Menyoal Arah Politik Kebudayaan Melayu P

Budiyanto, Ary, “Menyoal Arah Politik Kebudayaan Melayu, Pertelingkahan Sejarah Politik Islam dan Melayu di
Nusantara”, paper winning the second prize of LKTI Pandangan Politik Orang Melayu, Melayu online – presented at
BKPBM. www.melayuonline.com 24 March 2008 http://m.melayuonline.com/ind/article/read/685/menyoal-arahpolitik-kebudayaan-melayu-pertelingkahan-politik-kebudayaan-islam-dan-melayu-di-nusantara

Menyoal Arah Politik Kebudayaan Melayu
Pertelingkahan Sejarah Politik Islam dan Melayu di Nusantara

Oleh
Ary Budiyanto

Artikel diikutsertakan untuk:

Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional
“Pandangan Politik Orang Melayu”

Yogyakarta 2007

Abstrak
Menyoal Arah Politik Kebudayaan Melayu
Pertelingkahan Sejarah Politik Islam dan Melayu di Nusa
Islam adalah faktor pembentuk kebudayaan dari Kerajaan Pasai di Aceh, Bugis di

Makasar, Kutai di Kalimantan Timur, hingga Mataram Islam di Jawa. Akar-akar
kebudayaan Islam inilah yang mewarnai kehidupan budaya yang kini bisa dikenal
sebagai budaya Islam Nusantara. Tulisan ini secara historis akan melihat
bagaimana Islam sebagai jiwa kebudayaan Melayu terbentuk, berproses, dan
bernegoisasi yang akhirnya membentuk suatu kebudayaan yang hadir di sejarah
Nusantara ini. Pada bagian pertama, “Sekilas Sejarah Melayu Nusantara” akan
melihat bagaimana sejarah Kemelayuan di Nusantara. Bagian kedua, “Pecahnya
Kebudayaan Islam: Melayu dan Jawa (Indonesia)” secara lebih detil melihat
problematik politik identitas Melayu. Bagian ketiga, “Malaysia, Mercusuar
Kebudayaan Melayu?” secara kritis melihat arah politik kebudayaan Islam
Malaysia dan hubungannya dengan Islam dan Kemelayuan Indonesia. Sebagai
kesimpulan bagian “Kebudayaan Melayu Islam tanpa Melayu?” akan
mempertanyakan signifikansi arah kesadaran budaya kemelayuan yang menjauh
dari Islam tradisi lokal.
Kata kunci: Sejarah Politik kebudayaan, Islam, Melayu, Malaysia, Indonesia

2

Menyoal Arah Politik Kebudayaan Melayu
Pertelingkahan Sejarah Politik Islam dan Melayu di Nusantara

Islam, bagaimanapun juga adalah faktor pembentuk kebudayaan Nusantara, dari
Kerajaan Pasai di Aceh, Bugis di Makasar, Kutai di Kalimantan Timur, hingga
Mataram Islam di Jawa. Akar-akar kebudayaan Islam inilah yang mewarnai
kehidupan budaya yang kini bisa dikenal sebagai budaya Islam Nusantara. Islam,
semenjak abad 14 M menjadi pengikat spiritual bangsa dan suku bangsa
Nusantara yang berfungsi pula sebagai jejaring kejayaan kerajaan-kerajaan di
pesisir Nusantara dengan zaman keemasan perdagangan maritimnya. Tidak
seperti zaman Hindu Budha yang telah mampu berurat akar dari abad sekitar 515 M1, yang memampukan budaya Hindu-Budha meresap kejiwa kebudayaan
bangsa

Nusantara,

kebudayaan

Islam

meskipun

belum


mampu

jauh

memprenitrasi suasana kebudayaan bangsa Nusantara terbukti telah merubah
wajah ekspresi kebudayaan bangsa Nusantara di penghujung abad ke 14 M
dengan munculnya apa yang nanti dikenal sebagai bangsa Melayu. Akan tetapi,
proses Islam melayu itupun harus lebih cepat bernegoisasi seiring dengan mulai
datangnya gelombang spiritualitas baru dari dunia barat di abad 16 M dengan
diskursus Gold, Glory, dan Gospelnya, dimana Portugis-Spanyol menguasai
Melaka masa itu dan berlanjut dengan datangnya Belanda dan Inggris.
Tak dipungkiri bahwa tradisi budaya Islam yang terbangun di masa-masa
awal ini sebenarnya bentuk dari negoisasi, adaptasi, dan adopsi Islam masa itu
dengan budaya lokal setempat (Cina, India, Arab-Persia, bahkan Eropa2). Islam
sebagai hidup kebudayaan masa lalu banyak dihiasi nilai-nilai spiritual esoteris
karena disebarkan oleh para pedagang muslim yang mistis seperti Wali Sanga di
Jawa, Hamzah Fansuri di Samudra Pasai, dan sebagainya. Kini, Islam bentuk
lama itu mulai dianggap sebagai warisan kuno dan terus dipertanyakan seiring
dengan kesadaran Islam baru yang terus mengalami
perkembangan


dunia

Islam

di

Timur

Tengah.

perubahan dan

Gelombang

baru

Islam

transnasionalisme awal abad 20 menjadi ketegangan baru dalam berbudaya dan

1

2

Bila dilihat dari mitos Ajisaka yang dijadikan rujukan tahun Jawa, Saka, maka bisa jadi
perdaban Hindu-Budha sudah dimulai pada tahun 74M, pertengahan abad Pertama
Masehi!
Model bangunan, Jam, kristal, bahkan batu-batu mamer Italia sudah ada
diperdagangkan dan menciptakan kebudayaan material yang dikenal dengan Melayu.

3

beragama, pembedaan Islam dan budaya pun semakin menguat. 3 Wacana
bahwa sejarah Islam lama adalah perintis untuk menuju Islam yang ‘benar’
seperti yang dipahami Islam masa kini menjadi lebih terasa nyata. Budaya
Kemelayuan yang berdiri dan berakar dari Islam ‘tradisi’ abad 14-18 menjadi
signifikan dipertanyakan nasibnya. Di penghujung abad 19 dan 20 ini Islam
kemelayuan mengalami masa-masa yang keras pencarian jati diri. Identitas
budaya kemelayuan yang identitik dengan Islam tradisi ini kini harus bernegoisasi
kembali dengan nilai-nilai nasionalisme, modernitas, dan pemahaman ide-ide

keIslaman yang baru.
Tulisan ini secara historis akan melihat bagaimana Islam sebagai jiwa
kebudayaan Melayu terbentuk, berproses, dan bernegoisasi yang akhirnya
membentuk suatu kebudayaan yang hadir di sejarah Nusantara ini. Pada bagian
pertama, “Sekilas Sejarah Melayu Nusantara” akan melihat bagaimana sejarah
Kemelayuan di Nusantara. Bagian kedua, “Pecahnya Kebudayaan Islam:
Melayu dan Jawa (Indonesia)” secara lebih detil melihat problematik politik
identitas Melayu. Bagian ketiga, “Malaysia, Mercusuar Kebudayaan Melayu?”
secara kritis melihat arah politik kebudayaan Islam Malaysia dan hubungannya
dengan Islam dan Kemelayuan Indonesia. Sebagai kesimpulan bagian
“Kebudayaan Melayu Islam tanpa Melayu?” akan mempertanyakan signifikansi
arah kesadaran budaya kemelayuan yang menjauh dari Islam tradisi lokal.
Sekilas Sejarah Melayu Nusantara
Kebudayaan Melayu secara garis besar tidak pernah dapat dilepaskan dari
diskursus sejarah pengaruh Islam di semenanjung Sumatra dan Malaysia. Bukti
sejarah menemukan bahwa bahasa Melayu kuno4 dipakai dalam inskripsi abad
3

Bentuk transnasionalisme Islam yang lebih keras, dengan ide-ide dasar yang tak jauh
dari Salafy, yang melanda nusantara abad ini adalah apa yang oleh Bilveer Singh sebut

sebagai gerakan Talibanisasi. Talibanisasi, terlepas dari metrum wacana romantisime
kejayaan Islam yang dianiaya Barat abad modern ini, adalah gerakan yang menghapus
dengan keras kebudayaan lokal. Contoh yang jelas adalah penghancuran Patung
Budha raksasa di Bumiyan dan kebudayaan Hindu-Budha lainnya di Afghanistan dan
Pakistan. Singh, Bilveer, 2007, The Talibanization of Southeast Asia, Praeger Security
Intl.

