Urgensi Partisipasi Politik Perempuan Mi

Urgensi Partisipasi Politik Perempuan Masyarakat Miskin Perkotaan
di DKI Jakarta dalam Sosialisasi Kesehatan Reproduksi
(Analisa terhadap Sekolah Perempuan Ciliwung
di Rawajati Ciliwung, Jakarta Selatan)

Pendahuluan
Ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan, maka
pemerintah seharusnya mematuhi konsekuensi dari nilai demokrasi itu sendiri. Nilai
kebebasan, keadilan, pemenuhan hak hingga kesetaraan, adalah hal yang harus di penuhi oleh
pemerintah, baik terhadap warga Negara laki-laki maupun perempuan Indonesia. Faktanya,
perempuan masih saja menjadi pihak yang tersubordinat dan diberi label sebagai orang yang
hanya pantas mengerjakan tugas dan peran di ranah domestik. Hal ini tentu memberikan
sebuah stigma atau pelabelan baku, di mana sejak Orde Baru, bahasa ‘partisipasi politik’
perempuan di dunia publik, ‘hanya-lah’ berupa perkumpulan para wanita (bahasa yang
digunakan saat itu masih wanita) yang merupakan isteri-isteri pejabat dan bertugas
meneruskan sosialisasi agenda pejabat publik. Karenanya, nama Dharma Wanita demikian
populer di mata publik ketika pemerintahan Orde Baru .
Salah satu contoh agenda yang kerap kali di sosialisasikan oleh para anggota Dharma
Wanita ini adalah kampanye penerapan KB (Keluarga Berencana), sebagai bagian kebijakan
pemerintah dengan semangat menekan laju jumlah penduduk Indonesia. Namun, apakah
kemudian masalah kesehatan reproduksi dari sang perempuan di perhatikan? Apakah

sosialisasi penerapan KB tersebut diiringi dengan informasi ragam akses kesehatan bagi
perempuan Indonesia, yang sebetulnya termaktub juga sebagai Hak Asasi Manusia dalam
DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) pasal 251 ayat 1 dan 2. Lebih jauh lagi,
apakah sosialisasi akses kesehatan reproduksi tersebut melibatkan kaum perempuan itu
sendiri, terutama perempuan di lingkungan masyarakat miskin kota, seperti daerah Rawajati
Ciliwung?
Perempuan dan Masalah Kesehatan Reproduksi

1

Isi dari DUHAM pasal 25 ayat (1) adalah; Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan
perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,
menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut, atau keadaan lainnya yang mengakibatkan
kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya. Ayat (2) berbunyi; Ibu dan anak-anak berhak mendapat
perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun diluar perkawinan,
harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

1


Tidak bisa disangkal bahwa kaum perempuan di DKI Jakarta, mengalami ragam
permasalahan sosial yang serius. Selain masalah sosial, ekonomi dan politik, perempuan
Indonesia, termasuk juga di DKI Jakarta, mengalami akses informasi mengenai kesehatan
reproduksi (kespro) yang sangat terbatas. Pengertian hak-hak reproduksi dan kesehatan
reproduksi meliputi fisik, mental dan sosial serta memperoleh akses pelayanan menyeluruh
yang tidak diskriminatif berkaitan dengan reproduksinya, sebagaimana disebutkan dalam
ICPD programme of action (1994) berikut:
“Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang baik secara menyeluruh dalam
semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. Hal
tersebut menyangkut kemampuan orang untuk bereproduksi serta kebebasan untuk menentukan
apakah, kapan dan seberapa sering mereka akan bereproduksi. Termasuk dalam hal ini adalah hak pria
dan wanita untuk mendapat informasi dan akses terhadap metode-metode keluarga berencana yang
aman, efektif, terjangkau dan dapat diterima, yang menjadi pilihan mereka, serta terdapat metodemetode pengaturan kelahiran lain yang menjadi pilihan mereka, serta akses untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memungkinkan para wanita untuk menjalani kehamilan dan persalinan
dengan selamat. Pelayanan kesehatan reproduksi juga meliputi kesehatan seksual, dengan tujuan
untuk memajukan kehidupan dan hubungan pribadi”.2

Dilihat dari pemahaman kespro tersebut, kita dapat mencari penyebab mengapa perempuan
seringkali tidak siap secara fisik, mental dan sosial untuk meminta hak nya dalam
mendapatkan akses infromasi kesehatan yang berkualitas.

Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menyatakan bahwa penduduk
DKI Jakarta ada 9.607.787. Terdapat 4.736.849 penduduk perempuan dan 4.870.938
penduduk laki-laki dari jumlah tersebut. Tingkat perbandingan untuk sektor pendidikan
diantara keduanya adalah 889.774 orang untuk perempuan yang masih sekolah dan 937.730
orang laki-laki yang masih sekolah. Merujuk pada data yang dilansir BPS, terlihat bahwa
kesempatan untuk sekolah lebih besar bagi laki-laki dibanding perempuan. Untuk sektor
pekerjaan, terdapat 53.735 perempuan sebagai pekerja keluarga 3 yang tidak dibayar dan
22.792 laki-laki sebagai pekerja keluarga yang juga tidak di bayar. 4 Jelas terlihat bahwa
perempuan lebih berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, dengan pengupahan yang
tidak jelas dan beban kerja yang hampir berat di semua sektor, baik domestik maupun publik.
Tidak heran, dengan potret lapangan kerja yang minim serta akses pendidikan yang lebih sulit
dibanding laki-laki, perempuan Indonesia menjadi tidak kritis untuk meminta hak informasi
2

United Nations Population Fund (UNFPA), 1994. Ringkasan program aksi ICPD, 1994, hal.13, lihat juga
landasan aksi dan deklarasi Beijing, 1995, Jakarta: Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk
Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, hal.65. Diambil dari tesis Maria Ulfa Anshor,
Fikih Aborsi dari Perspektif Feminis Muslim, Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Kajian Wanita.
3
Definisi Pekerja keluarga adalah seseorang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha tanpa mendapat

upah/gaji, baik berupa uang maupun barang. Definisi ini diambil dari pengertian yang dipaparkan oleh Badan
Pusat Statistik Indonesia.
4
www.bps.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 19.20 WIB.

