Analisis Sastra Anak pada Cerita Burung Unta dalam Kitab Al-Qira'atu Ar Rasyidati

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian sebelumnya yang sejalan dengan proposal ini adalah yang pernah
dikaji oleh Devi Fajarwati, NIM. 070704005 dengan judul “Analisis Nilai Sastra
dalam Cerita anak ‫ ل ئب ل ئن‬/Al- żi’bu al-khāinu/ karya Iman Taha”. Skripsi
tersebut membahas tentang pesan dan nilai sastra bagi pendidikan anak-anak
dengan menggunakan teori Nurgiyantoro dalam bukunya Sastra Anak Pengantar
Pemahaman Dunia Anak tahun 2005. Hasil dari penilitian ini adalah Cerita
binatang ini mempunyai dua bentuk pesan yaitu pesan religius dan kritik sosial.
Adapun tokoh utama dalam cerita ini adalah serigala dan rubah. Adapun nilai
sastra yang terdapat pada cerita ini adalah dalam bentuk: Eksplorasi dan
penemuan yaitu mengenai bentuk penyelesaian

cerita, Perkembangan bahasa

yaitu mengenai bentuk dan struktur kalimat dalam cerita tersebut, Pengembangan
nilai keindahan yaitu mengenai jenis kata yang mempunyai bunyi yang indah
karena mempunyai baris akhir yang indah, Wawasan multikultural yaitu mengenai
asal negara dan kebudayaan masyarakat tersebut, Penanaman kebiasaan membaca

yaitu mengenai cara memotivasi anak untuk rajin membaca dan memilih bacaan
yang sesuai dengana anak-anak.
Judul “Nilai Ekstrinsik Dalam Cerita Anak ‫ل يل‬

‫ ل‬/al-qunburatu wa al-

fīlu/ “Burung Dan Gajah” Pada Kitab Khalilah Wa Dimnah Li Al-Atfāl Karya
Ibnu Muqoffa oleh Rodiah Saragih, NIM. 090704009. Skripsi ini membahas nilai
ekstrinsik sastra anak dan nilai ekstrinsik paling dominan dengan menggunakan
9

Universitas Sumatera Utara

teori nilai ekstrinsik dari buku Dasar Dasar Psikosastra karya Henry Guntur
Tarigan tahun 1995 dengan pendekatan teori nilai sastra dari buku Sastra Anak
karya Nurgiyantoro. Hasil dari penilitian ini adalah nilai sastra yang terdapat
dalam cerita tersebut adalah dalam bentuk: Perkembangan Bahasa sebanyak 81,
Perkembangan Kognitif sebanyak 4, Perkembangan Kepribadian sebanyak 5,
Perkembangan Sosial sebanyak 10 dan Nilai Ekstrinsik yang Dominan adalah
Perkembangan Bahasa.

Judul “Analisis Nilai Intrinsik dalam Fabel "‫لغي م‬

‫ " ل‬/al-qirdu wa al-

gailamu/ dalam kitab ‘Kalilah wa Dimnah’ Karya Ibnu Al-Muqaffa oleh Rimta
Andalusia Br Bangun, NIM. 080704006. Skripsi ini membahas tentang nilai
instrinsik dan pesan-pesan moral dengan menggunakan teori Nurgiyantoro dalam
bukunya Teori Pengkajian Fiksi tahun 1994. Hasil penelitian ini bahwa cerita
binatang tersebut merupakan cerita dengan tema nilai persahabatan, alurnya
adalah alur maju, latar temaptnya 11 yaitu di air, di pohon, di dalam air, di pantai,
sarang dan hutan, latar waktu sebanyak 4 waktu yaitu pada suatu hari jangka
waktu lama, selamanya dan waktu yang diinginkan, gaya bahasa ceritanya adalah
al-adab pada al-mitsal, nilai moralnya adalah 2 yaitu “Bagi orang yang berakal
sebaiknya ia tidak melalaikan apa yang terlintas di dalam benak keluarganya.
“Sesungguhnya semua itu menunjuk apa-apa yang di dalam hati”. “Barang siapa
yang berhasil mendapatkan keinginannya namun tidak pandai menjaganya pasti
akan tertimpa malapetaka”, nilai religiusnya adalah 2 yaitu “sesungguhnya ada
yang mengatakan, setiap orang memiliki harta sebaiknya membelanjakan hartanya
hanya tiga tujuan, untuk disedekahkan, untuk memenuhi segala keperluan dan
untuk menafkahi istrinya”.

Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan
hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, tentang kehidupan pada
umumnya, yang semuanya dengan cara dan bahasa khas.dalam bahasa sastra
terkandung unsur dan tujuan keindahan. Karakteristik tersebut juga berlaku dalam
sastra anak (Nurgiyantoro, 2005:2).

10

Universitas Sumatera Utara

2.1 Pengertian Cerita
(Foster dalam Nurgiyantoro, 1995:91) mengartikan cerita sebagai sebuah
narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan waktu. Cerita sebagai
peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam
sebuah karya fiksi (Kenny dalam Nurgiyantoro, 1995:91).
Fabel (cerita binatang) termasuk kedalam prosa, dan prosa dalam istilah
kesusastraan sering disebut pula dengan istilah fiksi, teks naratif atau wacana
naratif. Istilah ini berarati bahwa fiksi berarti cerita kahyal atau cerita rekaan.
Fiksi dapat diartikan cerita rekaan namun penyebutan karya fiksi lebih
ditujukan terhadap karya yang berbentuk prosa yaitu novel dan cerita pendek

(Nurgiyantoro, 1995:8).
Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi,
berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu
kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli.
(Jassin dalam Nurgiyantoro, 1995:10) mengatakan bahwa cerpen adalah
sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara
setengah sampai dua jam, suatu hal yang kiranya tak mungkin dalam dilakukan
untuk sebuah novel.
Cerita pendek terdiri atas lima belas ribu kata atau sekitar lima puluhan
halaman. Cerita pendek haruslah berbentuk “padat”, jumlah kata dalam cerpen
harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel. Setiap bab dalam novel
menjelaskan unsurnya satu demi satu. Sebaliknya, dalam cerpen, pengarang
menciptakan karakter-karakter, semesta mereka, dan tindakan- tindakannya

11

Universitas Sumatera Utara

sekaligus, secara bersamaan. Sebagai konsekuensinya, bagian-bagian awal dari
sebuah cerpen harus lebih padat ketimbang novel (Stanton, 2007:75).


2.2 Pengertian Kontribusi

Kontribusi berasal dari bahasa Inggris yaitu contribute, contribution,
maknanya

adalah

keikutsertaan,

keterlibatan,

menilbatkan

diri

maupun

sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa materi dan tindakan.
Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan

kepribadian anak dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang
mempunyai jati diri yang jelas.
Kontribusi sastra anak bagi anak yang sedang dalam taraf pertumbuhan dan
perkembangan yang melibatkan berbagai aspek kedirian yang secara garis besar
dikelompokkan ke dalam nilai personal dan nilai pendidikan (Nurgiyantoro,
2005:37-47).

1. Nilai Personal
A.

Perkembangan Emosional
Anak usia dini yang belum dapat berbicara, atau baru berada dalam tahap

perkembangan bahasa satu kata atau kalimat dalam dua-tiga kata, sudah ikut
tertawa-tawa ketika diajak bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan. Anak
tampak menikmati lagu-lagu bersajak yang ritmis dan larut dalam kegembiraan.
Hal itu dapat dipahami bahwa sastra lisan yang berwujud puisi-lagu tersebut dapat
merangsang emosi anak untuk bergembira, bahkan ketika anak masih berstatus
bayi. Emosi gembira yang diperoleh anak tersebut penting karena hal itu juga
akan merangsang kesadaran bahwa ia dicintai dan diperhatikan. Pertumbuhan

