Sistem Bagi Hasil dalam Perbankan Syaria
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan cepatnya akselerasi wacana ekonomi Islam atau Syariah di tengah –
tengah masyarakat, fiqh muamalah menjadi bahan diskusi terus menerus. Persoalan yang
selalu mengemuka adalah apakah fiqh muamalah persoalan hukum ataukah persoalan
ekonomi. Apa lagi didalam istilah “muamalah” tersebut memang terkandung dua sisi,
ekonomi dan hukum. Dari sisi bahwa, di dalam muamalah di bahas tentang berbagai macam
tehnis transakasi dalam hubunganya dengan aktifitas melakukan produksi, distribusi, dan
konsumsi, maka muamalah serat dengan isu – isu ekonomi. Namun dari sisi lain juga dalam
muamalah digariskan tentrang berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi
dalam sebuah aktifitas produksi, distribusi, dan konsumsi tersebut dapat dianggap syah,
maka muamlah serat dengan isu – isu hukum.
Bank syariah mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan
pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman,
Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Berangkat
dari sini, Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai
terbentuknya bank syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja
pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal
22-25 Agustus 1990.
Produk-produk yang ditawarkan oleh bank syariah, menurut mereka, hanyalah
produk-produk bank konvensional yang dipoles dengan penerapan akad-akad yang berkaitan
dengan syariah. Alasannya karena sistem bagi hasil dalam prakteknya masih menyerupai
sistem bunga bagi bank konvensional. Begitu pula penyaluran dana bank syariah yang lebih
besar bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan berdasarkan
margin, dianggap oleh masyarakat hanyalah sekedar polesan dari cara pengambilan bunga
pada bank konvensional.
1
Menurut mereka masih sangat sulit untuk membedakan antara bagi hasil, margin dan
bunga bank konvensional. Kalaupun bisa hanyalah pada tataran teorinya saja, sedang
prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi hasil, margin dan bunga. Meski
secara teoritis sistem bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah sangat baik,
namun yang terjadi pembiayaan perbankan syariah dengan pola tersebut belum menjadi
barometer bank syariah, sehingga perbandingannya cukup kecil jika dibandingkan dengan
pembiayaan dengan pendapatan tetap. Hal tersebut lebih disebabkan pada tuntutan yang
harus dipenuhi oleh bank syariah yang mengikuti struktur bank komersial. Sehingga
pembiayaan dengan basis pendapatan tetap cenderung menjadi pilihan bagi bank syariah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis mengemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
2.1. Apa yang dimaksud dengan sistem bagi hasil pada perbankan syariah dalam perspektif
hukum Islam?
2.2. Bagaimanakah sistem bagi hasil dan pendapat ulama mengenai bagi hasil dalam bank
syariah?
2.3. Bagaimana analisis yuridis sistem bagi hasil dalam bank syariah?
1.3. Tujuan Penulisan
Karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Perbankan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang dan mengkaji lebih dalam
mengenai perbankan syariah di indonesia melalui makalah yang berjudul Sistem Bagi
Hasil dalam Perbankan Syariah, dengan harapan bahwa karya ilmiah tersebut dapat di
pahami sebagai media pengetahuan dan sebagai referensi bagi khalayak umum.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bank Syariah
1. Pengertian Bank Syariah
Menurut UU No. 10 Tahun 1998 dalam buku Sofyan S. Harahap, dkk (2005 : 3),
pengertian bank dan prinsip syariah sebagai berikut,
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan lainnya yang dinyatakan
dengan syariah.
Menurut Heri Sudarsono, ”Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah”.(Heri
Sudarsono,2003 : 27).
2. Fungsi bank syariah
Fungsi bank syariah yaitu
a. Manajer investasi. Bank syariah merupakan manajer investasi dari pemilik dana dan
dari dana yang dihimpunnya. Besar kecilnya pendapatan yang diterima oleh pemilik
dana sangat tergantung pada pendapatan yang diterima oleh bank syariah dalam
mengelola dana yang dihimpunnya serta pada keahlian, kehati-hatian dan
professionalismenya.
b. Investor. Dalam penyaluran dana, bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik
dana).
c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran. Dalam hal ini bank syariah dapat
melakukan berbagai kegiatan jasa pelayanan perbankan sebagaimana lazimnya,
seperti transfer uang.
3
d. Pelaksana kegiatan sosial. Sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah,
bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola zakat serta
dana-dana sosial lainnya.
3. Tujuan Bank Syariah
Bank syariah mempunyai beberapa tujuan diantaranya:
a. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara Islam, khususnya
muamalat yang berhubungan dengan perbankan. Agar terhindar dari praktek-praktek
riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan).
Dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam juga dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
b. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan
pendapatan melalui kegiatan invetasi. Gunanya agar tidak terjadi kesenjangan yang
amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
c. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha
yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha
yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha.
d. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan
program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di
dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol
sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan
pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen,
program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama.
e. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan
mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari
persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
f. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam kepada bank non-syariah
4
4. Produk Perbankan Syariah
Bank sebagai lembaga perantara keuangan memiliki 2 kegiatan utama yaitu
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kembali kepada masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan modal dan pembiayaan, bank syariah memiliki ketentuanketentuan yang berbeda dengan bank konvensional. Secara umum alat-alat yang
digunakan bank syariah terdiri atas tiga kategori yaitu:
a. Penghimpunan Dana (Funding)
b. Penyaluran Dana (Financing)
c. Jasa Perbankan (Banking Services)
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah
dengan mendapatkan imbalan atas jasa yang diberikannya. Produk jasa perbankan
tersebut antara lain:
1). Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Dalam bukunya Muhammad (2005 : 188) menyebutkan, ”Hiwalah adalah transaksi
pengalihan utang piutang. Dalam praktik perbankan, fasilitas hiwalah lazimnya
digunakan untuk membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.”
2). Wakalah (Perwakilan)
Muhammad (2005 : 189) menyebutkan bahwa dalam wakalah ”nasabah memberi
kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti
transfer uang.”
