Revolusi Industri Hubungan Industrial da

REVOLUSI INDUSTRI, HUBUNGAN INDUSTRIAL
DAN RELEVANSI DENGAN KONDISI DI INDONESIA
A. Sejarah Revolusi Industri
Era modernisasi yang sedang melanda dunia sekarang merupakan hasil dari proses
membutuhkan waktu sangat panjang dan memunculkan banyak pengorbanan. Salah satu
momen awal monumental menuju tahap kemajuan cara pola berpikir dan berproduksi saat ini
adalah adanya Revolusi Industri di Inggris yang pada tahun 1700-an hingga 1800-an. Mesin
uap adalah produk revolusioner karena membuat perubahan yang sangat besar terhadap cara
berpikir dan hidup banyak orang. Mesin ini mengalihkan tenaga-tenaga produksi yang
sebelumnya dilakukan oleh manusia dan hewan dan berimplikasi pada waktu produksi yang
menjadi lebih ringkas dan efisien sehingga manusia dapat memiliki waktu luang yang lebih
banyak. Banyak hasil produksi dan berbagai kemajuan yang telah dicapai pada saat itu,
seperti teknologi di bidang pertanian, pembuatan besi, industri tekstil, membangun terusan,
perbaikan jalan raya dan membangun jalur rel kereta api, dibangunnya lokomotif serta kapal
perang.
Di sisi lain, Revolusi ini juga memunculkan pabrik-pabrik sebagai basis pembuatan
berbagai produksi, munculnya imperialisme modern di mana dilakukan penguasaan pasar
serta mencari tenaga kerja murah, munculnya sistem demokrasi dan paham liberalisme, pusat
pekerjaan sebagian besar berpindah ke kota, serta pengangguran semakin bertambah karena
keberadaan manusia terpengaruh dengan adanya mesin-mesin dan manusia yang tidak
mampu mengontrol produksi dan alat dengan benar akan tersisih. Jadi, revolusi ini

mengalami perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, pabrik, pertambangan,
transportasi, teknologi, hingga politik.
B. Makna Hubungan Industrial
Revolusi Industri dan pengaruh-pengaruhnya yang diinisiasi dari negara Inggris
akhirnya menyebar ke seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia dan negara-negara
berkembang yang kemudian memunculkan istilah ‘Hubungan Industrial’. Istilah ini muncul
setelah Perang Dunia II, di mana negara-negara bekas jajahan yang mendeklarasikan
kemerdekaan diri kemudian mengikuti sistem perekonomian global yang mengagungkan
industrialisasi dan didominasi oleh negara-negara di Eropa. Implikasi dari tersebut adalah
terbukanya pasar dunia yang bebas dan semua harus mengikuti aturan baku yang ada. Pihakpihak dalam suatu negara yang terlibat dengan Hubungan Industrial, di antaranya pengusaha,
1

buruh, dan negara. Terdapat 2 pandangan Hubungan Industrial berdasarkan ruang lingkup
permasalahan:
1. Bipartit: Hubungan yang terjadi di dalam sebuah tempat kerja, yaitu antara
pemilik alat-alat produksi dengan orang-orang yang tidak punya alat produksi,
yaitu terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja.
2. Tripartit: Hubungan antara negara, pasar (organisasi pengusaha/organisasi
ekonomi), dan trade union/organisasi buruh; di mana konteksnya menyangkut
ekonomi politik, yaitu persoalan ekonomi selalu tumpang tindih dengan politik.