2

dan akses kesehatannya. Akibatnya, kondisi kesehatan perempuan pun menjadi rentan diterpa
ragam masalah kesehatan.
Sejumlah kasus kesehatan yang dialami perempuan terkait kespro adalah Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yang hingga 2010 tercatat sebanyak 307 per 100.000
Kematian Hidup (KH), juga Angka Kematian Bayi (AKB) yang mencapai 34 per 1000 KH. 5
Tentu jumlah tersebut sangat banyak dan sebagai Negara yang ikut menandatangani deklarasi
MDGs (Millenium Development Goals), maka Indonesia mempunyai komitmen untuk
memperhatikan kesehatan perempuan Indonesia. Ada beberapa sasaran yang perlu
diselesaikan dalam naungan MDGs, yaitu : (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2)
mencapai pendidikan untuk semua, (3) mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan
perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6)
memerangi


HIV/AIDS,

(7)

memastikan

kelestarian

lingkungan

hidup

dan

(8)

mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. 6 Dapat dilihat bahwa semangat
Negara-negara MDGs yang menandatangani nota deklarasi, banyak terfokus pada
peningkatan kualitas kehidupan perempuan. Indonesia sendiri, mempunyai sasaran MDGs
dalam hal meningkatkan kesehatan ibu dan angka kematian anak, dengan menekan angka

AKI hingga 102 per 100.000 KH dan AKB menjadi 23 per 1000 KH.
Penurunan kualitas kesehatan perempuan, terutama mengenai kesehatan reproduksi
yang salah satunya ditandai dengan angka kematian Ibu (AKI), bukanlah hal baru.
Setidaknya, mulai dari tahun 1994, kasus AKI telah menempati posisi cukup signifikan,
seperti tabel di bawah ini:
Tabel 1
Pencapaian dan Proyeksi Angka Kematian Ibu (AKI)
Tahun 1994-2015 (dalam 100.000 Kelahiran Hidup/KH)
Tahun
1994
1997
2002
2007
2009
2015

Angka Kematian Ibu
390
334
307

228
226
Harapannya diangka 102

Target RPJMN dan MDGs
Target Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional adalah
226 AKI per 100.000 KH.
Sedangkan untuk target MDGs di
tahun 2015 AKI menjadi 102 per
100.000 KH.

Sumber data: SDKI, 1994, 2002/2003, 2007, MDGs dan Bappenas7
5

6

www.depkes.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 19.40 WIB.
http://www.wapresri.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012, pukul 19.35 WIB.


3

Meski Angka Kematian Ibu (AKI) yang diperlihatkan tabel di atas cenderung menurun,
namun di tahun 2010, Departemen Kesehatan RI mencatat terjadinya kenaikan AKI, yaitu
dari 226 menjadi 307 per 100.000 KH. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya AKI
sebagai bagian dari masalah kesehatan reproduksi. Pertama; kurangnya tenaga
kesehatan/bidan di sejumlah daerah di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa
banyak daerah di Indonesia, belum mempunyai tenaga kesehatan yang berkualitas, terutama
untuk membantu proses kelahiran perempuan Indonesia. Salah satu contoh yang ada, adalah
seorang ibu asal Lombok Tengah yang mengalami pendarahan dan kemudian memeriksakan
kondisinya tersebut ke seorang dukun, bukan bidan.8 Pemeriksaan kandungan yang telat, info
yang sangat terbatas ketika melahirkan serta perginya ibu hamil ke dukun, adalah akibat
faktor ekonomi yang sangat lemah.
Dalam penelitiannya, Women Research Institute (WRI) mencatat bahwa kondisi ibu
hamil sebelum persalinan juga ikut mempengaruhi resiko kematian ibu. Sebagai contoh,
pengetahuan akan kesehatan reproduksi yang kurang, gizi yang harus dikonsumsi serta
pemeriksaan kehamilan dan kepatuhan mengkonsumsi vitamin. Kedua; angka menikah muda
yang masih tinggi di Indonesia. Konsekuensi dari tindakan menikah di usia sangat muda,
yaitu kurang dari 15 atau 20 tahun adalah belum kuatnya dinding rahim serta akses informasi
kesehatan yang sangat terbatas. Menteri Kesehatan RI, Endang Rahayu Sedyaningsih

menyatakan bahwa 30% perempuan Indonesia menikah muda. Tidak hanya menikah muda,
namun ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya kematian ibu, yaitu terlalu tua ketika
mengandung, terlalu muda untuk hamil, terlalu sering hamil dan jarak kehamilan yang terlalu
dekat.9 Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perempuan Indonesia memang belum bisa
mengakses dan mendapatkan informasi kesehatan bagi dirinya serta kehidupan keluarganya.
Faktor ketiga adalah; kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada urgensi
kesehatan perempuan Indonesia. Jika kita lihat, tanggung jawab sosialisasi serta pemberian
kemudahan akses kesehatan perempuan, bukan hanya menjadi tugas satu atau dua
departemen saja, seperti KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak) serta Kementerian Kesehatan, namun juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jika Kementerian Kesehatan tengah mengupayakan terlaksananya pendidikan kesehatan
reproduksi di kalangan siswa sekolah mulai dari SD hingga SMA, maka sejalan dengan hal
7

Data diambil dari angka kematian ibu melahirkan-kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak RI-pdf, diakses via www.google.com pada tanggal 29 Februari pukul 21.00 WIB.
8
http://wri.or.id/id/publikasi, diakses pada tanggal 29 Februari 2012, pukul 21.05 WIB.
9
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/10/21/99727/30-Perempuan-Indonesia-Menikah-Muda,

diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 21.30 WIB.

4

itu, KPPPA perlu melakukan pendidikan kespro pada ibu-ibu di Indonesia. Sehingga,
pendidikan kespro yang didapat oleh siswa sekolah, berbanding lurus dengan pengetahuan
yang di dapat oleh ibu mereka. Lebih dari itu, pelaksanaan pendidikan kespro juga
membutuhkan kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan
kesehatan, terutama kesehatan reproduksi perlu diletakkan dalam salah satu sub mata
pelajaran di sekolah. Sehingga, generasi muda Indonesia dapat memiliki sikap kritis terhadap
hak kesehatannya dan juga mendapat akses informasi kesehatan yang berkualitas sejak dini.
Angka generasi muda yang memutuskan untuk menikah dini di bawah usia 20 tahun atau
bahkan 15 tahun pun, diharapkan bisa menurun seiring dengan peningkatan pengetahuan
mereka akan kesehatan reproduksi.
Masalah tidak selesai pada tataran sosialisasi kespro sejak dini saja. Namun, adanya
budaya tabu pada lingkungan setempat untuk membicarakan bahasan kesehatan reproduksi
lengkap dengan ragam istilah medis nya, seperti vagina, sperma dan dinding rahim, turut
memperlambat pemahaman generasi muda, terutama pemuda dan pemudi akan bahaya
menikah muda atau berhubungan seksual di luar nikah. Karenanya, pihak kementerian
Indonesia juga perlu menggunakan pendekatan-pendekatan sosial budaya yang fleksibel.

