Pengaruh mata uang tunggal Eurozone terh
Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Internasional di Uni Eropa
Oleh
Fadhil Akbar Kurniawan
1110852004
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik
Universitas Andalas
2014
Pengaruh mata uang tunggal (Eurozone) terhadap integrasi politik
negara-negara Uni Eropa
1. Latar Belakang
Perang Dingin yang terjadi pada akhir 1980-an membawa banyak perubahan dalam
tatanan dunia, dimana terjadinya perubahan dalam konteks Ilmu Hubungan Internasional yang
menciptakan suatu tatanan dunia baru (new world order). Isu geo politik dan security yang
selama ini mendominasi interaksi global secara perlahan mulai beralih ke isu geo-ekonomi yang
pada pasca Perang Dingin lebih banyak diwarnai oleh peningkatan kerjasama internasional
terutama dalam bidang ekonomi. Sehingga pasca era Perang Dingin perspektif dominan beralih
menjadi “integration”.1
Dalam konteks ekonomi, integrasi merepresentasikan upaya untuk menyatukan potensi
ekonomi yang ada dari berbagai negara-negara dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan
bersama dan peningkatan kualitas hidup masyarakat dibawah payung integrasi tersebut.
Kerjasama ekonomi ini diinstitusionalisasikan melalui beberapa lembaga, baik yang bersifat
internasional maupun regional. Dimana berbagai perundingan dilakukan untuk meningkatkan
kerjasama ekonomi internasional yang berkelanjutan untuk menyempurnakan sistem
pterdagangan dunia, seperti Putaran Kenedy, Putaran Tokyo dan Putaran Uruguai yang
merupakan upaya untuk melakukan moderasi sistem perdagangan dunia menjadi lebih terbuka.
Menurut Hasan Habib (1997), semangat internasionalisme baru akan membuka jalan untuk
menumbuhkan suatu sistem ekonomi global untuk kepentingan dunia. Hal tersebut didukung
dengan munculnya lembaga-lemabaga multilateral seperti World Bank, IMF, dan WTO yang
berupaya untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dan arus modal.2
Perdagangan bebas diyakini mempunyai manfaat yang besar yang mampu meningkatkan
ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia. Perdagangan bebas juga akan
mendorong negara, perusahaan, dan juga individu untuk berkompetisi di apsar global. Stephen
1 Robert Gilpin, Global Poltical Economy: Understanding The International Economic Order
(New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 28-31.
2 A. Hasnan Habib, Kopita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional (Jakarta: CSIS,
1997), hal. 56
Gill dan David Law (1998) menyatakan bahwa dalam perspektif ekonomi pasar, kekuatan paling
mendasar dalam ekonomi adalah adanya interaksi kompetitif antar individu dalam mencapai
tingkat kepuasan maksimal melalui institusi yang telah terbentuk secara sosial, yaitu pasar. Lebih
jauh lagi Gill menjelaskan bahwa berbeda dengan perpektif realis, dalam ekonomi liberal, agar
pasar dapat mengalokasikan sumber-sumber secara efisien, maka diperlukan kompetisi. Dan
kompetisi tersebut akan berjalan dengan baik kalau terdapat banyak perusahaan. 3 Roger G.
Ibboston dan Gary P. Brinson (1993) juga menyatakan bahwa “kondisi yang diperlukan oleh
pasar yang efisien adalah tidak adanya hambatan yang dapat menghalangi investor untuk
menggunakan informasi, termasuk tentang kebijakan untuk melakukan aktifitas perdagangan.4
Gagasan-gagasan tersebutlah yang membentuk integrasi ekonomi Masyarakat Eropa
dimana kerjasama ekonomi akan berhasil dengan optimal ketika tercipta suatu pasar yang
menjamin terjadinya perdagangan bebas. Sejak awal pendiriannya, Masyarakat Eropa telah
berkomitmen untuk menciptakan suatu pasar tunggal. Hal ini dimulai dengan membuat kebijakan
kepabeanan bersama dan penyamaan tarif yang kemudian akan terus berkembang menjadi pasar
bersama. Pasar bersama inilah yang merupakan upaya untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan
meningkatkan pertumbuhan kolektif. Integrasi Uni Eropa menjadi sebuah prototype bagi model
integrasi kawasan yang sukses selama ini dalam memajukan aspek kepentingan suprastate nya.
Dimana integrasi ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II dan telah menunjukkan
keberhasilan empiris. Proses integrasi ini pada mulanya lebih didominasi oleh isu ekonomi,
namun dalam perkembangannya mengalami berbagai proses percabangan terhadap bidangbidang lainnya seperti politik, keamanan dan pertahanan.
Proses integrasi Eropa tidak selalu bergerak ke depan, namun pernah mengalami berbagai
stgnasi bahkan kemunduran. Kiris ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1970-an misalnya
menunjukkan adanya stagnasi integrasi Eropa. Pasar tunggal Eropa yang bertujuan untuk
memperkuat ekonomi kawasan tidak sepenuhnya dapat dijalankan. Sehingga, pertumbuhan
ekonomi Masyarakat Eropa mengalami berbagai ketertinggalan dibandingkan dengan Amerika
Serikat dan Jepang.
3 Stephen Gill and David Law, The Global Political Economy, Perspective, Problems dan
Policies (Baltimor, The Johns Hopkins University Press, 1998), hal. 42-43)
4 Rogger G. Ibboston and Gary P. Brinson, Global Investing. The Professional Guide to the
World Capital Market (McGrawHill, 1993), hal. 93.
