PEKERJAAN RUMAH CALON PEMIMPIN BARU Oleh

PEKERJAAN RUMAH CALON PEMIMPIN BARU
Oleh: Muslim El Hakim Kurniawan
PNS Pemprov. Bangka Belitung/Mahasiswa Program Doctor of Science in Management – ITB

Berdasarkan hasil realcount dari KPUD Bangka Belitung, maka dipastikan Provinsi ini
akan memiliki Pemimpin baru, paling tidak untuk lima tahun kedepan. Sebuah waktu yang
bisa dikatakan tidak terlalu panjang untuk berbuat bagi rakyat Bangka Belitung. Karena itu
Sang calon Gubernur terpilih hendaklah memilah program prioritas dan strategis sebagai
pelengkap visi dan misi yang kemudian diterjemahkan kedalam rencana pembangunan
jangka menengah daerah. Pada waktu debat paslon Gubernur, beberapa kali Kami cermati
bahwa isu perekonomian seperti tingkat pengangguran dan lapangan kerja, kemiskinan,
inflasi tinggi, dll, menjadi perdebatan “sengit”. Hal ini sangat beralasan, apalagi bila kita
melihat indikator makro perekonomian kita yang cenderung menurun. Selain itu karena
Bangka Belitung adalah daerah Kepulauan, maka paradigma dalam pengembangan
perekonomian juga tidaklah sama dengan pulau utama seperti Jawa dan Sumatera. Paling
tidak ada beberapa hal yang membuat kita berbeda, apalagi semenjak “ditinggalkan” oleh
timah. Antara lain yang pertama, karena jumlah penduduk yang sedikit dengan daya beli
yang rendah membuat perekonomian kita kecil dan susah untuk mencapai skala ekonomis
dalam berproduksi sehingga menjadi kurang “sexy” dimata investor. Kedua, biaya
transport dan akses yang tinggi, baik kedalam ataupun keluar pulau, belum lagi bila kita
berbicara faktor cuaca misalnya gelombang tinggi, maka pengiriman barang akan tertunda

dan seringkali menimbulkan efek domino. Ketiga, upah minimum pekerja yang tinggi serta
faktor-faktor lainnya seperti APBD yang tidak terlalu besar, infrastruktur dan sumberdaya
manusia yang minim membuat output daerah sangat terbatas, baik dari sisi kuantitas
maupun kualitas.
Pada saat membuat program dan kegiatan, seringkali kita lupa bahwa neraca harus
seimbang antara aktiva dan pasiva, antara pemasukan dan pengeluaran. Tantangan
selanjutnya adalah bagaimana strategi untuk mendapatkan “pemasukan” dengan kondisi
daya saing rendah seperti diatas. Disisi lain kita membutuhkan banyak sekali
“pengeluaran” untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur, sumber daya manusia, dan
lainnya. Rasa-rasanya sangat sulit bila hanya mengandalkan timah dan pajak kendaraan.
Didalam misi calon Gubernur terpilih sudah sangat jelas disebutkan bahwa pengembangan
agropolitan, pariwisata, dan UMKM menjadi salah satu strategi untuk mendapatkan
“pemasukan” tersebut. Namun kami tambahkan sebuah “resep” dari pakar studi kepulauan
dari Kanada yaitu Baldacchino, yang disesuaikan dengan kondisi Bangka Belitung untuk
memperkaya misi tersebut. Yang pertama adalah rent recipients, yaitu penerimaan dari
penyewaan aset daerah seperti lahan, bangunan, dll untuk mengoptimalkan daya guna dan
hasil guna aset tersebut. Hal ini diperbolehkan selama diperuntukkan untuk membuka
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta sesuai dengan UU No.17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Jadi, pendataan dan pemanfaatan asset dapat menjadi sumber “pemasukan” bagi


