Tinjauan Pelaksanaan Klhs Tata Ruang Dan
TINJAUAN PELAKSANAAN KLHS, TATA RUANG DAN AMDAL
SEBAGAI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DAN INSTRUMEN PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Kebijakan Hukum Lingkungan
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Oleh :
ZUMRODI
250120150017
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
I.
Pendahuluan
Kebijakan hukum lingkungan dan penerapan instrumen pelestarian fungsi lingkungan
hidup tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk mengurangi dampak pemanfaatan sumber
daya alam, yang merupakan penggerak utama pembangunan demi peningkatan kesejahteraan.
Istilah sumber daya (resource) mulai populer di Indonesia sejak dekade 1980-an. Hal ini
tercermin dari penggunaan istilah tersebut pada peraturan perundang-undangan yang terbit
sebelum tahun 1980-an. Pada kurun waktu tersebut, istilah sumber daya lebih merujuk
kepada kekayaan atau sumber (alam). Pada peraturan setelah dekade 1980-an, istilah sumber
daya menjadi lebih umum digunakan untuk merujuk kepada berbagai konotasi seperti sumber
daya manusia, sumber daya alam (natural) dan sumber daya buatan (artificial).
Pada dasarnya istilah sumber daya merujuk kepada sesuatu yang memiliki nilai
ekonomi atau dapat memenuhi kebutuhan manusia atau input-input yang bersifat langka yang
dapat menghasilkan kegunaan atau manfaat (utility) dalam bentuk barang maupun jasa, baik
melalui proses produksi atau tidak. Secara etimologis istilah sumber daya dapat merujuk
kepada pengertian : 1) kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu yang tekait
dengan kegunaan (usefulness); (2) sumber persediaan, penunjang dan pembantu yang dipakai
untuk mencapai tujuan; (3) sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pikiran seseorang
yang dihasilkan melalui proses produksi untuk mencapai kepuasan; dan (4) utilitas
dikonsumsi baik secara langsung (barang, jasa) maupun tidak langsung (jasa lingkungan,
pemandangan, jasa ekosistem). Dengan demikian, pengertian sumber daya alam adalah
sangat luas yang mencakup sumber daya alam (SDA), manusia (SDM), modal maupun
buatan.
SDA saling tergantung antara satu dengan lainnya, baik bersifat langsung maupun tidak
langsung. Pengembangan suatu SDA akan memberikan pengaruh pada SDA yang lain, misal
pengembangan sumber-sumber minyak lepas pantai akan mempengaruhi sumber daya ikan
dan ekosistem di sekitarnya. Contoh lain adalah erosi tanah yang disebabkan oleh
penggundulan hutan atau penggalian batubara tanpa perancanaan akan menurunkan potensi
produksi listrik tenaga air dari suatu cekungan sungai. Sifat saling ketergantungan antar SDA
merupakan aspek utama yang melandasi konsep pengelolaan SDA secara berkelanjutan yang
menuntut perlakuan dan cara pandang berbeda sesuai dengan karakteristiknya. SDA yang
tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) atau ‘sumber daya stock” bersifat
exhaustible seperti logam, minyak bumi, gas dan mineral merupakan sumber daya dengan
sulai terbatas. Pemanfaatan sumber daya ini melalui eksploitasi akan menurunkan cadangan
dan ketersediaanya.
Sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) atau “flow”, yaitu sumber
daya yang suplainya dapat mengalami regenerasi secara terus menerus baik secara biologi
2
maupu non biologi. SDA jenis ini terbagi dalam dua jenis, yaitu SDA yang benar benar
dengan suplai tidak terbatas (infinite) dan SDA yang dapat diperbaharui (hutan, ikan, air)
sepanjang laju pemanfaatnnya tidak melampaui titik kritis. Setiap pemanfaatan SDA baik
melalui proses produksi maupun konsumsi selelalu menghasilkan limbah (waste). Sebagian
limbah dapat menjadi sumber daya bagi proses produksi atau konsumsi yang kain atau
kembali ke lingkungan alam. Namun juga terdapat limbah yang memerlukan upaya pendaur
ulangan menjadi residu yang dapat diproses secara alam.
Untuk mengurangi dampak negatif dan resiko pemanfaatan sumber daya alam
diperlukan berbagai instrumen demi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidupnya.
Sebagian instumen tersebut sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dapat berupa :
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tata ruang; Baku mutu lingkungan; Kriteria
baku kerusakan lingkungan; Amdal dan Izin lingkungan. Secara mendasar, keberadaan
sumber daya alam yang bersifat melekat dengan posisi/lokasi diatas permukaan bumi
menjadikan inventarisasi, pemanfaatan dan evaluasi SDA memerlukan pendekatan geografik
(tata ruang) melalui pendekatan dan analisis spasial.