Ketidakmampuan Masyarakat Eropa dalam menghadapi krisis ekonomi tersebut akhirnya
memunculkan kesadaran kolektif di kalangan pemipin Eropa. Sehingga pada tahun 1985 Komisi
Eropa menerbitkan Buku Putih (White Paper) yang memunculkan motivasi untuk kembali ke
sasaran integrasi seperti yang dirumuskan dalam Traktat Roma. Buku putih ini juga memberikan
saran untuk menghapuskan semua bentuk hambatan perdagangan sampai akhir tahun 1992.
Dengan demikian,, hal tersebut akan memberikan kebebasan pergerakan modal, barang, jasa dan
termasuk sumber daya manusia dalam rangka proses integrasi yang betul-betul kompherensif.
Buku Putih dan Akta Tunggal Eropa tersebut akhirnya menjadi dasar bagi penyatuan ekonomi
dan moneter Eropa pada tahun 1986.5 Dan diantara rekomendasi penting dalam penyatuan
ekonomi dan moneter adalah penggunaan mata uang bersama.
Traktat Maastricht yang ditandatangani pada Februari 1992, merupakan perkembangan
yang signifikan dalam integrasi Uni Eropa. Traktat Maastricht menetapkan tiga pilar yang
menjadi tonggak penggerak integrasi, yaitu European Community, Common Foreign and
Security Community serta Justice and Home Affairs. Walaupun terdapat tiga ppilar, namun
kecenderungan integrasi lebih diprioritaskan pada upaya penyatuan ekonomi dan moneter.
Penyatuan ekonomi dan moneter dianggap penting untuk mendorong terciptanya pasar tunggal
Eropa dan memberikan respon terhadap perubahan perekonomian global.
Persiapan dan penetapan yang dilakukan untuk penyatuan ekonomi dan moneter ini
memerlukan pertimbangan yang matang dikarenakan tingginya tingkat kompleksitas
permasalahan negara-negara anggota. Hal tersebut misalnya terlihat pada perbedaan tingkat
perekonomian, perbedaan sistem perbankan serta perbedaan nilai tukar mata uang antar negara.
Untuk menjamin tercapainya stabilitas ekonomi dan moneter dalam penggunaan mata uang
tunggal, dibentuklah kriteria yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota. Kriteria tersebut
misalnya berhubungan dengan tingkat kematangan harga, tingkat suku bunga, jumlah hutang
pemerintah dan stabilitas nilai tukar mata uang nasional. Semua kriteria tersebut haruslah
dipenuhi oleh negara-negara Uni Eropa yang bergabung dalam penggunaan mata uang tunggal.
Dalam konteks inilah perlunya penetapan dalam penyatuan ekonomi moneter tersebut.
5 Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism, The World Economy in the 21st Century
(New Jersey: Princeton University Press, 2000), hal.195.
Setelah proses penetapan yang cukup panjang, maka pada akhirnya pada 1 Januari 1999
mata uang tunggal Euro diberlakukan di 11 negara Uni Eropa. Pada tahap awal ini, Euro baru
berlaku sebagai alat transaksi tidak tunai (non-cash transaction) di negara-negara zona Euro. Ini
merupakan transisi untuk benar-benar memberlakukan Euro sebagai alat transaksi tunai
masyarakat apda tanggal 1 Januari 2002.
Pemberlakuan mata uang tunggal euro memiliki makna yang sangat luas tidak hanya bagi
Uni Eropa saja, namun juga bagi global. Bagi Uni Eropa sendiri, penggunaan mata uang tunggal
Euro akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Rendahnya biaya transaksi
akan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti investasi dan lain
sebagainya. Murahnya biaya transaksi ini juga disebabkan oleh pengeluaran yang semakin
efisien dan hilangnya biaya tambahan yang muncul dari perbedaan nilai tukar. Dalam konteks
internasional dan global, penggunaan mata uang tunggal Euro akan meningkatkan prospek
ekonomi Eropa di pasar global. Uni Eropa diperkirakan akan mampu meningkatkan daya saing
mereka dan menghadapi kompetisi di pasar internasional terutama dalam menghadapi kekuatan
luar seperti AS dan Jepang. Di samping itu, Euro juga diyakini akan menjadi alternative dalam
melakukan investasi global menjadi standar mata uang internasioinal selain Dollar AS.
2. Pengaruh Eurozone terhadap integrasi politik negara-neagra Uni Eropa
Walaupun Traktat Maastricht telah menyepakati kebijakan mata uang tunggal Eropa,
namun terdapat beberapa negara seperti Swedia, Yunani, Inggris, dan Denmark yang merupakan
4 dari 15 negara yang menyatakan tidak bergabung dalam kebijakan tersebut dan berada di luar
zona Euro. Ketidakikutsertaan negara-neagra tersebut memiliki perbedaan latar belakang yang
variatif. Seperti Swedia contohnya, lebih disebabkan karena Statuta Bank Sentral Swedia belum
disesuaikan dengan norma-norma European System Central Bank (ESCB). Dengan demikian
Swedia belum memenuhi kriteria yang berkaitan dengan sistem perbankan seperti yang
tercantum dalam Traktat Maastricht.