2.2. Kredit
Pengertian Kredit
Kata “kredit” berasal dari bahasa Latin credere yang berarti percaya atau to believe atau
to trust. Oleh karena itu, dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit oleh suatu
lembaga keuangan atau bank kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan
kepercayaan (faith). Berikut beberapa definisi kredit:
Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan
usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam
jangka waktu yang ditentukan. Menurut Undang-undang Perbankan pasal 1 ayat 11 UU
5
No. 10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah “penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Jika
seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan dikenakan bunga.
Menurut Tjoekam (2000:1) pengertian kredit bila dikaitkan dengan kegiatan usaha,
berarti:
Suatu kegiatan memberikan nilai ekonomi (economic value) kepada seseorang atau
badan usaha berlandaskan kepercayaan saat itu, bahwa nilai ekonomi yang sama akan
dikembalikan kepada kreditur (bank) setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan yang sudah disetujui antara kreditur (bank) dan debitur (user).
Menurut Sastradipoera (2001) dalam Tjoekam (2000:2) kredit dapat didefinisikan
dengan empat cara:
a.
Kredit dianggap sebagai waktu yang diberikan untuk membayar barang atau jasa
yang dijual atas kepercayan.
b.
Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan (yang disamakan dengan uang)
berdasarkan persepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang dalam
hal ini peminjam berkewajiban melunasi kewajibannya setelah jangka waktu
tertentu dengan (biasanya) sejumlah bunga yang ditetapkan lebih dahulu.
c.
Kredit adalah kepercayaan yang diberikan berhubungan dengan kekayaan yang
diserahkan atas janji pembayaran kelak.
d.
Kredit adalah dana yang tersimpan dalam perkiraan bank.
c.
Pengertian dan Jenis Pembiayaan pada Bank Syariah.
Pengertian Pembiayaan
Pengertian pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Bisnis adalah aktivitas
yang mengarah kepada penambahan nilai tambah melaluiproses penyerahan jasa,
perdagangan atau pengelolaan barang (produksi).
6
Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada
pihak lain untuk mendukung investasi yang telah di rencanakan. Dalam kaitannya dengan
pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva
produktif. Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah penanaman dana
Bank syariah baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing dalam modal. penyertaan
modal sementara, komitmen dan kontenjensi pada rekening administrative serta Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No.5/7/PBI/2003. Tujuan Bank
Syariah dibedakan menjadi dua bagian yaitu tujuan pembiayaan mikro dan makro. Secara
makro bertujuan untuk:
a. Peningkatan Ekonomi Umat
b. Meningkatkan Produktivitas
c. Tersedianya Dana Bagi Peningkatan Usaha
sedangkan secara mikro untuk:
a. Upaya memaksimalkan laba
b. Upaya memaksimalkan resiko
c. Pendayagunaan sumber ekonomi
d. Penyaluran kelebihan dana
Oleh karena itu tujuan pembiayaan yang dilaksanakan oleh Bank Syariah adalah untuk
memenuhi kebutuhan stakeholder, yakni:
1. Pemilik Dari sumber pendapatan diatas para pemilik modal mengharapkan akan
memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
2. Pegawai Para pegawai mengaharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank
tersebut.
3. Masyarakat - Pemilik Dana Sebagaimana pemilik menharapkan dari dana yang
diinvestasikan akan memperoleh bagi hasil - Debitur yang bersangkutan Para debitur
dengan penyediaan dana baginya mereka terbantu guna menjalankan usahanya - Bank
Bagi bank yang bersangkutan, dari penyaluran pembiayaan diharapakan bank dapat
meneruskan dan mengembangkan usahanya semakin luas.
7
4. Pemerintah Akibat penyediaan pembiayaan pemerintah terbantu dalam pembiayaan
pembangunan negara, disamping memperoleh pajak penghasilan yang diperoleh bank
dan perusahaan-perusahaan.
Fungi Pembiayaan
1. Meningkatkan daya guna uang
2. Meningkatkan daya guna barang
3. Meningkatkan peredaran uang
4. Menimbulkan kegairahan usaha
5. Stabilisasi ekonomi
Macam-macam Kegiatan Kredit atau Pembiayaan pada Bank Syariah
a. Kredit Musyarakah, Yang dimaksud dengan Musyarakah adalah akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b. Kredit Mudarabah, Kredit Mudharabah adalah kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan selurah modal (100%)
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal.
c. Al-Muzara'ah, Muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dengan penggarap dimana pemilik lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
(Yazid Afandi,2009 : 23).
Resiko Perkreditan Akibat Pembiayaan bermasalah
Sebab-sebab pembiayaan bermasalah dapat berasal dari bank, pihak nasabah atau pihak
eksternal.
8
1. Pihak Internal bank, Sebab pembiayaan bermasalah yang ditimbulkan oleh bank
sendiri antara lain:
a. Kebijakan pembiayaan yang kurang tepat. Maksudnya adalah bank tidak lagi
memperhitungkan kondisi kemampuan dalam menyalurkan pembiayaan dari
kondisi perekonomian/kondisi sosial/politik, tingkat resiko maupun Sumber Daya
Manusia (SDM). Keadaan ini memungkinkan terjadinya pembiayaan yang tidak
memperhatikan prinsip prudential banking practice.
b. Kuantitas, kualitas dan integritas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang
memadai sehingga memungkinkan untuk terjadinya pembiayaan bermasalah
contohnya adalah investigasi awal dan analisa pembiayaan tidak dilaksanakan
secara mendalam.
c. Memberikan perlakuan khusus kepada nasabah yang kurang tepat atau berlebihan
sehingga dapat terjadi pemberian pembiayaan hanya didasarkan atas agunan yang
diserahkan tanpa memperhatikan kelayakan/proyek yang dibiayai.
d. Kelemahan organisasi dan sistem dan proses pembiayaan.
e. Sarana dan prasarana yang tersedia kurang mendukung baik yang berkaitan
dengan teknis pekerjaan maupun administrasi
2. Pembiayaan Bermasalah Yang Disebabkan Pihak Nasabah
Pembiayaan bermasalah yang disebabkan oleh nasabah terdiri dari beberapa aspek
sebagai berikut:
a. Aspek Legal/Yuridis, Maksudnya adalah bahwa persyaratan legal atas
pembiayaan tidak dipenuhi, misalkan tidak dipenuhinya persyaratan ijin usaha
yang diperlukan dan persyaratan status badan hukum.
b. Aspek karakter
Aspek karakter diantaranya adalah:
1. Manajemen/pengurus perusahaan tidak capable/tidak profesional, misalkan
tidak bisa memimpin, menggunakan power bisnis.