II. Kebijakan dan Permasalahan Penataan Ruang
Kebijakan penataan ruang wilayah nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang
merupakan amanat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, meliputi
Kebijakan Pengembangan Struktur Ruang dan Kebijakan Pengembangan Pola Ruang.
Kebijakan pengembangan struktur ruang meliputi : (1) Peningkatan akses pelayanan
perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan hierarki; dan (2)
Peningkatan
kualitas
dan
jangkauan
pelayanan
jaringan
prasarana
transportasi,
telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah
nasional.
Selanjutnya kebijakan pengembangan pola ruang yang meliputi : (1) Kebijakan
pengembangan kawasan lindung meliputi (a) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian
fungsi lingkungan hidup dan (b) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan kerusakan lingkunga hidup; (2) Kebijakan pengembangan kawasan budidaya
meliputi (a) perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan
budidaya dan (b) pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampui daya
dukung dan daya tampung lingkungan; dan (3) Kebijakan pengembangan kawasan strategis
nasional meliputi (a) pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan
keseimbangan
ekosistem,
melestarikan
keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan,
3
melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional; (b)
peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara (c) pengembangan dan
peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan oerekenomian nasional yang produktif,
efisien, dan mampu berdaya saing dalam perekonomian internasional; (d) pemanfaatan
sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; (e) pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa; (f)
pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia,
cagar biosfer, dan ramsar, dan (g) pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi
kesenjangan tingkat perkembangan antar kawasan.
Pelaksananaan undang-undang penataan ruang yang mulai dilakukan semenjak tahun
2007 bukan tanpa kendala. Selain masih terbatasnya peraturan-peraturan pelaksana
dibawahnya, kedalaman materi undang-undang tersebut juga belum memuaskan bagi banyak
pihak. Salah satu permasalahan yang muncul adalah hingga saat ini belum tersedia kajian
mendalam untuk analisis daya dukung dan daya tampung lingkunga hidup sebagaimana
diamanatkan pasal 19, 22 dan 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
Sementara itu dalam pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang disebutkan bahwa kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan di dalam
kawasan budidaya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pelayanan publik untuk melayani
kegiatan di kawasan lindung, salah atunya adalah pelaksanakan kajian AMDAL
pertambangan di kawasan lindung tidak dapat direalisasikan. Konflik ruang dan Undang
Undang muncul terkait dengan pasal tersebut yang membawa implikasi serius berkaitan
dengan investasi dan kegiatan ekonomi secara luas. Misalnya untuk proses AMDAL tidak
dapat ditindaklanjuti karena terkena pasal 5 ayat 2 tersebut. Begitu masuk di kawasan hutan
lindung, AMDAL tidak dapat diproses karena akan melanggar peraturan perundang
undangan.
Permasalahan penataan ruang juga menghadapi kendala terkait koordinasi antar sektor
yang tidak terakomodasi melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKTRN).
Masalah juga terjadi terkait dengan kooordinasi pemerintah daerah dimana persoalan otonomi
daerah yang berada di tingkat kabupaten/kota sehingga gubernur tidak mempunyai
kewenangan untuk mengatur bupati/walikota, sementara ekosistem yang akan diatur berada
di kabupaten/kota. Keadaan ini membawa implikasi serius terhadap aspek keterpaduan secara
hierarki dalam suatu kawasan (propinsi) mengingat kabupaten/kota akan berupaya untuk
memperjuangkan kepentingannya terlebih dahulu dalam penataan ruang, dibandingkan
memperhatikan kepentingan bersama dalam kawasan.
4
III. Evaluasi Pengaruh Lingkungan Hidup Penataan Ruang Melalui KLHS
Sesuai dengan Penjelasan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus
dilakukan secara serasi, selaras dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai
konsekuensinya, kebijakan, rencana atau program pembangungan harus dijiwai dengan
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan hal ini, undang undang tersebut mengamanatkan
dilaksanakannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) demi menjamin prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam setiap kebijakan,
rencana dan progrma yang dilaksanakan pemerintah.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis merupakan proses sistematis untuk mengevaluasi
pengaruh lingkungan hidup dan menjamin diintegrasikannya prinsip prinsip pembanguna
berkelanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis. Secara umum KLHS
berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan sekaligus mendorong
pemenuhan tujuan keberlanjutan pembangungan dan pengelolaan sumber daya dari suatu
kebijakan rencana dan program pembangunan. Kaidah terpenting KLHS dalam perencanaan
tata ruang adalah pelaksanaan yang bersifat partisipatif dan sedapat mungkin didasarkan pada
keinginan sendiri untuk memperbaiki mutu KRP tata ruang (self assesment) agar keseluruhan
proses bersifat lebih efisien dan efektif.
