Pengaruh Perempuan Minangkabau Dalam Pembuatan Kebijakan

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu kenyataan yang aneh bahwa, sekarang di dunia terdapat sesuatu
keyakinan dalam sistem sosial yang menyebut dirinya “demokratis” dimana
banyak negara mengklaim bahwa basis dari pemerintahannya adalah demokrasi.
Pentingnya demokrasi di sebuah negara bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakat. Alat pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat tentu saja
kebijakan

yang dilahirkan dalam proses

demokrasi.

Berbicara tentang

pengambilan kebijakan tidak terlepas dari partisipasi masyarakat tanpa
membedakan-bedakan ras, agama, suku dan jenis kelamin. G. Roskin menyatakan
dalam bukunya Political Science: an introduction menyatakan defenisi demokrasi
adalah menghargai kebebasan hak dan kewajiban warga negaranya, baik dalam

politik, ekonomi, sosial, budaya tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku dan
jenis kelamin, tetapi dalam persoalan perempuan sebagai warga negara tidaklah
sebebas laki-laki dalam segala bidang. 1
Persoalan perempuan dan politik telah menjadi isu global, baik di negara
maju maupun di negara-negara berkembang khususnya Indonesia.Persoalan
dimana bagi perempuan konsep “demokrasi” menjadi satu hal yang sangat
diidam-idamkan sekaligus menjadi mimpi buruk.Demokrasi yang diwariskan oleh

1

Jurnal Perempuan. 2004. No. 34.Politik dan Keterwakilan Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan. hal.4.

1

Universitas Sumatera Utara

tradisi Yunani, jelas tidak mengikutkan perempuan dalam politik. 2Persoalan ini
disebabkan mayoritas masyarakat yang telah dibentuk dalam budaya patriarki
yang menekankan bahwa kedudukan perempuan berkisar dalam lingkungan

domestik, sedangkan politik merupakan suatu yang berkenaan dengan dunia lakilaki yang menimbulkan suatu persepsi atau anggapan bahwa dunia politik tidak
mungkin atau tabu untuk dimasuki oleh perempuan.Hal ini menyebabkan
rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik.
Rendahnya partisipasi perempuan dalam ranah politik berdampak terhadap
permasalahan perempuan lainnya yang kini berbeda dengan kondisi perempuan
dimasa lalu.Perbedaan itu bisa karena kondisi sosio-kultur maupun perkembangan
zaman. Berbagai permasalahan yang seringkali korbannya adalah para wanita
seperti penyiksaan terhadap TKW di luar negeri, dan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), jam kerja yang tidak memihak terhadap pekerja perempuan,
permasalahan reproduksi seperti tidak ada jaminan terhadap ibu hamil dan ibu
yang hendak melahirkan, menunjukkan lemahnya perlindungan hukum terhadap
mereka. Semua permasalahan dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan
inilah

yang

nampaknya

membuat


kaum

pejuang

perempuan

menjadi

geram.Mereka menginginkan adanya sebuah perlindungan secara legal yang
terformulasikan berupa aturan dalam suatu undang-undang. 3
Berbagai usaha dilakukan untuk menciptakan partisipasi sejajar antara
laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik, salah satunya seperti yang
2

Ibid. hal 5.
Siti Musdah Mulia.2008 Menuju Kemandirian Politik Perempuan. Yogyakarta: Kibas Press. hal.
83.
3

2


Universitas Sumatera Utara

diamanatkan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (Convention on the elimination of all forms of discrimination against
women atau CEDAW) Yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1979
dan disahkan mulai tahun 1981. 4 Sekarang, lebih dari 30 tahun sejak
ditandatanganinya konvensi itu yang juga telah diratifikasi oleh 165 negara,
kenyataan menunjukan bahwa kaum perempuan diseluruh pelosok dunia masih
saja termajinalisasikan dan kurang terwakili di dunia dunia politik terutama untuk
keterlibatan mereka dalam putusan publik.
Permasalahan perempuan seperti ini juga terjadi dalam masyarakat
Indonesia. Banyak sekali masalah perempuan yang terlewatkan dalam
pembahasan masalah keputusan publik, karena memang sangat sedikit perempuan
yang bisa masuk ke dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Sunyoto Usman
mengatakan bahwa tidak banyak perempuan yang menempati posisi sentral di
dalam badan legislatif dan eksekutif. Kebanyakan dari mereka berada

di


pinggiran (periphery zone) dan kurang kuat pengaruhnya dalam proses pembuatan
kebijakan. 5
Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi
keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif
sebagai badan yang memegang peranan kunci menetapkan kebijakan publik,
pengambilan keputusan, dan penyusunan berbagai piranti hukum, perempuan
masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki. Sejak reformasi tahun
4

Jurnal Perempuan. 2006. No. 45.Demokrasi. Jakarta: Yayaysan Jurnal Indonesia. hal. 25.
Sunyoto Usman. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. hal. 24.

5

3

Universitas Sumatera Utara

1999, jumlah anggota dewan perempuan sebenarnya mengalami peningkatan.

