolaan hasil
(Raswin,2003).
Tugas dari Kelompok Tani Hutan (KTH)

Universitas Sumatera Utara