Asas asas sebagai hasil penjabaran prinsip keberlanjutan yang mendasari KLHS bagi
penataan ruang adalah keterkaitan (interdependency), keseimbangan (equillibruim) dan
keadailan (justice). Keterkaitan menekankan pertimbangan keterkaitan anatara suatu
komponen dengan komponen lainnya antara satu unsur dengan unsur yang lain, antara satu
variabel biofisik dengan variable biologi, atau keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan
antar sektor, antar daerah dan lainnya. Keseimbangan menekankan aplikasi keseimbangan
antar aspek, kepentingan, maupun interaksi antara mahluk hidup dan ruang hidupnya, seperti
diantaranya adalah keseimbangan laju pembangungan dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, keseimbangan pemanfaatan dengan perlindungan dan pemulihan
cadangan sumber daya alam, keseimbangan antara pemanfaatan ruang dengan pengelolaan
dampaknya. Keadilan dalam hal ini untuk menekankan agar dapat dihasilkan kebijakan,
rencana dan program yang mengakibatkan pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber
sumber alam, modal dan infrastruktur atau pengetahuan dan informasi kepada sekelompok
orang tertentu.
Penekanan pelaksanaan KLHS dalam penataan ruang dibentuk oleh kerangka bekerja
dan metodologi berpikir yang berbeda. Berdasarkan literatur, sampai saat ini terdapat 4
5
(empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang. Empat pendekatan tersebut adalah :
(1) KLHS dengan kerangka dasar AMDAL (EIA Mainframe); (2) KLHS sebagai kajian
penialain keberlanjutan lingkungan (Environmental Appraisal); (3) KLHS sebagai kajian
terpadu/penilaian keberlanjutan (Integrated Assesment/Sustainability Apprasial); dan (4)
KLHS sebagai pendekatan pengelolaan Berkelnjutan sumber daya alam (Sustainable Natural
Resources Mangement) atau pengelolaan berkelanjutan sumber daya (Sustainable Resources
Manajement).
Proses KLHS pada prinsipnya harus dilakukan terintegrasi dengan perencanaan tata
ruang. Beragam kondisi mempengaruhi proses perencanaan tata ruang, dimana hal ini
menyebabkan integrasi tersebut dilaksanakan dalam dua cara yaitu : (1) Penyusunan
dokumen KLHS untuk menjadi masukan RTRW dan KRP tata ruang; dan (2) Melebur proses
KLHS dengan proses penyusunan RT RW atau KRP tata ruang . Proses kegiatan penyusunan
dokumen dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan proses penyusunan KRP tata ruang.
Intergrasi tersebut berlangsung menurut langkah-langkah : (1) Pelingkupan; (2) Penilaian
atau telaah/analisis teknis; (3) Penetapan alternatif; (4) Formulasi pelaksanaan dan
pengambilan keputusan tentang pilihan muatan materi bagi KRP tata ruang; dan terakhir (5)
Pemantauan dan tindak lanjut.
IV. Implementasi Amdal Dan Izin Lingkungan Sebagai Instrumen Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup
Sesuai dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Hal ini secara tegas disebutkan dalam
pasal 22 undang-undang tersebut. Lebih lanjut dalam penjelasan undang undang ini
disebutkan bahwa upaya pengendalian dampak secara dini harus terus dilakukan menyadari
akan potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi pemanfaatan sumber
daya alam melalui pembangunan. Amdal merupakan salah satu perangkat preeemtif
pengelolaan lingkungan hidup yang keberadaannya terus diperkuat melalui peningkatan
akuntabilitas dalam pelaksanaannya dengan mensyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan
diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal serta memperjelas sanksi hukum
bagi pelanggar. Lebih lanjut amdal menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh
izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum memperoleh izin usaha.