Hal yang sama juga terjadi pada Yunani yang belum dapat bergabung dengan Euro
disebabkan karena perekonomian neagra tersebut yang belum memenuhi kriteria dan standar
perekonomian Uni Eropa. Baru setelah memenuhi kriteria perekonomian tersebut, Yunani
akhirnya dapat bergabung dalam penggunaan Euro pada pertengahan tahun 2000. Berbeda
dengan kedua negara sebelumnya, Inggris dan Denmark justru memberikan penolakan untuk
bergabung dalam mata uang tunggal. Tidak bergabungnya Inggris dalam penggunaan mata uang
tunggal, tidak terlepas dari sikap dan pertimbangan yang bersifat politis. Dalam sebuah jejak
pendapat yang diselenggarakan oleh Institut Gallup, disebutkan bahwa 94 persen dari 12.000
responden akan memberikan suara “tidak” bila diadakan referendum tentang keikutsertaan
Inggris dalam Euro.6 Bahkan pada permualaan penggunaan mata uang Euro pada awal januari
2002 misalnya, sebagian masyarakat Inggris melakukan demonstrasi di depan Bank of England
yang bertujuan untuk melakukan penolakan terhadap kehadiran Euro. 7 Bagi Inggris, kehadiran
mata uang Euro sesungguhnya memiliki arti berbeda dibandingkan dengan negara-negara Eropa
lainnya. Hal ini berkaitan dengan sejarah dan perasaan nasionalisme Inggris terhadap mata uang
Poundsterling yang memiliki makna dan nilai historis, karena itu masyarakat Inggris
menganggap dengan menghapus mata uang Euro maka sama saja dengan menghapus nilai-nilai
prestise kebangsaan Inggris sendiri.
Persoalan Euro oleh beberapa anggota Uni Eropa tersebut merupakan persoalan yang memiliki
dimensi politik. Sebab integrasi mensyaratkan adanya penyerahan kedaulatan kepada institusi
6 Harian KOMPAS, edisi Selasa 5 Januari 1999
7 Harian KOMPAS, edisi Rabu 2 Januari 2002.
supranasional, baik dalam konteks integrasi ekonomi dan politik. Dalam masalah perbankan
misalnya, penyatuan ekonomi dan moneter dakan menciptakan sentralisasi sistem perbankan.
Seluruh kebijakan moneter akan terpusat di Bank Sentral Eropa. Kebijakan ini juga sekaligus
akan menghapuskan kewenangan negara anggota dalam membuat kebijakan moneter. Dengan
demikian, negara pada akhirnya harus melakukan “transfer of sovereignity” kepada Bank
Sentral Eropa sebagai lembaga supranasional.
Terdapat empat perspektif pemikiran dalam teori integrasi, yaitu federalism,
transaksionalisme, fungsionalisme dan neo fungsionalisme. Masing-masing perspektif memiliki
pendekatan yang berbeda satu sama lain. Namun disini penulis lebih memilih untuk
mengelaborasi menggunakan perspektif Neo-fungsionalisme untuk mengkaji dampak kebijakan
mata uang tunggal Euro terhadap integrasi politik Uni Eropa. Neo-fungsionalisme merupakan
varian teori integrasi untuk meneliti perkembangan kerjasama ekonomi kawasan yang terjadi di
berbagai belahan dunia.
Neo-fungsionalisme melihat integrasi regional pada hakikatnya merupakan sebuah proses
pembauran politik, sebagaimana juga diakui oleh penganut federalism, yang ditandai dengan
adanya kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi terhadap perbedaan sosial yang ada serta untuk
mengurangi konflik kepentingan yang ada dalam masyarakat, melalui kerangka kerja yang dibuat
secara bersama.
Pandangan Ernest B. Haas mengenai integrasi regional yang ada dalam perspektif Neofungsionalisme melihat pada proses mengapa dan bagaimana negara-negara mengurangi
kedaulatannya untuk kemudian bergabung dan berkumpul dengan negara-negara yang dekat
secara geografis sehingga mereka kehilangan atribut-atribut kedaulatan sebagai sebuah neagra.
Pada waktu yang bersamaan mereka mendapatkan teknik baru dalam menyelesaikan konflik di
antara mereka sendiri. 8
Proses integrasi dalam perpektif neo-fungsionalisme ditandai dengan adanya interaksi
banyak aktor dan negara bukanlah satu-satunya aktor penting dalam percaturan internasional.
Sebagai konsekuensinya, neo-fungsionalisme lebih menekankan pada peran institusi
8 Michael O’neill, The Politics of European Integration, A Reader (London and New York:
Routledge, 1996), hal. 38.
supranasional dan aktor-aktor non-negara seperti kelompok kepentingan dan partai-partai politik
yang menjadi kekuatan penggerak ril dalam proses integrasi tersebut.
Aktor-aktor ini sangat berperan dalam memberikan tekanan pada proses integrasi melalui
interaksi lintas batas negara yang mereka lakukan . proses ini pada awalnya muncul dari jaringan
aktor-aktor pada wilayah yang lebih luas dan kompleks serta memperjuangkan kepentingan
nasional mereka dalam lingkungan politik yang lebih pluralis. Menurut Rosamond, bagi neofungsionalisme, politik merupakan aktivitas yang didasarkan pada kelompok, sehingga
perkembangan neo-fungsionalisme kemudian dipengaruhi oleh pluralisme dalam ilmu politik.