4

Menurut para ahli bahasa, bahasa Melayu tinggi di kerajaan-kerajaan Malaysia juga
memiliki kemiripin tatabahasa dengan bahasa Jawa tinggi. Lihat Collins, James T.
2000. Malay, world language; A short history. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka. Lihat pula Rishyakaran, Rajan. 2005. “The evolution of Indonesian and

4

ke 7 yang ditemukan di Palembang, prasasti ini ditulis dalam huruf Pallawa. 5
Palembang

adalah


daerah

yang,

meski

masih

banyak

diperdebatkan

keabsahannya, oleh para sejarawan dianggap sebagai ibukota Srivijaya.6 Namun
tidak ada kepastian bahwa bahasa Melayu kuno itu dipakai oleh sebuah
‘masyarakat’ atau etnis yang bernama Melayu. Entitas etnis Melayu pada masa
itu belumlah dikenal, namun diakui bahwa bahasa Melayu kuno dipakai untuk
komunikasi masyarakat perdagangan di Nusantara.7 Bahasa Melayu pada masa
itu bukanlah milik suatu kelompok etnis tertentu (Tirtosudarmo 2005; lihat pula


5

6

Malay“ di http://www.yawningbread.org/guest_2005/guw-100.htm dan Anonymopus.
2005. “Who is Malay?” di http://www.yawningbread.org/arch_2005/yax-455.htm
Huruf pallawa saat itu dipakai di India selatan dan Sri Lanka. Pemakaian huruf Jawi
atau arab pegon dengan bahasa pasar Melayu mulai marak dan secara resmi di pakai
di kerajaan-kerajaan semenanjung Sumatera pada abad 12. Kemungkinan karena
banyaknya ulama penyair keturunan Arab-Gujarat atau Arab-Persia bahkan ArabMelayu seperti Hamzah Fanshuri, Nuruddin Al Raniri, Raja Ali Haji yang menjadi
pujangga Melayu Islam inilah yang mempopulerkan tulisan Jawi.
Meski masih diperdebatkan tempatnya, Srivijaya menurut sebagian sejarawan memiliki
dua pusat yang satu pusat perdagangan di Sumatera, yakni Palembang dan pusat
spiritual dan pemerintahan di Mataram Kuno. Untuk debat tentang siap yang
menguasai siapa. Lihat W. F. Stutterheim, "A Javanese period in Sumatran History",
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 69: 135-56. Penguasa Srivijaya
adalah Wangsa Syailendra yang mencapai puncaknya pada masa Balaputradewa abad
7-8 M. Magetsari mengatakan bahwa Sumatera dan Jawa belumlah pisah hingga
meletusnya Krakatau 1172. Lihat Magetsari, Noerhadi. 1997. Candi Borobudur,
Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya. UI Press Jakarta; lihat pula Victor, M. Fic. 2003.

The Tantra its origin, theories, art and diffusion from India to Nepal, Tibet, Mongolia,
China, Japan and Indonesia, Abhinav publication.
I Ching pendeta Cina yang berlayar untu belajar agama Budha ke India sekitar tahun
671-695, ia yang sempat ke Universitas Budha terbesar saat itu di Nalanda pernah
juga singgah ke Srivijaya. Patung-patung Budha dan Hindu, bahkan Jain ditemukan di
komplek Nalanda yang menunjukkan rukunnya hubungan intelektual dan
kemasyarakatan keagamaan masa itu. Lihat Sen, Tansen. 2003. Buddhism, Diplomacy,
and Trade: The Realignment of sino-Indian relations, 600-1400. University of Hawaii
Press. Tentang patung-patung lihat Kempers, Bernet. 1993. “The bronze of Nalanda
and Hindu Javanese Art”, in BKI 90 (1993) pp. 1-88; tentang spiritualitas Budha zaman
Srivijaya hingga Majapahit lihat Nyima, Loshang. 2001. Bhagavati Tara Dewi. Pustaka
Berlian Biru. Patung khas dan prasasti Nalanda (abad 9) yang terkenal memperlihatkan
corak patung seperti yang ada di Mataram Kuno, yakni Borobudur dan Prambanan.
Sejarah juga mencatat bahwa pada 790 M penguasa Cham, Jayawarman II, pulang
dari perlindungannya dan belajar di Jawa yang kemudian di Bantu penguasa Jawa
merebut kembali kerajaannya dari bangsa Mon-Khmer yang nanti membangun
Angkorvat (Hindu-Budha) di (kini) Kamboja. Angkorvat arsitektur sangat dekat dengan
arsitektur Mataram Kuno. Lihat Groslier, B.P., 2002, Indocina Persilangan Kebudayaan,
Gramedia; lihat pula Supratikno Rahadjo, 2002, Peradaban Jawa dinamika, pranata
politik, agama, dan ekonomi Jawa kuno, Komunitas Bambu, Jakarta. Banyak prasasti

yang ditemukan di Jawa seperti Kalasan (778), Kelurak (782), Abhayagiriwihara/Boko
(792), dan Plaosan (838-856) dan di Sumatera seperti Talang Tuo (684), Kota Kapur
(686), Telaga Batu, Karang Brahi (686), dan Ligor (697) mengindikasikan eratnya
hubungan politik budaya dan perdagangan dengan India, Cina, hingga Sri Lanka.

5

Vickers, 2004; Houben, 1992; Van Dijk, 1992).8 Bukti tertua selanjutnya yang
menyebutkan lebih jelas adanya komunitas Melayu berasal dari sebuah inskripsi
Chola-Tanjore (1030 M) yang membedakan antara Srivijaya dengan ‘Malaiyur’.
Sedangkan dalam kitab Negarakertagama, Pupuh XLI Sloka 1, disebutkan
adanya ekspidisi Pamalayu (1275 M) oleh Raja Kertanegara dari Jawa Timur
yang ‘membebaskan’ daerah Melayu, yakni Jambi, dari serangan ‘orang jahat’
bernama Cayaraja. Di masa Kertanegara dari Kerajaan Singosari inilah Srivijaya
berhasil ditaklukkan, dan Jambipun menjadi daerah Melayu yang kuat, yang saat
itu masih Hindu-Budha. Namun seiring dengan kegiatan penyatuan Nusantara
ini, Singosari mulai kehabisan energi dan perebutan kekuasaan di dalam pun tak
terelakkan. Pudarnya Singosari semenjak masa perebutan kekuasaan, dan
lemahnya Srivijaya membuat daerah semenanjung Sumatera mulai bergerak ke
arah spiritualitas baru, maka dengan sokongan kerajaan Delhi Islam di India,
Samudera Pasai didirikan pada 1285 M. Kejatuhan kejayaan Pasai dan Srivijaya
pada abad 15 oleh serangan Majapahit (1349 M), menjadikan kekuasaan
kerajaan-kerajaan Melayu menjadi tidak menentu. Menurut Ras (1992) semenjak
Majapahitlah (abad 12-15) dikenal adanya kepastian entitas Melayu. Di masa
inilah menurut Houben (1992:218) terjadi kesalingpengaruhan antara budaya
tinggi di jazirah Melayu dengan Majapahit.