Semua hal itu, perlu diadopsi dalam tiap kebijakan pemerintah terkait kesehatan perempuan
dan juga pengarusutamaan gender di Indonesia10, sehingga perempuan mempunyai andil
dalam urusan peningkatan kesehatannya.
Karenanya, penyebab Angka Kematian Ibu (AKI) bisa dilihat dari berbagai aspek,
seperti aspek media, sosial, budaya dan agama. Aspek medis meliputi; pendarahan,
komplikasi aborsi, persalinan lama, anemia dan penyebab tidak langsung. Sedangkan dari
aspek sosial; suami/keluarga tidak mengetahui dan tidak tanggap terhadap kondisi tiap ibu
hamil yang beresiko, pelayanan persalinan yang tidak terjangkau oleh masyarakat kurang
mampu, anggaran persalinan dalam rumah tangga yang dianggap tidak penting dan anggapan
bahwa persalinan itu hanya tanggung jawab keluarga saja. Aspek agama meliputi;
menganggap krisis persalinan biasa karena meninggal karena persalinan adalah mati syahid,
menganggap bersalin dan hamil adalah kodrat perempuan dan tidak perlu diperlakukan secara
khusus, jarangnya kajian agama yang memperbaharui anggapan peran suami/masyarakat
dalam membantu ibu hamil dan bersalin dan sikap pimpinan agama yang cenderung

10

Presiden Abdurrahman Wahid (GusDur) mengeluarkan Inpres No.9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan
Gender. Inpres tersebut merupakan salah satu indikator perhatian Gus Dur terhadap ragam masalah yang
dihadapi oleh perempuan Indonesia. Sangat di harapkan bahwa semangat Inpres ini dapat tertuang dalam tiap
kebijakan pemerintah yang ada, baik pada tataran kondisi sosial, ekonomi dan politik bagi perempuan Indonesia.

5

mempunyai banyak anak (melakukan 4 terlalu-sering, banyak, muda dan tua, seperti bahasan
di atas).
Aspek budaya meliputi; terlalu banyak tabu yang merugikan bagi ibu hamil dan ibu bersalin
baik dalam makan maupun sikap, hamil dan persalinan dianggap peristiwa yang alami, suami
tidak sensitif (beban kerja ibu hamil masih disamakan dengan keadaan tidak hamil), adanya
bias gender (bahwa proses pengambilan keputusan untuk periksa dan sebagainya masih ada
di tangan laki-laki, baik suami, bapak dan mertua).11
Sekolah Perempuan Ciliwung dan Masyarakat Miskin Perkotaan
Seperti dijelaskan di atas bahwa perbandingan tingkat akses pendidikan (kesempatan
bersekolah) dan kerja tidak dibayar antara laki-laki dan perempuan adalah belum sejajar.
Laki-laki lebih berkesempatan untuk bisa terus bersekolah dan kemudian bekerja di ranah
publik. Hal ini terjadi pada banyak daerah dan masyarakat Indonesia, bahwa laki-laki
seringkali dipilih untuk mempunyai akses pendidikan lebih, ketika dihadapkan dengan
kondisi ekonomi yang sulit. Kondisi ini tidak lepas dari ketidakadilan gender antara laki-laki
dan perempuan yang berlaku di masyarakat luas. Dalam bukunya, Judith Squire memberi
pemahaman mengenai perbedaan antara seks dan gender. Seks adalah hal yang berkenaan
dengan kondisi biologis. Sedangkan gender adalah suatu bentuk yang secara budaya
mendefinisikan berbagai karakteristik (dengan kata lain, ada kesengajaan yang terkonstruksi).
Misal jika seks adalah perempuan dan laki-laki, maka bahasa gender menjadi maskulin dan
feminin yang merepresentasikan konstruksi sosial.12 Konstruksi sosial tersebut sangat nyata
dapat dilihat dalam lingkungan masyarakat miskin perkotaan, yang salah satunya terletak di
daerah Rawajati, Ciliwung, Jakarta Selatan. Bahwa terjadi subordinasi antara ranah publik
dan privat perempuan-laki-laki dalam lingkungan masyarakat.
Rawajati Ciliwung mempunyai dua Rukun Tetangga (RT) dan tiga Rukun Warga
(RW). Ada beberapa masalah yang dialami oleh warga Rawajati Ciliwung ini. Diantaranya
adalah; letak daerah Rawajati Ciliwung yang rentan akan luapan banjir ke rumah-rumah
penduduk. Hal ini disebabkan juga oleh pola prilaku warga yang masih saja membuang
sampah rumah tangga nya ke dalam arus sungai Ciliwung. Saat ini daerah Rawajati-Ciliwung
berdekatan dengan sebuah pabrik minum kemasan. Beberapa warga mengeluhkan keberadaan
pabrik karena bising dan mengganggu faktor resapan air di daerah kali Ciliwung. Salah
11

http://wri.or.id/id/publikasi, potret kemiskinan, diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 11.45 WIB.

12

Judith Squires, Gender in Political Theory, Polity Press: UK, 1999, hal.54.

6

seorang warga mengatakan bahwa sejak berdirinya perusahaan tersebut pada tahun 2008, air
kali tambah meluap dan lebih deras memasuki rumah-rumah warga. 13 Meski begitu, tidak
banyak penduduk yang melakukan komplain, karena perusahaan tersebut pernah memberikan
imbalan berupa paket-paket ketika hari libur besar, seperti ketika lebaran.
Selain itu, angka pendidikan di daerah Rawajati Ciliwung masih rendah. Hal tersebut
dapat dilihat dari mayoritas penduduk nya, baik perempuan maupun laki-laki yang hanya
dapat bersekolah hingga SMA.14 Bahkan, banyak juga perempuan yang hanya tamatan SD.
Dengan potret sosial, ekonomi dan politik yang jauh dari kesan kondisi ideal masyarakat
perkotaan, maka klasifikasi tempat tinggal warga Rawajati Ciliwung ini ada pada tataran
masyarakat miskin perkotaan, sebagai implikasi dari adanya stratifikasi sosial. Parsudi
Suparlan menyebutkan bahwa kota adalah sebuah pemukiman yang permanen dengan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi, dengan corak masyarakatnya yang heterogen dan yang
lebih luas daripada sebuah keluarga atau klan. Karena berbagai spesialisasi dan keahlian kerja
serta berbagai bentuk penguasaan atas sumber-sumber daya dan lain-lain, maka masyarakat
kota mengenal adanya pelapisan atau stratifikasi sosial.15
Ketika berbicara tentang masyarakat miskin perkotaan, tidak bisa dilepaskan dari
konteks pembangunan politik Negara Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang
mengedepankan