Merunut kepada konsep Spillover yang dikemukakan dalam perspektif neofungsionalisme, kerjasama dalam satu area kebijkaan akan menciptakan tekanan pada area
kebijakan lain yang ada di dekatnya. Kerjasama ini dijadikan sebagai agenda politik sehingga
mampu memberikan dorongan ke arah integrasi yang lebih lanjut dan mendalam. Karena itu
menurut Jensen (2003) spillover merujuk kepada situasi dimana kerjasama di satu bidang
menyebabkan adanya keharusan untuk bekerjasama di bidang lain. Hal ini terjadi secara otomatis
dan diluar kontrol pemimpin politik.9
Jika kita mengkaitkan proses integrasi ekonomi merunut terhadap neo-fungsionalisme,
tentu akan menyebabkan dampak ke berbagai aspek, salah satunya integrasi politik. Sebagai unit
ekonomi mata uang tunggal Euro memiliki keterkaitan dengan proses integrasi politik. Kebijakan
mata uang tunggal Euro akan mendorong negara untuk loyal kepada kepentingan kawasan yang
dikelola oleh institusi supranasional. Selain itu, kebijakan mata uang tunggal Euro akan
mendorong negara-negara anggota Uni Eropa untuk melakukan reformasi kelembagaan.
Reformasi kelembagaan tersebut diwujudkan dengan perubahan pada struktur, peran, dan
mekanisme institusi serta membentuk landasan hukum yang berlaku sama berupa konstitusi Uni
Eropa.
Sebagai unit ekonomi, mata uang tunggal akan berperan penting dalam proses integrasi
politik. Kebijakan mata uang tunggal Euro akan menjadi stimulus dan pada gilirannya akan
berdampak terhadap integrasi politik Uni Eropa. Proses spillover kebijakan mata uang tunggal
terhadap integrasi politik dapat dilihat dari adanya dorongan untuk mendekatkan kebijakan antar
9 Carsten Stroby Jensen, Neo-functionalism, dalam: Michael Cini, European Union Politics
(Oxford University Press, 2003), hal. 81
negara. Traktat Maastricht misalnya merupakan salah satu contoh dimana kerjasama dan
integrasi politik mulai diakomodasi dengan serius. Traktat Maastricht seperti yang terlihat dalam
pembahasan mulai menekankan perubahan peran dan kewenangan. Hal tersebut misalnya terlihat
pada Parlemen Eropa yang selama ini tidak memiliki pengaruh yang dominan dalam
pengambilan keputusan. Traktat Maastricth dan juga Traktat Amsterdam memberikan
kewenangan yang sangat luas sehingga Parlemen Eroopa dapat membuat co-decision dengan
Dewan Eropa. Artinya Parlemen Eropa akan memiliki kewenangan yang lebih besar dan
pengaruh yang lebih luas dalam institusi Eropa.
Integrasi politik juga ditandai dengan perubahan mekanisme pengambilan keputusan Uni
Eropa dari keputusan suara bulat menjadi keputusan mayoritas bersyarat. Perubahan-perubahan
seperti ini merupakan moderasi mekanisme dan sistem politik yang berlaku dalam Uni Eropa
sebagai respon terhadap tekanan dalam negri masing-masing neagra anggota serta respon
terhadap perubahan konstalasi global. Dengan demikian, mekanisme pembuatan keputusan akan
menjadi lebih simple, demokratis, dan transparan.
3.
Penutup
Penggunaan Euro sebagai mata uang tunggal di Eropa tidak saja membawa dampak
terhadap ekonomi namun juga terhadap integrasi politik di Uni Eropa. Kapabilitas Uni Eropa
sebagai institusi supranasional mempunyai pengaruh yang besar untuk menyatukan negaranegara di kawasan Uni Eropa yang mempunyai kepentigan yang berbeda-beda. Salah satu jalan
yang ditawarkan yaitu dengan memberlakukan Euro sebagai mata uang Eropa dengan tujuan
selain mendongkrak kapabilitas pasar juga untuk menjadikannya sebagai salah satu mata uang
utama dunia selain Dollar. Merunut terhadap argument Ernest B. Hass dalam perspektif neofungsionalisme bahwasanya kerjasama integrasi ekonomi ini akan secara otomatis membawa
kerjasama dalam aspek lainnya termasuk juga politik. Sehingga pemberlakuan mata uang tunggal
Euro mempunyai dampak yang besar terhadap integrasi politik di Uni Eropa.
Daftar Pustaka
Robert Gilpin, Global Poltical Economy: Understanding The International Economic
Order (New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 28-31.
A. Hasnan Habib, Kopita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional (Jakarta: CSIS,
1997), hal. 56
Stephen Gill and David Law, The Global Political Economy, Perspective, Problems dan
Policies (Baltimor, The Johns Hopkins University Press, 1998), hal. 42-43)
Rogger G. Ibboston and Gary P. Brinson, Global Investing. The Professional Guide to
the World Capital Market (McGrawHill, 1993), hal. 93.
Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism, The World Economy in the 21st
Century (New Jersey: Princeton University Press, 2000), hal.195.
Harian KOMPAS, edisi Selasa 5 Januari 1999
Harian KOMPAS, edisi Rabu 2 Januari 2002.
Carsten Stroby Jensen, Neo-functionalism, dalam: Michael Cini, European Union
Politics (Oxford University Press, 2003), hal. 81
Michael O’neill, The Politics of European Integration, A Reader (London and New York:
Routledge, 1996), hal. 38.