12

Universitas Sumatera Utara

kepribadian anak tidak akan berlangsung secara wajar tanpa cinta dan kasih
sayang oleh orang di sekelilingnya.
Pada perkembangan selanjutnya setelah anak dapat memahami cerita, baik
diperoleh lewat pendengaran, misalnya diceritai atau dibacakan, maupun lewat
kegiatan membaca sendiri, anak akan memperoleh demonstrasi kehidupan
sebagaimana yang diperagakan oleh para tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita akan
bertingkah laku baik secara verbal maupun nonverbal yang menunjukkan sikap
emosionalnya, seperti ekspresi gembira, sedih, takut, terharu, simpati dan empati,
benci dan dendam, memaafkan, dan lain-lain. Lewat bacaan cerita itu anak akan
belajar bagaimana mengelola emosinya agar tidak merugikan diri sendiri dan
orang lain.
B. Perkembangan Intelektual
Lewat cerita, anak tidak hanya memperoleh “kehebatan” kisah yang
menyenangkan dan memuaskan hatinya. Cerita menampilkan urutan kejadian
yang mengandung logika pengurutan, logika pengaluran. Logika pengaluran
memperlihatkan hubungan antarperistiwa yang diperani oleh tokoh baik

protagonist maupun antagonis. Hubungan yang dibangun dalam pengembangan
alur pada umumnya berupa sebab akibat. Artinya, suatu peristiwa terjadi akibat
atau mengakibatkan peristiwa (-peristiwa) lainnya. Untuk dapat memahami cerita
itu, anak harus mengikuti logika hubungan tersebut.
Secara langsung atau tidak langsung anak “mempelajari” hubungan yang
terbangun itu, dan bahkan juga ikut mengkritisinya. Mungkin saja anak
mempertanyakan alasan tindakan tokoh, reaksi tokoh,menyesalkan tindakan
tokoh, dan lain-lain yang lebih bernuansa “mengapa”-nya. Jadi, lewat bacaan yang
dihadapinya itu aspek intelektual anak ikut aktif, ikut berperan, dalam rangka
pemahaman dan pengkritisan cerita yang bersangkutan. Dengan kata lain, dengan
kegiatan membaca cerita itu, aspek intelektual anak juga ikut terkembangkan.

13

Universitas Sumatera Utara

C. Perkembangan Imajinasi

Berhadapan dengan sastra, baik itu yang berwujud suara maupun tulisan,
sebenarnya kita lebih berurusan dengan masalah imajinasi, sesuatu yang abstrak

yang berada di dalam jiwa, sedang secara fisik sebenarnya tidak terlalu berarti.
Sastra yang notabene

adalah karya yang mengandalkan kekuatan imajinasi

menawarkan petualangan imajinasi yang luar biasa kepada anak. Dengan
membaca bacaan cerita sastra imajinasi anak dibawa berpetualang ke berbagai
penjuru dunia melewati batas waktu dan tempat, tetapi tetap berada di tempat,
dibawa untuk mengikuti kisah cerita yang dapat menarik seluruh kedirian anak.
Ketika anak berhadapan dengan cerita seperti Bawang Merah Bawang Putih,
Cinderella, atau Harry Potter, rasa-rasanya seperti diajak berpetualang
meninggalkan pijakannya di bumi. Imajinasi anak ikut berkembang sejalan
dengan larutnya seluruh kedirian pada cerita yang sedang dinikmati. Ia akan
segera melihat dunia dengan sudut pandang baru. Membaca sastra akan membawa
anak keluar dari kesadaran ruang dan waktu, keluar dari kesadaran diri sendiri,
dan stelah selesai anak akan kembali ke kediriannya dengan pengalaman baru,
sedikit perubahan akibat pengalaman yang diperolehnya. Orang mustahil dapat
mengembangkan seluruh kediriannya tanpa peran serta imajinasi. Daya imajinasi
berkorelasi secara signifikan dengan daya cipta. Berkat campur tangan imajinasi
pula karya-karya besar, bahkan teori besar, bermunculan dihadapan kita.

Jadi, imajinasi akan memancing tumbuh dan berkembangnya daya kreativitas.
Imajinasi dalam pengertian ini jangan sebagai khayalan atau daya khayal saja,
tetapi lebih menunjuk pada makna creative thinking, pemikiran yang kreatif, jadi
ia bersifat produktif.