rencana

pembangunan

ekonomi

nasional,

menggunakan

trilogi

pembangunannya, yaitu; (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pemerataan hasil-hasil pembangunan,
(3) kestabilan nasional.16 Globalisasi di tahun 1960-an semakin menguatkan fokus utama
pemerintahan Soeharto, yaitu pembangunan ekonomi. Para investor pun dipersilahkan datang
dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Lebih dari
itu, investor asing dijanjikan dapat menggunakan jasa buruh murah dari Indonesia. Akhirnya,
meski globalisasi memang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk
bisa bekerja, namun rakyat pun harus membayar nya dengan harga yang tidak sepadan, yaitu
hidup di lingkungan kumuh/ pinggiran kota, berdekatan dengan bangunan yang menjulang
tinggi dan sangat jauh tingkat kesejahteraan ekonominya dengan para pemilik
modal/kapitalis. Untuk memuluskan program pembangunan ekonomi nasional, maka
13

Wawancara dengan Ibu Mistinah, Pengurus SPC (wakil ketua), 2011.
Berdasarkan obeservasi penulis dan wawancara dengan salah satu pengurus Sekolah Perempuan Ciliwung
(SPC), 2011.
15
Parsudi Suparlan, dalam diklat Manajemen Perkotaan, pelayanan sosial perkotaan dan pengentasan
kemiskinan, kerjasama badan diklat Depdagri, diklat prov Sumut, Lampung, Jabar, NTB, Kaltim dan Sulut, PT
Yodya Karya (persero), 1999/2000, hal.2
16
Alfian, Budaya Politik, Disiplin Sosial dan Pembangunan Politik, dalam buku Masalah dan Prospek
Pembangunan Politik Indonesia, Gramedia: Jakarta, 1986, hal.256.
14

7

stabilitas politik pun perlu dipertahankan. Soeharto meyakini bahwa kemajuan ekonomi dapat
terwujud jika kondisi politik dalam Negeri stabil. Karenanya, pada masa pemerintahan
Soeharto, kendali atas berbagi lembaga pemerintahan, adalah terpusat di tangan Soeharto.
Tidak pernah ada demonstrasi dan aksi teatrikal membakar foto pejabat, terutama Presiden
seperti yang terjadi di zaman reformasi saat ini.
Konteks pembangunan politik ini, persis seperti yang di paparkan oleh Lucian Pye
mengenai aspek pembangunan politik, bahwa pembangunan politik salah satunya adalah
sebagai stabilitas dan perubahan tertib. Pye menyatakan bahwa Stabilitas yang hanya
merupakan stagnasi dan dukungan sepihak terhadap status quo jelas bukan pembangunan,
kecuali jika pilihannya adalah terwujudnya keadaan yang lebih buruk. Lebih lanjut Pye
menyatakan bahwa stabilitas dapat dibenarkan ada hubungannya dengan pembangunan,
dalam arti bahwa tiap bentuk kemajuan ekonomi dan sosial bergantung pada suatu
lingkungan di mana ketidakpastian telah dikurangi dan ada perencanaan yang terprediksi
relatif aman.17 Presiden Soeharto mengurangi ketidakpastian kondisi politik dengan
menjalankan pemerintahan yang sentralistik, termasuk seluruh lembaga Negara dengan
tujuan menghadirkan stabilitas politik. Namun, selama 32 tahun masa pemerintahannya,
Soeharto lupa bahwa pembangunan politik juga akan berjalan baik jika didukung oleh
partisipasi politik rakyat yang baik dalam berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi dan politik.
Akhirnya, ke-absenan partisipasi tersebut menghadirkan jurang yang lebar antara si kaya dan
si miskin dalam masyarakat kota, seperti potret Rawajati Ciliwung. Banyak rumah penduduk
yang terletak di gang-gang sempit dengan fasilitas MCK (mandi cuci kaktus) yang minim,
jalan sempit yang penuh dengan gerobak dagangan, sebagai gambaran mata pencaharian sang
suami sebagai pedagang keliling.
Sedangkan potret kaum perempuan yang ada di daerah miskin kota, Rawajati
Ciliwung ini sebagian besar adalah sebagai ibu rumah tangga, buruh cuci gosok,
berwirausaha (mempunyai dan menjaga warung) bahkan ada juga yang berprofesi sebagai
pemulung.18 Banyak dari ibu rumah tangga yang ikut dalam kegiatan keagamaan, seperti
pengajian. Dalam lingkungan setempat, peran Ustadzah (penceramah perempuan) sangat
sentral dan penting. Ustadzah selalu menekankan kepada ibu-ibu yang mengikuti
pengajiannya, untuk selalu mematuhi perintah suami, termasuk melayani suami ketika sang
isteri sedang lelah. Jika tidak, pelabelan durhaka, berdosa dan sebagainya tertuju pada sang
17
18

Lucian W Pye, Aspects of Political Development, Little, Brown and Company: USA, 1996, hal.41.
Wawancara dengan Ibu Retno, Pengurus SPC (Sekretaris), 2011.