2. Kesalahan dalam kebijakan pengembangan perusahaan seperti keberanian
berspekulasi pada sektor yang beresiko tinggi.
3. Aspek Finansial. Aspek finansial ini contohnya adalah kesalahan dalam
kebijakan pembelanjaan.
9
4. Aspek Agunan, Aspek agunan ini contohnya adalah tidak ada agunan
tambahan atau agunan yang diserahkan tidak mencukupi.
5. Aspek teknis/produksi, Aspek teknis ini diantaranya adalah target produksi
tidak tercapai, tidak mampu memenuhi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) atau biaya produksi atau harga pokok penjualan tinggi.
6. Aspek pemasaran. Pada aspek ini contohnya adalah adanya pesaing-pesaing
baru yang sangat potensial.
3. Pembiayaan bermasalah yang disebabkan oleh pihak eksternal
Pembiayan bermasalah yang disebabkan faktor eksternal antara lain:
a. Krisis ekonomi/moneter atau perubahan makro ekonomi.
b. Ketidakmampuan nasabah dalam memenuhi ketentuan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL).
c. Bencana alam/gangguan keamanan.
d. Prosedur Penanganan Pembiayaan Bermasalah. (Yazid Afandi,2009 : 23).
Prosedur Pemberian Kredit atau Pembiayaan
Apabila proposal kredit dinilai layak untuk dibiayai, bank sudah tentu akan menyetujui
proposal tersebut. Tahap selanjutnya, calon debitur akan diminta untuk melengkapi
berbagai dokumen yang dibutuhkan dalam rangka realisasi permohonan kredit yang telah
disetujui, seperti dokumen jaminan yang asli, kelengkapan data calon debitur dan
sebagainya. Setelah seluruh prosedur telah terpenuhi ma fasilitas kredit atau pembiayaan
dapat dicairkan yaitu setelah calon debitur menandatangani akad perjanjian kredit atau
pembiayaan dibawah tangan dan atau melalui notarial, setelah penyerahan pengikatan
jaminan kredit atau pembiayaan, setelah penutupan asuransi barang jaminan dan
persyaratan lainnya. Sebaiknya, persyaratan dalam surat persetujuan kredit atau
pembiayaan dimuat seluruhnya dalam akad perjanjian kredit atau pembiayan yang dibuat
dihadapan Kantor Notaris yang telah disepakati. (Yazid Afandi,2009 : 23).
10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. SISTEM BAGI HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH
Pengertian Bagi hasil (profit Sharing)
11
Bagi hasil menurut terminologi asing (bahasa Inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit
dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definisi profit sharing diartikan
"distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu Perusahaaa". Menurut
Antonio, bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni
pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib).
(Muhammad Syafi’i,2011 : 90).
Secara umum prinsip prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam
empat akad utama, yaitu, al Musyarokah, al Mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqolah.
Sungguhpun demikian prinsip yang paling banyak dipakai adalah al musyarakah dan al
mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqolah dipergunakan khusus untuk
plantation financing atau pembiayaan pertanian untuk beberapa Bank Islam. (Muhammad
Syafi’i,2011 : 90).
Bagi Hasil adalah Keuntungan/Hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi
maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada Nasabah dengan persyaratan:[6]
a.
Perhitungan Bagi Hasil disepakati menggunakan pendekatan/pola :
1. Revenue Sharing
2. Profit & Loss Sharing.
b. Pada saat akad terjadi wajib disepakati sistem bagi hasil yang digunakan, apakah RS, PLS
atau Gross Profit. Kalau tidak disepakti akad itu menjadi gharar.
c. Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya setiap
bulan atau waktu yang telah disepakati.
d. Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati diawal dan tercantum dalam
akad.
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di
dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian
hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil
dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada
12
masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha
harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan
porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus
terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur
paksaan. (Bakhrul Muchtasib,2006 : 30).
Konsep Bagi Hasil
Konsep bagi hasil ini sangat berbeda sekali dengan konsep bunga yang diterapkan oleh
sistem ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah, konsep bagi hasil dapat dijabarkan
sebagai berikut.
A. Pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi keuangan yang bertindak sebagai
pengelola dana.
B.
Pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang dikenal dengan sistem
pool of fund (penghimpunan dana), selanjutnya pengelola akan menginvestasikan danadana tersebut kedalam proyek atau usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta
memenuhi semua aspek syariah.
C.
Kedua belah pihak membuat kesepakatan (akad) yang berisi ruang lingkup kerjasama,
jumlah nominal dana, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.
D. Sumber dana terdiri dari:
1. Simpanan: tabungan dan simpanan berjangka.
2. Modal : simpanan pokok, simpanan wajib, dana lain-lain.
3. Hutang pihak lain. (Syafei Antonio, 1999 : 129).
Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat
dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah.
13
Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya
bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.
a.
Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing)
Menurut Antonio Musyarakah adalah akad kerja sama antara dun pihak atau lebih untuk
suatu tertentu dimana masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Manan mengatakan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank
dengan konsumen untuk suatu masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun
konsumen memasukkan modal dalam perbandingan yang berbeda dan menyetujui suatu
laba yang ditetapkan sebelumnya, Lebih lanjut Manan mengatakan bahwa sistem ini
juga didasarkan atas prinsip untuk mengurangi kemungkinan partisipasi yang
menjerumus kepada kemitraan akhir oleh konsumen dengan diberikannya hak pada
bank kepada mitra usaha untuk membayar kembali saham bank secara sekaligus
ataupun secara berangsurangsur dari sebagian pendapatan bersih operasinya.
