Nilai-nilai Didaktis dalam Cerita Rakyat Aji Kahar Masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu

(1)

NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM CERITA RAKYAT AJI KAHAR MASYARAKAT KUALA PANE KABUPATEN LABUHAN BATU SKRIPSI SARJANA

DISUSUN O

L E H

SUNARTO NIM : 050702007

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH PROGRAM STUDI SASTRA MELAYU MEDAN


(2)

NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM CERITA RAKYAT AJI KAHAR MASYARAKAT KUALA PANE KABUPATEN LABUHAN BATU SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

SUNARTO NIM : 050702007

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Yos Rizal, M. SP. Drs. Baharuddin, M. Hum. Nip : 132006290 Nip : 131785647

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, Departemen Sastra Daerah, Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Bahasa dan Sastra Melayu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU MEDAN


(3)

DISETUJUI OLEH :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

KETUA :

Departemen Sastra Daerah

Drs. Baharuddin, M. Hum. Nip : 131785647


(4)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia pelaksanaan ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra. Dalam bidang ilmu bahasa dan Sastra pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A. Ph.D. Nip : 132098531

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. --- --- 2. --- --- 3. --- --- 4. --- --- 5. --- --- 6. --- ---


(5)

NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM CERITA RAKYAT AJI KAHAR MASYARAKAT KUALA PANE KABUPATEN LABUHAN BATU

DIKETAHUI/DISETUJUI OLEH

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Drs. Yos Rizal, M.SP. Drs. Baharuddin, M. Hum.

Nip : 132006290 Nip : 131785647

Departemen Sastra Daerah Ketua,

Drs. Baharuddin, M. Hum. Nip : 131785647


(6)

(7)

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim,

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam menempuh pendidikan di Fakultas Sastra USU. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, semoga di akhirat kelak kita mendapatkan safa’atnya.

Skripsi ini sebagai suatu usaha dalam merealisasikan semua ilmu yang dipelajari diperkuliahan. Skripsi ini berjudul : “Nilai-Nilai Didaktis Dalam Cerita Rakyat Aji Kahar Masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu”. Ini bertujuan untuk mengungkapkan nilai-nilai pendidikan dan moral yang terdapat dalam cerita, yang sangat baik apabila diterapkan dalam kehidupan kita pada saat zaman sekarang ini, terlebih pada zaman modern. Adapun hasil dari analisis ini penulis harapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan terhadap pengkajian sastra berdasarkan kajian budaya, sehingga dapat memperkaya apresiasi dan kritik sastra.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tidak sedikit bantuan yang diperoleh, untuk itu diucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua yang tercinta dan tersayang yaitu ayahanda Sugiyono dan ibunda Salimah, terima kasih telah membiayai, mendoakan, memberikan semangat, serta memberikan yang terbaik buat ananda, selama ananda kuliah di Fakultas Sastra USU Medan. Buat Abangda dan Kakanda (Tusono, Sunarti, Rusmawati, Marwati) serta adik-adikku (Sugiayanti dan Sugiyanto) semoga apa yang telah kamu cita-citakan bisa tercapai.


(8)

2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A. Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra USU.

3. Bapak Drs. Baharuddin, M. Hum. selaku ketua departemen Sastra Daerah, serta selaku pembimbing II (terima kasih atas bimbingannya).

4. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M. Hum. selaku sekretaris dapartemen Sastra Daerah.

5. Bapak Drs. Yos Rizal, M. SP. Selaku pembimbing I (terima kasih atas bimbingannya)

6. Segenap dosen di lingkungan Fakultas Sastra USU Medan.

7. Kak fie-fie yang telah banyak memberikan bantuan serta sarannya.

8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2005, 2006, 2007, 2008 yang tak dapat disebutkan namanya satu persatu, “semangat ya.”

Penulis tidak dapat membalas semua kebaikkan dan bantuan yang telah diberikan, sehingga terwujudnya skripsi ini. Untuk itu penulis hanya berserah diri kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih, semoga semua kebaikkan yang telah diberikan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian, sehingga dapat digunakan sebagai masukkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Medan, November 2008 Penulis,

Sunarto


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul ”Nilai-Nilai Didaktis Dalam cerita Rakyat Aji Kahar Masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu”. Masalah penelitian ini, untuk mengetahui sturuktur pembentuk cerita (intrinsik) dan nilai-nilai didaktis yang terdapat dalam cerita rakyat Aji Kahar. Adapun tujuan penelitian terhadap cerita rakyat Aji Kahar ini yaitu untuk mengungkapkan nilai-nilai didaktis atau nilai-nilai pendidikan (moral) yang terkandung di dalamnya, dan untuk melestarikan hasil sastra lama berupa cerita-cerita rakyat.

Metode penelitian yang digunakan, metode deskriptif yakni bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada di dalam cerita. Analisis menggunakan teori didaktis yakni meneliti nilai-nilai didaktis atau pendidikan (moral) yang terkandung dalam cerita rakyat Aji Kahar. Dibantu teori struktur (intrinsik) sebagai landasan penulisan.

Pertama sekali dilakukan adalah membicarakan unsur-unsur intrinsik yang meliputi : tema, alur, perwatakan dan latar. Selanjutnya meneliti nilai-nilai didaktis yang terkandung dalam cerita rakyat atau bahan kajian seperti tolong-menolong, memiliki sikap kemanusiaan, kejujuran, sikap tidak hati-hati akan merugikan diri sendiri dan amanah, yang sangat penting diketahui oleh pembaca serta masyarakat.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 5

1.4.Manfaat Penelitian ... 5

1.5.Anggapan Dasar ... 6

1.6.Tinjauan Pustaka ... 7

1.7.Metodologi Penelitian ... 8

1.7.1 Metode Dasar ... 9

1.7.2 Sumber Data ... 10

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ... 11

1.7.4 Teknik Menganalisis Data... 11

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ... 13

2.1. Kepustakaan Yang Relevan ... 13

2.2. Teori Yang Digunakan ... 14

2.2.1. Teori Struktur ... 16

2.2.2. Teori Didaktis ... 29

2.2.3. Hubungan Didaktis Dengan Karya Sastra... 34


(11)

BAB III : STRUKTUR UMUM CERITA RAKYAT AJI KAHAR

MASYARAKAT KUALA PANE KABUPATEN LABUHAN

BATU ... 32

3.1 Tema ... 38

3.2 Alur ... 42

3.2.1 Exposition (Pengarang Mulai Melukiskan- Sesuatu)... 42

3.2.2 Generating Circumstances (Peristiwa Mulai- Bergerak) ... 43

3.2.3 Ricing Action (Keadaan Mulai Bergerak) ... 44

3.2.4 Climax (Puncak)... 45

3.2.5 Denoument (Penyelesaian)... 46

3.3 Latar ... 48

3.3.1 Latar Tempat ... 48

3.3.2 Latar Waktu ... 49

3.3.3 Latar Sosial ... 50

3.4 Tokoh ... 52

3.4.1 Penokohan ... 53

BAB IV : NILAI-NILAI DIDAKTIS DALAM CERITA RAKYAT AJI KAHAR MASYARAKT KUALA PANE KABUPATEN LABUHAN BATU ... 57

4.1Tolong Menolong ... 57

4.2 Memiliki Sikap Kemanusiaan ... 61


(12)

4.4Sikap Tidak Hati-Hati Akan Merugikan Diri Sendiri ... 66

4.5 Amanah ... 67

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1. Kesimpulan ... 70

5.2. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

LAMPIRAN I ... 74

SINOPSIS ... 74

LAMPIRAN II ... 83


(13)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul ”Nilai-Nilai Didaktis Dalam cerita Rakyat Aji Kahar Masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu”. Masalah penelitian ini, untuk mengetahui sturuktur pembentuk cerita (intrinsik) dan nilai-nilai didaktis yang terdapat dalam cerita rakyat Aji Kahar. Adapun tujuan penelitian terhadap cerita rakyat Aji Kahar ini yaitu untuk mengungkapkan nilai-nilai didaktis atau nilai-nilai pendidikan (moral) yang terkandung di dalamnya, dan untuk melestarikan hasil sastra lama berupa cerita-cerita rakyat.

Metode penelitian yang digunakan, metode deskriptif yakni bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada di dalam cerita. Analisis menggunakan teori didaktis yakni meneliti nilai-nilai didaktis atau pendidikan (moral) yang terkandung dalam cerita rakyat Aji Kahar. Dibantu teori struktur (intrinsik) sebagai landasan penulisan.

Pertama sekali dilakukan adalah membicarakan unsur-unsur intrinsik yang meliputi : tema, alur, perwatakan dan latar. Selanjutnya meneliti nilai-nilai didaktis yang terkandung dalam cerita rakyat atau bahan kajian seperti tolong-menolong, memiliki sikap kemanusiaan, kejujuran, sikap tidak hati-hati akan merugikan diri sendiri dan amanah, yang sangat penting diketahui oleh pembaca serta masyarakat.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih berkisar pada sastra lisan. Hal ini seperti yang disampaikan Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni,

“Sastra lisan atau sastra tradisional (traditional literature)

merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Sastra lisan tetap hidup dalam segala perubahan zaman. Sastra lisan sebagian besar masih tersimpan di dalam ingatan orang tua atau tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang”.

Sebagai kekayaan sastra, cerita rakyat yang merupakan bagian dari sastra lisan yaitu salah satu unsur kebudayaan yang perlu dikembangkan karena mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma, dan nilai-nilai etika serta nilai moral masyarkat pendukungnya. Dengan mengetahui cerita rakyat tersebut, kita dapat mengetahui gambaran mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat tertentu dan dapat pula membina pergaulan serta pengertian bersama sebagai suatu bangsa yang memiliki aneka ragam kebudayaan, dalam pembangunan nasional yang terus dijalankan.