Per definis amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaran usaha dan/atau kegiatan. Amdal sendiri merupakan bagian
dari sistem perijinan yang diperuntukan bagi suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Amdal
memiliki peran dalam mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang dapat dan tidak dapat
6
dilakukanan. Menurut undang-undang, tidaklah benar untuk mempergunakan amdal untuk
kegiatan atau proyek yang sedang beroperasi atau bahkan sudah selasai dilakukan. Dalam hal
ini kajian dampak penting bagi kegiatan tersebut diakomodir melalui penyusunan Dokumen
Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH)
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Amdal merupakan salah satu alat pengambilan keputusan untuk mempertimbangkan
akibat yang mungkin di timbulkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan.
Secara keseluruhan proses, amdal meliputi empat komponen yaitu : 1) Kerangka Acuan
Amdal (KA Amdal) yang merupakan lingkup analisis dampak sebagai hasil proses
pelingkupan; 2) Analisis Dampak Lingkungan (Andal), yang merupakan telaahan secara
cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan; 3)
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL), merupakan dokumen yang memuat upaya
penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan; dan 4) Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL), merupakan dokumen yang memuat upaya pemantauan
komponen lingkungan yang terkena dampak penting akibat rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dari keseluruhan proses tersebut, langkah pertama menjadi kunci dengan adanya
dokumen kriteria yang merupakan hasil kajian ilmiah mendalam subyek terkait dengan
didukung pula dengan dilakukannnya kajian publik. Dokumen ini memuat studi-studi terbaru
mengenai lingkungan hidup dengan didukung komentar dan kajian publik. Sebagai sebuah
dokumen ilmiah, pelibatan masyarakat dalam penyusunan amdal merupakan pilihan yang
sangat penting. Proses penyusunan dokumen ini melibatkan seluruh aspek pemangku
kepentingan yang antara lain meliputi perwakilan masyarakat, kelompok ilmiah, tokoh
masyarakat, tokoh adat, lembaga swadaya masyarakat dan juga unsur unsur teknis
pemerintahan.
Seiring bergulirnya era otonomi daerah, peran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan
amdal menjadi semakin penting dan dominan. Berbagai ketentuan telah mengatur dengan
jelas pembagian kewengangan antara Pemerintah (pusat), Pemerintah daerah propinsi dan
pemerintah kabupaten/kota, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintah Daerah. Akan tetapi arus besar desentralisasi melalui otonomi daerah ini pada
kenyataannya tidak dibarengi dengan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia
yang memadai, sehingga pelaksanaan amdal sebagai sebuah instumen pengendalian fungsi
lingkungan hidup di daerah seperti kedodoran. Untuk itu diperlukan dukungan dan
pembinaan yang lebih besar dari Pemerintah pusat untuk mengejar gap yang ada.
V. Kesimpulan
7
1.
Untuk mengurangi dampak negatif dan resiko pemanfaatan sumber daya alam
diperlukan berbagai instrumen seperti KLHS, Tata ruang, dan Amdal/ijin
2.
lingkungan demi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidupnya.
Kebijakan, rencana atau program pembangungan harus dijiwai dengan kewajiban
melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan, demi mewujudkan hal ini, undang undang tersebut mengamanatkan
dilaksanakannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) demi menjamin
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
3.
setiap kebijakan, rencana dan progrma yang dilaksanakan pemerintah
Keberadaan sumber daya alam yang bersifat melekat dengan posisi/lokasi diatas
permukaan bumi menjadikan inventarisasi, pemanfaatan dan evaluasi SDA
memerlukan pendekatan tata ruang (geografik) melalui pendekatan dan analisis
4.
spasial.
Amdal merupakan perangkat preeemtif pengelolaan lingkungan hidup bagi setiap
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
Daftar pusataka :
Asdak, Chay, 2014, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Jalan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Kemen LH, 2009, Kajian Kritis Undang Undang Terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya
Alam, Laporan Akhir, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kemen LH-ESP2-DANIDA,
Jakarta.
Kemen LH, 2008, Pertimbangan Pertimbangan Dalam Penerapan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis Untuk Kebijakan, Rencana dan Program Penataan Ruang, Deputi
Bidang Tata Lingkungan Kemen LH-ESP2-DANIDA, Jakarta
Kemen LH, 2008, Review Terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata
Ruang Pulau Sumatera Melalui Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Laporan
Akhir, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kemen LH-ESP2-DANIDA, Jakarta.
Silalahi, Daud, Prof. Dr. M, 2011, AMDAL Dalam Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia,
SH, PT Suara Harapan Bangsa, Bandung.
Silalahi, Daud, Prof. Dr. M. SH, 2016, Satuan Acara Perkuliahan Mata kuliah Kebijakan dan
Hukum Lingkungan, Program Pascasarja Universitas Padjadjaran, Bandung.