D. Perkembangan Rasa Sosial

Bacaan cerita mendemonstrasikan bagaimana tokoh berinteraksi dengan
sesama dan lingkungan. Bagaimana tokoh-tokoh itu saling berinteraksi untuk
bekerja sama, saling membantu, bermain bersama, melakukan aktivitas keseharian
14

Universitas Sumatera Utara

bersama, menghadapi kesulitan bersama, membantu mengatasi kesulitan orang
lain, dan lain-lain yang berkisah tentang kehidupan bersama dalam masyarakat.
Kesadaran untuk hidup bermasyarakat atau masuk dalam masyarakat
kelompok pada diri anak semakin besar sejalan dengan perkembangan usia.
Bahkan, pengaruh kelompok dan atau kehidupan bermasyarakat tersebut akan
besar melebihi pengaruh lingkungan di keluarga, misalnya dalam penerimaan

konsep baik dan buruk. Anak pada usia 10-12 tahun mempunyai citarasa keadilan
dan peduli kepada orang lain yang lebih tinggi. Bacaan cerita sastra yang
“mengeksploitasi” kehidupan bersosial secara baik dan mampu menjadikannya
sebagai contoh bertingkah laku sosial kepada anak sebagaimana aturan sosial
yang berlaku.

E. Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius

Selain menunjang pertumbuhan dan perkembangan unsur emosional,
intelektual, imajinasi, dan rasa sosial, bacaan cerita sastra juga berperan dalam
pengembangan aspek personalitas yang lain, yaitu rasa etis dan religius. Nilainilai sosial, moral, etika, dan religius perlu ditanamkan kepada anak sejak dini
secara efektif lewat sikap dan perilaku keseharian. Hal itu tidak saja dapat
dicontohkan oleh dewasa di sekeliling anak, melainkan juga lewat bacaan cerita
sastra yang juga menampilkan sikap dan perilaku tokoh.
Contoh sikap dan perilaku tokoh cerita yang diberikan kepada anak, lewat
cerita ibu (pencerita) atau membaca sendiri jika sudah bisa, dapat dipandang
sebagai salah satu cara penanaman nilai-nilai tersebut kepada anak. Pada
umumnya anak akan mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh yang baik itu, dan
itu berarti tumbuhnya lesadaran untuk meneladani sikap dan perilaku tokoh
tersebut.

2. Nilai Pendidikan
A. Eksplorasi dan Penemuan

15

Universitas Sumatera Utara

Ketika membaca cerita, pada hakikatnya anak dibawa untuk melakukan
sebuah eksplorasi, sebuah penjelajahan, sebuah petualangan imajinatif, ke sebuah
dunia relatif yang belum dikenalnya yang menawarkan berbagai kehidupan.
Dalam penjelajahan secara imajinatif anak dibawa dan dikritiskan untuk mampu
melakukan penemuan-penemuan dan atau prediksi bagaimana solusi yang
ditawarkan.
Berhadapan dengan cerita, anak dapat dibiasakan mengkritisinya, misalnya
ikut menebak sesuatu seperti dalam cerita detektif dan misterius, menemukan
bukti-bukti, alasan bertindak, menemukan jalan keluar kesulitan yang dihadapi
tokoh, dan lain-lain termasuk memprediksikan bagaimana penyelesaian kisahnya.
Berpikir secara logis dan kritis yang demikian dapat dibiasakan dan atau
dilatihkan lewat eksplorasi dan penemuan-penemuan dalam bacaan cerita sastra.

B. Perkembangan Bahasa

Sastra adalah sebuah karya seni yang bermediakan bahasa, maka aspek
bahasa memegang peran penting di dalamnya. Sastra tidak lain adalah suatu
bentuk permainan bahasa, dan bahkan dalam genre puisi unsur permainan tersebut
cukup menonjol, misalnya yang berwujud permainan rima dan irama. Prasyarat
untuk membaca atau mendengarkan dan memahami sastra adalah penguasaan
bahasa yang bersangkutan. Bahasa yang dipergunakan untuk memahami dunia
yang ditawarkan, tetapi sekaligus sastra juga berfungsi meningkatkan kemampuan
berbahasa anak, baik menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis.
Bacaan sastra untuk anak yang baik antara lain adalah yang tingkat kesulitan
berbahasanya masih dalam jangkauan anak, tetapi bahasa yang terlalu sederhana
untuk usia tertentu, baik kosakata maupun struktur kalimat, justru kurang
meningkatkan kekayaan bahasa anak. Peningkatan penguasaan bahasa anak
tersebut harus dipahami tidak hanya melibatkan kosakata dan struktur kalimat,
tetapi terlebih menyangkut keempat kemampuan berbahasa baik secara akif
reseptif (mendengar dan membaca) maupun aktif produktif (berbicara dan
menulis) untuk mendukung aktivitas komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
16