Jadi, hubungan industrial bisa diartikan sebagai peristiwa mengenai perundingan
bersama (collective bargaining), yaitu terjadi proses negosiasi antara kalangan pengusaha:
baik itu 1 orang, sekelompok, atau satu/lebih organisasi pengusaha di satu pihak, dengan
satu/lebih serikat pekerja di lain pihak untuk membahas dan menentukan kondisi kerja dan
syarat kerja; mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja; mengatur huubungan antar
pengusaha atau organisasinya dengan serikat-serikat pekerja dan juga ada unsur pemerintah
sebagai mediator untuk mengatur serta mengawasi hubungan antara pengusaha/asosiasi
pengusaha dengan para pekerja/serikat pekerja. Isu-isu yang dibahas dan dinegosiasikan
adalah upah, jam kerja, program kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dan
cuti (Kertonegoro, 1999: 4-5). Jadi, hubungan industrial ini tidak hanya membahas bidang
ekonomi, tapi juga aspek dan permasalahan lain di berbagai bidang kehidupan, seperti sosial,
politik, dan budaya, baik yang secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan
hubungan antara pengusaha dengan pekerja (Haryani, 2002: 3).
C. Bagian-bagian Hubungan Industrial
Hubungan industrial memiliki bagian-bagian yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain, antara lain hubungan produksi (relation of production), model atau cara-cara
berproduksi (modes of production), dan alat-alat produksinya (means of production). Bila
salah satu dari bagian ini berubah, maka akan terjadi perubahan serupa di bagian-bagian
lainnya. Contohnya, di zaman dahulu nelayan menangkap ikan untuk dikonsumsi oleh dirinya
dan keluarganya saja. Itu dinamakan subsistence mode of production, di mana masyarakat

memproduksi untuk diri sendiri atau komunitasnya mulai dari proses awal produksi hingga
akhir produksi, dan hasil tersebut dikonsumsi sendiri juga sehingga barang itu memiliki nilai
guna (use value) karena kemanfaatannya bagi masyarakat sekitar dan tidak untuk
diperdagangkan. Namun, pada zaman sekarang sudah jamak kita melihat nelayan yang
2

setelah memancing ikan, tidak untuk dirinya sendiri melainkan dijual ke tempat pelelangan
ikan atau diberikan ke produsen yang datang dari kota. Nantinya, nelayan akan mendapatkan
uang dari hasil tangkapan itu dan ikan yang sudah dibawa oleh para produsen akan dijual
kembali ke orang lain yang menginginkan ikan tersebut dengan harga lebih tinggi atau ikan
tersebut sudah diolah menjadi masakan. Itu dinamakan commercial mode of production, di
mana masyarakat memproduksi sendiri, namun hasilnya tidak dikonsumsi sendiri, melainkan
untuk diperdagangkan, sehingga barang itu selain memiliki use value, juga memiliki nilai
tukar (exchange value). Dari sinilah, muncul uang sebagai alat tukar yang praktis.
Kita sudah mengetahui bahwa tidak ada masyarakat yang tidak melakukan produksi,
namun cara mereka berproduksi tentu mengalami perubahan dan proses tersebut digerakkan
oleh perubahan cara-cara berproduksi yang sangat ditentukan oleh perubahan cara berpikir
masyarakat, yaitu menuntut efisiensi dengan keuntungan maksimal dan tenaga sekecilkecilnya. Masyarakat paling awal sekalipun mempunyai cara berproduksi yang menggunakan
alat produksi sehngga memunculkan hubungan produksi, yaitu hubungan antara orang-orang
yg memiliki alat produksi dan tidak memeiliki alat produksi yang keduanya bekerja sama

untuk mendorong terwujudnya produksi. Hubungan-hubungan produksi yang berlangsung
bukan hubungan produksi seperti yang umumnya terjadi pada saat alat-alat produksi sudah
canggih.
Contohnya di dalam sektor pertanian, kita mengenal sapi dahulu sebagai hewan untuk
membajak. Namun, sekarang terjadi perubahan produksi dalam mengolah tanah tersebut.
Manusia menggunakan traktor sebagai alat mengelola tanahnya. Sedangkan, sapinya
digemukkan untuk kemudian dijual untuk dikonsumsi. Atau cara nelayan menangkap ikan
juga berbeda pada saat dulu dengan sekarang. Saat lampau, nelayan memakai tombak
sehingga membutuhkan waktu lama dan tidak efektif. Sekarang mereka pakai jaring sehingga
bisa mendapatkan ikan yang lebih banyak dan waktu manusia tidak terbuang sia-sia. Itulah
means of production yang berubah karena modes of production dan relation of production
juga berubah.
D. Revolusi Hijau sebagai Dampak Revolusi Industri
Adanya Revolusi Industri juga memunculkan revolusi pula di Indonesia, yang disebut
dengan Revolusi Hijau (green revolution). Gagasan ini hadir pada tahun 1984-1989 ini di
mana terjadi perubahan dalam berproduksi dan alatnya di segi pertanian. Revolusi Hijau
menyebabkan berbagai perubahan: mulai dari cara mengolah tanah, cara memupuk, bibitbibit baru, pestisida, irigasi, sehingga diharapkan akan menumbuhkan kualitas sumber daya