Musyarakah adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya
sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain musyarakah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. (Syafei Antonio, 1999 : 129).
b. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah
laian mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah maksud
yang sama. (Rachmat Syafei, 2001 : 223)
14
Mudharabah termasuk juga perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan
pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha /proyek
dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan
perjanjian. Di samping itu mudharabah juga berarti suatu pernyataan yang mengandung
pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu
diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai
perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Oleh karena itu ada
beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus diperhatikan
yaitu:
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha). Akad mudharabah, harus ada
minimal dua pelaku. Pihak pertamabertindak sebagai pemilik modal (shahibul
maal), pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib). Syarat keduanya adalah
pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum.
2. Objek mudharabah (modal dan kerja). Objek merupakan konsekuensi logis dari
tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya
sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya
sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk uang. Sedangkan
kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill,
management skill dan lain-lain.
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul). "Persetujuan kedua belah pihak
merupakan konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum (sama-sama rela)” (Q.S.
An-Nisa ayat 29). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya
modal dan qabul dari yang menjalankannya.
4. Nisbah Keuntungan. "Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang
tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak
diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah." Mudharib mendapatkan imbalan
15
atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapat imbalan atas penyertaan
modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan
antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. (Rachmat Syafei,
2001 : 223)
Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari
penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
a. Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
b. Deposito Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga
(perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil.
c. Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi jangka
pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan
prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak
(pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya. (Rachmat Syafei, 2001 : 225)
3.2. SISTEM BAGI HASIL DAN PENDAPAT ULAMA MENGENAI BAGI HASIL
BANK SYARI’AH
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua
macam pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan profit sharing (bagi laba). Profit sharing menurut etimologi Indonesia
adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit
secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue)
16
suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit
sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total
pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit
and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan
rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. (Syariah IBI,
2001 : 264)
2.
Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan). Revenue (pendapatan) dalam
kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan
barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan
penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu
pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan
dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. Penghitungan menurut
pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh
dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha
untuk memperoleh pendapatan tersebut. Prinsip revenue sharing diterapkan
berdasarkan pendapat dari Syafi'i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh
menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun
bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan maka
ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan
mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing
diterapkan berdasarkan pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang mengatakan
bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya
itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan sebagainya.
Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta
mudharabah baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal,
tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal
(menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros. (Syariah IBI, 2001 : 264)
3.3.
ANALISIS BAGI HASIL BANK SYARI’AH
17
Pengumpulan dana yang dilakukan oleh Bank Syariah yang berasal dari para Nasabah,
para pemilik modal atau dana titipan dari pihak ketiga perlu dikelola dengan penuh
amanah dan istiqomah, dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan yang
besar, baik untuk nasabah maupun syariah. (Warkum Sumitro, 2004 : 32)
Prinsip utama yang harus dikembangkan bank syariah dalam kaitan dengan manajemen
dana adalah bahwa Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada
penyimpan dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di
bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah
daripada bunga yang berlaku di bank konvensional. Oleh karena itu upaya manajemen
dana bank syariah perlu dilakukan secara baik. Hal tersebut harus dilakukan guna untuk
mencapai hasil keuntugan yang besar, agar bagi hasil yang dilakukan dapat peningkatan
tabungan nasabah. (Warkum Sumitro, 2004 : 37)
Selain mengenai pengumpulan dana, yang perlu di analisis lagi adalah mengenai
perbedaan anatara bagi hasil dengan bunga bank pada perbankan konvensional.
Bunga Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Pcnentuan
besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi. Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal)
yang dipinjamkan. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Bagi hasil bergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung
bersama oleh kedua belah pihak. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun
jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”. Jumlah pembagian
laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Eksistensi bunga
18
diragukan ( kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk islam. Tidak ada yang
meragukan keabsahan bagi hasil. (Nurul Haq, 2011 : 112).
BAB IV
PENUTUP
3.2.
Simpulan
Bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni
pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib).
Pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, menggunakan dua
macam kontrak kerjasama yaitu akad Musyarakah dan Mudharabah. Dimana musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masingmating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan Mudharabah
adalah perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana
19
pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha /proyek dan pengusaha setuju
untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam
pendekatan, yaitu :
a.
Pendekatan profit sharing (bagi laba)
b.
Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
3.2. Saran
Hakekat dari Perbankan tiap perbankan termasuk Perbankan Syariah, semuanya memiliki
tujuan yang baik yakni meningkatkan dan menstabilakn perekonomian negara, namun
terkhusus pada perbankan syariah yang diterapkan di Indonesia menurut penulis perlu ada
sebuah dasar hukum yang jelas terkait dengan tujuannya, karena menurut banyak sarjana
Ekonomi Indonesia, perbankan syariah menuai banyak polemik dan bersifat kontroversional
dengan sebagian struktur perbankan konvensional atau perbankan pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Yazid Afandi.2009.Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah
Yogyakarta
: Logung Pustaka
Syafi’I Antonio.1999.Bank Syari’ah Wacana Ulama’ dan Cendekiawan
Jakarta
: Tazkia Institut dan Bank Indonesia
Syafi’I Antonio.2001.Bank Syariah Teori dan Praktek
Jakarta
: Gema Insani
Muhammad Syafi’I Antonio.2011.Bank Syariah dari teori ke praktik
20
Jakarta
: Gema Insani
M. Syafei Antonio.1999.Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum
Jakarta
: Tazkia Institute dan BI
Rachmat Syafei.2001.MA. Fiqh Muamalah
Bandung
: Pustaka Setia
Warkum Sumitro.2004.Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait
Jakarta
: PT. Grafindo Persada
Nurul Haq.2011.Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah
Yogyakarta
:Sukses Offset
21
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan cepatnya akselerasi wacana ekonomi Islam atau Syariah di tengah –
tengah masyarakat, fiqh muamalah menjadi bahan diskusi terus menerus. Persoalan yang
selalu mengemuka adalah apakah fiqh muamalah persoalan hukum ataukah persoalan
ekonomi. Apa lagi didalam istilah “muamalah” tersebut memang terkandung dua sisi,
ekonomi dan hukum. Dari sisi bahwa, di dalam muamalah di bahas tentang berbagai macam
tehnis transakasi dalam hubunganya dengan aktifitas melakukan produksi, distribusi, dan
konsumsi, maka muamalah serat dengan isu – isu ekonomi. Namun dari sisi lain juga dalam
muamalah digariskan tentrang berbagai ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi
dalam sebuah aktifitas produksi, distribusi, dan konsumsi tersebut dapat dianggap syah,
maka muamlah serat dengan isu – isu hukum.