Dalam hal ini Nurgiyantoro (2005 : 167 ) juga menegaskan,

“Pembangunan karya seni dan budaya mendapat perhatian yang cukup besar pada saat sekarang ini. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pencanangan tahun seni dan budaya. Ini merupakan perwujutan dari perlunya penggalian dan pengembangan nilai-nilai budaya dari semua suku bangsa di Indonesia sebagai warisan budaya yang berharga dan telah diwariskan oleh nenek moyang kita


(15)

yang menyebabkan eksistensi kita di masa kini, dan belajar mengapresiasi warisan leluhur ”.

Salah satu dari sekian banyak warisan budaya di Indonesia adalah cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan satu jenis cerita yang hidup dan berkembang dengan caranya sendiri, sampai saat ini. Cerita rakyat juga memainkan peranan penting dalam usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan Nasional, terutama dalam pembangunan rohani bangsa Indonesia secara umum dan masyarakat Melayu pada khususnya, serta cerita rakyat juga banyak memberikan pesan moral maupun pengajaran yang penting untuk setiap pembaca.

Trisna (1997 : 1) mengatakan bahwa,

“Cerita rakyat Melayu selain bersifat hiburan juga memiliki nilai-nilai pendidikan atau didaktis yang terkandung di dalam sebuah cerita dan juga dapat menjadi alat untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suatu suku atau bangsa pemilik sastra itu”.

Cerita rakyat Melayu juga selalu berhubungan dengan kepercayaan dan merupakan peradaban yang erat pula hubungannya dengan kehidupan, selain itu juga berfungsi sebagai alat untuk memelihara serta menurunkan buah pikiran suatu suku atau bangsa penulis sastra itu. Untuk itu cerita rakyat Melayu merupakan bahan analisis yang tepat untuk memahami tingkah laku, pikiran dan falsafah kehidupan masyarakat pemilik cerita tersebut. Cerita rakyat yang menjadi bahan analisis dalam skripsi ini adalah cerita rakyat“Aji Kahar”

Dalam masyarakat yang sedang membangun seperti halnya Indonesia, berbagai bentuk penelitian terhadap sastra daerah terutama sastra lisan yang berbentuk cerita rakyat masih kurang dan itu tidak mustahil akan terabaikan dan mungkin lama kalamaan akan hilang tanpa bekas. Selama ini kurangnya perhatian


(16)

pada cerita rakyat disebabkan berbagai hal, yakni orang mengira bahwa karya sastra itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman yang serba canggih pada saat ini. Ada yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang tidak modern, apalagi yang bersifat pribumi termasuk sastra lisan dan sastra lama kurang mendapat perhatian masyarakat bahkan tidak mengenal dan mengetahui lagi apa itu karya sastra yang berupa cerita-cerita rakyat.

Diakui bahwa ada di antara cerita rakyat itu yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat sekarang ini. Namun, banyak di antara cerita rakyat itu yang mengandung ide yang besar, buah pikiran yang luhur, penyelaman jiwa yang berharga dan sebagainya. Semuanya itu masih tetap dapat dimanfaatkan pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang.

Dalam hal ini Nurgiayantoro juga menegaskan dalam bukunya yang berjudul Sastra Anak (2005 : 166) bahwa, “unsur-unsur (buah pikiran yang luhur) lebih ditekankan, karena cerita tradisional ( cerita rakyat) hadir pertama-tama dan terutama untuk memberikan pengajaran (didaktis)”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa cerita rakyat Melayu layak dikaji dan dianalisis, sebagai salah satu usaha pelestarian serta pengembangan nilai-nilai karya sastra daerah juga akan memperkaya hazanah sastra dan budaya Indonesia, sehingga dapat menambah koleksi bahan bacaan bagi generasi yang akan datang. Apabila tidak dilestarikan atau dikembangkan maka dikhawatirkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan hilang maka para generasi yang akan datang tidak akan mengenal lagi cerita-cerita rakyat tersebut. Sementara itu cerita-cerita yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia akan lebih dikenal bahkan mendapat posisi di hati


(17)

masyarakat kita, seperti cerita-cerita yang bercorak kriminal, kekerasan, perusakan, penindasan, pemboman di mana-mana dan lain-lain.

Harus diakui secara jujur pada saat ini bahwa minat dan perhatian masyarakat khususnya generasi muda sangat rendah terhadap cerita rakyat apabila dibandingkan dengan generasi yang lalu. Hal ini terjadi karena para orang tua dahulu apabila berkumpul bersama anggota keluarganya mendidik mereka dengan berbagai cerita rakyat, sedangkan para orang tua sekarang hampir melupakan tradisi seperti itu, ditambah lagi dengan masuknya cerita-cerita yang hanya bersifat hiburan saja dan tidak mengandung nilai-nilai pengajaran dan pendidikan (didaktis), melalui media informasi seperti televisi.

Hal-hal di atas lah yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini, selain merupakan salah satu usaha untuk memperkenalkan dan mengangkat kembali sebagian kecil dari cerita rakyat yang ada di Labuhan Batu. Masyarakat Labuhan Batu adalah salah satu bagian dari suku Melayu di Sumatera Utara, sebagai salah satu suku bangsa, Labuhan Batu memiliki kebudayaan atau kesenian tersendiri, sebagai mana sastra lisan lainnya yang ada di Indonesia khusus mengenai nilai-nilai didaktis yang terdapat dalam cerita “Aji Kahar”.

Berdasarkan hal tersebut pula penulis meneliti dan menganalisis cerita rakyat Aji Kahar, sebab dikhawatirkan akan punah ditelan arus kemajuan jaman, seperti hilangnya tukang-tukang cerita (pencerita), dukun-dukun, atau orang tua yang dapat dikatakan sebagai pewaris aktif dari cerita rakyat tersebut pada saat ini.


(18)

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini akan dianalisis nilai-nilai didaktis yang terdapat pada cerita rakyat Aji Kahar, tepatnya kepada masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu.

Adapun masalah yang akan dibahas pada skripsi ini yakni :

1. Struktur pembentuk cerita yang terdapat dalam cerita rakyat Aji Kahar.

2. Nilai-nilai didaktis yang terdapat dalam cerita rakyat Aji Kahar.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam menyusun rencana penelitian. Tujuan yang jelas akan memudahkan peneliti atau pembaca untuk meneliti masalah, sehingga dapat tercapai sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis.

Sesuai dengan hal tersebut, tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui struktur umum cerita rakyat Aji Kahar sebagai karya sastra yang

terdapat di dalam cerita rakyat.

2. Mengungkapkan dan mengetahui nilai-nilai didaktis yang terdapat di dalam cerita rakyat Aji Kahar, sehingga dapat pula digunakan sebagai penyaring bagi masyarakat terhadap pengaruh masuknya budaya asing.

1.4 Manfaat Penelitian

Seorang yang telah melakukan penelitian tentu telah memikirkan kemungkinan manfaat yang akan diperoleh dari hasil penelitinya. Manfaat peneliti


(19)

adalah suatu yang dapat memberikan faedah dan mendatangkan keuntungan baik bagi peneliti, lembaga tertentu maupun bagi orang tertentu.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penganalisisan cerita rakyat Aji Kaharadalah sebagai berikut :

1. Memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.

2. Dapat memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap cerita rakyat masyarkat Melayu, khususnya ditinjau berdasarkan struktur dan nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalamnya.

3. Dapat menjadi salah satu rujukan bagi para peneliti cerita rakyat masyarkat Melayu

4. Dapat memperkaya hasil kajian terhadap kesusasteraan Melayu terutama cerita rakyat Aji Kahar.

1.5 Anggapan Dasar

Suatu penelitian senantiasa memerlukan anggapan dasar, yang dapat memberikan gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Anggapan dasar adalah titik tolak pemikiran untuk penyelidikan tertentu, titik tolak yang dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa cerita rakyat Aji Kahar memiliki struktur cerita yang baik dan memiliki nilai-nilai didaktis yang baik.

Dikatakan memiliki struktur yang baik sebab cerita rakyat Aji Kahar

memiliki unsur-unsur cerita yang lengkap seperti tema, alur, latar, tokoh dan penokohan sehingga dapat dijadikan bahan bacaan yang menarik sebagai sebuah


(20)

karya sastra. Kelengkapan unsur-unsur cerita tersebut telah berbentuk tulisan karena unsur-unsur cerita itu memiliki komponen-komponen pada setiap unsurnya. Misalnya untuk komponen latar, dalam cerita rakyat Aji Kahar terdapat komponen latar tempat, latar waktu dan latar sosial secara lengkap hanya memiliki satu atau dua saja dari komponen tersebut. Namun demikian sebagai sebuah karya sastra cerita ini sudah dianggap sebagai sebuah karya sastra yang baik karena memiliki unsur-unsur pembentuk cerita yang lengkap.

Dalam cerita rakyat Aji Kahar ini berbentuk cerita bukan hanya berfungsi sebagai salah satu alat hiburan saja, melainkan juga memiliki nilai-nilai pengajaran yang sipatnya mendidik baik bagi para pendengar dan pembacanya. Dalam cerita ini banyak nilai-nilai pengajaran atau pendidikan yang terkandung di dalamnya seperti pengajaran tentang tolong-menolong, memiliki sikap kemanusiaan, kejujuran, sikap tidak hati-hati akan merugikan diri sendiri dan yang terakhir amanah.

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap cerita rakyat Melayu dengan pendekatan didaktis telah ada dilakukan oleh para sarjana, di antaranya dilakukan oleh Akbar pada tahun 2000, beliau meneliti cerita Jenaka Abu Nawas di Langkat. Penelitiannya ditulis dalam bentuk skripsi yang berjudul : “Nilai-Nilai Didaktis Dalam Cerita Jenaka

Abu Nawas Pada Masyarakat Melayu Langkat”. Dikatakan bahwa cerita dan

peristiwa dalam kisahnya berkaitan dengan sistem sosial yang pernah berlaku di dalam masyarakat Langkat. Kemudian Sujadi pada tahun 1999, beliau meneliti cerita tentang Sri Putih Cermin di Serdang. Penelitiannya ditulis dalam bentuk


(21)

skripsi yang berjudul : “Analisis Didaktis Enam Cerita Rakyat Masyarakat

Melayu Serdang”. Dikatakan bahwa struktur ceritanya berkaitan dengan

nilai-nilai moral, selain itu berhubungan juga dengan ketaatan janji dan kesetiaan.