daerah. Yang kedua adalah Marketing Locality, yaitu menargetkan pasar tertentu dalam hal
ini wisatawan dan diaspora. Ketika skala ekonomis dalam berproduksi sulit untuk dicapai,
maka strategi diferensiasi menjadi jalan keluarnya. Kita berproduksi dengan tujuan utama
“melayani” para turis. Sebelum sampai kesitu, Pemerintah hendaknya sudah menyasar
segmen pasar wisatawan yang ingin dituju. Ketika budaya lokal sulit untuk menjadikan
Babel daerah wisata yang “bebas” seperti di Bali, maka paling tidak ada dua segmen pasar
potensial yang bisa dibidik, yaitu wisatawan muslim dengan meng-endorse halal tourism
dan wisatawan dari tiongkok dengan meng-endorse wisata budaya. Meniru Banyuwangi,
buat sebanyak mungkin event-event dan festival international yang terkait dua target
tersebut, sehingga waktu singgah mereka di Babel menjadi lebih lama dan UMKM dapat
memanfaatkan hal tersebut. Yang kedua adalah memanfaatkan diaspora yang menetap di
luar negeri atau dalam konteks ini bisa kita sederhanakan diluar Babel. Seorang teman
eksportir terasi Cirebon ke Hongkong mengatakan bahwa pemesan produknya kebanyakan
adalah para TKW yang bekerja disana. Banyak lagi orang sukses asal Babel di luar negeri
atau diluar Babel yang bisa diajak kerjasama dan di era Facebook, Twitter, Whatsapp, dll
tidak lah susah untuk menelusuri dan bekerjasama dengan mereka, Saya kira mereka juga
ingin berkontribusi dengan daerah asalnya. Sebagai contoh lokal, kemarin Kami
mewawancarai seorang pengusaha sparepart asal Bandung yang cukup sukses, dan
ternyata istrinya adalah orang Bangka. Beliau kesusahan untuk perluasan pabrik karena

harga tanah yang mahal, tentu ini bisa menjadi peluang karena lahan di Babel yang masih
“tersedia” namun mungkin perlu sedikit “privilege” dari Pemerintah, dan saya kira masih
ada ribuan contoh lagi potensi diaspora untuk diajak kerjasama membangun Babel. Resep
ketiga adalah Knowledge based services, bisa diaplikasikan pada banyak hal, namun ingin
Kami tekankan pada “investasi” pada sumber daya manusia. Bila kita cermati paket
kebijakan ekonomi Presiden ke XIV tentang e-commerce, disebutkan bahwa potensi
transaksinya akan mencapai $130 Milyar di 2020. Hal ini menjadi peluang kearah mana
sebaiknya pengembangan SDM Babel selanjutnya. SDM yang expert di bidang teknologi
informasi dan e-commerce juga dapat menjadi jalan ekspor produk-produk UMKM lokal.
Kemudian salah satu rendahnya daya saing Babel adalah ongkos logistik yang mahal,
karena truk dan kapal yang mengantar barang hanya penuh saat pergi saja, dan pulangnya
relatif kosong. Indikasi secara kasat mata bisa terlihat dari jalan dari Pangkalpinang ke
Muntok yang lebih cepat rusak di sebelah kanan, karena dilewati truk yang penuh muatan
dari pelabuhan Muntok menuju Pangkalpinang, pulangnya kosong. Dengan memanfaatkan
kerjasama antara diaspora tadi, teknologi informasi dan truk serta kapal yang “kosong”
maka sebuah peluang dari minimasi ekonomi biaya tinggi akan diraih. Resep terakhir
adalah Occupational Flexibility, yaitu pekerjaan yang fleksibel. Hal ini sudah dipraktekan
oleh sebagian perajin resam yang pada siang hari berkebun (ngaret) dan sore hari
menganyam songkok resam. Dengan menyasar nelayan, petani dan istrinya yang tidak
bekerja pada waktu-waktu tertentu maka perlu disiapkan program pelatihan ataupun

pemberdayaan bagi mereka sehingga bisa tetap produktif. Tentu saja ini bukan hanya PR
sang calon Gubernur terpilih, namun seluruh pemangku kepentingan yang ingin Babel
lebih sejahtera.