Bank syariah mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan
pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman,
Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Berangkat
dari sini, Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai
terbentuknya bank syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja
pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal
22-25 Agustus 1990.
Produk-produk yang ditawarkan oleh bank syariah, menurut mereka, hanyalah
produk-produk bank konvensional yang dipoles dengan penerapan akad-akad yang berkaitan
dengan syariah. Alasannya karena sistem bagi hasil dalam prakteknya masih menyerupai
sistem bunga bagi bank konvensional. Begitu pula penyaluran dana bank syariah yang lebih
besar bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil keuntungan berdasarkan
margin, dianggap oleh masyarakat hanyalah sekedar polesan dari cara pengambilan bunga
pada bank konvensional.
1
Menurut mereka masih sangat sulit untuk membedakan antara bagi hasil, margin dan
bunga bank konvensional. Kalaupun bisa hanyalah pada tataran teorinya saja, sedang
prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi hasil, margin dan bunga. Meski
secara teoritis sistem bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah sangat baik,
namun yang terjadi pembiayaan perbankan syariah dengan pola tersebut belum menjadi
barometer bank syariah, sehingga perbandingannya cukup kecil jika dibandingkan dengan
pembiayaan dengan pendapatan tetap. Hal tersebut lebih disebabkan pada tuntutan yang
harus dipenuhi oleh bank syariah yang mengikuti struktur bank komersial. Sehingga
pembiayaan dengan basis pendapatan tetap cenderung menjadi pilihan bagi bank syariah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis mengemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
2.1. Apa yang dimaksud dengan sistem bagi hasil pada perbankan syariah dalam perspektif
hukum Islam?
2.2. Bagaimanakah sistem bagi hasil dan pendapat ulama mengenai bagi hasil dalam bank
syariah?
2.3. Bagaimana analisis yuridis sistem bagi hasil dalam bank syariah?
1.3. Tujuan Penulisan
Karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Perbankan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang dan mengkaji lebih dalam
mengenai perbankan syariah di indonesia melalui makalah yang berjudul Sistem Bagi
Hasil dalam Perbankan Syariah, dengan harapan bahwa karya ilmiah tersebut dapat di
pahami sebagai media pengetahuan dan sebagai referensi bagi khalayak umum.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bank Syariah
1. Pengertian Bank Syariah
Menurut UU No. 10 Tahun 1998 dalam buku Sofyan S. Harahap, dkk (2005 : 3),
pengertian bank dan prinsip syariah sebagai berikut,
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan lainnya yang dinyatakan
dengan syariah.
Menurut Heri Sudarsono, ”Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah”.(Heri
Sudarsono,2003 : 27).
2. Fungsi bank syariah
Fungsi bank syariah yaitu
a. Manajer investasi. Bank syariah merupakan manajer investasi dari pemilik dana dan
dari dana yang dihimpunnya. Besar kecilnya pendapatan yang diterima oleh pemilik
dana sangat tergantung pada pendapatan yang diterima oleh bank syariah dalam
mengelola dana yang dihimpunnya serta pada keahlian, kehati-hatian dan
professionalismenya.
b. Investor. Dalam penyaluran dana, bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik
dana).
c. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran. Dalam hal ini bank syariah dapat
melakukan berbagai kegiatan jasa pelayanan perbankan sebagaimana lazimnya,
seperti transfer uang.
3
d. Pelaksana kegiatan sosial. Sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah,
bank Islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola zakat serta
dana-dana sosial lainnya.
3. Tujuan Bank Syariah
Bank syariah mempunyai beberapa tujuan diantaranya:
a. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara Islam, khususnya
muamalat yang berhubungan dengan perbankan. Agar terhindar dari praktek-praktek
riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan).
Dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam juga dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
b. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan
pendapatan melalui kegiatan invetasi. Gunanya agar tidak terjadi kesenjangan yang
amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
c. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha
yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha
yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha.
d. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan
program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di
dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol
sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan
pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen,
program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama.
e. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan
mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari
persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan.
f. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam kepada bank non-syariah
4
4. Produk Perbankan Syariah
Bank sebagai lembaga perantara keuangan memiliki 2 kegiatan utama yaitu
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kembali kepada masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan modal dan pembiayaan, bank syariah memiliki ketentuanketentuan yang berbeda dengan bank konvensional. Secara umum alat-alat yang
digunakan bank syariah terdiri atas tiga kategori yaitu:
a. Penghimpunan Dana (Funding)
b. Penyaluran Dana (Financing)
c. Jasa Perbankan (Banking Services)
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah
dengan mendapatkan imbalan atas jasa yang diberikannya. Produk jasa perbankan
tersebut antara lain:
1). Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Dalam bukunya Muhammad (2005 : 188) menyebutkan, ”Hiwalah adalah transaksi
pengalihan utang piutang. Dalam praktik perbankan, fasilitas hiwalah lazimnya
digunakan untuk membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.”
2). Wakalah (Perwakilan)
Muhammad (2005 : 189) menyebutkan bahwa dalam wakalah ”nasabah memberi
kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti
transfer uang.”
2.2. Kredit
Pengertian Kredit
Kata “kredit” berasal dari bahasa Latin credere yang berarti percaya atau to believe atau
to trust. Oleh karena itu, dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit oleh suatu
lembaga keuangan atau bank kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan
kepercayaan (faith). Berikut beberapa definisi kredit:
Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan
usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya kembali dalam
jangka waktu yang ditentukan. Menurut Undang-undang Perbankan pasal 1 ayat 11 UU
5
No. 10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah “penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Jika
seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan dikenakan bunga.