Cerita rakyat Melayu khususnya cerita Aji Kahar yang terdapat di masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu juga pernah dibahas oleh Suroso. K.S. di harian surat kabar Pos Metro Medan Sumatera Utara, namun dalam pembahasannya beliau menceritakan cerita secara umum dalam kisahnya (lihat lampiran).

Berdasarkan pemahaman beberapa penelitian dan pembahasan tentang cerita rakyat masyarakat Melayu di atas jelas menunjukan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan dari sisi objek penelitian maupun fokus pada analisisnya.

1.7 Metodologi Penelitian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000) yang dimaksud dengan

“Metodologi”adalah ilmu tentang metode. Arti metode itu sendiri (KBBI : 2000) adalah cara yang teratur dan ilmiah dalam mencapai untuk memperoleh ilmu atau cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu fenomena yang harus menggunakan landasan teori. Sedangkan menurut Endraswara (2003 : 8) bahwa metode adalah menyangkut cara yang operasional dalam penelitian.

Arti kata penelitian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian data yang dilakukan secara sistematis serta objektif untuk memecahkan suatu persoalan.


(22)

Jadi dapat disimpulkan bahwa metodologi penelitian itu adalah upaya untuk menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian. Dengan kata lain, metodologi penelitian akan memberikan petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau bagaimana penelitian ini dilaksanakan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh kebenaran atau membuktikan kebenaran terhadap suatu objek permasalahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu penulis menggambarkan serta menerangkan sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca dapat merasakan apa yang penulis uraikan sesuai dengan gambaran pemahaman penulis tentang kajian yang dilakukan.

1.7.1 Metode Dasar

Metode dasar yang penulis gunakan pada penelitian ini yakni metode deskriptif, yaitu metode dengan mendekriptifkan semua data yang terdapat dalam cerita Aji Kahar. Menurut Suryabrata (1995 :18) Penelitian deskriptif adalah untuk membuat pecandraan secara sistematis, faktual yang akurat mengenai fakta-fakta atau sifat-sifat populsi yang terdapat di daerah tertentu. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena-fenomena alamiah maupun fenomena-fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya (Sukmadinata, 2006 : 72).

Selain itu juga Furchan (2004 : 447) menjelaskan bahwa, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang


(23)

status suatu gejala saat penelitian dilakukan. Lebih lanjut dijelaskan, dalam penelitian deskriptif tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis sebagaimana yang terdapat pada penelitian eksperiman.

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung.

Dengan cara ini maka penulis dapat mengumpulkan, memahami dan memilih teks yang terdapat di dalam cerita Aji Kahar, sehingga dapat diketahui unsur-unsur pembentuk cerita dan nilai-nilai didaktisnya.

1.7.2 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari perpustakaan (library).

Adapun sumber penelitian yang penulis analisis adalah :

Judul yang di analisis : Cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara tepatnya Masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu

Judul buku : Aji Kahar

Bentuk karya sastra : Prosa lama (terdiri atas 3 sub bab cerita) Pengarang buku : Suroso KS

Penerbit : Proyek penelitian dan pencatat kebudayaan daerah Tahun terbit : 2006

Jumlah halaman : 28 halaman


(24)

Sampul depan : Warna kecoklatan dan bergambar-gambar Sampul belakang : Warna putih

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Studi Teks

a. Membaca secara berulang-ulang dengan seksama bahan yang hendak diteliti.

b. Mengadakan penyeleksian terhadap data yang telah diperoleh. Data yang sangat berhubungan dengan masalah yang akan dibahas merupakan prioritas utama dalama penyeleksian data.

c. Menelaah dan membahas seluruh data yang telah diseleksi, kemudian menerapkannya dalam pembahasan masalah.

2. Menafsirkan Teks

Melaksanakan penafsirkan terhadap struktur cerita dan nilai-nilai didaktis atau pendidikan (moral) yang terdapat di dalam cerita.

1.7.4 Teknik Menganalisis Data

Menurut Semi (Endraswara, 2003 : 4) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris.


(25)

Sedangkan menurut Endaswara (2003 : 5 ) ciri penting dari penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antar lain :

1. Peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra.

2. Penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka. 3. Lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya

sastra merupakan fenomena yang banyak mengandung penafsiran. 4. Analisis secara induktif.

5. Makna merupakan andalan utama.

Dari pendapat di atas penulis berkesimpulan bahwa dalam penelitian ini yang penulis gunakan adalah penelitian kualitaif yaitu penulis bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data, untuk itu penulis hanya membaca dan memperhatikan lalu berusaha menggambarkan atau menginterpretasikan data tersebut, untuk dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan penganalisisan terhadap data tersebut.

Setelah data itu dianalisis maka penulis menentukan unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat di dalam cerita rakyat Aji Kahar yakni :

1. Unsur intrinsik, adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam cerita rakyat Aji Kahar berupa tema, alur, tokoh, penokohan dan latar, baik latar tempat, latar waktu, maupun latar sosial. 2. Unsur ekstrinsik, yaitu menganalisis data-data yang terdapat dalam cerita

rakyat Aji Kahar degan teori didaktis. Artinya, menganalisis cerita dengan pendekatan didaktis dengan tetap menitikberatkan pada cerita itu sendiri.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kepustakaan yang Relevan

Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang menumbuhkan gagasan dan mendasari usulan penelitian. Dasar-dasar usulan penelitian tersebut dapat berasal dari temuan dan hasil penelitian terdahulu yang terkait dan mendukung pilihan tindakan untuk mengatasi permasalahan penelitian.

Menurut Ary (1982 : 52) mengatakan bahwa sangat penting bagi peneliti untuk mencari hasil penelitian terdahulu yang cocok dengan bidang yang diteliti sebagai dasar pendukung pilihan. Dalam pembahasan kajian pustaka perlu diungkapkan kerangka acuhan komprehensif mengenai konsep, prinsip atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Uraian dalam kajian pustaka diharapkan menjadi landasan teoritik mengapa masalah yang dihadapi dalam penelitian perlu dipecahkan dengan strategi yang dipilih.

Maka dari dasar tersebut untuk meneliti suatu masalah sangat diperlukan bahan-bahan kajian pustaka dari berbagai sumber, misalnya buku-buku jurnal penelitian, dokumentasi-dokumentasi, laporan penelitian, bahan-bahan internet maupun dari sumber-sumber teoritis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Kajian pustaka dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya-upaya lain yang mungkin sudah pernah dilakukan para ahli untuk mendekati permasalahan yang sama atau


(27)

relatif sama. Dengan demikian pengembangan yang dilakukan memiliki landasan empiris yang kuat. (UM, 2005).

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meneliti suatu masalah sangat diperlukan bahan-baham kajian pustaka dari berbagai sumber, misalnya buku-buku ilmiah jurnal penelitian, dokumentasi-dokumentasi, laporan penelitian dan sumber-sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti.

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu “Nilai-Nilai Didaktis Dalam

Cerita Rakyat Aji Kahar Masyarakat Kuala Pane Kabupaten Labuhan Batu”,

maka dalam memecahkan persoalan yang timbul dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku yang relevan sebagai panduan utama yaitu buku-buku tentang cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara, Pengantar Apresiasi Karya Sastra oleh Aminuddin, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan oleh Hasbullah, Metode Penelitian Sastra oleh Atar Semi. Selain itu, juga digunakan sumber-sumber bacaan lainnya misalnya data dari internet, jurnal dan lain-lain yang masih relevan dengan masalah tentang sastra dan didaktis.

Teori yang Digunakan

Dalam suatu penelitian yang bersifat ilmiah diperlukan suatu landasan teori yang kokoh, agar penelitian itu dapat mengarah pada tujuan seperti yang telah ditetapkan. Di samping itu, dengan adanya landasan teori yang kokoh, maka penelitian terhadap suatu objek yang bersifat ilmiah tersebut hasilnya akan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam menganalisis cerita rakyat Aji Kahar ini dari segi nilai-nilai didaktisnya, penulis menggunakan teori didaktis (pendidikan/pengajaran).


(28)

Sedangkan dalam pelaksanaanya pertama dengan teori struktur. Namun, sebelum penulis memaparkan tentang seluk-beluk apa dan bagaimana teori struktur dan didaktis tersebut, ada baiknya penulis paparkan gambaran mengapa karya sastra itu diciptakan oleh si pengarangnya. Dan karena setiap hasil karya sastra dan cipta karsa pengarang itu penuh dengan faedah atau pesan moral. Dalam hal ini,

Teew (Oktober, 1993 : 5) mengemukakan bahwa :

“Aut prodesse volunt aut delectare poetae, Aut simul et incunda et idonea dicare vitae”. (Tujuan pengarang ialah berguna atau memberi nikmat, atau pun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak dan faedah untuk kehidupan)”.

Selanjutnya Semi (1990 : 43 ) juga berpendapat bahwa,

“Pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberi kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Dengan begitu pendekatan ini menggabungkan antara unsur-unsur penglipur lara dengan unsur didaktis”.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra diciptakan oleh atau pengarangnya, selain untuk memberi hiburan juga untuk memberikan faedah serta menyampaikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca atau pendengarnya.

Bertolak dari pandangan inilah maka penulis menggunakan landasan teori didaktis dalam penganalisisan cerita rakyat Aji Kahar ini. Dan nilai-nilai didaktisnya yang ingin disampaikan oleh pencerita melalui karyanya sangat berguna bagi kehidupan manusia, khususnya pada saat-saat jaman seperti ini.