8
SEBAGAI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DAN INSTRUMEN PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Kebijakan Hukum Lingkungan
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Oleh :
ZUMRODI
250120150017
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
I.
Pendahuluan
Kebijakan hukum lingkungan dan penerapan instrumen pelestarian fungsi lingkungan
hidup tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk mengurangi dampak pemanfaatan sumber
daya alam, yang merupakan penggerak utama pembangunan demi peningkatan kesejahteraan.
Istilah sumber daya (resource) mulai populer di Indonesia sejak dekade 1980-an. Hal ini
tercermin dari penggunaan istilah tersebut pada peraturan perundang-undangan yang terbit
sebelum tahun 1980-an. Pada kurun waktu tersebut, istilah sumber daya lebih merujuk
kepada kekayaan atau sumber (alam). Pada peraturan setelah dekade 1980-an, istilah sumber
daya menjadi lebih umum digunakan untuk merujuk kepada berbagai konotasi seperti sumber
daya manusia, sumber daya alam (natural) dan sumber daya buatan (artificial).
Pada dasarnya istilah sumber daya merujuk kepada sesuatu yang memiliki nilai
ekonomi atau dapat memenuhi kebutuhan manusia atau input-input yang bersifat langka yang
dapat menghasilkan kegunaan atau manfaat (utility) dalam bentuk barang maupun jasa, baik
melalui proses produksi atau tidak. Secara etimologis istilah sumber daya dapat merujuk
kepada pengertian : 1) kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu yang tekait
dengan kegunaan (usefulness); (2) sumber persediaan, penunjang dan pembantu yang dipakai
untuk mencapai tujuan; (3) sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pikiran seseorang
yang dihasilkan melalui proses produksi untuk mencapai kepuasan; dan (4) utilitas
dikonsumsi baik secara langsung (barang, jasa) maupun tidak langsung (jasa lingkungan,
pemandangan, jasa ekosistem). Dengan demikian, pengertian sumber daya alam adalah
sangat luas yang mencakup sumber daya alam (SDA), manusia (SDM), modal maupun
buatan.
SDA saling tergantung antara satu dengan lainnya, baik bersifat langsung maupun tidak
langsung. Pengembangan suatu SDA akan memberikan pengaruh pada SDA yang lain, misal
pengembangan sumber-sumber minyak lepas pantai akan mempengaruhi sumber daya ikan
dan ekosistem di sekitarnya. Contoh lain adalah erosi tanah yang disebabkan oleh
penggundulan hutan atau penggalian batubara tanpa perancanaan akan menurunkan potensi
produksi listrik tenaga air dari suatu cekungan sungai. Sifat saling ketergantungan antar SDA
merupakan aspek utama yang melandasi konsep pengelolaan SDA secara berkelanjutan yang
menuntut perlakuan dan cara pandang berbeda sesuai dengan karakteristiknya. SDA yang
tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) atau ‘sumber daya stock” bersifat
exhaustible seperti logam, minyak bumi, gas dan mineral merupakan sumber daya dengan
sulai terbatas. Pemanfaatan sumber daya ini melalui eksploitasi akan menurunkan cadangan
dan ketersediaanya.
Sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) atau “flow”, yaitu sumber
daya yang suplainya dapat mengalami regenerasi secara terus menerus baik secara biologi
2
maupu non biologi. SDA jenis ini terbagi dalam dua jenis, yaitu SDA yang benar benar
dengan suplai tidak terbatas (infinite) dan SDA yang dapat diperbaharui (hutan, ikan, air)
sepanjang laju pemanfaatnnya tidak melampaui titik kritis. Setiap pemanfaatan SDA baik
melalui proses produksi maupun konsumsi selelalu menghasilkan limbah (waste). Sebagian
limbah dapat menjadi sumber daya bagi proses produksi atau konsumsi yang kain atau
kembali ke lingkungan alam. Namun juga terdapat limbah yang memerlukan upaya pendaur
ulangan menjadi residu yang dapat diproses secara alam.
Untuk mengurangi dampak negatif dan resiko pemanfaatan sumber daya alam
diperlukan berbagai instrumen demi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidupnya.
Sebagian instumen tersebut sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dapat berupa :
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tata ruang; Baku mutu lingkungan; Kriteria
baku kerusakan lingkungan; Amdal dan Izin lingkungan. Secara mendasar, keberadaan
sumber daya alam yang bersifat melekat dengan posisi/lokasi diatas permukaan bumi
menjadikan inventarisasi, pemanfaatan dan evaluasi SDA memerlukan pendekatan geografik
(tata ruang) melalui pendekatan dan analisis spasial.