7

Menurut para ahli, bangsa yang nantinya menumbuhkan sosok entitas yang disebut
Melayu ini berasal dari dataran yang kini dikenal dengan nama Taiwan, sebagian ahli
menyebutnya dari bagian Timur Cina. Konon ada suatu bangsa yang hidup pada masa
4000-3000 SM di dataran dataran itu, kemudian pada 2000 SM mereka mencapai
bagian utara Borneo dan kepulauan Philipina, sebagian mereka juga sampai ke
Mindanao, Sulawesi, Maluku, dan Jawa.pada 1500 SM sampailah mereka berbaur dan
hidup di Sumatra dan semenanjung Malaysia dengan masyarakat lokal. Menurut ahli
sejarah bahasa saat inilah bahasa proto-Melayu mulai dikenal. Pendatang-pendatang
baru yang maju dan aktif ini dilain pihak juga membuat penghuni awal Nusantara yakni
ras Australian Aborigin dan Mongoloid Selatan ini pun terdesak masuk jauh ke
pedalaman. Lihat Anonymous. 2005. Ibid. dan Andaya, Leonard Y. 2001. The search
for the origins of 'Melayu', the Journal of Southeast Asian Studies, October.

8

Vickers, Adrian, (2004) “’Malay Identity’: Modernity, Invented Tradition and Forms of
Knowledgde”, dalam Timothy P. Barnard (ed.), Contesting Malayness: Malay Identity
Across Boundaries’, National University of Singapore: Singapore University Press. hlm.
25-55; van Dijk, C., (1992) “Java, Indonesia and Southeast Asia: How Important is the
Java Sea?”, dalam V.J.H. Houben, H.M.J. Maier and W. van der Molen (eds.), Looking
in Odd Mirrors: The Java Sea, Leiden: SEMAIAN 5 hlm. 289-302; Houben, Vincent
J.H., (1992) “Java and the Java Sea: Historical Perspectives”, dalam V.J.H. Houben,
H.M.J. Maier and W. van der Molen (eds.), Looking in Odd Mirrors:The Java Sea,
Leiden: SEMAIAN 5. hlm. 212-240.

6

Perlu diketahui bahwa penaklukkan kerajaan pada zaman dahulu tidaklah
seperti zaman sekarang yang memberangus peradaban, namun lebih banyak
dalam bentuk pengakuan kekuasaan sebagai yang terkuat sebagai Cakravartin,
Raja Penguasa Jagad. Daerah taklukan masihlah otonom dan hanya diwajibkan
membayar upeti dan pengakuan. Apalagi, pertalian darah lewat perkawinan
antara pemenang dan yang kalah adalah praktik biasa untuk mengikat
persekutuan. Srivijaya yang merupakan legenda penguasa tunggal Nusantara
sejak abad 7-10 menjadi patron bagi kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pertalian
keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan penguasa Srivijaya (Wangsa
Syailendra)9 menjadikan kerajaan-kerajaan di semenanjung Melayu bisa disebut
sebagai satu keluarga. Akibatnya, ketika Srivijaya pudar kekuasaannya, mereka
saling berebut pengaruh kekuasaan politik dan ekonomi dengan menjadikan
Srivijaya sebagai garis legitimasi penguasa Nusantara. Sebagaimana di Jawa,
para penguasa-penguasa Melayu juga mengambil legitimasi dari Syailendra,
penguasa Melayu Islam abad ke 14 pun menuliskan silsilah mereka dari Srivijaya
sebagai legitimasinya. Di Hikayat Melayu atau Sulalat al-Salatin, Melaka, di
Hikayat Siak, Pekanbaru, di Sejarah Melayu Minangkabau, semua merujuk
kerajaan mereka sebagai penerus kejayaan Srivijaya.
Nanum demikian, untuk sementara kerajaan Jawalah yang masih kuat
sebagai pemangku penguasa yang mengklaim sebagai keturunan Srivijaya. Dari
Raja Kertanegara abad 11 hingga penguasa Demak abad 15, Ki Ageng Sela,
semua merunut pada garis keturunan sah Syailendra. Syailendra, di bawah
Balaputradewa, adalah wangsa yang menjadi ikon kejayaan masa Srivijaya. Raja
Kertanegara juga mengaku sebagai keturunan dari wangsa Girindra, sedangkan
Ki Ageng Sela pemangku spiritualitas Jawa legendanya adalah pemegang petir.
Girindra adalah permutasi dari Giri dan Indra, sedangkan Giri kata lainnya adalah
Syela/Syai/Cela yang berarti batu/keraton/atau tempat, sedangkan Ki Ageng dari
Sela adalah pemegang/pewaris Petir (Indra), sang Syailendra penguasa
Srivijaya.
Namun, siapakah Melayu yang kita kenal sekarang ini?
Melayu dan budayanya secara sejarah baru dikenal semenjak kerajaankerajaan Islam di semenanjung Sumatera dan Malaka mulai berdiri di abad 139

Menurut Poerbatjaraka prasasti Sojomerto, Pekalongan mengindikasikan bahwa ada
pejabat yang bernama Dapunta Syailendra, prasasti ini dibuat sekitar abad 5M.

7

14. Seiring dengan menurunya pamor kerajaan Hindu-Budha Jawa Majapahit
-dan Pajajaran- dunia Melayu pun mulai berganti dengan Islam sebagai sebuah
otoritas

spiritualitas,

politik,

pengetahuan,

kebudayaan,

dan

terutama

perdagangan. Lambat laun kekuatan Hindu-Budha di Jawa, yakni Majapahit dan
Pajajaran, semakin melemah karena perdagangan di pesisir Nusantara mulai
dikuasai saudagar-saudagar Muslim yang datang dari India dan jazirah ArabPersia, ditambah lagi perebutan kekuasaan internal yang berlarut-larut. Pusatpusat kekuasaan dan perdagangan Jawa pun dengan cepat mulai berpindah ke
penguasa-penguasa pesisir yang erat dengan dunia Islam Melayu.
Bahasa Melayu kemudian mulai menjadi bahasa resmi penguasapenguasa dunia perdagangan ini. Hal ini seiring dengan maraknya perdagangan
dari dunia Arab-Persia yang mulai merangsek politik, ekonomi, dan spirituialitas
di India di abad 12-13 M. Tak mengherankan pula bila saudagar-saudagar besar
Cina yang lama tinggal di Nusantara juga memeluk agama baru ini sebagai
ikatan jalinan persaudaraan dan perdagangan dan memberi warna Islam
Nusantara (Graff HJ, 1998; Qurtubi, 2005). Sebagaimana dicatat dalam sejarah,
rute perdagangan dunia saat itu baik lewat jalur sutera darat maupun jalur sutera
lautan itu menghubungkan perdagangan Cina, India, hingga Eropa; di mana
Islam Arab-Persia sebagai kekuatan baru di akhir Abad 7-16 adalah perantara
yang tangguh di dunia saat itu sekaligus menjadi penguasa perekonomian. Dunia
Arab-Persia lebih mengenal bangsa-bangsa Nusantara ini hingga abad 18
sebagai bangsa Jawi, bangsa yang tinggal di ‘dunia bawah angin’ sebagaimana
yang tertulis dalam kitab Ship of Sulaiman karangan Muhammad Ibn Ibrahim
yang ditebitkan di Persia 1688.
Percampuran budaya Cina, Arab-Persia, India, dan masyarakat lokal di
jazirah Sumatera dan Melaka inilah yang menciptakan budaya Melayu dengan
tulisan yang dikenal sebagai tulisan Jawi.10 Semakin kuatnya Islamisasi yang
terus berkembang di masa Ottoman dan Mamluk di Timur Tengah hingga Eropa
dan Kejayaan Islam di India oleh Moghul memberikan makna sendiri identitas
keislaman dan kebangsaan bagi kerajaan-kerajaan di Nusantara. Islampun
10

Dunia Islam lebih mengenal bangsa “daratan di bawah angin” ini sebagai komunitas
Jawi dikarenakan kitab-kitab perjalanan perdagangan mereka lebih mengenal dunia
kuno ini sebagai dunia Jawa, Zabaj, atau Yawa. Lihat Lombard, Denish. 2001. Jawa
Silang Budaya Vol. 1-3. Gramedia, Jakarta; lihat pula Hall, D.G.E. 1958. A History of
SouthEast Asia. London: Macmillan & Co. Ltd.