3


manusia karena menggunakan teknologi maju dan tepat guna serta hasil panen juga lebih
baik.
Namun, hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hasil panen banyak yang
gagal, bahkan hama jadi lebih resisten terhadap pestisida; terjadinya kesenjangan ekonomi
dan sosial terutama di pedesaan karena banyak petani kaya yang mengolah tanah desa dengan
teknologi, tidak seperti petani yang tidak mampu; hutang Indonesia menumpuk untuk
membeli segala kebutuhan, pengutamaan hak individu atas tanah dan komersialisasi produk
pertanian yang menguntungkan pasar sehingga banyak petani miskin dan produsen lokal
yang merugi. Segala kerugian tersebut bisa terjadi karena Indonesia ‘dipaksa’ mengikuti
logika pengetahuan dan teknologi Barat yang sebenarnya mempunyai kultur yang sangat
berbeda. Barat dengan industrialisasi dan modernisasi memaksakan kehendak metode ini
terhadap Timur yang notabene lebih bagus untuk cenderung ke sektor pertanian murni, tidak
memakai teknologi.
E. Perspektif Marx Melihat Buruh
Marx mengungkapkan logika dialektis di mana terdapat sesuatu yang berlawanan;
oposisi biner yang memiliki kedudukan sama. Bila digambarkan ke dalam grafik, akan seperti
ini
Pemilik

Buruh

Proses produksi

Kepentingan

Kepentingan

Para pemilik tentu ingin memaksimalkan keuntungan dengan cara meminimalkan
biaya-biaya produksi, seperti upah tenaga kerja. Para buruh juga ingin memaksimalkan
kesejahteraan hidupnya dengan cara menginginkan kenaikan biaya produksi. Tapi, realitanya
menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang terdapat di kelas yang terbentuk tersebut
karena pemilik semakin mendominasi karena mempunyai alat-alat produksi sehingga
melahirkan eksploitasi.
Banyak eksploitasi yang terjadi oleh para pemilik perusahaan, bahkan hingga hari ini.
Kasusnya misalkan bagaimana seorang pabrik sepatu selama 8 jam bekerja di pabrik dengan
memproduksi ratusan sepatu. Tapi, upah yang didapatkan hanyalah 1 jam dari 1 hari tersebut
sehingga 7 jam sisanya itu seharusnya menjadi hak buruh yang dibayarkan oleh pengusaha
tapi tidak dibayarkan. Itulah yang menurut Marx disebut surplus value (nilai lebih), yang

4


dimiliki oleh pengusaha dari proses eksploitasi. Apalagi, sistem pengupahan di Indonesia
masih hitungan perbulan (melalui upah minimum setiap daerah), ketimbang negara-negara
lain yang menerapkan upah per jam.
Untuk itu, Marx menyarankan agar para buruh memiliki kesadaran terhadap eksisnya
kelas tersebut (class consciousness). Jadi, buruh sadar bahwa dirinya bukanlah individu yang
hanya mencari uang demi memenuhi kebutuhan diri beserta keluarga, namun merupakan
sebuah kolektivitas sehingga memunculkan kekuatan buruh. Mereka yang tidak memiliki alat
produksi inilah yang menggerakkan kesadaran kelas tersebut sehingga terbentuk organisasi
buruh yang tidak hanya memiliki kekuatan ekonomi dalam proses produksi, namun juga
politik. Adanya organisasi untuk memperjuangkan ideologi buruh − berjuang untuk mencapai
kesejahteraan sehingga menuntut perubahan kondisi bekerja semakin lama dan besar
membentuk serikat buruh (trade union) tingkat nasional dengan basisnya terbagi ke tiap-tiap
jenis usaha – tekstil, makanan, peralatan rumah tangga, elektronik, dan lain-lain − yang
membuat organisasi-organisasi di bawahnya, dari nasional, regional, distrik, hingga tingkat
perusahaan.
Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar serikat buruh tingkat nasional, di antaranya
KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), FPBI (Federasi Perjuangan Buruh Indonesia),
SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) sehingga keberadaannya bisa dikatakan lemah
karena visi dan misi serikat-serikat buruh tersebut pun berbeda. Di negara-negara lain, hanya
ada organisasi buruh tingkat nasional yang mewadahi seluruh buruh dari segala perusahaan.