Oleh
Fadhil Akbar Kurniawan
1110852004
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik
Universitas Andalas
2014
Pengaruh mata uang tunggal (Eurozone) terhadap integrasi politik
negara-negara Uni Eropa
1. Latar Belakang
Perang Dingin yang terjadi pada akhir 1980-an membawa banyak perubahan dalam
tatanan dunia, dimana terjadinya perubahan dalam konteks Ilmu Hubungan Internasional yang
menciptakan suatu tatanan dunia baru (new world order). Isu geo politik dan security yang
selama ini mendominasi interaksi global secara perlahan mulai beralih ke isu geo-ekonomi yang
pada pasca Perang Dingin lebih banyak diwarnai oleh peningkatan kerjasama internasional
terutama dalam bidang ekonomi. Sehingga pasca era Perang Dingin perspektif dominan beralih
menjadi “integration”.1
Dalam konteks ekonomi, integrasi merepresentasikan upaya untuk menyatukan potensi
ekonomi yang ada dari berbagai negara-negara dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan
bersama dan peningkatan kualitas hidup masyarakat dibawah payung integrasi tersebut.
Kerjasama ekonomi ini diinstitusionalisasikan melalui beberapa lembaga, baik yang bersifat
internasional maupun regional. Dimana berbagai perundingan dilakukan untuk meningkatkan
kerjasama ekonomi internasional yang berkelanjutan untuk menyempurnakan sistem
pterdagangan dunia, seperti Putaran Kenedy, Putaran Tokyo dan Putaran Uruguai yang
merupakan upaya untuk melakukan moderasi sistem perdagangan dunia menjadi lebih terbuka.
Menurut Hasan Habib (1997), semangat internasionalisme baru akan membuka jalan untuk
menumbuhkan suatu sistem ekonomi global untuk kepentingan dunia. Hal tersebut didukung
dengan munculnya lembaga-lemabaga multilateral seperti World Bank, IMF, dan WTO yang
berupaya untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan internasional dan arus modal.2
Perdagangan bebas diyakini mempunyai manfaat yang besar yang mampu meningkatkan
ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia. Perdagangan bebas juga akan
mendorong negara, perusahaan, dan juga individu untuk berkompetisi di apsar global. Stephen
1 Robert Gilpin, Global Poltical Economy: Understanding The International Economic Order
(New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 28-31.
2 A. Hasnan Habib, Kopita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional (Jakarta: CSIS,
1997), hal. 56
Gill dan David Law (1998) menyatakan bahwa dalam perspektif ekonomi pasar, kekuatan paling
mendasar dalam ekonomi adalah adanya interaksi kompetitif antar individu dalam mencapai
tingkat kepuasan maksimal melalui institusi yang telah terbentuk secara sosial, yaitu pasar. Lebih
jauh lagi Gill menjelaskan bahwa berbeda dengan perpektif realis, dalam ekonomi liberal, agar
pasar dapat mengalokasikan sumber-sumber secara efisien, maka diperlukan kompetisi. Dan
kompetisi tersebut akan berjalan dengan baik kalau terdapat banyak perusahaan. 3 Roger G.
Ibboston dan Gary P. Brinson (1993) juga menyatakan bahwa “kondisi yang diperlukan oleh
pasar yang efisien adalah tidak adanya hambatan yang dapat menghalangi investor untuk
menggunakan informasi, termasuk tentang kebijakan untuk melakukan aktifitas perdagangan.4
Gagasan-gagasan tersebutlah yang membentuk integrasi ekonomi Masyarakat Eropa
dimana kerjasama ekonomi akan berhasil dengan optimal ketika tercipta suatu pasar yang
menjamin terjadinya perdagangan bebas. Sejak awal pendiriannya, Masyarakat Eropa telah
berkomitmen untuk menciptakan suatu pasar tunggal. Hal ini dimulai dengan membuat kebijakan
kepabeanan bersama dan penyamaan tarif yang kemudian akan terus berkembang menjadi pasar
bersama. Pasar bersama inilah yang merupakan upaya untuk menciptakan efisiensi ekonomi dan
meningkatkan pertumbuhan kolektif. Integrasi Uni Eropa menjadi sebuah prototype bagi model
integrasi kawasan yang sukses selama ini dalam memajukan aspek kepentingan suprastate nya.
Dimana integrasi ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II dan telah menunjukkan
keberhasilan empiris. Proses integrasi ini pada mulanya lebih didominasi oleh isu ekonomi,
namun dalam perkembangannya mengalami berbagai proses percabangan terhadap bidangbidang lainnya seperti politik, keamanan dan pertahanan.
Proses integrasi Eropa tidak selalu bergerak ke depan, namun pernah mengalami berbagai
stgnasi bahkan kemunduran. Kiris ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1970-an misalnya
menunjukkan adanya stagnasi integrasi Eropa. Pasar tunggal Eropa yang bertujuan untuk
memperkuat ekonomi kawasan tidak sepenuhnya dapat dijalankan. Sehingga, pertumbuhan
ekonomi Masyarakat Eropa mengalami berbagai ketertinggalan dibandingkan dengan Amerika
Serikat dan Jepang.
3 Stephen Gill and David Law, The Global Political Economy, Perspective, Problems dan
Policies (Baltimor, The Johns Hopkins University Press, 1998), hal. 42-43)
4 Rogger G. Ibboston and Gary P. Brinson, Global Investing. The Professional Guide to the
World Capital Market (McGrawHill, 1993), hal. 93.