(29)

2.2.1 Teori Struktur

pendekatan struktur dalam menganalisis karya sastra, sudah sangat sering digunakan. Hal ini menandakan bahwa pendekatan ini mudah dipahami dan dilaksanakan dalam pengkajian sastra. Pendekatan struktural lahir karena adanya beberapa alasan atau sebab. Salah satu dari sekian banyak alasan tersebut adalah adanya pendekatan tradisional yang masih mementingkan peniru alam sebagai alasan utama terciptanya sebuah karya sastra.

Dalam hal ini Nurgiyantoro (2005 : 22) berpendepat bahwa,

“Istilah “tradisional” dalam kesastraan (traditional literature atau

folk literature) menunjukan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan dikisahkan secara turun-turun secara lisan”

Dari pendapat di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa karya sastra yang lahir karena ide seorang pengarang tanpa dipengaruhi oleh alam sekitarnya. Pandangan inilah yang mendorong para pengkaji, kritikus dan peneliti sastra sepakat untuk melahirkan pendekatan struktural.

Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik.

Aminuddin, (1987 : 59) berpendapat bahwa,

Pendekatan analitik disimpulkan memiliki dengan new criticism

serta strukturalisme pada umumnya karena pendekatan analitik itu bidang cakupanya sangat luas. Dalam pendekatan analitis selain bisa dilaksanakan telaah tentang adanya ambiguitas, paradoks maupun ironi dalam karya sastra lewat telaah karakter, setting, plot, dan tema serta gaya bahasa yang ada, dapat juga dilaksanakan analisis tentang adanya pesan imbauan maupun nilai-nilai yang ingin dipaparkan pengarangnya dengan bertolak dari unsur-unsur signifikan yang diolah pengarangnya.


(30)

Pendekatan struktur lahir karena bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki daya penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri, terlepas dari hal-hal lain yang berada diluar karya sastra. Bila hendak dikaji atau diteliti maka yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, serta hubungan harmonis antaraspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra.

Prinsip analisis struktural ini menurut Semi (1990 : 44-45), yaitu : Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat berpaduan visi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu. Penelaahan sastra melalui pendekatan ini menjadi anutan para kritikus aliran struturalis, di Indonesia tercermin pada kelompok Rawamangun.

Teeuw (Maini, 1984 : 135) berpendapat bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memperkaya secara cermat. Keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur-unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri dan mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berbeda


(31)

dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Serta untuk memaparkan dan menyampaikan suatu karya sastra dengan jelas dan secara menyeluruh harus lah melalui unsur yakni melalui tema, alur, tokoh dan latarnya dan juga dari aspek karya sastra itu sendiri.

Berikut yang menjadi konsep dasar, aspek-aspek yang dianalisis ialah :

a. Tema

Setiap karya sastra harus mempunyai tema, karena tema adalah hal yang paling dipentingkan dari sekian masalah yang ada, karena karya sastra apabila tidak memiliki tema maka tidak akan berarti. Tema merupakan pokok permasalahan atau dasar penulisan cipta sastra, tema tersebut dibangun melalui daya imajinasi pengarang.

Tema menurut Scharback (Aminuddin, 1987 : 91) mengungkapkan bahwa, “Tema berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.

Setiap unsur yang ada dalam cipta sastra harus mendukung tema dan dari hal ini tema adalah gagasan utama atau pikiran utama yang dipergunakan untuk memberi nama bagi suatu pernyataan atau pikiran mengenai sesuatu subjek, motif atau topik

Menurut Mursal (Oktober, 1993 : 10) mengemukakan,

“Tema adalah apa yang menjadi persoalan di dalam sebuah karya sastra. Apa yang menjadi persoalan utama di dalam sebuah karya


(32)

sastra. Sebagai persoalan ia merupakan sesuatu yang netral. Pada hakikatnya, di dalam tema belum ada sikap, belum ada kecendrungan untuk memihak. Karena masalah apa saja dapat dijadikan tema di dalam sebuah karya sastra. Yang menjadi persoalan adalah samapai seberapa jauh seorang pengarang mampu mengolahnya, mengembangkan di dalam sebuah karya sastra. Sampai seberapa jauh pengarang dapat mencarikan suatu pemecahan yang kreatif terhadap persoalan tersebut. Pemecahan persoalan tersebut, pemecahan jalan keluar yang diberikan oleh pengarang di dalam sebuah karya sastra terhadap tema yang dikemukakan adalah amanat”.

Menurut Tarigan (1982 : 162 ) mengemukakan bahwa,

“Setiap cerita atau fiksi haruslah mempunyai tema data dasar yang merupakan tujuan. Penulis melukiskan watak dari para pelaku dalam ceritanya dengan dasar atau tema tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebih-lebihan kalau kita katakan bahwa tema atau dasar ini suatu hal paling penting dalam suatu cerita yang mempunyai tema tertentu tidak ada guna dan artinya”.

Sedangkan Keraf ( Semi,1990 : 108 ) menyatakan :

“Bagaimanapun sebuah karya sastra, entah sebuah buku yang bersifat rekaan (fiktif), seperti roman, cerpen ataupun buku yang bersifat non fiktif tentang masalah politik, perkembangan teknologi modern, hasil penelitian dan sebagainya, harus mempunyai tema atau amanat utama yang akan disampaikan kepada pembaca atau dengan kata lain amanat utama yang akan disampaikan merupakan suatu maksud tertentu yang akan dijalin dalam sebuah topik pembicaraan”.

Lebih lanjut S. Tasrif (dalam Lubis, 1988 : 132) mengemukakan sebagai berikut,

“Untuk menentukan mana yang merupakan tema, pertama tentulah dilihat persoalan mana yang paling menonjol. Kedua, secara kuantitatif, persoalan mana yang paling menimbulkan konflik, konflik yang melahirkan peristiwa-peristiwa. Cara yang ketiga ialah menentukan (menghitung) waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh di dalam sebuah karya sastra.”

Dengan demikian, cara yang tepat untuk mencari tema dari sebuah cerita karya sastra dengan teknik di atas yakni :


(33)

1. Melihat persoalan yang paling menonjol. 2. Konflik yang paling banyak hadir. 3. Menghitung urutan penceritaan

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semua jenis karya sastra atau bagaimanapun sebuah karya sastra, entah sebuah buku yang bersifat rekaan (fiktip) seperti roman, cerpen ataupun buku yang bersifat nonfiktif masalah politik, perkembangan teknologi modern, hasil penelitian bahkan yang mempunyai unsur cerita haruslah mempunyai tema yang akan disampaikan kepada pembaca atau pendengar, dengan kata lain amanat utama yang akan disampaikan merupakan suatu maksud tertentu yang akan dijalin dalam sebuah topik pembicaraan. Dan tema merupakan hal yang paling penting dalam sebuah cerita dan karena paling penting itu pula, makanya suatu cerita takkan ada artinya bila dalam cerita itu sendiri tidak mempunyai tema. Dan untuk menentukan suatu tema dalam sebuah cerita harus lah melihat persoalan yang paling menonjol, konflik yang paling banyak hadir serta menghitung urutan penceritaan

b. Alur

Sebelum lebih jauh penulis menguraikan tentang alur ini, maka ada baiknya bila terlebih dahulu penulis sebutkan (uraikan) tentang alur ini bahwa istilah alur ini bermacam-macam alur (trap darmatifccomfict) ataupun plot. Rentang pikiran atau mungkin juga disebut dengan istilah jalan cerita dan sebagaianya. Barangkali alur berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya. Sebab seperti yang dikatakan oleh J.S. Badudu (1985 : 5 ) dalam bukunya yang berjudul Inilah Bahasa Indonesia Yang Baik. Bahwa bahasa yang


(34)

tumbuh baik itu dalam karya sastra senantiasa berubah dan perubahan itu meliputi bidang bahasa secara menyeluruh termasuk soal istilah alur (plot).

Semi (1990 : 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah atruktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interaksi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian seluruh fiksi.

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa alur itu sangat penting untuk merangkaikan peristiwa yang akan ditampilkan oleh pengarang dalam suatu cerita yaitu dengan memperhatikan kepentingan dan berkembanganya suatu cerita itu dan menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain serta bagaimana seorang tokoh itu terkait dalam kesatuan cerita.

Dalam hal ini Aminuddin juga berpendapat (1987 : 83 ) bahwa,

“Alur pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita, dan dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita”.

Alur juga merupakan suatu rentetan peristiwa yang diurutkan peristiwa yang akan ditampilkan dengan memperlihatkan kepentingan dalam cerita ini. Alur suatu cerita menggambarkan bagaimana setiap tindakan yang saling berhubungan satu dengan yang lain dan bagaimana seorang tokoh dalam suatu cerita terkait dalam kesatuan cerita.

Juga dalam hal ini Nurgiyantoro (2005 : 68) berpendapat bahwa , Alur merupakan aspek terpenting yang harus dipertimbangkan karena aspek inilah yang juga pertama-tama menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total untuk mengikuti cerita


(35)

Adanya alur cerita akan terbentuk suatu tahapan-tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita melalui para pelaku dalam suatu pengisahan, dan biasanya juga alur element penting yang menyelaraskan gagasan tentang siapa, apa, bagaimana, dimana, mengapa dan kapan. Dengan kata lain alur itu merupakan jalinan asal muasal kejadian dalam perkembangannya sebuah cerita. Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 :83) mendefinisikan plot sebagai berikut :

“Plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita, Kenudian Plot merupakan rangkaian kisah tentang peristiwa yang bersebab, dijalin dengan melibatkan konflik atau masalah yang pada akhirnya diberi peleraian”.

Selanjutnya Lukens (Nurgiyantoro, 2005 : 68) mengemukakan bahwa alur merupakan urutan kejadian yang mempelihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya.