Bahkan ada juga yang dari organisasi tersebut membentuk Partai Buruh sebagai representasi
politik dari kekuatan buruh yang benar-benar ingin memperjuangkan kaum buruh dan kaum
bawah lainnya serta ingin memajukan negara agar menjadi negara yang sejahtera. Partai
Buruh di Indonesia dulu hadir, tapi sekarang sudah tenggelam dengan partai nasionalis dan
religius. Para buruh sudah seharusnya sadar dan turut berkontribusi akan keberadaan penting
mereka bagi negeri ini.
F. Paham-paham Kontemporer
Setidaknya ada 2 paham di dalam pikiran masyarakat kontemporer yang mendominasi
setiap wacana dan kehidupan sebagai akibat dari adanya Revolusi Industri. Ada kapitalisme
dan sosialisme. Negara-negara yang menganut kapitalisme adalah sebagian besar negara di
dunia ini, sedangkan hanya beberapa negara menganut paham sosialisme, seperti Tiongkok
dan Kuba. Paham-paham ini juga memiliki tujuan-tujuan ekonomi dan sama-sama bertanding
untuk pasar. Mereka sama-sama mendapatkan keuntungan besar dengan usaha kecil karena
5

isu inilah yang bertindak sebagai salah satu pencapaian tentang kesejahteraan. Berikut
perbedaan kapitalisme dan sosialisme:
a. Kapitalisme
1. Individu diberi hak atas kepemilikan barang (individual property right) dan karena
hal tersebut, setiap orang memiliki kesempatan yang ‘beresiko’ untuk memiliki

barang-barang sebanyak-banyaknya sehingga memiliki efek domino terhadap
eksisnya jurang antara the have dan the have not. Konflik pun menjadi tak
terhindarkan karena selalu ada persaingan untuk memperebutkan barang-barang
2. Negara harus melayani dan melindungi mereka setiap individu, bertanggung
jawab atas pelayanan sosial, melindungi mereka yang mungkin di dalam
persaingan mengalami kekalahan. Negara menyelenggarakan aturan main yang
jelas agar tidak ada pihak yang sewenang-wenang. Yang membuat kebijakan tentu
saja, dalam hal ini eksekutif, legislatif, dan yudikatif
3. Adanya pajak untuk devisa negara. Pajak yang dibayarkan tentu digunakan untuk
kepentingan masyarakat. Jika ada penduduk yang tidak emmbayar pajak, itu sama
saja mengambil uang negara karena memakai fasilitas negara tapi tidak membayar
sebagai bentuk kontribusi penduduk ke negara. Maka, muncullah Undang-undang
tentang perpajakan.
4. Adanya rule of laws atau Undang-Undang yang dibuat oleh para aparatus negara
sebagai pedoman masyarakat dalam menjalankan segala aktivitas dan seharusnya
diimbangi pula oleh kuatnya law einforcement (penegakan hukum)
5. Sistemnya demokrasi, karena semua orang memiliki hak yang sama SEHINGGA
harus dihormati, apalagi hal tersebut sudah tercantum di dalam Undang-Undang
b. Sosialisme
1. Hak tidak secara penuh dimiliki individu, tapi oleh negara. Ada kepemilikan

individu, tapi diatur dengan sangat ketat.
2. Adanya rule of laws tapi prosesnya beda. Dalam paham ini, negara yang berbasis
kolektifitas menyuruh individu untuk patuh dengan Undang-Undang. Jadi, secara
tidak langsung, negara dengan paham ini adalah negara otoriter.
G. Perselisihan Industrial
Perselisihan industrial adalah perselisihan yang muncul antara pengusaha atau
asosiasi pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja atau federasi serikat pekerja karena
adanya konflik mengenai kepentingan, hak, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja. Perselisihan industrial bisa diselesaikan melalui musyawarah untuk
6