Ketidakmampuan Masyarakat Eropa dalam menghadapi krisis ekonomi tersebut akhirnya
memunculkan kesadaran kolektif di kalangan pemipin Eropa. Sehingga pada tahun 1985 Komisi
Eropa menerbitkan Buku Putih (White Paper) yang memunculkan motivasi untuk kembali ke
sasaran integrasi seperti yang dirumuskan dalam Traktat Roma. Buku putih ini juga memberikan
saran untuk menghapuskan semua bentuk hambatan perdagangan sampai akhir tahun 1992.
Dengan demikian,, hal tersebut akan memberikan kebebasan pergerakan modal, barang, jasa dan
termasuk sumber daya manusia dalam rangka proses integrasi yang betul-betul kompherensif.
Buku Putih dan Akta Tunggal Eropa tersebut akhirnya menjadi dasar bagi penyatuan ekonomi
dan moneter Eropa pada tahun 1986.5 Dan diantara rekomendasi penting dalam penyatuan
ekonomi dan moneter adalah penggunaan mata uang bersama.
Traktat Maastricht yang ditandatangani pada Februari 1992, merupakan perkembangan
yang signifikan dalam integrasi Uni Eropa. Traktat Maastricht menetapkan tiga pilar yang
menjadi tonggak penggerak integrasi, yaitu European Community, Common Foreign and
Security Community serta Justice and Home Affairs. Walaupun terdapat tiga ppilar, namun
kecenderungan integrasi lebih diprioritaskan pada upaya penyatuan ekonomi dan moneter.
Penyatuan ekonomi dan moneter dianggap penting untuk mendorong terciptanya pasar tunggal
Eropa dan memberikan respon terhadap perubahan perekonomian global.
Persiapan dan penetapan yang dilakukan untuk penyatuan ekonomi dan moneter ini
memerlukan pertimbangan yang matang dikarenakan tingginya tingkat kompleksitas
permasalahan negara-negara anggota. Hal tersebut misalnya terlihat pada perbedaan tingkat
perekonomian, perbedaan sistem perbankan serta perbedaan nilai tukar mata uang antar negara.
Untuk menjamin tercapainya stabilitas ekonomi dan moneter dalam penggunaan mata uang
tunggal, dibentuklah kriteria yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota. Kriteria tersebut
misalnya berhubungan dengan tingkat kematangan harga, tingkat suku bunga, jumlah hutang
pemerintah dan stabilitas nilai tukar mata uang nasional. Semua kriteria tersebut haruslah
dipenuhi oleh negara-negara Uni Eropa yang bergabung dalam penggunaan mata uang tunggal.
Dalam konteks inilah perlunya penetapan dalam penyatuan ekonomi moneter tersebut.
5 Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism, The World Economy in the 21st Century
(New Jersey: Princeton University Press, 2000), hal.195.
Setelah proses penetapan yang cukup panjang, maka pada akhirnya pada 1 Januari 1999
mata uang tunggal Euro diberlakukan di 11 negara Uni Eropa. Pada tahap awal ini, Euro baru
berlaku sebagai alat transaksi tidak tunai (non-cash transaction) di negara-negara zona Euro. Ini
merupakan transisi untuk benar-benar memberlakukan Euro sebagai alat transaksi tunai
masyarakat apda tanggal 1 Januari 2002.
Pemberlakuan mata uang tunggal euro memiliki makna yang sangat luas tidak hanya bagi
Uni Eropa saja, namun juga bagi global. Bagi Uni Eropa sendiri, penggunaan mata uang tunggal
Euro akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Rendahnya biaya transaksi
akan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti investasi dan lain
sebagainya. Murahnya biaya transaksi ini juga disebabkan oleh pengeluaran yang semakin
efisien dan hilangnya biaya tambahan yang muncul dari perbedaan nilai tukar. Dalam konteks
internasional dan global, penggunaan mata uang tunggal Euro akan meningkatkan prospek
ekonomi Eropa di pasar global. Uni Eropa diperkirakan akan mampu meningkatkan daya saing
mereka dan menghadapi kompetisi di pasar internasional terutama dalam menghadapi kekuatan
luar seperti AS dan Jepang. Di samping itu, Euro juga diyakini akan menjadi alternative dalam
melakukan investasi global menjadi standar mata uang internasioinal selain Dollar AS.
2. Pengaruh Eurozone terhadap integrasi politik negara-neagra Uni Eropa
Walaupun Traktat Maastricht telah menyepakati kebijakan mata uang tunggal Eropa,
namun terdapat beberapa negara seperti Swedia, Yunani, Inggris, dan Denmark yang merupakan
4 dari 15 negara yang menyatakan tidak bergabung dalam kebijakan tersebut dan berada di luar
zona Euro. Ketidakikutsertaan negara-neagra tersebut memiliki perbedaan latar belakang yang
variatif. Seperti Swedia contohnya, lebih disebabkan karena Statuta Bank Sentral Swedia belum
disesuaikan dengan norma-norma European System Central Bank (ESCB). Dengan demikian
Swedia belum memenuhi kriteria yang berkaitan dengan sistem perbankan seperti yang
tercantum dalam Traktat Maastricht.