Menurut Tjoekam (2000:1) pengertian kredit bila dikaitkan dengan kegiatan usaha,
berarti:
Suatu kegiatan memberikan nilai ekonomi (economic value) kepada seseorang atau
badan usaha berlandaskan kepercayaan saat itu, bahwa nilai ekonomi yang sama akan
dikembalikan kepada kreditur (bank) setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan yang sudah disetujui antara kreditur (bank) dan debitur (user).
Menurut Sastradipoera (2001) dalam Tjoekam (2000:2) kredit dapat didefinisikan
dengan empat cara:
a.
Kredit dianggap sebagai waktu yang diberikan untuk membayar barang atau jasa
yang dijual atas kepercayan.
b.
Kredit merupakan penyediaan uang atau tagihan (yang disamakan dengan uang)
berdasarkan persepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang dalam
hal ini peminjam berkewajiban melunasi kewajibannya setelah jangka waktu
tertentu dengan (biasanya) sejumlah bunga yang ditetapkan lebih dahulu.
c.
Kredit adalah kepercayaan yang diberikan berhubungan dengan kekayaan yang
diserahkan atas janji pembayaran kelak.
d.
Kredit adalah dana yang tersimpan dalam perkiraan bank.
c.
Pengertian dan Jenis Pembiayaan pada Bank Syariah.
Pengertian Pembiayaan
Pengertian pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Bisnis adalah aktivitas
yang mengarah kepada penambahan nilai tambah melaluiproses penyerahan jasa,
perdagangan atau pengelolaan barang (produksi).
6
Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada
pihak lain untuk mendukung investasi yang telah di rencanakan. Dalam kaitannya dengan
pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva
produktif. Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah penanaman dana
Bank syariah baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing dalam modal. penyertaan
modal sementara, komitmen dan kontenjensi pada rekening administrative serta Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (Peraturan Bank Indonesia No.5/7/PBI/2003. Tujuan Bank
Syariah dibedakan menjadi dua bagian yaitu tujuan pembiayaan mikro dan makro. Secara
makro bertujuan untuk:
a. Peningkatan Ekonomi Umat
b. Meningkatkan Produktivitas
c. Tersedianya Dana Bagi Peningkatan Usaha
sedangkan secara mikro untuk:
a. Upaya memaksimalkan laba
b. Upaya memaksimalkan resiko
c. Pendayagunaan sumber ekonomi
d. Penyaluran kelebihan dana
Oleh karena itu tujuan pembiayaan yang dilaksanakan oleh Bank Syariah adalah untuk
memenuhi kebutuhan stakeholder, yakni:
1. Pemilik Dari sumber pendapatan diatas para pemilik modal mengharapkan akan
memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada bank tersebut.
2. Pegawai Para pegawai mengaharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari bank
tersebut.
3. Masyarakat - Pemilik Dana Sebagaimana pemilik menharapkan dari dana yang
diinvestasikan akan memperoleh bagi hasil - Debitur yang bersangkutan Para debitur
dengan penyediaan dana baginya mereka terbantu guna menjalankan usahanya - Bank
Bagi bank yang bersangkutan, dari penyaluran pembiayaan diharapakan bank dapat
meneruskan dan mengembangkan usahanya semakin luas.
7
4. Pemerintah Akibat penyediaan pembiayaan pemerintah terbantu dalam pembiayaan
pembangunan negara, disamping memperoleh pajak penghasilan yang diperoleh bank
dan perusahaan-perusahaan.
Fungi Pembiayaan
1. Meningkatkan daya guna uang
2. Meningkatkan daya guna barang
3. Meningkatkan peredaran uang
4. Menimbulkan kegairahan usaha
5. Stabilisasi ekonomi
Macam-macam Kegiatan Kredit atau Pembiayaan pada Bank Syariah
a. Kredit Musyarakah, Yang dimaksud dengan Musyarakah adalah akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b. Kredit Mudarabah, Kredit Mudharabah adalah kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan selurah modal (100%)
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal.
c. Al-Muzara'ah, Muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dengan penggarap dimana pemilik lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
(Yazid Afandi,2009 : 23).
Resiko Perkreditan Akibat Pembiayaan bermasalah
Sebab-sebab pembiayaan bermasalah dapat berasal dari bank, pihak nasabah atau pihak
eksternal.
8
1. Pihak Internal bank, Sebab pembiayaan bermasalah yang ditimbulkan oleh bank
sendiri antara lain:
a. Kebijakan pembiayaan yang kurang tepat. Maksudnya adalah bank tidak lagi
memperhitungkan kondisi kemampuan dalam menyalurkan pembiayaan dari
kondisi perekonomian/kondisi sosial/politik, tingkat resiko maupun Sumber Daya
Manusia (SDM). Keadaan ini memungkinkan terjadinya pembiayaan yang tidak
memperhatikan prinsip prudential banking practice.
b. Kuantitas, kualitas dan integritas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang
memadai sehingga memungkinkan untuk terjadinya pembiayaan bermasalah
contohnya adalah investigasi awal dan analisa pembiayaan tidak dilaksanakan
secara mendalam.
c. Memberikan perlakuan khusus kepada nasabah yang kurang tepat atau berlebihan
sehingga dapat terjadi pemberian pembiayaan hanya didasarkan atas agunan yang
diserahkan tanpa memperhatikan kelayakan/proyek yang dibiayai.
d. Kelemahan organisasi dan sistem dan proses pembiayaan.
e. Sarana dan prasarana yang tersedia kurang mendukung baik yang berkaitan
dengan teknis pekerjaan maupun administrasi
2. Pembiayaan Bermasalah Yang Disebabkan Pihak Nasabah
Pembiayaan bermasalah yang disebabkan oleh nasabah terdiri dari beberapa aspek
sebagai berikut:
a. Aspek Legal/Yuridis, Maksudnya adalah bahwa persyaratan legal atas
pembiayaan tidak dipenuhi, misalkan tidak dipenuhinya persyaratan ijin usaha
yang diperlukan dan persyaratan status badan hukum.
b. Aspek karakter
Aspek karakter diantaranya adalah:
1. Manajemen/pengurus perusahaan tidak capable/tidak profesional, misalkan
tidak bisa memimpin, menggunakan power bisnis.