Sejalan dengan itu Muchtar Lubis (dalam Eri, 2005 : 29 ) membagi alur menjadi lima tahapan secara berurutan yaitu :

1. Exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu), 2. Generating circumstances (peristiwa mulai bergerak), 3. Ricing action (keadaan mulai memuncak),

4. Climax (puncak),

5. Denoument (penyelesaian).

Berdasarkan pendapat di atas maka penulis berkesimpulan bahwa alur atau plot merupakan rangkaian suatu peristiwa dengan peristiwa lain, dengan melibatkan konflik atau masalah serta diberi penyelesaiannya dan peristiwa itu terjadi berdasarkan sebab-akibat dan alur akan melibatkan masalah peristiwa dan aksi yang dilakukan dan ditampakkan kepada tokoh cerita. Dan alur memiliki


(36)

exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu), generating circumstances (peristiwa mulai bergerak), ricing action (keadaan mulai memuncak), climax (puncak), denoument (penyelesaian).

c. Latar

Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam arti yang lebih luas, latar mencakup tempat dalam waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dalam kegiatan itu. ( Tarigan, 1982 : 157)

Menurut Semi (Oktober, 1993 : 51)

“Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk di dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati seperti kampus, disebuah kapal yang berlayar ke Hongkong, di kafetaria, di sebuah puskesmas, di dalam penjara di Paris dan sebagainya. Termasuk di dalam unsur latar atau landas tumpu ini adalah waktu, hari, tahun, musim atau periode sejarah, misalnya di zaman perang kemerdekaan di saat upacara sekaten dan sebagainya. Orang atau kerumunan orang yang berada di sekitar tokoh juga dapat dapat dimasukkan ke dalam unsur latar, namun tokoh itu sendiri tentu tidak termasuk”.

Selanjutnya Aminuddin (1987 : 67) berpendapat bahwa,

Setting (latar) juga berlaku dalam cerita fiksi karena peristiwa-peristiwa dalam cerita fiksi juga selalu dilatarbelakangi oleh tempat, waktu, maupun situasi tertentu. Akan tetapi dalam, dalam karya fiksi, setting atau latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis. Setting juga memiliki fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pemabacanya. Dalam hal ini telah diketahui adanya setting yang metaforis.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa latar adalah ruang atau tempat bahkan periode sejarah yang dapat diamati suasana terjadinya


(37)

peristiwa di dalam karya sastra. Atau dengan kata lain setting adalah peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Dalam kaitan ini Aminuddin (1987 : 68) membedakan antara setting (latar) yang bersifat fisikal dengan setting (latar) yang bersifat psikologis yakni :

1. Setting yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota Jakarta, daerah pedesaan, pasar, sekolah, dan lain-lain,serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting berupa lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta mampu mangajuk emosi pembaca.

2. Setting fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa nuansa maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.

3. Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dari apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran. 4. Terdapat saling pengaruh dan ketumpangtindihan antara setting fisikal

dengan setting psikologis.

Sejalan dengan itu Sudjiman (Maini, 1997 : 4) berpendapat bahwa pertama-tama latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya, selain itu adanya latar berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para pelaku. Dan menurut Jakob Sumardjo (1988) Latar sebagai berikut :

Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).

Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.

b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.


(38)

d. Latar sosial

Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial, sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa. Serta meyakini adanya magis berupa pawang dan lain-lain.

Dalam kaitan ini Syaifuddin (2002 : 29 ) berpendapat bahwa,

Pawang adalah seseorang yang mampu menggunakan kekuatan magis untuk memindahkan hujan, memindahkan makhluk halus, atau jin dari kawasan hutan sewaktu penebasan hutan dan mampu mengusir jin jahat dari laut yang dijadikan sebagai kawasan penagkapan ikan. Kemudian dalam masyarakat Melayu Sumatera Timur pawang, tukang cerita, orang pintar atau tuan guru mempunyai arti yang sama dengan dukun.

Skeat (dalam Syaifuddin, 2002 : 29 ) juga menyatakan bahwa, Pawang diketahui mampu mengobati orang sakit melalui kekuatan magis atau batinnya. Selain itu, pawang juga mampu membujuk dan menghalau mahkluk halus baik jin atau roh jahat yang dianggap mempunyai kekuatan mengganggu kehidupan manusia.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pawang atau orang pintar lebih dikenal dengan panggilan dukun yaitu yang memiliki kekuatan magis, dengan kekuatannya itu ia dapat menolong orang dari suatu masalah, misalnya menghalau jin atau roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia. Selain itu juga, pawang dapat menyelamatkan masyarakat apabila adanya kejadian yang merisaukan masyarakat.


(39)

e. Tokoh

Menurut Mido (Eri , 2005 : 36 ) tokoh dalam cerita mungkin saja hanya satu orang atau lebih dari satu orang. Kalau dari satu maka ditinjau dari segi perannya. Tokoh adalah pemeran dalam suatu cerita, karena tanpa tokoh sebuah cerita tidak akan ada. Dan tokoh sering juga disebut penggambaran watak dan kepribadian secara tidak langsung.

Dalam kaitan ini, Aminuddin (1987 : 79 ) menegaskan,

“Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”

Tokoh masing-masing memiliki peran dan fungsi tersendiri ada yang sering muncul atau sering diceritakan (sentral) dan bahkan hanya sebagai peran tambahan. Dan dalam hal ini Sumardjo (1988) mengungkapkan bahwa tokoh berdasarkan fungsinya memiliki peran sebgai berikut :

“Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu

b. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.

c. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu

a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (protagonis atau antagonis). b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit


(40)

c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja”.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku atau pemeran dari dalam cerita yang menitikberatkan kepada kegiatannya sehari-hari dalam kehidupan suatu karya sastra. Peran dan fungsi tokoh masing-masing memiliki keragaman, karena peran seorang tokoh dalam sebuah cerita mewakili karekter dari karya itu masing-masing berbeda, maka dari itulah seorang tokoh memilki keragaman ada sebagai tokoh sentral protagonis yang selalu membawakan cerita dengan pembawaan tokoh yang baik dan mulia (positif). Ada tokoh sentral protagonis yaitu yang selalu membawakan tokoh yang buruk (negatif). Dan dalam sebuah cerita terdapat adanya tokoh yang sebagai pemeran tokoh bawahan yaitu tokoh yang berfungsi sebagai pemeran pembantu utama dalam sebuah cerita.

f. Penokohan

Penokohan merupakan keseluruhan gerak laku yang terdorong oleh motivasi-motivasi kejiwaan yang disuguhkan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra.

Menurut KBBI (2000 : 1149 ) bahwa “penokohan adalah sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran, perbuatan, tabiat dan budi pekerti”. Dalam hal ini Tarigan juga berpendapat, (1982 : 141) bahwa, perwatakan atau karakterisasi adalah proses yang dipergunakan oleh seseorang pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh fisiknya.

Selanjutnya Semi (1990 : 29) menegaskan tentang tokoh cerita sebagai berikut :


(41)

“Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang di beri bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidakny antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan, perilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan sebagainya”.

Lalu bagaimanakah cara pengarang membangun watak para tokoh ini? Ada berbagai upaya yang akan ditempuh oleh seorang pengarang seperti yang dikemukakan olah Aminuddin (1987 : 80-81) yakni,

“Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya dengan cara :

1. Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.

2. Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian.

3. Menunjukan bagaimana perilakunya.

4. Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri. 5. Memahami bagaimana jalan pikirannya.

6. Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya. 7. Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya.

8. Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lian itu memberikan reaksi terhadapnya

9. Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perwatakan adalah keseluruhan sifat tokoh atau pelaku yang digambarkan oleh pengarang di dalam karyanya. Sifat ini merupakan segala tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan dan keadaan fisisk tokoh tersebut. Penokohan ini selalu dihubungkan dengan tokoh atau pelaku yang ada di dalam sebuah cerita. Setiap peristiwa atau kejadian yang ada di dalam sastra berlangsung sedemikian rupa dengan adanya tokoh cerita.


(42)

2.2.2 Teori Didaktis

Setelah membahas unsur intrinsik maka akan dibahas unsur ekstrinsiknya berdasarkan pendekatan didaktis yaitu :

Kata didaktis berasal dari bahasa Yunani yakni “didaktie” yang asal katanya adalah “didaskein” artinya mengajar. Didaktie dalam bahasa latinnya disebut didaktik atau didaktis, Djaka (Yusmalina, 1997:26).

Semi (1990 : 71) berpendapat bahwa didaktis adalah pendidikan dengan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada sesuatu arah tertentu. Temyang, dkk (Yusmalina, 1997:26) menyatakan bahwa pengertian didaktis adalah ilmu mengajar yang menunjukan kepada kita bagaimana kita harus mengajar anak lebih mudah dikatakan didaktis menetapkan cara mengajar.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa didaktis adalah ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai pengajaran dan gagasan-gagasan pengajaran yang disampaikan melalui pendidikan.

Pada dasarnya pendidikan adalah laksana eksperimen yang tidak pernah selesai sampai kapan pun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Di katakan demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pembawaan manusia yang memiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupannya (Hasbullah, 2005 : 10).

Meskipun barangkali sebagian di antara kita mengetahui tentang apa itu pendidikan, tetapi ketika pendidikan tersebut dalam satu batasan tertentu, maka terdapatlah bermacam-macam pengertian yang diberikan.


(43)

Tentang pengertian pendidikan ini dijelaskan oleh (Kartono, 1997 : 10) bahwa :

Pendidikan merupakan proses mempengaruhi dan proses membentuk yang diorganisi, direncanakan, diawasi, dinilai, dan dikembangkan secara terus-menerus. Karena itu pedagogi(lebih baik disebut sebagai andragogi = pendidikan/ilmu mendidik manusia; andros = manusia, agoo = menuntun, membimbing) ialah ilmu membentuk manusia, agar dia bisa mandiri, dan selalu bertanggung jawab secara susila sepanjang hidupnya.

Dari penyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebgaai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa, dalam arti dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis. Selanjutnya, diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.

Kohnstamm dan Gunning (Kartono, 1997 : 11) menyatakan bahwa :

Pendidikan adalah pembentukan hati nurani dan proses pembentukan diri dan penentuan diri secara etis, sesuai dengan suara hati nurani.