8

menjadi ukuran keunggulan spiritualitas dan peradaban Nusantara menggantikan
perdaban Hindu-Budha di masa lalu yang, bagi penguasa Nusantara, dianggap
sejajar dengan bangsa Eropa pada abad 16-18. Yang menjadikan penguasa
terkuat Jawapun akhirnya membuat mitos kebangsaannya dalam Babad Tanah
Jawi sebagai keturunan dari Nabi Adam. Bahkan Kesultanan Mataram Islam
secara legitimate mengutus urusan ke Rum dan Mekah meminta pengakuan;
dari Penguasa Rum sebagai legitimasi politik dan Mekah sebagai legitimasi
Spiritual. Sejak Islam menjadi legitimasi spiritual penguasa-penguasa kerajaan di
Nusantara inilah politik kebudayaan Islam terus berubah dan berkembang
mewarnai politik Nusantara seiring dengan masa kolonial Eropa hingga kini.
Pecahnya Kebudayaan Islam: Melayu dan Jawa (Indonesia)
Meski tidak ada catatan sejarah yang jelas, kerajaan-kerajaan Islam Nusantara
sebagian besar sepertinya harus bernegosiasi dan berdiplomasi dengan para
penguasa Eropa. Misal dengan penguasa Spanyol–Portugis yang menguasai
Malaka hampir satu abad semenjak abad 16 atau EIC pimpinan Inggris yang
berpusat di India sejak abad 17 dan terutama dengan VOC awal abad 16 di
Batavia agar sumber ekonomi dan perdagangan mereka bisa terus berjalan.
Hingga akhirnya kerajaan Islam Aceh, Banten, Gowa, dan Mataram mulai gerah
dengan

tingkah

bangsa

Eropa

yang

arogan

yang

ingin

memonopoli

perdagangan. Perlawanan demi memperebutkan kehidupan politik, ekonomi, dan
marwah sebagai penguasa Nusantara pun terusik dan meletus secara sporadis
dan berkelanjutan. Islam pun menjadi landasan spiritual untuk membakar
semangat perlawanan, apalagi ingatan kolektif dunia Islam tentang Perang Salib
(1095 – 1291 M) sudah menjadi mitos stigmatis bagi kesadaran umat di seluruh
dunia Islam. Upaya menarik semangat Islam tampak pada penciptaan ingatan
kolektif dunia Islam Nusantara ini dengan mengacu pada kekuatan Rum
(Ottoman) yang sempat bertahan hingga awal abad 20 11. Pudarnya kekuasaan
Ottoman di awal abad 19 dikarenakan mulai adanya perebutan kekuasaan di
dunia Islam, sementara Eropa sudah semakin makmur dan maju, setelah
11

Gerakan islam kontemporer menganggap jatuhnya penguasa Seljuk terakhir 3 Maret
1924 di jazirah Arab sebagai zaman kekhalifahan islam terakhir. Lihat:
Jhon Kennedi Sinaga, “Gobalisasi Vs Rahmatan lil ‘Alamin” akses 13/11/2006
http://kammi.or.id/last/lihat.php?d=materi&do=view&id=2614

9

menemukan dan menguasai India dan Nusantara di abad 16 yang memicu
terciptanya tata ekonomi dan kekuasan yang baru di Eropa. Sementara itu pada
abad yang sama patron perdagangan dan spiritualitas dari Cina, Indocina, dan
India juga mulai meredup seiring dengan masuknya penguasa-penguasa Islam
dan Eropa ke India, Indocina, dan Cina. Semua situasi ini adalah akibat logis dari
putusnya mata rantai kekuatan ekonomi Nusantara dengan kolega lamanya
(India, Indocina, dan Cina) dan berganti dengan Islam dan Kekristenan Eropa.
Di balik perubahan politik dan diiringi dengan maraknya dunia
perdagangan membuat bangsa Nusantara melihat bahwa dunia spiritualitas saat
itu Islam adalah kekuatan yang seimbang dengan Eropa, paling tidak hingga
abad 19. Sebagaimana di masa dahulu para pengusa Hindu-Budha Nusantara
yang mencari jalinan pengetahuan spiritualitas dan kebudayaan dengan Cina
(Budha) dan India (Hindu-Budha), persentuhan dengan Islam di akhir abad 12
mulai menggeser spiritualitas, ekonomi, dan politik kerajaan-kerajaan Nusantara.
Kini mereka juga mulai memeluk Islam sebagai kekuatan spiritualitas baru dunia
saat itu. Satu persatu lewat jalinan poiltik dan ekonomi, Islam pun menjadi
alternatif spiritualitas yang ada hingga munculnya kekuatan baru spiritualitas
Kristen Eropa yang mulai giat di abad 16 oleh Spanyol-Portugis dan abad 17
oleh Belanda hingga awal abad 20. Di lain pihak, karena disebarkan dengan
arogansi, spiritualitas Eropa hanya bisa menyentuh sebagian kecil bangsa
Nusantara. Apalagi, politik ingatan akan Perang Salib masih ada di kedua belah
pihak, antara Islam dan Kristen Eropa seperti yang tergambar dalam pernyataan
Tom Pires yang menyebut bangsa Muslim Nusantara sebagai orang-orang Moor.
Persentuhan yang intens dengan dunia Islam menjadikan perubahan
besar dalam pembentukan kebudayaan di Nusantara. Dari Samudera Pasai,
Siak, Malaka, Mataram Islam, hingga Gowa perjumpaan yang lokal dengan Islam
lambat laun menciptakan budaya Islam lokal yang unik. Hal ini karena Islam yang
masuk di abad 13-18 adalah Islam Mistik, yang sangat dekat dengan jiwa
spiritualitas Tantric Hindu-Budha di Nusantara selama berabad-abad (Ernst,
2003; Budiyanto, 2007).12 Mantra pun berubah menjadi doa, bertapa menjadi
12

Ernst, Carl W. 2003. “The Islamization of Yoga in the Amrtakunda Translations”. JRAS,
Series 3, 13, 2 (2003), pp. 199–226; lihat juga Budiyanto, Ary. “Reiki Meditation vis-a
-vis ‘Islamic Engagement’, The Politics of Global Divine Energy in Contemporary
Indonesia” paper disampaikan di The 2nd SSEASR Conference of South and
Southeast Asian for the Study of Culture and Religion (SSEASR) on Syncretism in
South and Southeast Asia: Adoption and Adaptation, May 24-27 2007 Bangkok

10

khalwat, dan melawan kekuatan hitam atau agama kuno dengan doa-doa Islam
pun mewarnai cerita-cerita penyebaran Islam. 13 Model peyebaran Islam seperti
ini tampak pada cerita-cerita rakyat di Nusantara. Misalnya, cerita Wali Sanga di
Jawa, atau cerita penyebaran Islam oleh Tuan-tuan Guru Samudera Pasai,
Dato’ri Bandang, Dato’ Sulaeman, dan Tuan Tunggang Parangan ke Malaka
hingga Banjar, Kutai, dan Gowa.
Di dunia sastra, sastra mistik Islam Hamzah Fanshuri (akhir abad 17)
dan Shamsudin Pasai (meninggal 1630) dengan ajaran martabat tujuhnya Ibn
Arabi menjadi khasanah keilmuwan yang populer di Nusantara. Suluk-suluk Jawa
banyak yang merujuk pada konsep-konsep dan ide-ide ini. Di Jawa serat Centini
dan serat-serat wirid karya R.Ng. Ranggawarsita IV di abad akhir 19 -misal, wirid
hidayat Jati dan sebagainya- jelas menunjukkan keterpengaruhan ajaran mistik
islam pesisir (Simuh, 1988).14 Pakaian adat dan tata cara adat masyarakat
Nusantara pun mulai menggunakan istilah-istilah Islam, meski tampak di sanasini percampuran dengan tata cara adat tradisi setempat yang sedikit banyak
dipengaruhi zaman Hindu-Budha lama.
Di dunia seni musik mulailah dikenal rebana dan gitar gambus (mandolin)
yang dibawa oleh bangsa Arab-Persia Islam seiring dengan tarian zapinnya.
Rebana dan gambus inilah yang nantinya menjadi pembentuk musik Gambus
atau yang lebih dikenal sebagai musik Orkes Melayu di awal abad 20. Musik
yang menjadi cikal bakal musik Ndangdut khas Indonesia. Di dunia seni hias ukir
dan busana pengaruh Cina-Persia-India masih tampak kuat dibalut dengan
konsep-konsep Islam yang menghindari penggambaran riil hewan dan
manusia.15 Sampai pada akhir abad 17 dunia seni, sastra, praktik adat dan
keagamaan dunia Nusantara masihlah mirip satu sama lain dengan perbedaan
cita-rasa lokal yang sumir. Saat itu Islam di Jawa, Islam di Melayu, dan Islam
lainnya di Nusantara tidaklah jauh berbeda, hingga datangnya gelombang

13

14

15

Thailand
Lihat Skeat, Weltez, 1965, Malay magic: an introduction to the folklore and popular
religion of the Malay Peninsular; with a preface by Charles Otto Blagden, London :
Cass.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi
Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press.
Lihatlah seni ukir binatang yang disumirkan bentuknya dalam hiasan tetumbuhan
untuk menghiasi masjid dan makam di Kalinyamat Jepara.