II. Kebijakan dan Permasalahan Penataan Ruang
Kebijakan penataan ruang wilayah nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang
merupakan amanat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, meliputi
Kebijakan Pengembangan Struktur Ruang dan Kebijakan Pengembangan Pola Ruang.
Kebijakan pengembangan struktur ruang meliputi : (1) Peningkatan akses pelayanan
perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan hierarki; dan (2)
Peningkatan
kualitas
dan
jangkauan
pelayanan
jaringan
prasarana
transportasi,
telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah
nasional.
Selanjutnya kebijakan pengembangan pola ruang yang meliputi : (1) Kebijakan
pengembangan kawasan lindung meliputi (a) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian
fungsi lingkungan hidup dan (b) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat
menimbulkan kerusakan lingkunga hidup; (2) Kebijakan pengembangan kawasan budidaya
meliputi (a) perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan
budidaya dan (b) pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampui daya
dukung dan daya tampung lingkungan; dan (3) Kebijakan pengembangan kawasan strategis
nasional meliputi (a) pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan
keseimbangan
ekosistem,
melestarikan
keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan,
3
melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional; (b)
peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara (c) pengembangan dan
peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan oerekenomian nasional yang produktif,
efisien, dan mampu berdaya saing dalam perekonomian internasional; (d) pemanfaatan
sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat; (e) pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa; (f)
pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia,
cagar biosfer, dan ramsar, dan (g) pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi
kesenjangan tingkat perkembangan antar kawasan.
Pelaksananaan undang-undang penataan ruang yang mulai dilakukan semenjak tahun
2007 bukan tanpa kendala. Selain masih terbatasnya peraturan-peraturan pelaksana
dibawahnya, kedalaman materi undang-undang tersebut juga belum memuaskan bagi banyak
pihak. Salah satu permasalahan yang muncul adalah hingga saat ini belum tersedia kajian
mendalam untuk analisis daya dukung dan daya tampung lingkunga hidup sebagaimana
diamanatkan pasal 19, 22 dan 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
Sementara itu dalam pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang disebutkan bahwa kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan di dalam
kawasan budidaya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pelayanan publik untuk melayani
kegiatan di kawasan lindung, salah atunya adalah pelaksanakan kajian AMDAL
pertambangan di kawasan lindung tidak dapat direalisasikan. Konflik ruang dan Undang
Undang muncul terkait dengan pasal tersebut yang membawa implikasi serius berkaitan
dengan investasi dan kegiatan ekonomi secara luas. Misalnya untuk proses AMDAL tidak
dapat ditindaklanjuti karena terkena pasal 5 ayat 2 tersebut. Begitu masuk di kawasan hutan
lindung, AMDAL tidak dapat diproses karena akan melanggar peraturan perundang
undangan.
Permasalahan penataan ruang juga menghadapi kendala terkait koordinasi antar sektor
yang tidak terakomodasi melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKTRN).
Masalah juga terjadi terkait dengan kooordinasi pemerintah daerah dimana persoalan otonomi
daerah yang berada di tingkat kabupaten/kota sehingga gubernur tidak mempunyai
kewenangan untuk mengatur bupati/walikota, sementara ekosistem yang akan diatur berada
di kabupaten/kota. Keadaan ini membawa implikasi serius terhadap aspek keterpaduan secara
hierarki dalam suatu kawasan (propinsi) mengingat kabupaten/kota akan berupaya untuk
memperjuangkan kepentingannya terlebih dahulu dalam penataan ruang, dibandingkan
memperhatikan kepentingan bersama dalam kawasan.
4
III. Evaluasi Pengaruh Lingkungan Hidup Penataan Ruang Melalui KLHS
Sesuai dengan Penjelasan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus
dilakukan secara serasi, selaras dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai
konsekuensinya, kebijakan, rencana atau program pembangungan harus dijiwai dengan
kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan. Dalam rangka mewujudkan hal ini, undang undang tersebut mengamanatkan
dilaksanakannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) demi menjamin prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam setiap kebijakan,
rencana dan progrma yang dilaksanakan pemerintah.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis merupakan proses sistematis untuk mengevaluasi
pengaruh lingkungan hidup dan menjamin diintegrasikannya prinsip prinsip pembanguna
berkelanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis. Secara umum KLHS
berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan sekaligus mendorong
pemenuhan tujuan keberlanjutan pembangungan dan pengelolaan sumber daya dari suatu
kebijakan rencana dan program pembangunan. Kaidah terpenting KLHS dalam perencanaan
tata ruang adalah pelaksanaan yang bersifat partisipatif dan sedapat mungkin didasarkan pada
keinginan sendiri untuk memperbaiki mutu KRP tata ruang (self assesment) agar keseluruhan
proses bersifat lebih efisien dan efektif.