mencapai mufakat antara pihak-pihak yang berselisih, dan sebaliknya perselisihan industrial
bisa menyebabkan moogok kerja, penutupan perusahaan, dan/atau pemutusan hubungan kerja
(Kertonegoro, 1999: 7 dan 8). Apabila dilihat dari jenis konflik, sekitar 80% isu yang muncul
menyangkut masalah ekonomi, seperti gaji, uang lembur, tunjangan saat hari raya, pesangon,
dan lain-lain sedangkan 20% adalah isu tentang non ekonomi seperti: keahlian/ketrampilan
tenaga kerja, persamaan hak, keselamatan dan kesehatan kerja, organisasi pekerja, dan
penyelesaian perselisihan (Haryani, 2002: 41).
Masalah ekonomi memang menjadi masalah klasik yang dialami semua orang karena
menyangkut hajat hidup. Untuk itu, masalah gaji dan lain-lain patut menjadi perhatian bagi

segenap kalangan yang masuk ke dalam hubungan industrial. Di Indonesia terdapat satuan
standar gaji bagi para pekerja, yang dinamakan Upah Minimum Regional (UMR). Dasar yang
dipakai untuk menentukan ukuran tersebut adalah tingkat layak hidup yang ada di suatu
daerah. Biaya yang dihitung adalah biaya hidup pribadi, bukan biaya berkeluarga, sehingga
pantas buruh menuntut dan sellau melakukan demo untuk meminta hidup lebih layak dan
UMR yang naik. Tentu kita harapkan semoga kejadian seperti ini tidak berlangsung anarki,
tapi penyampaian pesan harus lancar sehingga pemerintah dan, terutama para pengusaha amu
duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut.
H. Perspektif-perspektif Melihat Pabrik
Ada 3 perspektif dalam melihat fenomena pabrik.
1. Perspektif Marxian
Kelompok ini melihat bahwa terdapa kelas yang berkuasa antara para
pemilik alat produksi dan buruh-buruh (borjuis dan proletar). Mereka
menganggap bahwa pasti terdapat konflik kepentingan: pemilik alat
menginginkan gaji buruh murah dan keuntungan maksimal, sedangkan
para buruh menginginkan gaji buruh layak sehingga bisa hidup sejahtera.
Tentu hal tersebut menjadi masalah klasik bertahun-tahun.
2. Perspektif Parsonian
Parsonian melihat bahwa sistem di dalam sebuah pabrik haruslah stabil
dan tidak ingin ada penghalang agar tidak terjadi goncangan yang dapat
mengganggu sistem dan menyebabkan disfungsional terhadap pabrik
tersebut. Pabrik terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Terdapat
pembagian kerja di dalam divisi-divisi.
3. Perspektif Weberian

7

Weberian melihat pabrik sebagai organisasi yang tentu memiliki hierarkhi.
Ada dominasi dan subordinasi, berdasarkan jabatan di mana subordinasi
harus mengikuti struktur hierarkhi. Antara dominasi dan subordinasi,
terdapat birokrasi yang sifatnya abstrak karena tak kasat mata namun bisa
dirasakan. Birokrasi bisa disebut dengan mesin organisasi, indikasinya
adalah adanya peraturan-peraturan yang berguna untuk menuntun jalan
perusahaan tersebut sehingga tidak melenceng dari visi dan misi.
I. Kesimpulan
Revolusi Industri telah menghasilkan perubahan revolusioner bagi kehidupan
manusia: munculnya teknologi untuk meringankan beban manusia, membuat kerja menjadi
maksimal, dan mendapatkan keuntungan yang besar. Walaupun revolusi ini tetap memiliki
dampak negatif, seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, serta pengangguran yang banyak,
tapi dampak-dampak tersebut memang sedang kita hadapi dan tidak mungkin diubah karena
kita sudah terperangkap dan susah untuk keluar. Hubungan industrial terus berubah sesuai
pola perkembangan berpikir masyarakat dan hubungan tersebut harus kita lihat sebagai cara
untuk meningkatkan produktivitas bagi pabrik-pabrik untuk terus melakukan dan
memperbanyak produksi.

DAFTAR PUSTAKA
Haryani, Sri, 2002, Hubungan Industrial di Indonesia, Yogyakarta: Unit Penerbit Percetakan
AMP YKPN.
8

Kertonegoro, Sentanoe, 1999, Hubungan Industrial: Hubungan antara Pengusaha dan
Pekerja (Bipartit) dan Pemerintah (Tripartit), Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.

9