Pengertian pendidikan menurut KBBI (2000 : 263) :

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Tentang pengertian pendidikan ini juga dijelaskan pula oleh Syam (Oktober, 1993 : 65) yang mengemukakan,


(44)

“a. Pendidikan adalah aktifitas dan usaha manusia untuk meningkatkan dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, rasa, cipta dan budi nurani) dan jasmani (panca indra serta ketrampilan-ketrampilan).

b. Pendidikan berarti juga lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat (negara).

c. Pendidikan merupakan pola hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam arti ini merupakan tingakat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai satu kesatuan”.

Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah alat atau sarana untuk meningkatkan kesejahteran manusia, baik jasmani maupun maupun rohani yang diterima secara formal serta berlangusung seumur hidup. Jadi, pendidikan bukan hanya diperolah di sekolah saja, tetapi juga dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sehingga pendidikan tanggung jawab bersama antara keluaraga, masyarakat dan pemerintah. Hal inilah yang dikenal dengan tripusat pendidikan.

Dalam hal ini juga Hasbullah (1996 : 38-55) mengatakan bahwa pendidikan erat hubungannya dengan pendidikan dalam lingkungan keluarga, pendidikan dalam lingkungan sekolah dan pendidikan dalam lingkungan masyarakat :

1. Pendidikan Dalam Lingkungan Keluarga

Lingkunga keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.


(45)

Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tuannya dari anggota keluarga yang lain.

Dengan demikian terlihat betapa besar tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat di mana ia menjadi diri pribadi atau diri sendiri. Keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dalam fungsi sosialnya. Disamping itu keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tertinggi.

Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak adalah orang tua.

2. Pendidikan Dalam Lingkungan Sekolah

Pada dasarnya pendidikan di sekolah merupakan bagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus juga lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Disamping itu, kehidupan di sekolah adalah jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarkat.

Yang dimaksud dengan pendidikan sekolah di sini adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat (mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi).


(46)

Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan berkembang secara efektif dan efesien untuk masyarakat, merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam mendidik warga negara. Sekolah dikelolah secara formal, hierarkis dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan tujuan pendidikan nasional.

3. Pendidikan Dalam Lingkungan Masyarakat

Masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang yang menempati suatu daerah, diikat oleh pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadar akan kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya.

Masyarakat juga dapat diartikan sebagai satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Dalam arti ini masyarkat adalah wadah dan wahana pendidikan, medan kehidupan manusia yang majemuk (plural : suku, agama, kegiatan kerja, tingkat pendidikan, tingakat sosial ekonomi dan sebagainya). Manusia berada dalam multikompleks antarhubungan dan antaraksi di dalam masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.

Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan,


(47)

pembentukan pengertian-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan.

2.2.3 Hubungan Didaktis Dengan Karya Sastra

Kata “sastra” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “castra” yang berarti tulisan atau bahasa; su dalam bahasa Sanskerta artinya indah, bagus; susastra artinya bahasa yang indah, maksudnya hasil ciptaan bahasa yang indah (www.dunia sastra.com). Dan dijelaskan juga oleh Zuber (Oktober, 1993 : 55) kesusasteraan yakni,

“Kesusastraan ialah kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota-anggota masyarakat itu”

Berarti dalam hubungan ini bahasa mempunyai fungsi yang sangat penting bagi penciptaan suatu karya sastra. Bila tidak ada bahasa suatu karya tidak akan tercipta, karena bahasa adalah syarat yang mutlak diperlukan untuk menciptakan suatu hasil sastra.

Karya sastra sudah diciptakan manusia jauh sebalum manusia memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilainya, karena sastra adalah bagian dari pengungkapan yang benar atas kejadian dalam kehidupan, baik yang direnungkan maupun yang dirasakan berupa pengalaman pemikiran, perasaan, ide, semangat penulis atau pengarang di alam nyata. Hal ini disebabkan karena sastra bertujuan untuk menempatkan kodrat manusia itu sebagai manusia yang berbudaya, bersosial, berikesenian, sehingga dapat menampilkan tokoh-tokoh yang baik dalam kehidupan ini. Hal ini berarti karya sastra yang dapat dijadikan sebagai


(48)

gambaran dari keinginan dan kehidupan yang ada dalam benak pengarang, seperti yang dikatakan oleh Sumardjo (1988 : 3 ) bahwa,

“Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam bentuk gambaran kongkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa”.

Sastra dikatakan mempunyai kejiwaan tertentu, karena sastra dipandang sebagai curahan jiwa sipengarang yang memperlihatkan tentang hidup lingkungan kehidupannya. Ini menyangkut dunia batin dan dunia realitas yaitu masyrakatnya serta curahan jiwa pengarang dan berdasarkan jalan pikiran pengarang.

Selanjutnya Darma (Oktober, 1993 : 55 ) menegaskan tentang sastra yakni, “Sastra memang karya tulis, akan tetapi yang penting bukanlah tulisannya, melainkan yang ada didalamnya. Dan apabila kebanyakan orang mengatakan bahwa yang penting di dalam tulisan sastra adalah keindahannya, maka sebetulnya keindahan itu pun bukanlah disebabkan oleh keindahan bahasanya seperti yang banyak dikatakan orang, melainkan karena keberhasilan tulisan sastra tersebut mendekati kebenaran”.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa sastra ialah karya tulis yang menggambarkan peristiwa kehidupan masyarakat serta memiliki unsur keindahan karena isinya mengandung nilai-nilai kebenaran. Maka dengan adanya hasil-hasil karya sastra diharapkan mampu menyucikan, memurnikan, menumbuhkan rasa kasihan, sadar, takut, terharu, dan sebagainya di dalam jiwa manusia.

2.2.4 Didaktis Sebagai Salah Satu Pendekatan Sastra

Hugh Holman (Yusmalina, 1997 : 30 ) menjelaskan tentang didaktis sebagai salah satu pendekatan sastra yaitu :


(49)

“Didactic literature, di-dac-tic, is literature that has is its major purpose the instruction or guidance of the reader, particularly in moral or religious matters, but also in politids, science and ather affairs. All literatur may be considered didactic to some emotion fact or idea, but a work is called “didactic” if what the author intends to communicate takes precedence over artistic qualitiy”

“didaktik kesusasteraan, di-dak-tik, adalah suatu kesusasteraan yang sebagian besar maksud dan tujuannya adalah sebagai pedoman atau petunjuk bagi para pembaca, khususnya untuk masalah moral atau agama, tetapi juga dalam masalah politik, ilmu pengetahuan dan masalah ilmu lainnya. Semua kesusasteraan mungkin bisa dikaitkan atau disebut sebuah tingkatan di dalam didaktik, dimana ia berperan sebagai alat komunikasi untuk perasaan, fakta atau ide, tetapi apabila si pengarang ingin berkomunikasi dengan cara menyampaikan hal-hal yang penting dengan nilai keindahan”.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan wadah yang cukup dan dapat diandalkan untuk menanamkan nilai-nilai moral dalam jiwa masyarakat, sehingga segala sesuatu perbuatan yang dilakukan akan dipertimbangkan baik buruknya dari segi moral. Hal ini pula yang menjadi konsep pendekatan didaktis dalam karya sastra. Dan dapat dikatakan, pendekatan didaktis dalam karya sastra yakni yang menekankan pada nilai-nilai didaktis yang terkandung dalam karya sastra yang ditelaah tersebut. Nilai-nilai didaktis yang dikandung oleh sebuah karya sastra dapat berupa ajaran moral, agama, akal, keindahan serta ilmu pengetahuan dan lain-lainnya.

Selanjutnya Aminuddin ( 1987 : 47) yang menyatakan bahwa : Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis maupun agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan moral pembaca khususnya tentang pendidikan suatu masyarakat.


(50)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan didaktis adalah suatu sikap pengarang yang menciptakan hasil karya sastra dengan memberikan pesan etika kepada hasil karya tersebut, sehingga dapat mencerminkan akhlak di dalam hidup dan kehidupan seorang penikmat atau pembaca. Atau dengan kata lain, pengarang suatu karya sastra menghasilkan karya tersebut dengan menanamkan serta memberikan nilai-nilai moral maupun akhlak kepada setiap karyanya, sehingga pembaca dapat menikmati dan mendapatkan manfaat terhadap pesan-pesan moral di dalam karya itu.

Pendekatan didaktis ini pada dasarnya juga merupakan suatu pendekatan yang telah beranjak jauh dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah penerapan pendekatan didaktis dalam karya sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan dari pembaca atau penikmat.


(51)

BAB III

STRUKTUR UMUM CERITA RAKYAT AJI KAHAR

MASYARAKAT KUALA PANE KABUPATEN LABUHAN BATU

Pada dasarnya penelitian struktur, yaitu suatu penelitian yang membahas unsur-unsur karya sastra dalam usaha menemukan makna karya yang bersangkutan, penelitian struktur yang dimaksudkan di sini adalah penelitian tentang tema, alur, latar, tokoh dan penokohan.

Tema

Jika kita membaca cerita rakyat sering terasa bahwa pengarang tidak hanya sekedar menyampaikan sebuah cerita saja, namun ada suatu konsep pusat yang diperluas dalam cerita itu dan pengarang menyampaikan melalui tema.

Tema dalam suatu cerita sangatlah penting karena dengan tema pengarang dengan mudah menyampaikan perasaanya baik melalui pengalaman dan rasanya untuk menceritakan karya sastra itu. Tema adalah ide pokok atau suatu gagasan utama yang mendasari suatu karya sastra dan dalam karya sastra tema mempunyai unsur-unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk suatu proses penciptaan prosa.

Ini terlihat jelas bahwa tema atau pikiran utama itu sangatlah diperlukan dalam cerita atau karya sastra baik yang bersifat fikitif maupun non fiktif harus memerlukan tema, karena dengan adanya tema pengarang menyampaikan inspirasinya terarah dan jelas.