11

pergerakan baru Islam di Timur Tengah awal abad 19, sebagai reaksi terhadap
ancaman kolonialisme Eropa.
Kerajaan-kerajaan Nusantara yang masih memakai Srivijaya sebagai
genealogi silsilah dan spiritual, kini memaknai Islam sebagai genealogi spiritual
mereka yang paling perkasa. Bahkan sistem pemerintahan Kerajaan Melaka dan
Melayu

lainnya

pun masih

mengidealisasikan

konsep Bodhisattva

dan

Cakravartin khas pengaruh Budha Mahayana Sriwijaya yang saat itu sangat mirip
dengan ajaran Insanul Kamilnya seperti yang tampak di Sejarah Melayu dan
Tajussalatin (Milner, 1985:26-27)16. Hal ini dengan resiko bahwa gerakan
pemurnian ajaran Islam di Timur Tengah akan terus-menerus menjadi rujukan
utama bagi legitimasi kemurnian spiritual. Di masa kerajaan Pasai dan Aceh
inilah bahasa Melayu dengan tulisan huruf pegon/jawi sepertinya mulai menjadi
bahasa resmi kenegaraan, perdagangan, dan ilmu pengetahuan. Di masa
Kerajaan Aceh ini pula (abad 16-17) khasanah sastra Melayu yang berisi ilmu
agama, mistik, dan adat istiadat bernuansa Islam mulai bermunculan. Pada abad
16-17 di Jawa munculah sastra-sastra suluk yang sangat kental pengaruh ajaran
Hamzah Fanshuri. Pengaruh sufi mistik ini sangat kental dalam ajaran-ajaran
Sultan Agung. Hingga, akhirnya ikut perubahan dunia Islam di Melayu pada masa
Ratu Pakubuwana IV (abad 18) yang sangat kental dengan sufi syariahnya. 17
Hingga sampai pada zaman kebangkitan tradisi Jawa kuno abad 19 yang saat itu
diangkat oleh Javanologi berkolaborasi dengan sarjana-sarjana Belanda, kembali
menggali khasanah budaya Jawa kuno (Margono, 2004)18 yang nantinya
melahirkan polarisasi Jawa Islam dan kejawen (Ricklefs, 2006, 2007; Budiyanto,
2004).19
16

17

18

19

Yang mana ini sebenarnya pengaruh kuat dari Sufi Persia lewat Maulana Abu Bakar
murid Maulana Abu Iskhak lewat ajarannya di buku Durul Mazlum pengaruh dari ajaran
Al Jilli (1417) penerus ajaran Ibn Arabi (1165-1240); lihat Milner, A.C., 1989, “Islam and
Malay Kingship”, dalam Reading on Islam in Southeast Asia, eds. Ahmad Ibrahim et al,
ISEAS, Singapore, hlm 25-35.
Pengaruh Islam berorientasi syariah dalam karya-karya sastra Jawa sangatlah kuat
pada masa ini seperti yang diteliti oleh Nancy Florida. Nancy Florida tidaklah menulis
hubungan keterpengaruhan perkembangan ide-ide islam ini dari Melayu tapi penulis
yakin bahwa ini pasti dipengaruhi oleh perkembangan wacana islam di Dunia Melayu,
terutama gelombang Ar-Raniri. Lihat Florida, Nancy, 2000, Javanese Literature in
Surakarta Manuscripts, vol.1, SEAP Cornell University.
Margana, S., 2004, Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, Pustaka Pelajar,
Jogyakarta
Ricklefs M.C., 2006, Mystic Synthesis in Java: History of Islamization from the
fourteenth to the early nineteenth centuries. Norwalk, East Bridge; Ricklefs M.C., 2007,

12

Keterpautan Islam dengan dunia Melayu secara geografis dan politis
adalah hal yang tak terelakkan sehingga jaringan keislaman Jawa memang
terlebih dahulu tergantung dengan dunia Melayu. Walaupun demikian dalam
beberapa derajat Islam degan tradisi Melayu Lama bisa dikatakan kini lebih
banyak ditemukan di Jawa, yang dikenal dengan dunia Pesantren dan Islam
Jawa Keraton.20 Ide pembaharuan itupun mula-mula diawali dengan datangnya
ajaran sufi syariah Naruddin Al Raniri yang mendasarkan ajaran sufinya pada
fiqh yang ketat lewat bukunya Siratal Mustaqim (1644) dan tentang hari kiamat di
bukunya Akhirah Fi Ahwatul

Qiyamah (1642) di Aceh yang satu persatu

mengikis habis apa yang dianggap tidak sesuai dengan Islam di dunia Timur
Tengah ala Arab saat itu. Proses indentifikasi bangsa inipun semakin mengkristal
dan pembedaan antara Melayu dan Jawa semakin kentara di masa-masa
kolonial hingga kini. Dunia Islam Melayu di masa ini tampak lebih ‘murni’
daripada Islam di Jawa atau lainnya. Meskipun demikian, pada pertengahan
akhir abad ke 19 dengan dibukanya terusan Suess, dan teknologi kapal uap, dan
disokong oleh kebijakan Belanda yang baru berkat nasihat Dr. Snouck Hurgonje
tentang Islam, gelombang baru Islam mulai menerobos ke Nusantara, dan Jawa
khususnya, lewat para jemaah haji yang dikenal sebagai “orang-orang Jawi yang
datang dari negeri di bawah angin” (Azra, 1994; Laffan, 2003).21
Pudarnya Pasai dan kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera dan naiknya
pamor Kerajaan Melaka yang di sokong Inggris menjadikan Melayu Melaka
menjadi kiblat kebudayaan Islam. Kerajaan Melaka menjadi rujukan peradaban
Islam tersendiri yang lebih mendunia. Jawa hingga akhir abad 16 masih memiliki
kontak dengan dunia Islam Melayu hingga masa datangnya konsolidasi
kekuasaan Jawa oleh Sultan Agung di awal abad 17 yang membawa Jawa
mengalami sedikit stagnasi kebudayaan dengan dunia luar karena lebih sibuk di

20

21

Polarising Javanese Society, Islamic and Other Visions c. 1830-1930, NUS Press,
Singapore; Budiyanto, A. 2004. The Dynamic of Javanese Religious Orientation.
M.A.Thesis at Centre for Religious and Cross Cultural Studies UGM.
Namun demikian dunia teknologi informasi dan transportasi modern abad 20 kini juga
sudah mulai memasuki dunia pesantren tradisional membawa kebudayaan Islam
modern seperti yang di Malaysia. Majalah Hidayah yang kini menjadi sinetron religi di
TV-TV, ide-ide Islam Hadhiri dan PAS, bahkan Nasyid Raihan, dan semua pernakpernik keislaman Melayu modern ini kini semakin menjadi inspirasi pandangan dunia
Islam modern Indonesia
Azumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Mizan, Bandung; lihat pula Laffan, Michael F., 2003, Islamic Nationhood
and Colonial Indonesia, RoutledgeCurzon, London-New York.