Asas asas sebagai hasil penjabaran prinsip keberlanjutan yang mendasari KLHS bagi
penataan ruang adalah keterkaitan (interdependency), keseimbangan (equillibruim) dan
keadailan (justice). Keterkaitan menekankan pertimbangan keterkaitan anatara suatu
komponen dengan komponen lainnya antara satu unsur dengan unsur yang lain, antara satu
variabel biofisik dengan variable biologi, atau keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan
antar sektor, antar daerah dan lainnya. Keseimbangan menekankan aplikasi keseimbangan
antar aspek, kepentingan, maupun interaksi antara mahluk hidup dan ruang hidupnya, seperti
diantaranya adalah keseimbangan laju pembangungan dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, keseimbangan pemanfaatan dengan perlindungan dan pemulihan
cadangan sumber daya alam, keseimbangan antara pemanfaatan ruang dengan pengelolaan
dampaknya. Keadilan dalam hal ini untuk menekankan agar dapat dihasilkan kebijakan,
rencana dan program yang mengakibatkan pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber
sumber alam, modal dan infrastruktur atau pengetahuan dan informasi kepada sekelompok
orang tertentu.
Penekanan pelaksanaan KLHS dalam penataan ruang dibentuk oleh kerangka bekerja
dan metodologi berpikir yang berbeda. Berdasarkan literatur, sampai saat ini terdapat 4
5
(empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang. Empat pendekatan tersebut adalah :
(1) KLHS dengan kerangka dasar AMDAL (EIA Mainframe); (2) KLHS sebagai kajian
penialain keberlanjutan lingkungan (Environmental Appraisal); (3) KLHS sebagai kajian
terpadu/penilaian keberlanjutan (Integrated Assesment/Sustainability Apprasial); dan (4)
KLHS sebagai pendekatan pengelolaan Berkelnjutan sumber daya alam (Sustainable Natural
Resources Mangement) atau pengelolaan berkelanjutan sumber daya (Sustainable Resources
Manajement).
Proses KLHS pada prinsipnya harus dilakukan terintegrasi dengan perencanaan tata
ruang. Beragam kondisi mempengaruhi proses perencanaan tata ruang, dimana hal ini
menyebabkan integrasi tersebut dilaksanakan dalam dua cara yaitu : (1) Penyusunan
dokumen KLHS untuk menjadi masukan RTRW dan KRP tata ruang; dan (2) Melebur proses
KLHS dengan proses penyusunan RT RW atau KRP tata ruang . Proses kegiatan penyusunan
dokumen dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan proses penyusunan KRP tata ruang.
Intergrasi tersebut berlangsung menurut langkah-langkah : (1) Pelingkupan; (2) Penilaian
atau telaah/analisis teknis; (3) Penetapan alternatif; (4) Formulasi pelaksanaan dan
pengambilan keputusan tentang pilihan muatan materi bagi KRP tata ruang; dan terakhir (5)
Pemantauan dan tindak lanjut.
IV. Implementasi Amdal Dan Izin Lingkungan Sebagai Instrumen Pelestarian Fungsi
Lingkungan Hidup
Sesuai dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Hal ini secara tegas disebutkan dalam
pasal 22 undang-undang tersebut. Lebih lanjut dalam penjelasan undang undang ini
disebutkan bahwa upaya pengendalian dampak secara dini harus terus dilakukan menyadari
akan potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi pemanfaatan sumber
daya alam melalui pembangunan. Amdal merupakan salah satu perangkat preeemtif
pengelolaan lingkungan hidup yang keberadaannya terus diperkuat melalui peningkatan
akuntabilitas dalam pelaksanaannya dengan mensyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan
diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal serta memperjelas sanksi hukum
bagi pelanggar. Lebih lanjut amdal menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh
izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum memperoleh izin usaha.
Per definis amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaran usaha dan/atau kegiatan. Amdal sendiri merupakan bagian
dari sistem perijinan yang diperuntukan bagi suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Amdal
memiliki peran dalam mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang dapat dan tidak dapat
6
dilakukanan. Menurut undang-undang, tidaklah benar untuk mempergunakan amdal untuk
kegiatan atau proyek yang sedang beroperasi atau bahkan sudah selasai dilakukan. Dalam hal
ini kajian dampak penting bagi kegiatan tersebut diakomodir melalui penyusunan Dokumen
Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH)
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Amdal merupakan salah satu alat pengambilan keputusan untuk mempertimbangkan
akibat yang mungkin di timbulkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan.