2. Kesalahan dalam kebijakan pengembangan perusahaan seperti keberanian
berspekulasi pada sektor yang beresiko tinggi.
3. Aspek Finansial. Aspek finansial ini contohnya adalah kesalahan dalam
kebijakan pembelanjaan.
9
4. Aspek Agunan, Aspek agunan ini contohnya adalah tidak ada agunan
tambahan atau agunan yang diserahkan tidak mencukupi.
5. Aspek teknis/produksi, Aspek teknis ini diantaranya adalah target produksi
tidak tercapai, tidak mampu memenuhi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) atau biaya produksi atau harga pokok penjualan tinggi.
6. Aspek pemasaran. Pada aspek ini contohnya adalah adanya pesaing-pesaing
baru yang sangat potensial.
3. Pembiayaan bermasalah yang disebabkan oleh pihak eksternal
Pembiayan bermasalah yang disebabkan faktor eksternal antara lain:
a. Krisis ekonomi/moneter atau perubahan makro ekonomi.
b. Ketidakmampuan nasabah dalam memenuhi ketentuan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL).
c. Bencana alam/gangguan keamanan.
d. Prosedur Penanganan Pembiayaan Bermasalah. (Yazid Afandi,2009 : 23).
Prosedur Pemberian Kredit atau Pembiayaan
Apabila proposal kredit dinilai layak untuk dibiayai, bank sudah tentu akan menyetujui
proposal tersebut. Tahap selanjutnya, calon debitur akan diminta untuk melengkapi
berbagai dokumen yang dibutuhkan dalam rangka realisasi permohonan kredit yang telah
disetujui, seperti dokumen jaminan yang asli, kelengkapan data calon debitur dan
sebagainya. Setelah seluruh prosedur telah terpenuhi ma fasilitas kredit atau pembiayaan
dapat dicairkan yaitu setelah calon debitur menandatangani akad perjanjian kredit atau
pembiayaan dibawah tangan dan atau melalui notarial, setelah penyerahan pengikatan
jaminan kredit atau pembiayaan, setelah penutupan asuransi barang jaminan dan
persyaratan lainnya. Sebaiknya, persyaratan dalam surat persetujuan kredit atau
pembiayaan dimuat seluruhnya dalam akad perjanjian kredit atau pembiayan yang dibuat
dihadapan Kantor Notaris yang telah disepakati. (Yazid Afandi,2009 : 23).
10
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. SISTEM BAGI HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH
Pengertian Bagi hasil (profit Sharing)
11
Bagi hasil menurut terminologi asing (bahasa Inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit
dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definisi profit sharing diartikan
"distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu Perusahaaa". Menurut
Antonio, bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni
pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib).
(Muhammad Syafi’i,2011 : 90).
Secara umum prinsip prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam
empat akad utama, yaitu, al Musyarokah, al Mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqolah.
Sungguhpun demikian prinsip yang paling banyak dipakai adalah al musyarakah dan al
mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqolah dipergunakan khusus untuk
plantation financing atau pembiayaan pertanian untuk beberapa Bank Islam. (Muhammad
Syafi’i,2011 : 90).
Bagi Hasil adalah Keuntungan/Hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi
maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada Nasabah dengan persyaratan:[6]
a.
Perhitungan Bagi Hasil disepakati menggunakan pendekatan/pola :
1. Revenue Sharing
2. Profit & Loss Sharing.
b. Pada saat akad terjadi wajib disepakati sistem bagi hasil yang digunakan, apakah RS, PLS
atau Gross Profit. Kalau tidak disepakti akad itu menjadi gharar.
c. Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya setiap
bulan atau waktu yang telah disepakati.
d. Pembagian bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati diawal dan tercantum dalam
akad.
Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di
dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian
hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil
dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada
12
masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha
harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan
porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus
terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur
paksaan. (Bakhrul Muchtasib,2006 : 30).
Konsep Bagi Hasil
Konsep bagi hasil ini sangat berbeda sekali dengan konsep bunga yang diterapkan oleh
sistem ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah, konsep bagi hasil dapat dijabarkan
sebagai berikut.
A. Pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi keuangan yang bertindak sebagai
pengelola dana.
B.
Pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang dikenal dengan sistem
pool of fund (penghimpunan dana), selanjutnya pengelola akan menginvestasikan danadana tersebut kedalam proyek atau usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta
memenuhi semua aspek syariah.
C.
Kedua belah pihak membuat kesepakatan (akad) yang berisi ruang lingkup kerjasama,
jumlah nominal dana, nisbah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.
D. Sumber dana terdiri dari:
1. Simpanan: tabungan dan simpanan berjangka.
2. Modal : simpanan pokok, simpanan wajib, dana lain-lain.
3. Hutang pihak lain. (Syafei Antonio, 1999 : 129).
Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat
dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah.
13
Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya
bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.
a.
Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing)
Menurut Antonio Musyarakah adalah akad kerja sama antara dun pihak atau lebih untuk
suatu tertentu dimana masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Manan mengatakan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank
dengan konsumen untuk suatu masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun
konsumen memasukkan modal dalam perbandingan yang berbeda dan menyetujui suatu
laba yang ditetapkan sebelumnya, Lebih lanjut Manan mengatakan bahwa sistem ini
juga didasarkan atas prinsip untuk mengurangi kemungkinan partisipasi yang
menjerumus kepada kemitraan akhir oleh konsumen dengan diberikannya hak pada
bank kepada mitra usaha untuk membayar kembali saham bank secara sekaligus
ataupun secara berangsurangsur dari sebagian pendapatan bersih operasinya.