8

isteri yang tidak mematuhi perintah suami tersebut.19 Hal ini menjadi sangat memprihatinkan
karena sebetulnya pendekatan keagamaan dalam sebuah lingkungan masyarakat miskin kota,
seperti Rawajati Ciliwung, dapat digunakan untuk membangun pemahaman hak perempuan
akan akses kesehatan reproduksi. Kondisi tersebut berjalan cukup lama, hingga kemudian
salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Kapal Perempuan (Lingkaran
Pendidikan Alternatif untuk Perempuan) menginisiasi terbentuknya Sekolah Perempuan
Ciliwung (SPC) di bulan November 2003. Terbentuknya SPC tidaklah instan. Salah seorang
pengurus Kapal Perempuan memutuskan untuk tinggal bersama masyarakat Rawajati,
Ciliwung Jakarta Selatan, untuk memahami kebutuhan perempuan yang ada di daerah
tersebut.
Akhirnya, sejumlah ibu-ibu yang ada di ajak untuk bersekolah informal, yaitu
mengajarkan kepada ibu-ibu setempat bahwa ada hak mereka dalam berbagai aspek sosial
yang layak mereka dapatkan, tanpa harus meninggalkan kewajibannya sebagai perempuan
dan istri. Dengan hadirnya Sekolah Perempuan Ciliwung yang terbentuk dari inisiatif Kapal
Perempuan, maka banyak ibu yang tergerak untuk lebih meningkatkan kualitas hidup mereka,
baik secara pendidikan, politik dan sosial ekonomi. Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) kini
mempunyai enam orang pengurus inti dan 63 anggota serta berbagai kegiatan dan program
yang juga dijalankan oleh pengurus inti di daerah itu. Kegiatan dan program tersebut berupa
Koperasi Simpan Pinjam, Katering (seperti menerima pesanan memasak untuk LSM-LSM
yang sedang melakukan demonstrasi), pembayaran listrik kolektif, pengenalan hak kesehatan
serta ragam kekerasan terhadap perempuan dan baca tulis (dengan pengurus inti sebagai
pengajar, setelah sebelumnya dicontohkan dan dilatih oleh pengurus Kapal Perempuan).
Ragam kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan bahwa perempuan di daerah
Rawajati Ciliwung yang mayoritas mempunyai latar belakang pendidikan rendah, bisa
mandiri secara individu di kemudian hari. Salah satu kegiatan yang ada, yaitu baca tulis, di
dominasi oleh ibu-ibu yang sudah berumur 47 ke atas, karena tidak mempunyai kesempatan
untuk bersekolah ketika kecil. Kegiatan baca tulis ini pun bersifat fleksibel dengan bertempat
di sekitar sungai Ciliwung jika tidak turun hujan. Program lainnya yaitu Koperasi simpan
pinjam yang boleh juga untuk non anggota. Kadang sebagai jaminan, adalah BPKB karena
pengurus juga mengalami kesulitan dalam menagih iuran untuk pelunasan peminjaman. 20
19

Berdasarkan pengalaman salah satu pengurus Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang juga pernah
mengikuti pengajian setempat.
20

Wawancara dengan Ibu Ana, Pengurus SPC (Koordinator Pendidikan), 2011.

9

Pengetahuan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) beserta payung hukum
pemerintah Indonesia, diberikan pada ibu-ibu setempat atas dasar masalah kekerasan yang
terjadi di lingkungan mereka.
Selain KDRT, banyak ibu-ibu yang tidak mendapatkan akses informasi dan sosialisasi
kesehatan, terutama mengenai kesehatan reproduksi. Akibat dari minimnya sosialisasi dan
informasi, ada beberapa ibu yang tidak sadar akan bahaya penggunaan alat kontrasepsi yang
telah mereka gunakan. SPC juga pernah mengundang dua orang bidan untuk tema reproduksi
perempuan setelah pengarahan yang diberikan oleh Kapal Perempuan terkait masalah kespro
di daerah Rawajati, Ciliwung. Namun, acara tersebut berlangsung dengan kehadiran para ibu
yang minim. Kesadaran ibu-ibu untuk mengetahui permasalahan kesehatan perempuan masih
minim.21 Dapat dilihat bahwa belum banyak perempuan yang menyadari bahwa pengetahuan
kesehatan reproduksi sangat penting. ketidaktahuan perempuan, dapat menyebabkan Angka
Kematian Ibu (AKI) yang tinggi di Indonesia.
Selain masalah pengetahuan kespro, kaum ibu setempat juga mengeluhkan
ketersediaan layanan kesehatan yang memadai. Ada perbedaan dalam hal pelayanan dan
harga.22 Terdapat dua puskesmas yang dekat dengan lokasi rumah warga Rawajati-Ciliwung.
Namun, puskesmas yang paling dekat, masih memungut biaya pendaftaran, sebaliknya pada
puskesmas lain, tidak ada biaya pendaftaran. Begitu juga dengan pembuatan surat izin
kesehatan yang meminta pembayaran sebesar Rp 5.000,-. Demikian pula dengan harga obat
berkualitas tinggi, dikenakan jumlah yang sama. Pelayanan dokter pun belum memenuhi
harapan dengan tidak di sampaikannya paparan penyakit yang diderita pasien serta tidak
memberikan keterangan selengkap-lengkapnya. Hal ini jelas semakin membuat perempuan
sulit untuk mengakses layanan kesehatan yang berkualitas karena faktor ekonomi. Akibat dari
layanan kesehatan yang belum mumpuni, maka terdapat beberapa warga perempuan yang
enggan untuk memeriksakan kesehatan mereka ketika mengeluh sakit.
Salah satu kasus yang ditemukan penulis, yaitu ketika salah satu ibu dinyatakan hamil
dan ia masih menggunakan alat kontrasepsi. Ia enggan untuk pergi ke dokter, walaupun
mengeluh sakit di bagian tertentu dari tubuhnya. Faktor penyebab keengganan nya untuk
periksa ke dokter, selain membutuhkan uang, adalah karena takut pada suaminya, yang
melarang nya untuk hamil lagi. Dapat kita bayangkan, bagaimana terlanggarnya hak seorang
21
22

Wawancara dengan Ibu Mistinah, Pegurus SPC, 2011.
Wawancara dengan Ibu Mistinah dari SPC, 2011.

10

perempuan untuk sehat, sementara suami hanya peduli bagaimana caranya sang isteri tidak
hamil lagi karena kondisi ekonomi yang sulit.
Pentingnya Partisipasi Politik Perempuan Masyarakat Miskin Kota
Ragam masalah kesehatan reproduksi yang dialami perempuan di daerah Rawajati
Ciliwung, baik pengetahuan yang minim ketika hamil maupun ketika menstruasi serta
penggunaan alat kontrasepsi, jelas membutuhkan uluran tangan perempuan itu sendiri.
Karenanya, partisipasi warga perempuan Rawajati serta pengurus Sekolah Perempuan
Ciliwung (SPC) yang terbentuk dengan enam orang yang telah terlatih sebelumnya, jelas
sangat diharapkan bagi sosialisasi akses kesehatan perempuan. Miriam Budiarjo dalam
bukunya, Partipasi dan Partai Politik, memaknai partisipasi politik dalam definisi umum
sebagai ‘kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau
tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah’. Kegiatan ini seperti tindakan memberi
suara dalam Pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok
kepentingan, mengadakan hubungan dengan para pejabat pemerintah atau parlemen dan
sebagainya.23
Sedangkan menurut Samuel Huntington dan Joe Nelson, partisipasi politik dalam
negara dengan sistem pemerintahan demokrasi, dapat diartikan sebagai ‘kegiatan warga
negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah’. 24
Lebih lanjut, Samuel Huntington dan Nelson menuliskan bahwa partisipasi bisa bersifat
individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau
dengan kekerasan, legal atau ilegal dan efektif atau tidak efektif. Menurut sarjana politik
lainnya, yaiti Herbert Mc-Closky dalam International Encyclopedia of the social science,
partisipasi politik adalah ‘kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana
mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak
langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum’.25
Berdasarkan

paparan tiga sarjana ilmu politik di atas, partisipasi politik secara

sederhana dapat diartikan sebagai ‘keikutsertaan seseorang atau sekelompok orang dalam
sebuah proses kehidupan politik yang mempunyai tujuan bersama untuk mempengaruhi
23

Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, Gramedia Jakarta: Jakarta, 1982, hal.1.
Samuel Huntington dan Joe Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1994,
hal.6.
25
Miriam Budiarjo, Opcit, hal.1.
24

11

sebuah kebijakan pemerintah baik secara langsung ataupun tidak langsung’. Dalam kaitannya
dengan masalah sosialisasi kesehatan reproduksi, maka keikutsertaan seorang atau
sekelompok orang perempuan di daerah miskin kota seperti Rawajati Ciliwung dalam
melakukan sosialisasi tersebut, adalah bentuk partisipasi politik perempuan, yang dapat
menginisiasi lahirnya kebijakan pemerintah mengenai akses pemenuhan hak kesehatan
perempuan Indonesia, terutama bagi perempuan di lingkungan miskin perkotaan. Beranjak
dari pengalaman fakta lapangan, yaitu di daerah Rawajati Ciliwung, akses untuk perempuan
dapat berpartisipasi dan berbicara di depan publik untuk memaparkan masalah dan kebutuhan
pemenuhan hak kesehatan reproduksi nya, adalah sangat minim dan di batasi. Pengurus
Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang telah terlatih untuk menyikapi masalah kekerasan
terhadap perempuan secara kritis di sekitar lingkungannya, mengakui bahwa tidak ada ajakan
dari pejabat setempat (seperti pak Rt/Rw) dalam hal Musrembang (Musyawarah Perencanaan
Pembangunan).26 Di mana pada Musrembang tersebut, ada beberapa bahasan pokok bagi
perempuan, seperti akses kesehatan untuk perempuan.
Jika melihat kondisi yang demikian mendesak atas permasalahan pemahaman akses
hak kesehatan bagi perempuan di daerah Rawajati Ciliwung, maka kaum perempuan yang
mempunyai pengetahuan dan pemahaman baik seperti SPC, harus diikutsertakan dalam
ragam obrolan mengenai pembangunan daerah tersebut ke depan. Bagaimanapun, partisipasi
politik perempuan tersebut, adalah cermin demokratisasi dalam proses pembentukan
kebijakan umum pemerintah. Jika representasi perempuan dalam politik formal di katakan
oleh Judith Squires dengan bertolak pada paparan Anne Philips sebagai; argumen tentang
model peran (bahwa perempuan itu sebagai contoh perempuan lainnya), argumen atas nama
keberpihakan terhadap keadilan, argumen keberpihakan terhadap kebutuhan perempuan dan
argumen terhadap keberpihakan revitalisasi demokrasi,27 maka representasi perempuan dalam
politik informal pun dapat menjadi cermin bagi perempuan lainnya bahwa kebutuhan mereka
hanya dapat dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Dan, partisipasi politik perempuan di
daerah masyarakat miskin kota seperti Rawajati Ciliwung dalam meminta pemenuhan akses
kespro, adalah penting. Hal tersebut bisa membuat kaum perempuan lainnya menyadari
bahwa pemenuhan hak kesehatan mereka, harus diperjuangkan oleh sikap kritis mereka
sendiri.
26

Berdasarkan pengakuan dan paparan dari pengurus SPC pada penulis, 2011. Lebih lanjut salah satu pengurus
menyatakan bahwa ada sikap diskriminatif antara keikutsertaan SPC dengan ibu-ibu PKK dalam kegiatan
pembicaraan Musrembang. Padahal, SPC juga merasa perlu dilibatkan sebagai bagian dari masyarakat umum.
27
Judith Squires, Gender in Political Theory, Polity Press: UK, 1999, hal.204.

12

Meski partisipasi politik perempuan Indonesia, khususnya kaum miskin kota
mengalami stagnasi di zaman demokratisasi dan reformasi ini, namun perempuan Indonesia
sebetulnya pernah mengalami sebuah masa kejayaan eksistensi diri. Saskia Wieringa dalam
bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, menuliskan bahwa organisasi
formal perempuan yang pertama adalah Putri Mardika. Organisasi ini didirikan di Jakarta
pada tahun 1912 dan memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan
untuk tampil di depan umum, membuang rasa “takut” dan “mengangkat” perempuan ke
kedudukan yang sama seperti laki-laki (Petrus Blumberger 1987:160, orig.1931). Kemudian,
pada tahun antara 1913-1915, berdiri berbagai organisasi perempuan, terutama di Jawa dan
Minangkabau. Umumnya para anggota terdiri dari kalangan atas dan mempunyai perhatian
lebih terhadap dunia pendidikan.28 Dapat dilihat betapa perempuan Indonesia pernah
memainkan peranan yang sangat penting dan hebat dalam mengangkat eksistensi dirinya di
ranah publik.
Sedangkan kondisi pola hubungan politik antara perempuan dan laki-laki setelah
direbutnya kekuasaan negara oleh Indonesia, menjadi berubah secara mendasar. Perempuan
Indonesia bukan lagi berhadapan dengan pejabat kolonial laki-laki, namun membela
kepentingan mereka sendiri di depan politisi Indonesia laki-laki, setelah sebelumnya kedua
insan ini mempunyai kerjasama yang baik. Perempuan menjadi pesaing yang ditakuti oleh
laki-laki karena mampu menangani segala urusan umum dan pribadinya. 29 Tidak berhenti
sampai di situ saja, perempuan selama perjuangan anti kolonial, menjadi aktor yang vokal di
tengah gelanggang politik dan sekaligus menjadi ibu dan istri yang “baik”. Praktiknya, dua
peranan ini berpadu karena perempuan memainkan peranan politik untuk menjadi ibu yang
baik dari rakyat Indonesia dan istri yang baik (sebagai pembantu laki-laki). Pada akhirnya,
setelah tidak ada lagi musuh bersama, laki-laki mengaku bidang politik adalah tempat mereka
dan perempuan ditinggalkan di bidang sosial.30
Pada tataran konteks sejarah ini, jelas bahwa perempuan pernah menempati masa jaya dengan
aktif di ranah politik dan juga menjadi istri serta ibu yang baik. Namun, egoisme dan budaya
patriarkhal bahkan sejarah Indonesia, banyak menghilangkan peran hebat perempuan dan
kemudian perempuan menerima ‘kodrat’ nya untuk ditempatkan dalam ranah domestik/sosial
saja. Bahkan pada masa itu, hal ini pun diterima oleh organisasi perempuan yang bercorak
28

Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya dan
Kalyanamitra: Jakarta, 1999, hal.104-105.
29
Ibid, Saskia Wieringa, hal.222.
30
Ibid, Saskia Wieringa, hal.223.