Hal yang sama juga terjadi pada Yunani yang belum dapat bergabung dengan Euro
disebabkan karena perekonomian neagra tersebut yang belum memenuhi kriteria dan standar
perekonomian Uni Eropa. Baru setelah memenuhi kriteria perekonomian tersebut, Yunani
akhirnya dapat bergabung dalam penggunaan Euro pada pertengahan tahun 2000. Berbeda
dengan kedua negara sebelumnya, Inggris dan Denmark justru memberikan penolakan untuk
bergabung dalam mata uang tunggal. Tidak bergabungnya Inggris dalam penggunaan mata uang
tunggal, tidak terlepas dari sikap dan pertimbangan yang bersifat politis. Dalam sebuah jejak
pendapat yang diselenggarakan oleh Institut Gallup, disebutkan bahwa 94 persen dari 12.000
responden akan memberikan suara “tidak” bila diadakan referendum tentang keikutsertaan
Inggris dalam Euro.6 Bahkan pada permualaan penggunaan mata uang Euro pada awal januari
2002 misalnya, sebagian masyarakat Inggris melakukan demonstrasi di depan Bank of England
yang bertujuan untuk melakukan penolakan terhadap kehadiran Euro. 7 Bagi Inggris, kehadiran
mata uang Euro sesungguhnya memiliki arti berbeda dibandingkan dengan negara-negara Eropa
lainnya. Hal ini berkaitan dengan sejarah dan perasaan nasionalisme Inggris terhadap mata uang
Poundsterling yang memiliki makna dan nilai historis, karena itu masyarakat Inggris
menganggap dengan menghapus mata uang Euro maka sama saja dengan menghapus nilai-nilai
prestise kebangsaan Inggris sendiri.
Persoalan Euro oleh beberapa anggota Uni Eropa tersebut merupakan persoalan yang memiliki
dimensi politik. Sebab integrasi mensyaratkan adanya penyerahan kedaulatan kepada institusi
6 Harian KOMPAS, edisi Selasa 5 Januari 1999
7 Harian KOMPAS, edisi Rabu 2 Januari 2002.
supranasional, baik dalam konteks integrasi ekonomi dan politik. Dalam masalah perbankan
misalnya, penyatuan ekonomi dan moneter dakan menciptakan sentralisasi sistem perbankan.
Seluruh kebijakan moneter akan terpusat di Bank Sentral Eropa. Kebijakan ini juga sekaligus
akan menghapuskan kewenangan negara anggota dalam membuat kebijakan moneter. Dengan
demikian, negara pada akhirnya harus melakukan “transfer of sovereignity” kepada Bank
Sentral Eropa sebagai lembaga supranasional.
Terdapat empat perspektif pemikiran dalam teori integrasi, yaitu federalism,
transaksionalisme, fungsionalisme dan neo fungsionalisme. Masing-masing perspektif memiliki
pendekatan yang berbeda satu sama lain. Namun disini penulis lebih memilih untuk
mengelaborasi menggunakan perspektif Neo-fungsionalisme untuk mengkaji dampak kebijakan
mata uang tunggal Euro terhadap integrasi politik Uni Eropa. Neo-fungsionalisme merupakan
varian teori integrasi untuk meneliti perkembangan kerjasama ekonomi kawasan yang terjadi di
berbagai belahan dunia.
Neo-fungsionalisme melihat integrasi regional pada hakikatnya merupakan sebuah proses
pembauran politik, sebagaimana juga diakui oleh penganut federalism, yang ditandai dengan
adanya kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi terhadap perbedaan sosial yang ada serta untuk
mengurangi konflik kepentingan yang ada dalam masyarakat, melalui kerangka kerja yang dibuat
secara bersama.
Pandangan Ernest B. Haas mengenai integrasi regional yang ada dalam perspektif Neofungsionalisme melihat pada proses mengapa dan bagaimana negara-negara mengurangi
kedaulatannya untuk kemudian bergabung dan berkumpul dengan negara-negara yang dekat
secara geografis sehingga mereka kehilangan atribut-atribut kedaulatan sebagai sebuah neagra.
Pada waktu yang bersamaan mereka mendapatkan teknik baru dalam menyelesaikan konflik di
antara mereka sendiri. 8
Proses integrasi dalam perpektif neo-fungsionalisme ditandai dengan adanya interaksi
banyak aktor dan negara bukanlah satu-satunya aktor penting dalam percaturan internasional.
Sebagai konsekuensinya, neo-fungsionalisme lebih menekankan pada peran institusi
8 Michael O’neill, The Politics of European Integration, A Reader (London and New York:
Routledge, 1996), hal. 38.
supranasional dan aktor-aktor non-negara seperti kelompok kepentingan dan partai-partai politik
yang menjadi kekuatan penggerak ril dalam proses integrasi tersebut.
Aktor-aktor ini sangat berperan dalam memberikan tekanan pada proses integrasi melalui
interaksi lintas batas negara yang mereka lakukan . proses ini pada awalnya muncul dari jaringan
aktor-aktor pada wilayah yang lebih luas dan kompleks serta memperjuangkan kepentingan
nasional mereka dalam lingkungan politik yang lebih pluralis. Menurut Rosamond, bagi neofungsionalisme, politik merupakan aktivitas yang didasarkan pada kelompok, sehingga
perkembangan neo-fungsionalisme kemudian dipengaruhi oleh pluralisme dalam ilmu politik.