Musyarakah adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya
sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain musyarakah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. (Syafei Antonio, 1999 : 129).
b. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah
laian mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah maksud
yang sama. (Rachmat Syafei, 2001 : 223)
14
Mudharabah termasuk juga perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan
pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha /proyek
dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan
perjanjian. Di samping itu mudharabah juga berarti suatu pernyataan yang mengandung
pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu
diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai
perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Oleh karena itu ada
beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus diperhatikan
yaitu:
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha). Akad mudharabah, harus ada
minimal dua pelaku. Pihak pertamabertindak sebagai pemilik modal (shahibul
maal), pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib). Syarat keduanya adalah
pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum.
2. Objek mudharabah (modal dan kerja). Objek merupakan konsekuensi logis dari
tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya
sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya
sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk uang. Sedangkan
kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill,
management skill dan lain-lain.
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul). "Persetujuan kedua belah pihak
merupakan konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum (sama-sama rela)” (Q.S.
An-Nisa ayat 29). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk
mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya
modal dan qabul dari yang menjalankannya.
4. Nisbah Keuntungan. "Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang
tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak
diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah." Mudharib mendapatkan imbalan
15
atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapat imbalan atas penyertaan
modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan
antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. (Rachmat Syafei,
2001 : 223)
Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari
penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
a. Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.
b. Deposito Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga
(perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam
jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil.
c. Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi jangka
pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan
prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak
(pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya. (Rachmat Syafei, 2001 : 225)
3.2. SISTEM BAGI HASIL DAN PENDAPAT ULAMA MENGENAI BAGI HASIL
BANK SYARI’AH
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua
macam pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan profit sharing (bagi laba). Profit sharing menurut etimologi Indonesia
adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit
secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue)
16
suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit
sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total
pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit
and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan
rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. (Syariah IBI,
2001 : 264)
2.
Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan). Revenue (pendapatan) dalam
kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan
barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan
penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu
pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan
dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. Penghitungan menurut
pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh
dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha
untuk memperoleh pendapatan tersebut. Prinsip revenue sharing diterapkan
berdasarkan pendapat dari Syafi'i yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh
menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun
bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan maka
ia tidak berhak mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan
mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing
diterapkan berdasarkan pendapat dari Abu hanifah, Malik, Zaidiyah yang mengatakan
bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah hanya bila perdagangannya
itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan sebagainya.
Hambali mengatakan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta
mudharabah baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal,
tetapi besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah yang telah dikenal
(menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros. (Syariah IBI, 2001 : 264)
3.3.
ANALISIS BAGI HASIL BANK SYARI’AH
17
Pengumpulan dana yang dilakukan oleh Bank Syariah yang berasal dari para Nasabah,
para pemilik modal atau dana titipan dari pihak ketiga perlu dikelola dengan penuh
amanah dan istiqomah, dengan harapan dana tersebut mendatangkan keuntungan yang
besar, baik untuk nasabah maupun syariah. (Warkum Sumitro, 2004 : 32)
Prinsip utama yang harus dikembangkan bank syariah dalam kaitan dengan manajemen
dana adalah bahwa Bank Syariah harus mampu memberikan bagi hasil kepada
penyimpan dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di
bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah
daripada bunga yang berlaku di bank konvensional. Oleh karena itu upaya manajemen
dana bank syariah perlu dilakukan secara baik. Hal tersebut harus dilakukan guna untuk
mencapai hasil keuntugan yang besar, agar bagi hasil yang dilakukan dapat peningkatan
tabungan nasabah. (Warkum Sumitro, 2004 : 37)
Selain mengenai pengumpulan dana, yang perlu di analisis lagi adalah mengenai
perbedaan anatara bagi hasil dengan bunga bank pada perbankan konvensional.
Bunga Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Pcnentuan
besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi. Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal)
yang dipinjamkan. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Bagi hasil bergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung
bersama oleh kedua belah pihak. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun
jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”. Jumlah pembagian
laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Eksistensi bunga
18
diragukan ( kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk islam. Tidak ada yang
meragukan keabsahan bagi hasil. (Nurul Haq, 2011 : 112).
BAB IV
PENUTUP
3.2.
Simpulan
Bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni
pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maa/) dan pengelola (Mudharib).
Pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, menggunakan dua
macam kontrak kerjasama yaitu akad Musyarakah dan Mudharabah. Dimana musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masingmating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan Mudharabah
adalah perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana
19
pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha /proyek dan pengusaha setuju
untuk mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam
pendekatan, yaitu :
a.
Pendekatan profit sharing (bagi laba)
b.
Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
3.2. Saran
Hakekat dari Perbankan tiap perbankan termasuk Perbankan Syariah, semuanya memiliki
tujuan yang baik yakni meningkatkan dan menstabilakn perekonomian negara, namun
terkhusus pada perbankan syariah yang diterapkan di Indonesia menurut penulis perlu ada
sebuah dasar hukum yang jelas terkait dengan tujuannya, karena menurut banyak sarjana
Ekonomi Indonesia, perbankan syariah menuai banyak polemik dan bersifat kontroversional
dengan sebagian struktur perbankan konvensional atau perbankan pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Yazid Afandi.2009.Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah
Yogyakarta
: Logung Pustaka
Syafi’I Antonio.1999.Bank Syari’ah Wacana Ulama’ dan Cendekiawan
Jakarta
: Tazkia Institut dan Bank Indonesia
Syafi’I Antonio.2001.Bank Syariah Teori dan Praktek
Jakarta
: Gema Insani
Muhammad Syafi’I Antonio.2011.Bank Syariah dari teori ke praktik
20
Jakarta
: Gema Insani
M. Syafei Antonio.1999.Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum
Jakarta
: Tazkia Institute dan BI
Rachmat Syafei.2001.MA. Fiqh Muamalah
Bandung
: Pustaka Setia
Warkum Sumitro.2004.Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait
Jakarta
: PT. Grafindo Persada
Nurul Haq.2011.Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah
Yogyakarta
:Sukses Offset
21