13

dalam. Saat itu Jawa tengah mencoba menegosiasikan Islam dengan kultur lokal
sekaligus modernitas Kolonial di abad 18-19. Akibatnya, Kejawaan Islam menjadi
lebih menguat di pedalam Jawa dibanding dengan pesisir utara Jawa hingga
datangnya babak baru di abad 19-20. Yakni lewat datangnya gelombang Haji
abad 19, antara lain H. Ahmad Rifai di Pekalongan dan Imam Bonjol di Padang,
awal babak baru pembaharuan Islam di pesisir utara Jawa dan Sumatera di
mulai (Ricklefs, 2006, 2007; Budiyanto, 2004).
Lian Kwen Fee dalam artikelnya “The Construction of Malay Identity
across Nations: Malaysia, Singapore, and Indonesia” (BKI, 2003?: 861-879)
dengan jelas melihat peran besar penguasa kolonial –Inggris dan Belandadalam membentuk wacana identitas politis kemelayuan di tingkat elite dari
masyarakat kebanyakan dan kaum elite aristokrat. Identitas Melayu, dikutip dari
Milner (1998:151-153)22, adalah “kerja ideologis”. Ia adalah konsep yang
diciptakan yang dapat terus berkembang dan penuh kontestasi. Yang menarik
adalah bagi aristokrat masa pra kemerdekaan Islam sebagai lekatan identitas
melayu tidaklah kuat, identitas melayu adalah identitas elitis yang berdasar pada
keturunan raja-raja melayu terutama yang merujuk pada keturunan Sultan
Melaka (hlm 863-864). Justru wacana kemelayuan sebagai bangsa tumbuh dari
dari mayarakat kebanyakan terutama berkat wacana yang dibangun oleh
pujangga keturunan Tamil-Arab Munshi Abdullah yang terdidik dari pemikiran
barat liberal (lewat ide-ide post-enlightment Inggris) 23 yang sebenarnya untuk
mengkonter kemelayuan aristokrat yang elitis dan tidak membuat kemakmuran
bagi bangsanya seiring dengan kuatnya kelompok India dan China secara
ekonomi. Lewat terbitnya koran Utusan Melayu yang dikawal oleh Muhammad
Eunos sejak 1915 inilah ide-ide Munshi Abdullah disemaikan (hlm. 865). Ide-ide
ini semakin matang pada tahun 1930an dan mendapat tentangan dari Ulama dan
Kerajaan (hlm 866; lihat pula Milner 1995:246). 24 Dimana nantinya wacana
etnisasi kemelayuan di semenanjung Malaya banyak ditemukan di naskahnaskah Melayu abad kesembilan belas. Di mana dalam dekade berikutnya
22

23

24

Milner, A, 1998, “Ideological Work in Constructing the Malay Majority”, dalam Dru C.
Gladney (ed.) Making Majorities; Constituting the Nation in Japan, Korea, china,
Malaysia, Fiji, Turkey, and the United States, Standford University Press, hlm 151-169.
Bandingkan dengan politik Etisnya Belanda pada 1911, yang juga dipengaruhi
pemikiran dari kelompok paska Pencerahan di Belanda.
Milner, A, 1995, The Invention of Politics in Colonial Malaya, Cambridge University
Press.

14

negoisasi yang panjang antara Otoritas Inggris dan perwakilan komunitas
Melayu, China, dan India atas hak berbagi kuasa, konstitusi negara yang
berdaulat, dan kewarganegaraan dan kebangsaan terus diperjuangkan (hlm.
867; lihat pula Nagata 1984:4).25
Pada 1824 perjanjian Inggris dan Belanda telah membagi kemelayuan
kerajaan Riau-Johor, di mana semenanjung Malaya ada di bawah Inggris
sedangkan kemelayuan sebelah selatan Singapura di bawah Belanda. Semenjak
inilah Riau mengalami kemunduran sementara Singapore dan Malaka semakin
makmur hingga pada pertengahan abad 19 M Riau telah menjadi sangat
terbelakang akibat politik pecah belah Belanda yang mengadu-domba penguasa
Bugis dengan Melayu Riau di kerajaan Riau Lingga. Penguasa Bugis menyokong
Belanda menyingkirkan penguasa Riau yang dianggap tidak islami, sebelum
akhirnya kekuasaan Bugis sebagai Yamtuan di singkirkan Belanda ke Singapura
pada 1911 (hlm. 869; lihat pula Andaya 1997:148).26 Namun demikian di saat
inilah peran Bugis di Panyengat yang mengusung Islam sebagai jiwa identitas
adat dan kebudayaan Melayu dipromosikan sebagai tandingan budaya
Singapura yang kian maju, kosmopolit, dan modern ala Barat. Lewat karya
keturunan pujangga Bugis di Panyengat, Raja Ali Haji dengan Tuhfat al-Nafs nya
(1860) inilah wacana legitimasi peran Bugis dan Islam dalam kebudayaan dan
sejarah Melayu digemakan. Meski sezaman dengan Abdullah Munshi namun
Raja Ali Haji tidak pernah menyinggung karya ataupun nama AbdullahMunshi
dalam karya-karyanya (hlm 869; lihat pula Maier, 1997:683). 27 Menandingi
wacana ini, 60 tahun kemudian kerajaan Riau-Lingga membuat naskah
Keringkasan Sejarah Melayu (KSM) yang mengkonter wacana peran Bugis pada
Melayu. Di dalam Tuhfat, sesuai dengan pandangan Bugis, tidak menyebutkan
peran kerajaan Melayu di Riau selain hal yang negatif. Meskipun begitu KSM
tidak menyebut peran Islam sebagai penyokong kesultanan Riau, melainkan
melihat dari garis keturunan Sultan Melaka. Singkatnya dari sisi kerajaan,
identitas kemelayuan dilihat dari garis keturunan Palembang-Melaka. Sedangkan
25

26

27

Nagata, J., 1984, “Particularism and Universalism in Religious and Ethnic Identities;
Malay Islam and Other Cases”, dalam S. Plattner et.al. (eds), The Prospects for Plural
Societies, American Ethnological Society, Washington DC, hlm. 121-135.
Andaya, B.W. dan V. Matheson, 1997, “Islamic Thought and Malay Tradition”, dalam
A. Reid dan D. Marr (eds), Perceptions of the Past in Southeast Asia, Asian Studies
Association of Australia/ Heinemann, Kuala Lumpur, hlm. 108-128.
Maier, H., 1988, In the Center of AuthorityI, Cornel Univeristy, Southeast AsiaProgram,
Ithaca