13

keagamaan, kecuali Gerwani. Meski demikian, pada batas-batas tertentu, kehadiran Gerwani
dianggap sebagai mengganggu kodrat perempuan. Hal tersebut terjadi karena Gerwani
memperjuangkan dua kebutuhan perempuan, yaitu menentang poligami dan memperjuangkan
hak kesejahteraan buruh Indonesia.
Pada intinya, kemerdekaan nasional memberikan hak-hak hukum dan politik tertentu
pada perempuan. Namun, hal tersebut tidak lantas menghilangkan struktur patriarkhal yang
mendera perempuan, yang juga dikecam oleh Soekarno. Sedangkan pada zaman Orde Baru,
tiap penulis selalu digiring agar patuh pada ideologi Negara (Pancasila). Orde baru adalah
sejarah kelam bagi Gerwani dan Gerwis. Orde Baru memberi label buruk pada Gerwani,
bahwa mereka sebagai sayap komunis yang dipimpin PKI, terus didengungkan, sehingga
banyak orang memandang Gerwani tidak bisa dipisahkan dengan PKI. Namun setelah
Soeharto lengser dan sering perubahan masa, maka stigma Gerwani sebagai sekumpulan
perempuan ‘bermoral bejat’ yang dikonstruki penguasa patriarkhi militer Orde baru, mulai
memudar.31 Gerwani sendiri adalah gerakan yang berjuang untuk reformasi sosial-ekonomi,
tetapi menerima tanggung jawab tradisional perempuan dalam rumah tangga dan sebagai ibu.
Gerakan perempuan ini menginginkan agar gerakan perempuan memainkan peran di dalam
politik nasional. Dengan demikian, pendirian Gerwani diwarnai ide campuran antara
esensialisme dan konstruktivisme.32 Beralih pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi,
maka dapat dilihat dari aktifitas sosial dan politik berbagai gerakan perempuan yang ada di
Indonesia.
Jatuhnya rezim Soeharto di tahun 1998, mengakibatkan melonjaknya harga sembako
dan berbagai potret bunuh diri serta perdagangan manusia untuk keluar dari kesulitan
ekonomi. Ada juga aksi yang bertemakan politik susu dari para feminis di Indonesia untuk
menyatukan berbagai kalangan strata sosial dalam melakukan protes terhadap pemerintah. Di
masa itu, peran gerakan perempuan terlihat dari aktifitasnya untuk melakukan aksi,
melakukan ragam publikasi, kampanye publik atas isu krisis ekonomi dan dampaknya
terhadap perempuan. Dalam deklarasinya, ragam tuntutan koalisi gerakan perempuan di
Indonesia ketika transisi ke reformasi meliputi; Pertama, membiasakan pemerintah
meletakkan perempuan dalam pemerintahannya, yang juga mempunyai tugas untuk
mengorganisir pemilu. Kedua, menuntut penyelesaian kasus kekerasan di rejim orde baru,
khususnya oleh militer termasuk juga penghapusan fungsi dualime militer. Ketiga, untuk
31

http://www.komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/buku, pdf, diakses pada tanggal 1 Maret 2012, pukul
17.00 WIB.
32
Opcit, Saskia Wieringa, hal.281.

14

menuntut transparansi dalam penggunaan dana dan keempat, menuntut hukuman untuk
Soeharto, keluarga dan kroninya.33 Hingga Desember 1998, gerakan perempuan Indonesia
baru bisa bernafas lega, melakukan kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta, setelah
sebelumnya pada era Soeharto, tidak pernah ada aktifitas seperti itu.
Dalam potret tersebut, dapat kita telaah bahwa perempuan Indonesia di era transisi ke
zaman reformasi, melakukan aktifitas dan partisipasi politik guna mengupayakan
tersalurkannya kepentingan perempuan dalam kebijakan pemerintah. Namun, dalam era
demokratisasi saat ini, partisipasi politik perempuan menemui kebuntuan. Pemerintahan SBY
mempersilahkan tiap organisasi/LSM untuk berdiri, begitupun dengan organisasi perempuan.
Namun, seiring dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat di masa demokratisasi,
partisipasi politik yang terbentuk bukanlah tujuan, namun sekedar alat. Dapat kita temukan
dan lihat bahwa dalam tiap Pemilu, perempuan dan anak remaja memberikan suara hanya
berdasarkan permintaan seorang calon kandidat yang melakukan mobilisasi dengan politik
uang. Sedangkan di negara maju, partisipasi politik yang berjalan adalah sebagai tujuan.
Karenanya, meski angka golput tinggi, namun itu bukanlah bentuk dari sikap apatis
seseorang, melainkan implementasi sikap atas pengetahuan mereka. Hal ini pula yang
dikatakan oleh Samuel Huntington dan Joe Nelson, bahwa tingkat pembangunan sosio
ekonomi yang lebih tinggi di dalam suatu masyarakat akan mengakibatkan tingkat partisipasi
politik yang lebih tinggi, dan secara implisit mengakibatkan suatu pergeseran dari bentuk
partisipasi yang dimobilisasikan ke partisipasi yang otonom.34
Kembali pada urgensi partisipasi politik perempuan masyarakat miskin kota, bahwa
kesadaran partisipasi berpolitik mereka dalam mensosialisasikan hak kesehatan reproduksi
adalah sejalan dengan pendidikan politik yang di dapat. Meski demikian, pemberian
pendidikan politik tidaklah cukup ketika budaya patriarkhal yang memandang perempuan
tidak bisa bergumul di ranah publik, masih berlaku di masyarakat. Pengalaman partisipasi
politik ibu-ibu yang tergabung dalam Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang dibelenggu,
merupakan pelajaran bahwa di negara berkembang, masalah partisipasi memang cukup rumit.
Ada beberapa hal yang dapat menjawab kerumitan partisipasi politik tersebut, terutama
partisipasi politik perempuan dalam turut mensosialiasikan hak kespro bagi perempuan
lainnya.
33

Ruth Indiah Rahayu, The Women’s Movement in Reformasi Indonesia dalam Indonesia; The Uncertain
Transition, Crawford House Publishing: Australia, 2001, hal.148.
34
Samuel Huntington dan Joe Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1994,
tanpa halaman.