Untuk menentukan tema di sini penulis melihat persoalan yang paling menonjol, konflik yang paling banyak hadir, menghitung urutan penceritaan.


(52)

Unsur Tema

Unsur Cerita

Menolong Baik Ceroboh Jujur Amanah Pemaaf Persoalan Yang

Paling Menonjol

III II II I I

Konflik Yang Paling Hadir

I I

Menghitung Waktu Penceritaan

Jumlah 3 2 3 1 1 1

Namun, untuk mengetahui tema dari cerita rakyat Aji Kahar ini hanya dua cara di atas yang dapat digunakan yaitu, persoalan yang paling menonjol dan konflik yang paling banyak hadir, sedangkan menghitung waktu penceritaan tidak dapat digunakan, hal ini karena dalam cerita tersebut tidak ditemukan waktu penceritaan yang akan dihitung.

Sikap menolong yang pertama, terdapat pada diri Aji Kahar yaitu pada saat ia panen, lalu ia memberikan pertolongan kepada penduduk yang mengharapkan pertolongan, setiap orang yang datang meminta pertolongan kepada Aji Kahar selalu pulang tidak pernah dengan tangan hampa. Sikap menolong yang kedua, ketika Aji Kahar berada di Sungai Barumun sedang mandi di saat itu ia mendengar suara meminta pertolongan, ternyata anak salah satu warga hanyut di Sungai Barumun lalu Aji Kahar dengan cepat berenang dan melawan arus untuk menangkap anak itu dan akhirnya anak itu dapat diselamatkan. Sedangkan sikap menolong yang ketiga, ketika sering hilangnya


(53)

warga yang mandi-mandi di Sungai Barumun, maka penduduk pun meminta pertolongan kepada Pawang Buaya untuk menemukan anak warga yang hilang, dan ternyata selama ini anak yang hilang itu telah dimangsa buaya dan buaya itu adalah buaya Aji Kahar.

Sikap baik yang terdapat dalam cerita, pertama terletak pada sikap baik Aji

Kahar, walaupun diusianya yang hampir seabad, namun ia dimata penduduk

selalu sikap yang baik, ramah dan sikap yang penolong. Sedangkan sikap baik yang kedua terdapat pada Pawang Buaya, dengan permintaan penduduk untuk menangkap makhluk yang memangsa warga, dengan senang hati Pawang Buaya membantu warga dan tanpa pamrih.

Sikap ceroboh yang terdapat dalam cerita ini yakni pertama, cerobohnya anak-anak yang sedang bermandi-mandian di Sungai Barumun, melompat kesana kemari akhirnya hanyut dibawa derasnya arus sungai. Sedangkan sikap ceroboh yang kedua, ketika sebulan berita meninggalnya Aji Kahar maka penduduk pun sudah melupakan kesedihan meninggalnya Aji Kahar itu. Dan warga pun sudah kembali berkerja ke sawah dan anak-anak gadis atau ibu-ibu sudah mencuci bahkan bermandi-mandian ke sungai. Tetapi seorang anak gadis yang keasikan mandi tiba-tiba dimangsa oleh buaya dan akhirnya anak itu dibawa oleh buaya tersebut sampai tak meninggalkan bekas, karena kecerobohan anak gadis itu maka terjadilah korban.

Sikap jujur yang terdapat dalam cerita ini, yaitu terdapat pada diri Aji Kahar ketika warga bertanya apa rahasianya supaya tetap sehat, awet mudah dan tetap kuat. Maka Aji Kahar menjawab, selalu bersiakap jujur tidak serakah dan selalu mensyukuri nikmat.


(54)

Sikap pemaaf yang terdapat dalam cerita ini terdapat dalam bagian ketika sering hilangnya warga akibat dimangsa oleh buaya, maka dari itu warga pun sangat murka dan marah terhadap mahkluk yang memangasa warga. Maka dengan bantuan seorang Pawang Buaya baru diketahui bahwasannya yang memangsa penduduk selama ini adalah buaya Aji Kahar, sejak diketahui yang memangsa penduduk adalah buaya Aji Kahar malah warga pun tidak menghajar atau membunuh buaya tersebut, melainkan warga memaafkannya dan meminta Pawang Buaya untuk membawa buaya Aji Kahar ketempat asalnya dan memakamkan Aji Kahar secara normal setelah dimandikan dengan air kelapa terlebih dahulu.

Konflik yang paling hadir di dalam cerita ini adalah, karena salah satu warga ceroboh dan tidak memenuhi amanah yang diberikan oleh Aji Kahar yaitu ketika Aji Kahar nantinya meninggal dunia sebelum jasadnya dikebumikan maka dimandikan dengan air kelapa terlebih dahulu, tetapi warga tidak menghiraukan amanah tersebut maka dari amanah itu menimbulkan malapetaka, seperti hilangnya anak-anak yang bermandi-mandian di Sungai Barumun, anak kecil maupun anak dewasa yang menjadi santapan kebuasan buaya Aji Kahar.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tema yang terdapat dalam cerita rakyat Aji Kahar ini adalah “Kebaikan dan sikap menolong sesama akan membawa dampak yang baik di dalam kehidupan, serta malaksanakan amanah sebagai tanggung jawab yang diamanahkan, sehingga tidak mangakibatkan malapetaka”.


(55)

Alur

Alur merupakan suatu rentetan peristiwa atau jalannya suatu cerita yang diurutkan dalam aspek pengisahan sebuah karya sastra, alur juga element yang menyelaraskan gagasan tentang jalinan asal muasal kejadian dalam tata tubuh dan perkembangannya sebuah cerita.

Untuk menentukan alur di sini penulis membagi alur menjadi lima tahapan sebagai berikut : exposition (pengarang mulai melukiskan keadaan sesuatu), generating circumstances (peristiwa mulai bergerak), ricing action (keadaan mulai memuncak), climax (puncak), denoument (penyelesaian).

Exposition ( Pengarang Mulai Melukiskan Sesuatu )

Dalam bagian ini pengarang menggambarkan keadaan cerita, seperti memperkenalkan tokoh dengan lingkungannya waktu dan tempat kejadian cerita.

Seperti terlihat pada kutipan berikut ini :

“Labuhan Batu yang wilayahnya terbentang dari Langga Payung sampai ke Selat Malaka mengalir Sungai Barumun yang berliku-liku dan deras airnya... Pada hilir sungai yang merupakan pertemuan antara Sungai Barumun, Sungai Bilah dengan Selat Malaka masyarakatnya sangat ramai dan terdapat tepian mandi serta terdapat pula sebatang pohon kayu tua yang rebah... Tak jauh dari batang kayu yang rebah berdiri sebuah rumah besar, bertangga dan berkolong tinggi, sehingga anak-anak bebas berjalan atau bermain dibawahnya. Di dalam rumah inilah Aji kahar bermukim beserta anak dan cucu-cucunya, istrinya telah lama meninggal dunia”. (AK : 3-4)

Dari jenis alur exposition di atas jelas menunjukan bahwa pengarang melukiskan atau menggambarkan keadaan dengan memperkenalkan lingkungan, dimana sang tokoh hidup dan berkembang dikediamannya. Seperti terlihat sang


(56)

sistem rumah panggung, sehingga anak-anak warga pun dapat bermain-main di bawahnya.

Genarating Circumstances (Peristiwa Mulai Bergerak)

Peristiwa mulai bergerak ini dimulai ketika adanya orang tenggelam di sungai dan Aji Kahar dapat berenang melawan arus melebihi orang normal dan dijumpai adanya buaya di ladang Aji Kahar, sejak itulah orang menaruk curiga pada Aji Kahar bahwa ia seorang manusia buaya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini :

Suatu hari ketika malam bulan purnama beberapa pemuda secara iseng ingin mencuri hasil tanaman Aji Kahar, mereka melihat seekor buaya yang sangat besar menjaga kebun mereka terkejut dan takut, namun ketika diberitahukan kepada teman-temannya dan dilihat lagi buaya itu tidak ada lagi. Di malam berikutnya mereka membuktikan bahwa buaya itu ada di sawah Aji Kahar

yang lain lagi.

Kejadian demi kejadian ini meyakinkan masyarakat bahwa Aji

Kahar memiliki mahkluk siluman berupa buaya, menurut

orang-orang tua di kampungnya Aji Kahar pernah berguru kepada Pawang Buaya yang tinggalnya di hulu Sungai Barumun. Hal tersbut ditandai sejak dulu beberapa kali terlihat Aji Kahar mampu berenang di Sungai Barumun melawan arus dengan sangat lincah sekali. (AK : 4)

Dari jenis alur Genarating Circumstances di atas ini jelas menunjukkan, bahwa pengarang memulai menggerakkan sebuah cerita dengan adanya kejadian yang membuat pembaca mulai tertarik dan penasaran terhadap kejadian-kejadian yang aneh tersebut, sehingga cerita menarik dan dapat mengambil perhatian (simpatik) pembaca. Dari cerita Aji Kahar ini pengarang memulai menggerakkan cerita memulai peristiwa tenggelamnya anak warga di sungai yang airnya sangat deras dan mustahil oranga dapat menyelematkan anak itu karena selain sungai itu airnya yang sangat deras juga sungai itu terkenal dalam. Karena


(57)

dengan pertolongan Aji Kahar ini lah anak itu terselamatkan, dari sini lah warga mulai curiga siapakah Aji Kahar sebenarnya diusia yang hampir seabad dia dapat berenang melawan arus yang deras sekali dan sungai yang terkenal dalam. Sejak kejadian itu warga menduga bahwa Aji Kahar bukanlah manusia biasa, tetapi mempunyai kelebihan seperti buaya. Karena sebelumnya pemuda pernah melihat seekor buaya yang sangat besar menungguh sawah Aji Kahar.