15

dari sisi Bugis yang berada dalam kelas politik dan militer di kerajaan melayu
inilah yang menciptakan kepemimpinan intellectual masyarakat melayu Riau
yang menggemakan Islam dan bahasa Melayu lewat media cetak yang
menantang otoritas tradisional penguasa Melayu. Bugis mewakili ulama dan
Aristokrat melayu mewakili kerajaan (hlm 869-870; lihat pula Matheson, 1988:2224).28 Melaka yang secara de facto menjadi ukuran kebudayaan Melayu di abad
14-18, oleh para intelektual Bugis, diintegralkan secara lebih intens dangan
purifikasi Islam yang terus baru sesuai dengan perubahan Islam di Timur Tengah.
Namun demikian, gerakan purifikasi islam itu sendiri sebenarnya telah
berlangsung sejak abad 17. Satu-persatu tradisi yang non Islam di masa Melayu
abad 13-17 mulai dipertanyakan dan dihapuskan secara pasti dimulai dengan
dantangnya Sufi yang berorientasi syariah yang di bawa oleh Nurrudin Arraniri
pada 1637 diteruskan dengan sufi syariah yang lebih moderat lewat Abdul
Samad (1779-1789) yang menterjemahkan Ihya’ Ulumuddin-nya Al Ghazali, lalu
Daud ibn ‘Abdillah ibn Idris Patani yang juga menterjemahkan karya al Ghazali
lainnya Kitab Asrar dan Kitab al kurbat ila Allah yang di terbitkan di Mekah 1824.
Seiring dengan semakin intensnya kontak dengan sumber islam di Timur Tengah
dan dunia islam lainnya, kini di abad 20 bahkan ada larangan dari dunia Melayu
Malaysia bahwa khasanah dunia Hindu-Budha tidak boleh diajarkan dalam sastra
Melayu.
Sementara itu di Jawa hingga awal abad 20 hingga kini, meskipun
semakin jarang, masih dikenalkan epik Mahabarata dan Ramayana. Di Malaysia
yang ada hanyalah hikayah-hikayah yang bertutur tentang dunia Islam terutama
dari tradisi Islam Persia seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman,
dan Hikayat 1001 malam (yang aslinya adalah saduran dari tradisi India yakni
kitab Pancatantra; hingga kini masih dibacakan di Bali). Meskipun ada Hikayat
Sri Rama, Hikayat Pendawa Lima, dan lainnya lambat laun karya sastra Islam
yang berbau Hindu-Budha itupun mulai disingkirkan dari khasanah Melayu Islam
di Malaysia. Tidak ada lagi pengetahuan tentang kisah-kisah epik Mahabarata
dan Ramayana di Malaysia. Semua kini digantikan dengan karya-karya
Shakespeare. Di Malaysia, khasanah literatur Barat modern dianggap paling
netral yang menjadi inspirasi demi makna Islam, kemajuan, dan modernitas.
28

Matheson, V., 1979, “Concepts of Malay Ethos in Indegenopus Malay Writings”, dalam
Journal of Southeast Asian Studies 10-2, hlm. 351-371.

16

Pada awal abad 19 gerakan pemurnian Islam mulai dilancarkan dengan
dikenalkannya ajaran Wahabi oleh Muhammad Ibn Abd al Wahab yang dimulai
pada tahun 1744. Gerakan pemurnian Islam ini, meski sempat dibendung oleh
Ottoman tahun 1818, namun gerakan sudah sempat masuk ke Nusantara lewat
gerakan Padri. Islam Wahabi pada dasarnya sama kerasnya dengan gerakan
Sufi Syariah di masa Nurruddin Al Raniri yang melakukan pembungihangusan
tempat-tempat pengikut Hamzah Fanshuri di masa itu. 29 Di Jawa banyak pula
para haji yang datang dari berhaji dan belajar di Timur-Tengah mulai melakukan
pembaharuan Islam. Meskipun demikian hingga abad 19 akhir, tradisi sufi
syariahlah yang lebih diterima di masyarakat Jawa. Memasuki masa akhir
kolonialisme Islam di Nusantara seakan terpecah menjadi dua peradaban yakni
Islam Melayu dan Islam Jawa. Kedua-duanya sebenarnya mengalami pergulatan
besar seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Timur Tengah
sebagai sumber keabsahan spiritualitas Islam dan arus modernisasi barat,
sebagai ‘berkah’ tersembunyi dari kolonialisme itu sendiri.

Malaysia, Mercusuar Kebudayaan Melayu?
Pudarnya kekuasaan Ottoman di awal abad 19 yang dikarenakan adanya
perebutan kekuasaan di dunia Islam membuat dunia Islam di Timur Tengah
mencari bentuknya kembali. Kemunduran kekuatan politik dan ekonomi abad 19
pun dicarikan rasionalisasi sebab-musababnya. Para ulama di Dunia Islam
meyakini

bahwa

kemunduran

Islam

adalah

dikarenakan

moralitas

dan

spiritualitas yang semakin menurun. Dunia peradaban Islam yang popular
selama berabad-abad yang dibangun oleh para ulama sufi dengan patron
penguasanya itu dituding sebagai biang kemrosotan moral dan spiritual.
Sementara itu, dunia Kekristenan Eropa sudah semakin makmur dan maju,
29

Walaupun demikian Sufism masih popular di masyarakat dan ulama tradisional bahkan
modern, lihat Howell, Julia Day (2001) “Sufism and the Indonesian Islamic Revival”,
Journal of Asian Studies 60,3 (August):701-729; Howell, Julia Day, Subandi and Peter
L. Nelson (1998) “Indonesian Sufism: Signs of Resurgence”, in Peter B. Clarke (ed.)
New Trends and Developments in the World of Islam, London: Luzac Oriental, pp. 277298; Howell, Julia Day. 2002. “Seeking Sufism in the Global City: Indonesia’s
Cosmopolitan Muslims and Depth Spirituality”. Paper presented at the symposium:
Islam in Southeast Asia and China: Regional Faithlines and Faultlines in the Global
Ummah. 28 November – 1 December 2002. City University of Hong Kong

17

setelah menemukan dan menguasai India, Afrika, hingga Amerika dan Nusantara
semenjak abad 16 telah memicu terciptanya tata ekonomi dan kekuasan yang
baru di Eropa disokong oleh kemajuan sains dan teknologi modernnya.
Perubahan politik Eropa abad 20 yang menawarkan ide-ide nasionalisme
modern dan perubahan ideologi Islam di Timur tengah di akhir abad 19 lambat
laun mulai merubah arah identitas Melayu sebagai ‘entitas’ etnis. Identitas
Melayu yang mula-mula hadir dari wacana penguasa Eropa untuk membedakan
dengan komunitas lain di Nusantara mulai mengkristal. Meski bagi dunia Islam
dan pedagang Muslim hingga abad 19 masih meyebut mereka sebagai orangorang Jawi, kebudayaan mereka lebih dikenal sebagai budaya Melayu.
Masuknya Jawa kedalam dunia Islam menjadikan kesadaran politik kemelayuan
terasa lebih superior. Meskipun demikian arus sejarah merubahnya menjadi
Islam Jawa di saat Sultan Agung memasukkan khasanah Jawa lama dalam Islam
Pesisir.30 Hubungan dengan dunia Melayu yang tersendat-sendat di zaman ini
membuat arah perubahan keislaman menjadi terpolarisasi. Hingga nanti tiba
masa kolonialisme di akhir abad 19, yang membuka kembali kran Islam Melayu
dan Timur Tengah dengan Jawa.
Keterpisahan budaya Islam Melayu Nusantara akibat hadirnya gelombang
kolonialisme juga memberikan arah yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh
dimulainya zaman baru gerakan nasionalisme di Nusantara yang memisahkan
antara Melayu Indonesia dengan Melayu Malaysia. Kebangkitan identitas Melayu
modern dan berjaya di Malaysia sebagai nation di abad 20 dan ketidakjelasan
identitas marwah Melayu yang sekadar adat di bawah Indonesia menjadikan
Melayu Indonesia tenggelam dalam gegap gempita kemelayuan Malaysia. Islam
walaupun tetap menjadi sumber spritualitas Kemelayuan kemudian bertolak ke
perkembangan yang berbeda. Keislaman Melayu Malaysia menjadi sangat intens
berkat kawalan kerajaan dan pemerintah Malaysia. Sedangkan di Indonesia,
Islam menjadi kekuatan di luar pemerintahan. Penekanan Kemelayuan di
Indonesia yang sekadar adat mau tidak mau menyingkirkan wacana Islam
sebagai inspirasi politis dalam diri masyarakat Melayu Indonesia. Hal ini
disebabkan pula adanya politik Orde Baru yang represif dengan Islam politis,
30

Lihat Ricklefs, M.C., 1998, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”,
Archipel 56, Paris, pp.469-482; lihat pula Ricklefs M.C.. 2007. Ibid; lihat pula Budiyanto,
Ary. 2004. Ibid.