15

Pertama, perlu adanya metode-metode pelatihan kesadaran bagi perempuan dalam
melihat fenomena ragam permasalahan mereka, beserta analisa sebab nya. Ketika perempuan
telah memiliki kesadaran akan hak nya yang belum terpenuhi, maka rasa apati mereka segera
hilang. Kemudian menyadari bahwa sosialisasi pemenuhan hak kesehatan reproduksi mereka
hanya dapat dipahami secara baik oleh kaum perempuan itu sendiri.
Kedua, perlu ada peningkatan jumlah serikat/perkumpulan yang mewadahi minat perempuan
dalam beraktifitas. Dengan demikian, perkumpulan/organisasi tersebut dapat membantu
untuk menggugah kesadaran sosial dan politik perempuan. Pengalaman yang ada di RawajatiCiliwung, adalah bahwa ketika pelatihan dari LSM tidak lagi intensif karena diharapkan
dapat berdiri sendiri dan menyelesaikan ragam masalah perempuan dengan musyawarah,
maka aktifitas sosial politik perempuan berkurang. Pelaksanaan sebuah partisipasi politik dari
perempuan memang tidak mudah. Butuh waktu panjang dan kesabaran untuk bisa
memberikan pemahaman pada kaum perempuan di lingkungan masyarakat miskin kota,
bahwa partisipasi politik mereka sangatlah penting guna membantu akses kesehatan kaum
perempuan lainnya.

Kesimpulan
Sebuah partisipasi politik dari perempuan yang ada di lingkungan masyarakat miskin
perkotaan, seperti daerah Rawajati Ciliwung untuk mensosialisasikan pentingnya hak
kesehatan reproduksi bagi perempuan, jelas merupakan hal yang tidak bisa di tawar. Hal ini
tidak mudah, mengingat kondisi pendidikan perempuan yang mayoritas sebagai lulusan SD
atau bahkan tidak tamat SD sebagaimana potret kaum perempuan yang tergabung di Sekolah
Perempuan Ciliwung (SPC). Selain itu, terdapat rintangan dari pemimpin setempat di daerah
Rawajati Ciliwung, bahwa perempuan tidak diakomodir untuk ikut musyawarah
musrembang. Ada beberapa keuntungan ketika sekelompok atau beberapa orang perempuan
dalam masyarakat miskin perkotaan (red-Rawajati Ciliwung) berpartisipasi secara politik
dalam pelaksanaan sosialisasi kesehatan reproduksi.
Pertama, sebagai contoh atau model bagi perempuan lainnya yang berada dalam
lingkungan sekitar, bahwa kebutuhan akses kesehatan perempuan, terutama informasi ragam
kesehatan reproduksi hanya dapat dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Dalam hal ini,
ibu-ibu lainnya yang belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan pengembangan diri
16

perempuan dan politik, akan mencontoh ibu-ibu Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang
lebih tercerahkan. Kedua, lebih bisa menghargai diri sendiri, bahwa ternyata akses dan
informasi yang kurang mengenai kesehatan reproduksi, mengakibatkan banyaknya angka
kematian bagi seorang ibu di Indonesia. Dengan demikian, partisipasi politik yang terbentuk
adalah atas kesadaran perempuan. Ketiga, sebagai upaya pemberian masukan bagi pihak
Pemerintah daerah dan pusat, terutama pimpinan di tingkat RT dan RW bahwa pengambilan
keputusan oleh pemerintah bagi masyarakat Indonesia mengenai kesehatan, harus lebih
memperhatikan dan mengutamakan kesehatan perempuan. Dibatasinya akses perempuan di
lingkungan Rawajati Ciliwung sebagai lingkungan masyarakat miskin perkotaan untuk
berpartisipasi secara politik, berbicara di depan umum mengenai kebutuhan akses kesehatan
reproduksi dan hak perempuan lainnya, mencerminkan bahwa pejabat setempat belum
berpihak pada perempuan. Pejabat setempat di Rawajati Ciliwung masih memandang bahwa
keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan publik adalah tidak
penting. Ini mencerminkan terlanggarnya hak politik perempuan dalam negara demokrasi
Indonesia.

Ana Sabhana Azmy
Dosen Tidak Tetap di Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS).
Saat ini tergabung juga di LSM Migrant CARE.

17

Daftar Pustaka

Buku
Alfian, Budaya Politik, Disiplin Sosial dan Pembangunan Politik, dalam buku Masalah dan
Prospek Pembangunan Politik Indonesia, Gramedia: Jakarta, 1986.
Budiarjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Gramedia Jakarta: Jakarta, 1982.
Eleonora, Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya
dan Kalyanamitra: Jakarta, 1999.
Huntington, Samuel dan Joe Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta:
Rineka Cipta, 1994.
Indiah Rahayu, Ruth, The Women’s Movement in Reformasi Indonesia dalam Indonesia; The
Uncertain Transition, Crawford House Publishing: Australia, 2001.
Squires, Judith, Gender in Political Theory, Polity Press: UK, 1999.
Suparlan, Parsudi dalam diklat Manajemen Perkotaan, pelayanan sosial perkotaan dan
pengentasan kemiskinan, kerjasama badan diklat Depdagri, diklat prov
Sumut, Lampung, Jabar, NTB, Kaltim dan Sulut, PT Yodya Karya (persero),
1999/2000.
W Pye, Lucian , Aspects of Political Development, Little, Brown and Company: USA, 1996.

Dokumen lainnya
Pdf DUHAM (Deklarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia) pasal 25 ayat (1) dan (2).
Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi dari Perspektif Feminis Muslim, Pascasarjana Universitas
Indonesia, Program Studi Kajian Wanita.
Situs Internet dan Wawancara
www.bps.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 19.20 WIB.
www.depkes.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 19.40 WIB.
http://www.wapresri.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012, pukul 19.35 WIB.
http://wri.or.id/id/publikasi, diakses pada tanggal 29 Februari 2012, pukul 21.05 WIB.
18

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/10/21/99727/30-PerempuanIndonesia-Menikah-Muda,
http://wri.or.id/id/publikasi, potret kemiskinan, diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pukul
11.45 WIB.
http://www.komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/buku, pdf, diakses pada tanggal 1
Maret 2012, pukul 17.00 WIB.
Wawancara dengan Ibu Mistinah, Pengurus SPC (wakil ketua), 2011.
Wawancara dengan Ibu Retno, Pengurus SPC (Sekretaris), 2011.
Wawancara dengan Ibu Ana, Pengurus SPC (Koordinator Pendidikan), 2011.

19