Universitas Sumatera Utara

C. Pengembangan Nilai Keindahan

Ketika anak berusia 1-2 tahun dininabobokkan dengan nyanyian , dengan
kata-kata yang bersajak dan berirama indah (nursery rhymes, nusery songs), anak
sebenarnya belum dapat memahami makna dibalik kata-kata itu, tetapi sudah
dapat merasakan keindahannya. Hal itu dapat dilihat dari reaksi anak, misalnya
yang berupa ekspresi wajah yang ceria dan tertawa-tawa, atau gerakkan anggota
tubuh yang lain. Jika anak sudah dapat berdiri-berjalan, ekspresi tubuh itu dapat
berupa gerakan lenggak-lenggok badan, kepala, tangan dan kaki.
Sebagai salah satu bentuk karya seni, sastra memliki aspek keindahan.
Keindahan dalam genre fiksi antara lain dicapai lewat penyajian cerita yang
menarik, bersuspense tinggi, dan diungkap lewat bahasa yang tepat. Artinya,
aspek bahasa itu mampu mendukung hidupnya cerita, mendukung ekspresi sikap
dan perilaku tokoh. Cerita menjadi indah karena isi kisahnya yang mengharukan
dan dikemas dalam bahasa yang menyenangkan. Tertanamnya aspek keindahan
dalam diri anak bersama dengan berbagai aspek yang lain akan membawa dampak
positif bagi perkembangan personalitasnya.

D. Penanaman Wawasan Multikultural

Berhadapan dengan bacaan sastra, anak dapat bertemu dengan wawasan
budaya berbagai kelompok sosial dari berbagai belahan dunia. Lewat sastra dapat
dijumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan budaya suatu
masyarakat yang berbeda dengan masyarakat yang lain.
Tingkah laku dan sikap seseorang itu sendiri dapat dibentuk dan diajarkan
lewat pendidikan, lewat budaya saling memahami dan menghargai, atau secara
umum

lewat

pembelajaran

pemahaman

antarbudaya

(cross

cultural

understanding) (Nurgiyantoro, 2003:8), dan salah satunya lewat bacaan sastra.
Karena kita hidup dalam masyarakat yang majemuk kesadaran bahwa ada
budaya lain selain budaya sendiri, analog dengan kesadaran bahwa ada orang lain
17

Universitas Sumatera Utara

selain diri sendiri, harus ditanamkan dalam diri anak sejak dini. Untuk maksud itu,
kita juga perlu memilih buku bacaan cerita yang mendemonstrasikan adanya
perbedaan budaya tersebut lewat sikap dan perilaku tokoh.

E. Penanaman Kebiasaan Membaca

Peran bacaan sastra selain ikut membentuk kepribadian anak, juga
menumbuhkan dan mengembangkan rasa ingin dan mau membaca, yang akhirnya
membaca tidak terbatas hanya pada bacaan sastra. Sastra dapat memotivasi anak
untuk mau membaca.
Pentingnya budaya membaca telah ditegaskan Taufik Ismail (2003). Dalam
tulisannya yang berjudul “Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca Tak Pincang
Mengarang” Ẓ2003:9ẓ, ia mengatakan peradapan bangsa ditentukan oleh
penanaman literasi buku di sekolah yang dimulai lewat buku sastra. Jadi, sastra
diyakini mampu memotivasi anak untuk suka membaca, mampu mengembalikan
anak kepada buku. Tentu saja hal itu harus diusahakan dan difasilitasi dengan
baik. Misalnya, dengan penyediaan buku bacaan yang baik dan menarik di
sekolah.