Ricing Action (Keadaan Mulai Memuncak)

Keadaan mulai memuncak ini ditandai dengan adanya kejadian-kejadian yang aneh dan tak lazim ada pada diri Aji Kahar yaitu Aji Kahar ke sungai setiap pagi sebelum matahari terbit dan embun masi membasahi bumi dan petang sebelum matahari terbenam saat langit terlihat berwarna jingga kemerah-merahan, lain dari pada itu ujung jari kelingking Aji Kahar tangan kirinya puntung, dan juga pantang meminum air kelapa, pernah ia meminta tolong kepada penduduk ketika ia meninggal dunia nantinya sebelum mayatnya dikebumikan agar mayatnya itu dimandikan dengan air kelapa serta ia sangat suka makan daging-dagingan, namun makan sayur dan buah ia tidak suka. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini :

Aji Kahar mempunyai kebiasaan mandi di sungai setiap pagi hari sebelum matahari terbit dan embun masi membasahi bumi, kemudian petang hari sebelum matahari terbenam saat langit terlihat berwarna jingga kemerah-merahan... hal yang aneh pada diri Aji Kahar yaitu ujung jari kelingking tangan kirinya puntung tak pernah diketahui oleh seorangpun apa penyebabnya, bahkan keluarga sekalipun tidak mengetahui apa sebabnya, agar jangan diketahui orang lain ia senantiasa memasukkan tangan kirinya ke saku. Hal yang aneh lagi yang pada diri Aji Kahar, beliau pantang meminum air kelapa apa penyebabnya orang juga tidak mengetahui... “Kalau begitu Atok juga minta tolong dan ini pesan Atok, kalau nanti Atok meninggal dunia, tolong


(58)

mandikan Atok dengan air kelapa sebalum jasad Atok dikebumikan, itu pesan Atok ya!”...Dan Aji

Kahar mempunyai kebiasaan menyukai makanan yang berupa

daging-dagingan, sedangkan sayur-sayuran dan buah beliau tidak menyukainya. (AK : 5-7)

Dari jenis alur ricing action di atas, ini jelas menunjukkan bahwa pengarang menceritakan kejadian ini keadaannya mulai memuncak. Dengan kejadian-kejadian yang menjadikan cerita ini berisi dan menarik. Ini ditandai dengan kebiasaan-kebiasaan seorang Aji Kahar selalu yang tak lazim seperti manusia kebanyakkan yaitu Aji Kahar selalu mandi ke sungai setiap sebelum matahari terbit di saat orang-orang masi tidur dan embun masih membasahi bumi dan selalu makan daging-dagingan setiap hari, selain itu Aji Kahar pantang minum air kelapa dan apabila ia meninggal ia minta dimandikan dengan air kelapa sebelum jasadnya dikebumikan, orang yang mendengarnya pun terheran-heran apa yang terjadi pada diri Aji Kahar. Dari sinilah pengarang membuat ceirita ini mulai memuncak.

3.2.4 Climax ( Puncak )

Puncak dari cerita ini yaitu sering terjadinya orang hanyut dan hilang di Sungai Barumun ketika mandi dan seketika itu juga air penuh dengan darah di Sungai itu, namun penduduk yakin bahwa di sungai itu ada buaya yang memangsa manusia. Dengan bantuan Pawang Buaya diketahuilah bahwa memang di Sungai Barumun itu ada mahkluk penjaga air yaitu buaya terkadang memakan binatang yang ada di air dan juga manusia ketika mereka lapar. Dengan demikian warga pun meminta agar Pawang Buaya membunuh buaya-buaya yang ganas itu


(59)

agar kehidupan masyarakat Kuala Pane aman dan damai seperti sedia kalah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut :

Ada beberapa anak sedang mandi-mandi di Sungai Barumun sambil berlompat-lompatan sambil menyelam kesana kemari tapi tiba-tiba terdengar suara “tolong...tolong...tolong...” teriakan seorang anak yang tenggelam ketengah sungai, namun tiba-tiba di dalam air timbul darah yang sangat banyak dan akhirnya anak itu hilang...Jauh di hulu Sungai Barumun tinggallah seorang Pawang Buaya, yang memiliki kecepatan berenang melebihi kemampuan orang biasa. Konon kabarnya Pawang Buaya berpantang makan ikan, karena ikan adalah sahabatnya...

Dengan kejadian sering hilangnnya orang di Sungai Barumun maka penduduk meminta tolong kepada Pawang Buaya. Pawang Buaya pun dengan hati yang tulus tanpa mengharapkan imbalan materi mencari orang yang hilang itu. Melalui jampi-jampi Pawang Buaya diketahuilah bahwa bocah dan gadis yang hilang si Sungai Barumun itu telah dimangsa buaya. Atas permintaan masyarakat maka Pawang Buaya dapat memusnahkan buaya yang sangat ganas itu agar masyarakat dapat kembali tenang. (AK : 11-13)

Dari jenis alur climax di atas, ini jelas menunjukkan bahwa pengarang membuat cerita ini sampai dengan isi cerita yang sebenarnya dengan menitikberatkan kejadian-kejadian yang memang isi dari judul ini, bahwa Aji Kahar adalah seorang buaya dan ini ditandai dengan sering hilangnya warga yang bermandi-mandian di sungai dimangsa oleh buaya dengan kegalauan penduduk maka warga pun meminta pertolongan dari sang Pawang Buaya yang konon teman seperguruan buaya Aji Kahar, agar desa dan masyarakat itu dapat kembali tenang.

3.2.5 Denoument ( Penyelesaian )

Akhir dari cerita ini yaitu ketika Pawang Buaya memanggil penghuni Sungai Barumun yaitu buaya-buaya yang memangsa manusia dan ketika itu juga


(60)

Pawang Buaya dan penduduk mengetahui bahwa yang selama ini memangsa warga Kuala Pane adalah buaya Aji Kahar sahabat Pawang Buaya sendiri dan buaya Aji Kahar meminta kepada Pawang Buaya untuk menyempurnakan kematiannya agar tidak memangsa masyarakat lagi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini :

Dan dengan mantra-mantra dan ajiaan Pawang Buaya menyelam dan berseruh di dalam air... Pawang Buaya berkata pada penduduk “ kita tunggu malam ini kita akan kedatangan tamu istimewa yaitu si raja air penguasah sungai. Suara air berkecipak dan sesosok mahkluk hitam sebesar batang kelapa merayap naik kedarat mendekati Pawang Buaya berganti-gantian dan berjalan sangat pelan-pelan karena ia merasa malu baik kepada Pawang Buaya maupun penduduk. Lalu Pawang Buaya menjelaskan bahwa yang memangsa manusia itu adalah buaya ini dan ia adalah Buaya

Aji Kahar karena ia merasa lapar maka ia memangsa manusia.

Setelah kejadian itu Pawang Buaya datang kekeluarga Aji Kahar

dan bercerita. Semasa mudah Pawang Buaya dan Aji Kahar teman seperguruan sama-sama memiliki ilmu kebatinan raja air, yang seharusnya ketika beliau meninggal sebelum dikebumikan jasadnya dimandikan dengan air kelapa...Kini buaya tersebut telah kembali ke alam baqa dan kematian Aji Kahar telah sempurna, setelah Buaya Aji Kahar dimandikan dengan air kelapa. Sejak itu penduduk Kuala Pane merasa tentram dan berani bermain air di Sungai Barumun serta mencuci ataupun mandi. Air Sungai Barumun menjadi tenang, setenang perasaan penduduk yang kini hidup makmur tentram dan damai. (AK : 15-21)

Dari jenis alur denoument di atas, ini menunjukkan bahwa pengarang mengakhiri cerita itu dengan memberikan penyelesaian dan jawaban-jawaban serta membongkar habis atas kejadian suatu cerita. Ini ditandai dengan sejak pertolongan Pawang Buaya, penduduk mengetahui dengan jelas bahwa selama ini penyebab hilangnya warga karena dimangsa oleh si buaya Aji Kahar dikarenakan ketika Aji Kahar meninggal tidak dimandikan dengan air kelapa, sehingga ia menjadi bringas dan buas, tetapi berkat dengan bantuan Pawang Buaya tersebut akhirnya Aji Kahar sadar dan minta dimakamkan secara normal, dan ketika itu


(61)

juga Pawang Buaya memakamkan sesuai keinginan Aji Kahar dan kini masyarakat Kuala Pane menjadi aman, tentram dan damai air di Sungai Barumun pun kini juga menjadi tenang.

Dari beberapa jenis alur di atas dapat disimpulkan bahwa dalam cerita rakyat Aji Kahar ini adalah alur maju, karena cerita ini diuraikan melalui pengantar awal cerita, sampai selesai dan tuntas dalam penyelesaian cerita, tanpa menceritakan kembali secara berulang-ulang (plash back) cerita.

3.3 Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.

Latar dapat juga seperti gambaran tempat dan waktu ataupun segala situasi tempat terjadinya suatu peristiwa, dimana para tokoh hidup dan bergerak. Latar mempunyai ruang yang diamati seperti waktu, musim ataupun sejarah.

3.3.1 Latar Tempat

Latar tempat biasanya menjelaskan tentang lokasi kejadian peristiwa yang diceritakan di dalam karya sastra. Dalam hal ini tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu dan lokasi tertentu.


(1)

Buaya menjelaskan bahwa yang memangsa manusia itu adalah buaya ini dan ia adalah Buaya Aji Kahar karena ia merasa lapar maka ia memangsa manusia.

Setelah kejadian itu maka Pawang Buaya datang kekeluarga Aji Kahar dan bercerita. Semasa mudah Pawang Buaya dan Aji Kahar teman seperguruan sama-sama memiliki ilmu kebatinan raja air, yang seharusnya ketika beliau meninggal sebelum dikebumikan jasadnya dimandikan dengan air kelapa.

Kini buaya tersebut telah kembali ke alam baqa dan kematian Aji Kahar

telah sempurna, setelah Buaya Aji Kahar dimandikan dengan air kelapa. Sejak itu penduduk Kuala Pane merasa tentram dan berani bermain air di Sungai Barumun serta mencuci ataupun mandi. Air Sungai Barumun menjadi tenang, setenang perasaan penduduk yang kini hidup makmur tentram dan damai.


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)