18

dengan menjadikan kekuatan Islam lebih ‘ramah’ dengan Pemerintah. Hal yang
sama juga dilakukan di Malaysia dengan membentuk gerakan dakwah negara
untuk membendung gerakan dakwah sipil (Funston, 1989; 175).31
Persaingan Islam politis yang berakar dari kesadaran Pan Islamisme di
Timur Tengah oleh Jamaluddin al-Ghani (1839-1897) -yang lebih dahulu
diinspirasi oleh At Tahtawi (1801-1873)- serta gerakan Wahabisme yang mulai
bangkit lagi di Timur-Tengah pada 1904 dengan patron penguasa Saudi Arabia
yang kini menguasai sumber spiritualitas Islam, serta revolusi Islam di Mesir
dengan gerakan Ikhwanul Muslimin (1939) membuat gelombang Islam modern,
yang didukung dengan teknologi transportasi dan informasi, kembali mendera
dan memberi angin segar bagi komunitas muslim di Nusantara. 32 Islam pun
semakin menguat sebagai basis ideologi perjuangan politik di masa-masa akhir
kolonial, bersaing dengan paham nasionalisme Barat di awal abad 20. Di Hindia
Timur, Sarekat Islam lahir 1911 membawa pembaharuan Islam yang ‘benar’
sekaligus mempolarisasi hubungan Cina dan pribumi karena perdagangan.
Sementara itu Muhammadiyah (1912) secara eksplisit lebih konsern dengn
pembaharuan Islam yang lebih organisatif; ia mewakili Islam modern saat itu,
sementara itu Nahdlotul Ulama (1926) sebagai basis Islam tradisi mengkonter
gelombang modernisasi Muhammadiyyah dan Persis saat itu. Pada warsa 19001941 inilah modernism dan Islam bertemu dan membentuk adanya perseteruan
antara kaum tua dan kaum muda di dunia Melayu dimana romantisme ideologis
Pan Islamisme, Pan Malayanism, dan Anti-Kolonialisme menjadi tujuan gerakan
kaum muda ini (Roff, 1989).33 Meskipun demikian Islam politik Malaysia yang
berbasis modernist maupun dakwah Islamis, harus tunduk pada kekuatan
mayoritas Islam tradisi melayu patron kerajaan-kerjaan Melayu yang disokong
oleh kebijakan Inggris.
Hal inilah yang membuat Melayu di semenanjung Malayu membuat
nasionalisme Melayu tidak begitu ‘garang’. Bahkan menurut Tirtosudarmo 34 yang
mengutip Milner (1992:55) konsep kemelayuan itu adalah proyek dari
31

32
33

Funston, John, N., 1989, “ The Politics of Islamic Reassertion: Malaysia”, dalam
Reading on Islam in Southeast Asia, eds. Ahmad Ibrahim et al, ISEAS, Singapore, hlm
171-179.
Tentang Islam dan nasionalisme lihat Laffan, Michael F., 2003, Ibid.
Roff, William, 1989, “ Kaum Muda-Kaum Tua: Innovation and Reaction amongst the
Malays, 1900-1941”, dalam Reading on Islam in Southeast Asia, eds. Ahmad Ibrahim et
al, ISEAS, Singapore, hlm 123-129.

19

Pemerintahan Kolonial Inggris lewat ide Sir Richard Winstead yang menulis
bahwa wilayah kemelayuan itu adalah Melayu di semenanjung Malaya dan
sekitar kepulauan Riau Lingga (Winstead, 1921:4). Meskipun pernah ada upaya
untuk menggerakkan Pan Melayu Raya seperti yang disuarakan oleh Abdul Hadi
bin Haji Hasan (1925-1929). Kemelayuan Malaysia lebih didasarkan pada
keagungan Kerajaan Malaka. Kerajaan Malaka dan disokong oleh kerajaankerajaan kecil seperti Johor, Kedah, Perak, dan Trengganu inilah yang kemudian
diajukan sebagai identitas Melayu. Lebih eksplisit lagi, proposal Tunku tentang
Malaysia menekankan kemelayuan Melayu Raya adalah keturunan dari Hang
Tuah. Hal inilah yang nantinya memisahkan kemelayuan Malaysia dengan
Indonesia.35
Kemelayuan Malaysia yang dibangun atas konsep Negara Malaysia
mampu membentuk kepercayaan diri sebagai bangsa dan Negara. Kontras
dengan Malaysia, kemelayuan Indonesia hanya menjadi bagian dari khasanah
kebudayaan Nasional belaka. Walaupun demikian, di Malaysia, Islam yang
menjadi

ukuran

kemelayuan

kadang

membuat

ketegangan

dengan

36

kewarganegaraan Malaysia yang multi ras dan agama. Ini dikarenakan undangundang Malaysia memperbolehkan Islam berdakwah pada non Muslim namun
tidak sebaliknya (Artikel 11), dan jika seorang sudah Islam dia tidak boleh
berganti agama. Dikarenakan Islam menjadi agama Negara maka Islam model
Negara sebagaimana dipahami oleh partai peguasa negaralah, UMNO (1946)
dan bersama PMIP, ABIM, dan PAS, Darul Arqam, yang menjadi ukuran
keislaman. Meskipun UMNO secara politis berseberangan dengan ketiga
organisasi di atas, wacana dakwah keislaman yang tercipta oleh ketiga kekuatan
Islam politis ini membuat UMNO yang mulanya Islam Sekular ikut juga
meramaikan Islamisasi Melayu Malaysia dengan didirikannya

Departemen

Agama Malaysia di 1968 yang sejak 1970 mulai gencar mendakwahkan Islam
negara lewat didirikannya Pusat Riset Islam dan Yayasan Dakwah Islamiah pada
January

1974.

Bahkan,

pada

Desember

1978

pemerintah

Malaysia

34

Tirtosudarmo, Riwanto. 2005. “The Orang Melayu and Orang Jawa in the ‘Lands
Below the Winds’.” CRISE Working Paper 14 March 2005. Queen Elizabeth House,
University of Oxford

35

Ahmad, Abdullah. 1985. Tunku Abdul Rahman and Malaysia’s foreign policy 19631970. Kuala Lumpur: Berita Publishing.

36

Lal, Vinay, “Multiculturalism at Risk The Indian Minority in Malaysia.” Economic and
Political Weekly. September 2, 2006.

20

menetapkannya sebagai bulan dakwah (Funston, 1989: 175). Farish A. Noor
(2006), melihat bahwa pada saat inilah hingga tahun 1980an ke atas Islam
Malaysia seakan menjadi lebih monolitik ditandai dengan adanya jargon
sekularisme yang di anggap haram da

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

APRESIASI AKTIVIS POLITIK TERAHADAP BUPATI JOMBANG SEBAGAI KOMUNIKATOR POLITIK (Studi pada Aktivis Politik Pendengar Dialog Interaktif Warung Pojok Kebonrojo di Desa Bareng)

0 22 45

engaruh Motivasi Pimpinan Terhadap Semangat Kerja Pegawai di Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember

1 14 17

FRAKSIONASI DAN KETERSEDIAAN P PADA TANAH LATOSOL YANG DITANAMI JAGUNG AKIBAT INOKULASI JAMUR MIKORIZA ARBUSKULAR DAN BAKTERI PELARUT FOSFAT (Pseudomonas spp.)

2 31 9

HUBUN GAN AN TAR A KUA LITAS P ELAYA NA N DA N P ROMOTION MIX (BERD ASARKAN P ERSE P S I P ASIEN) DE NGAN P ROSES P ENGAM BILAN KEP UT USAN P ASIEN DA LAM P EM AN F AA TAN P ELAY AN AN RA WAT INAP DI RSD KAL IS AT

0 36 20

Hubungan Kuantitatif Struktur Aktifitas Senyawa Nitrasi Etil P -Metoksisinamat Terhadap Aktivitas Anti Tuberkulosis Melalui Pendekatan Hansch Secara Komputasi

1 34 82

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Matematika Kelas 6 Lusia Tri Astuti P Sunardi 2009

13 252 156

EFFECT OF THE USE OF STUDENT PERCEPTION COOPERATIVE LEARNING MODEL N UMBER HEAD TOGETHER LEARNING AND MOTIVATION OF CREATIVITY IN LEARNING SOCIAL STUDIES IN SMP NEGERI TUMIJAJAR TULANG BAWANG BARAT ACADEMIC YEAR 2012/2013 P ENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG

2 24 135

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22