2.3 Pengertian Nilai Sastra Anak

Purwadarminta dalam Departemen Pendidikan (1998:245), mengartikan nilai
sebagai kadar isi yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna
bagi kemanusiaan. Bertolak dari pengertian itu, maka dalam suatu karya sastra
akan terkandung banyak nilai, yaitu nilai sastra yang estetis, juga terdapat nilainilai budaya, sosial, keagamaan dan nilai-nilai moral.
Penanaman nilai-nilai harus dilakukan sejak anak masih dalam kandungan
dan belum dapat membaca. Nilai untuk contoh tauladan bagi anak dalam
pergaulannya

dalam

kehidupan

sosial.

Nyanyian-nyanyian

yang

biasa

didendangkan seorang ibu untuk membujuk agar si buah hati segera tertidur atau
sekedar untuk menyenangkan pada hakikatnya juga bernilai kesastraan dan
18

Universitas Sumatera Utara

sekaligus mengandung nilai yang besar andilnya bagi perkembangan kejiwaan
anak, misalnya nilai kasih sayang dan keindahan. (Nurgiyantoro, 2005:35-36).

2.4 Penilaian Sastra Anak

Huck dkk. (dalam Nurgiyantoro, 2005:66) menyatakan bahwa penilaian
sastra anak haruslah dipahami dalam kaitannya dengan tujuan pemilihan bacaan
bagi anak sesuai dengan perkembangan kediriannya. Setelah selesai membaca
sebuah bacaan cerita, adakalanya anak menceritakan isi cerita dan menunjukkan
sikap atau reaksinya terhadap cerita itu. Atau, jika anak tidak memberikan
tanggapan, kitalah yang memancing atau meminta tanggapan atau komentar anak
tentang cerita yang baru saja dibacanya. Komentar itu misalnya berupa kata-kata:
menyenangkan, menyedihkan, kasihan tokoh cerita yang malang itu, tokoh jahat
itu akhirnya ketahuan juga, untunglah ada orang lain yang dapat membantu, dan
lain-lain. Hal itu menunjukkan bahwa tanggapan anak lebih bersifat emosional.
Penilaian buku bacaan sastra anak yang dikemukakan dibawah ditujukan
untuk bacaan fiksi. Fiksi tampaknya merupakan genre sastra anak yang paling
banyak dibaca anak yang didalamnya dapat mencakup sastra modern dan
tradisional, dengan tokoh manusia atau binatang.

1. Alur cerita

Alur merupakan aspek pertama utama yang harus dipertimbangkan karena
aspek inilah yang pertama-tama menentukan menarik tidaknya cerita dan
memiliki kekuatan untuk mengajak anak secara total untuk mengikuti cerita
(Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2005:68).
Dalam bacaan sastra anak sesuatu yang dikisahkan itu tentulah berkaitan
dengan dunia anak dan atau bagaimana anak memandang sesuatu tersebut.
Artinya, dalam sebuah alur cerita mesti ada konflik, konflik yang mampu
menyulut ketegangan, rasa ingin tahu, rasa penasaran bagaimana kelanjutan dan
kisah.
19

Universitas Sumatera Utara

Permasalahan yang diangkat ke dalam cerita anak dapat berkaitan dengan
masalah konflik antara manusia dengan alam atau lingkungan, manusia dengan
masyarakat, manusia dengan diri sendiri, dan manusia dengan Tuhan. Secara lebih
konkret permasalahan itu misalnya, adalah konflik anak dengan teman dan
lingkungannya sperti persahabtan, solidaritas kawan, percekcokan, penghianatan,
dan lain-lain; konflik anak dengan diri sendiri seperti rasa tarik- menarik antara
rajin dan malas, jujur dan pembohong, mau membantu orang lain atau tak peduli,
rasa takut, dan lain-lain; konflik yang bersifat religius seperti rajin atau malas
beribadah, ganjaran yang rajin dan hukuman bagi yang tidak mau beribadah,
siksaan bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan, dan lain-lain.
2. Penokohan

Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 1995:165), penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang sesorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Istilah penokohan dapat menunjuk pada tokoh dan perwatakan tokoh. Tokoh
adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa serta aksi
tokoh lain yang ditimpakan kepadanya. Dalam bacaan cerita anak tokoh dapat
berupa manusia, binatang, atau makhluk dan objek yang lain seperti makhluk
halus (peri, bantu) dan tetumbuhan. Tokoh-tokoh selain manusia itu biasanya
dapat bertingkah laku dan berpikir sebagaimana halnya manusia. Mereka adalah
personifikasi karakter manusia. Dalam pengembangan cerita, tokoh-tokoh tersebut
dapat berdiri sendiri, dalam arti tidak melibatkan tokoh manusia, misalnya tokoh
binatang dalam fable. Dalam cerita yang lain tokoh manusia dan binatang dapat
berjalan bersama, artinya sama-sama menjadi tokoh cerita. Misalnya, dalam cerita
“Bajing yang Cerdik” dikisahkan seorang tokoh manusia yang dapat berinteraksi
dengan binatang dan tumbuhan. Tokoh binatang dan tumbuhan dalam cerita itu
dapat berbicara dan berpikir layaknya manusia.

3. Tema dan Moral

20

Universitas Sumatera Utara

Menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 1995:67), tema (theme)
adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna
yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah:
makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.
Moral dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang
sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny dalam
Nurgiyantoro, 1995:321).
Secara umum dapat dikatakan bahwa tema selalu berkaitan dengan masalahmasalah kehidupan, dan itu bersifat universal. Tema akan selalu berkaitan dengan
persoalan kemanusiaan seperti cinta, cinta kepada orang tua, anak, sesama,
kekasih, atau bahkan binatang dan lingkungan, percaya diri, harga diri, rasa takut,
maut, dan lain-lain. Tema mana atau apa yang dipilih oleh pengarang, bersifat
subjektif, dan itu sering ada kaitannya dengan moral yang ingin disampaikan.

4. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:216).
Menurut Stanton (1965) mengelompokan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke
dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat
diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.
Sebuah cerita memerlukan kejelasan kejadian mengenai dimana terjadi dan
kapan waktu kejadiannya untuk memudahkan pengimajian dan pemahamannya.
Hal itu berarti bahwa sebuah cerita memerlukan latar, latar tempat kejadian, latar
waktu, dan latar sosoal budaya masyarakat tempat kisah terjadi. Jika latar yang
dijadikan pijakan sudah dikenal pembaca, terutama latar tempat, hal itu akan
semakin melibatkan anak ke dalam cerita karena merasa seoalah-olah dirinya
merupakan bagian dari cerita.

5. Stile
21

Universitas Sumatera Utara

Stile berkaitan dengan bahasa yang dipergunakana dalam sastra. Jadi, ia
termasuk dalam kategori bentuk, yaitu bentuk atau sarana yang dipergunakan
unsur mengekspresikan gagasan. Aspek stile menentukan mudah atau sulitnya
cerita dipahami, menarik atau tidaknya cerita yang dikisahkan, dan karenanya
juga mempengaruhi efek keindahan yang ingin dicapai. Dalam sastra anak stile
menjadi lebih penting justru karena anak belum mampu memahami bahsa yang
kompleks, sementara mereka memerlukan bacaan cerita sebagai salah satu sarana
memperoleh hiburan.
Stile (style) itu sendiri dapat dipahami sebagai wujud penggunaan bahasa
dalam tuturan, atau bagaimana cara sesorang mengungkapkan sesuatu yang akan
diekspresikan. Jadi, stile mencakup keseluruhan aspek formal kebahasaan, bahkan
juga lafal untuk bahasa lisan dan ejaan untuk bahasa tulis. Aspek formal
kebahasaan itu berupa aspek bunyi, kosakata, gramatikal (morfologi dan
sintaksis), retorika, kohesi dan konteks. Wujud stile akan berbeda tergantung siapa
pengarang, siapa yang dituju sebagai pembaca, apa tujuan menulis, apa isi tulisan,
dan lain-lain yang sering disebut sebagai faktor pragmatik. Berdasarkan faktor
pragmatik tersebut dapat dimengerti bahwa stile untuk bacaan cerita anak
tentunya berbeda dengan stile buku pelajaran yang juga untuk anak, juga berbeda
dengan stile untuk cerita dewasa walau sama-sama bergenre fiksi.