Merunut kepada konsep Spillover yang dikemukakan dalam perspektif neofungsionalisme, kerjasama dalam satu area kebijkaan akan menciptakan tekanan pada area
kebijakan lain yang ada di dekatnya. Kerjasama ini dijadikan sebagai agenda politik sehingga
mampu memberikan dorongan ke arah integrasi yang lebih lanjut dan mendalam. Karena itu
menurut Jensen (2003) spillover merujuk kepada situasi dimana kerjasama di satu bidang
menyebabkan adanya keharusan untuk bekerjasama di bidang lain. Hal ini terjadi secara otomatis
dan diluar kontrol pemimpin politik.9
Jika kita mengkaitkan proses integrasi ekonomi merunut terhadap neo-fungsionalisme,
tentu akan menyebabkan dampak ke berbagai aspek, salah satunya integrasi politik. Sebagai unit
ekonomi mata uang tunggal Euro memiliki keterkaitan dengan proses integrasi politik. Kebijakan
mata uang tunggal Euro akan mendorong negara untuk loyal kepada kepentingan kawasan yang
dikelola oleh institusi supranasional. Selain itu, kebijakan mata uang tunggal Euro akan
mendorong negara-negara anggota Uni Eropa untuk melakukan reformasi kelembagaan.
Reformasi kelembagaan tersebut diwujudkan dengan perubahan pada struktur, peran, dan
mekanisme institusi serta membentuk landasan hukum yang berlaku sama berupa konstitusi Uni
Eropa.
Sebagai unit ekonomi, mata uang tunggal akan berperan penting dalam proses integrasi
politik. Kebijakan mata uang tunggal Euro akan menjadi stimulus dan pada gilirannya akan
berdampak terhadap integrasi politik Uni Eropa. Proses spillover kebijakan mata uang tunggal
terhadap integrasi politik dapat dilihat dari adanya dorongan untuk mendekatkan kebijakan antar
9 Carsten Stroby Jensen, Neo-functionalism, dalam: Michael Cini, European Union Politics
(Oxford University Press, 2003), hal. 81
negara. Traktat Maastricht misalnya merupakan salah satu contoh dimana kerjasama dan
integrasi politik mulai diakomodasi dengan serius. Traktat Maastricht seperti yang terlihat dalam
pembahasan mulai menekankan perubahan peran dan kewenangan. Hal tersebut misalnya terlihat
pada Parlemen Eropa yang selama ini tidak memiliki pengaruh yang dominan dalam
pengambilan keputusan. Traktat Maastricth dan juga Traktat Amsterdam memberikan
kewenangan yang sangat luas sehingga Parlemen Eroopa dapat membuat co-decision dengan
Dewan Eropa. Artinya Parlemen Eropa akan memiliki kewenangan yang lebih besar dan
pengaruh yang lebih luas dalam institusi Eropa.
Integrasi politik juga ditandai dengan perubahan mekanisme pengambilan keputusan Uni
Eropa dari keputusan suara bulat menjadi keputusan mayoritas bersyarat. Perubahan-perubahan
seperti ini merupakan moderasi mekanisme dan sistem politik yang berlaku dalam Uni Eropa
sebagai respon terhadap tekanan dalam negri masing-masing neagra anggota serta respon
terhadap perubahan konstalasi global. Dengan demikian, mekanisme pembuatan keputusan akan
menjadi lebih simple, demokratis, dan transparan.
3.
Penutup
Penggunaan Euro sebagai mata uang tunggal di Eropa tidak saja membawa dampak
terhadap ekonomi namun juga terhadap integrasi politik di Uni Eropa. Kapabilitas Uni Eropa
sebagai institusi supranasional mempunyai pengaruh yang besar untuk menyatukan negaranegara di kawasan Uni Eropa yang mempunyai kepentigan yang berbeda-beda. Salah satu jalan
yang ditawarkan yaitu dengan memberlakukan Euro sebagai mata uang Eropa dengan tujuan
selain mendongkrak kapabilitas pasar juga untuk menjadikannya sebagai salah satu mata uang
utama dunia selain Dollar. Merunut terhadap argument Ernest B. Hass dalam perspektif neofungsionalisme bahwasanya kerjasama integrasi ekonomi ini akan secara otomatis membawa
kerjasama dalam aspek lainnya termasuk juga politik. Sehingga pemberlakuan mata uang tunggal
Euro mempunyai dampak yang besar terhadap integrasi politik di Uni Eropa.
Daftar Pustaka
Robert Gilpin, Global Poltical Economy: Understanding The International Economic
Order (New Jersey: Princeton University Press, 2001), hal. 28-31.
A. Hasnan Habib, Kopita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional (Jakarta: CSIS,
1997), hal. 56
Stephen Gill and David Law, The Global Political Economy, Perspective, Problems dan
Policies (Baltimor, The Johns Hopkins University Press, 1998), hal. 42-43)
Rogger G. Ibboston and Gary P. Brinson, Global Investing. The Professional Guide to
the World Capital Market (McGrawHill, 1993), hal. 93.
Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism, The World Economy in the 21st
Century (New Jersey: Princeton University Press, 2000), hal.195.
Harian KOMPAS, edisi Selasa 5 Januari 1999
Harian KOMPAS, edisi Rabu 2 Januari 2002.
Carsten Stroby Jensen, Neo-functionalism, dalam: Michael Cini, European Union
Politics (Oxford University Press, 2003), hal. 81
Michael O’neill, The Politics of European Integration, A Reader (London and New York:
Routledge, 1996), hal. 38.