Secara keseluruhan proses, amdal meliputi empat komponen yaitu : 1) Kerangka Acuan
Amdal (KA Amdal) yang merupakan lingkup analisis dampak sebagai hasil proses
pelingkupan; 2) Analisis Dampak Lingkungan (Andal), yang merupakan telaahan secara
cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan; 3)
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL), merupakan dokumen yang memuat upaya
penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan; dan 4) Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL), merupakan dokumen yang memuat upaya pemantauan
komponen lingkungan yang terkena dampak penting akibat rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dari keseluruhan proses tersebut, langkah pertama menjadi kunci dengan adanya
dokumen kriteria yang merupakan hasil kajian ilmiah mendalam subyek terkait dengan
didukung pula dengan dilakukannnya kajian publik. Dokumen ini memuat studi-studi terbaru
mengenai lingkungan hidup dengan didukung komentar dan kajian publik. Sebagai sebuah
dokumen ilmiah, pelibatan masyarakat dalam penyusunan amdal merupakan pilihan yang
sangat penting. Proses penyusunan dokumen ini melibatkan seluruh aspek pemangku
kepentingan yang antara lain meliputi perwakilan masyarakat, kelompok ilmiah, tokoh
masyarakat, tokoh adat, lembaga swadaya masyarakat dan juga unsur unsur teknis
pemerintahan.
Seiring bergulirnya era otonomi daerah, peran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan
amdal menjadi semakin penting dan dominan. Berbagai ketentuan telah mengatur dengan
jelas pembagian kewengangan antara Pemerintah (pusat), Pemerintah daerah propinsi dan
pemerintah kabupaten/kota, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintah Daerah. Akan tetapi arus besar desentralisasi melalui otonomi daerah ini pada
kenyataannya tidak dibarengi dengan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia
yang memadai, sehingga pelaksanaan amdal sebagai sebuah instumen pengendalian fungsi
lingkungan hidup di daerah seperti kedodoran. Untuk itu diperlukan dukungan dan
pembinaan yang lebih besar dari Pemerintah pusat untuk mengejar gap yang ada.
V. Kesimpulan
7
1.
Untuk mengurangi dampak negatif dan resiko pemanfaatan sumber daya alam
diperlukan berbagai instrumen seperti KLHS, Tata ruang, dan Amdal/ijin
2.
lingkungan demi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidupnya.
Kebijakan, rencana atau program pembangungan harus dijiwai dengan kewajiban
melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan, demi mewujudkan hal ini, undang undang tersebut mengamanatkan
dilaksanakannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) demi menjamin
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
3.
setiap kebijakan, rencana dan progrma yang dilaksanakan pemerintah
Keberadaan sumber daya alam yang bersifat melekat dengan posisi/lokasi diatas
permukaan bumi menjadikan inventarisasi, pemanfaatan dan evaluasi SDA
memerlukan pendekatan tata ruang (geografik) melalui pendekatan dan analisis
4.
spasial.
Amdal merupakan perangkat preeemtif pengelolaan lingkungan hidup bagi setiap
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
Daftar pusataka :
Asdak, Chay, 2014, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Jalan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta.
Kemen LH, 2009, Kajian Kritis Undang Undang Terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya
Alam, Laporan Akhir, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kemen LH-ESP2-DANIDA,
Jakarta.
Kemen LH, 2008, Pertimbangan Pertimbangan Dalam Penerapan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis Untuk Kebijakan, Rencana dan Program Penataan Ruang, Deputi
Bidang Tata Lingkungan Kemen LH-ESP2-DANIDA, Jakarta
Kemen LH, 2008, Review Terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata
Ruang Pulau Sumatera Melalui Aplikasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Laporan
Akhir, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kemen LH-ESP2-DANIDA, Jakarta.
Silalahi, Daud, Prof. Dr. M, 2011, AMDAL Dalam Sistem Hukum Lingkungan di Indonesia,
SH, PT Suara Harapan Bangsa, Bandung.
Silalahi, Daud, Prof. Dr. M. SH, 2016, Satuan Acara Perkuliahan Mata kuliah Kebijakan dan
Hukum Lingkungan, Program Pascasarja Universitas Padjadjaran, Bandung.
8