6. Ilustrasi

Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra
anak. Hampir semua sastra anak dari berbagai genre pada umumnya disertai
gambar-gambar ilustrasi yang menarik. Ilustrasi dalam sastra anak dapat berupa
gambar, lukisan, foto. Reproduksi gambar, dan lain-lain yang kehadirannya
sengaja dimaksudkan untuk memperkuat dan mengkonkretkan apa yang
dikisahkan secara verbal.
Ilustrasi buku-buku sastra harus menarik perhatian anak. Lazimnya, gambargambar itu jelas, berwarna-warni, komunikatif, dan ditampilkan secara variatif
22

Universitas Sumatera Utara

pada (hampir) tiap halaman buku. Selain itu, gambar-gambar itu menampilkan
tokoh anak, lucu, dan secara jelas melukiskan sesuatu.

7. Format

Format bacaan memegang peran penting untuk memotivasi anak untuk
membaca sebuah buku bacaan cerita walau format itu sendiri bukan bagian dari
cerita. Yang termasuk bagian format buku adalah bentuk, ukuran, desain sampul,
desain halaman, ilustrasi, ukuran huruf, jumlah halaman, kualitas keras dan
penjilidan.
Ketepatan sebuah format tidak hanya ditentukan oleh salah satu atau beberapa
aspek saja, melainkan perpaduan dari keseluruhan aspek format dan bahkan juga
dengan isi bacaan cerita. Desain sampul yang terdiri dari gambar dan tulisan harus
kelihatan provokatif dan sekaligus haru berkaitan dengan adegan tertentu dalam
cerita.
Ukuran huruf juga penting untuk bacaan anak. Ia akan turut mempengaruhi
motivasi membaca. Bacaan untuk anak-anak kelas rendah atau bahkan prasekolah
haruslah ditulis dengan huruf-huruf yang relatif besar.
Sastra anak mencakup pada aspek :
1. Bahasa yang digunakan dalam sastra anak bahasa yang mudah dipahami oleh
anak yaitu bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman
anak.
2. Pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai moral dan pendidikan yang sesuai
pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak

Sastra anak adalah berkarakteristik sederhana, sederhana dalam kosa kata,
struktur, dan ungkapan. Pada sastra anak ada keterbatasan antara isi dan bentuk.
Perbedaan antara keduanya bukan terdapat spesies atau hakikat kemanusiaan,
melainkan pada tingkat pengalaman dan kematangan. Analog dengan hal tersebut
perbedaan antara sastra anak dan dewasa adalah terdapat dalam hal tingkat
23

Universitas Sumatera Utara

pengalaman yang dikisahkan atau yang diperlukan untuk memahami bukan pada
hakikat kemanusiaan kehidupan yang dikisahkan (Nurgiyantoro, 2005:13).

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 SINOPSIS

Cerita ini bercerita tentang seorang anak yang bernama Hasan yang ingin
mengetahui pengetahuan tentang burung yang diberikan oleh sang Ayah
Suatu hari pada bulan Januari, Hasan dan Ayah pergi ke tempat yang penuh
keindahan dan kehijauan, mereka menaiki kereta api untuk menuju ke tempat
tersebut, kemudian mereka sampai ke tanah lapang, mereka berjalan dan terus
berjalan hingga sampailah mereka ke satu pintu masuk. Pintu masuk itu berisikan
burung unta yang sangat banyak. Melihat burung unta yang banyak itu, perasaan
Hasan sangat gembira dan sang Ayah bercerita tentang burung unta tersebut,
bahwa bulu dari burung unta bisa dijual di pasar pasar dunia International dengan
nilai yang tinggi untuk penggunanaan pada perhiasaan. Kemudian Hasan
bertanya, Ya Ayah, ”Ini adalah jenis burung yang besar, apakah dia bisa terbang”?
Kemudian si Ayah berkata: ”Ya Hasan, An-na‘āmatu lebih besar dari Unggas
dan orang Arab menamainya Burung Unta, karena tingginya, panjang lehernya,
tempatnya di Gurun dan kesabarannya menghadapi kehausan menyerupai Unta.
24

Universitas Sumatera Utara