Pada tahun 1999 hanya 9,2% kursi DPR RI yang diduduki perempuan. Tahun
2004 jumlahnya meningkat menjadi 11,81%. Pada tahun 2009 jumlahnya kembali
meningkat menjadi 18%. Lalu pada tahun 2014 justru turun menjadi
17,32%. 6Namun peningkatan dari tahun 1999 sampai pada tahun 2014 tidaklah
signifikan.Peran dan keterwakilan perempuan dalam pembuatan kebijakan publik
selama ini masih dirasa kurang.
Permasalahan perempuan dalam lembaga pembuatan kebijakan ini tidak
hanya dialami di tingkat nasional.Di tingkat desa pun perempuan mempunyai
kesempatan yang sangat sedikit. Selama ini kebijakan yang dibuat di desa sama
sekali tidak melibatkan perempuan. Kebijakan hanya ditentukan oleh lakilaki.Namun hal ini dapat dimaklumi karena realitasnya selama ini dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa, pembuataan kebijakan di desa cenderung di
dominasi oleh Kepala Desa tanpa melibatkan masyarakat. Penyeragaman bentuk
pemerintahan terendah oleh pemerintahan pusat melalui UU No. 5 Tahun 1979
dalam bentuk desa, 7 telah merusak sebagian struktur masyarakat terutama
lembaga-lembaga traditional yang dibentuk dan dihormati masyarakat. Pemaksaan
penyeragaman ini memiliki dampak yang sangat besar kepada masyarakat yang
karakteristik masyarakatnya sangat berbeda dengan pola desa yang lebih cocok
dengan kultur masyarakat jawa. Lebih ironis lagi desa oleh penguasa lebih

6


Dina Martiany, SH, MSi. 2014.Signifikasi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-1.pdf. Diakses pada 20
Desember 2014 Pukul 20.00 Wib.
7
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979

4

Universitas Sumatera Utara

ditempatkan sebagai objek kekuasaan bukan sebagai subjek.Masyarakat hanya
dijadikan sebagai objek dan pelaksana kebijakan.
Seiring dengan reformasi munculnya kesadaran kritis masyarakat dengan
menuntut hak dan kewajibannya.Tuntutan ini ditanggapi oleh pemerintah melalui
UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di revisi dengan UU
No 32 Tahun 2004. 8Atas dasar UU ini penyelenggaraan Otonomi Daerah lebih
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.Tidak ada
lagi hierarki pemerintahan dan otonomi yang luas dan nyata berada di daerah

Kabupaten/Kota juga desa.
Provinsi Sumatera Barat melancarkan program “kembali ke nagari” sejak
tahun 2000 dengan menetapkan nagari sebagai pemerintahan yang terendah
setingkat desa. Pemerintahan nagari terdiri dari pemerintahan nagari sebagai
eksekutif dan Badan Musyawarah (BAMUS) sebagai legislatif sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000
Tentang Pemerintahan Nagari. 9Pengaturan nagari dalam perda ini menunjukan
semangat demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.Sistem pemerintahan
nagari menuntut pada pengembangan peran serta masyarakat.Bahkan Perda No 9
Tahun 2000 ini menjamin keterlibatan perempuan sebagai bagian dari elemen
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari.Pasal 5 Perda tersebut
menjelaskan bahwa BAMUS sebagai legislatif mensyaratkan masuknya semua
8

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 revisi Undang-Undang No.34 Tahun 2004.
Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 Tentang Pemerintahan Nagari.

9

5


Universitas Sumatera Utara

elemen masyarakat yang meliputi unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai,
bundo kanduang dan pemuda (Tokoh adat, tokoh ulama, kaum intelektual,
perempuan dan pemuda).Unsur Bundo kanduang yang dimaksud dalam Perda
tersebut dalam istilah masyarakat Sumatera Barat adalah panggilan terhadap
perempuan menurut adat Minangkabau. 10
Ketika orang mendengar tentang Minangkabau, barangkali yang terbayang
adalah adat dan budaya Minang sangat menghormati kaum perempuan.Hal ini
dikarenakan budaya Minangkabau sebelum penjajahan Belanda hingga kini
menganut sistem matrilineal. 11Matrilineal sendiri berarti bahwa keturunan dan
pembentukan kelompok keturunan diatur menurut garis ibu. 12Ini tentu sejalan
dengan persepsi bahwa masyarakat dan budaya Minang mengandung nilai-nilai
demokratis. Dapat dilihat dalam ungkapan minangkabau duduak samo randah
tagak samo tinggi (duduk sama rendah berdiri sama tinggi) mencerminkan
egaliterianisme budaya masyarakat Minang, termasuk untuk kalangan perempuan.
Dalam sistem adat matrilineal di Minangkabau, perempuan ditempatkan dalam
posisi yang sentral.Dalam sistem ini, perempuan dianggap berkuasa atas harta
pusaka dalam keluarga maupun kaum. 13


10

H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu. 2004. Pegangan Penghulu. Bundo Kanduang, dan Pidato
Alua Pasambahan Adat di Minangkabau. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. hal. 69.
11
H. Suardi Mahyuddin.SH. 2009. Dinamika Sistem Hukum Adat Minangkabau dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung. Jakarta. PT. Candi Cipta Paramuda.hal.60.
12
Prof. Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Penerbit
Djambatan. Hal 248.
13
Prof. Mr. M. Nasroen. 1965. Dasar Falsafah Alam Minangkabau. Jakarta. Percetakan Negara.
hal 12.

6

Universitas Sumatera Utara

Untuk menggambarkan domain kekuasaan perempuan Minang sejatinya

adalah Rumah Gadang, yang merupakan rumah keluarga besar dari garis ibu.Di
wilayah ini, perempuan ditahbiskan pertama-tama sebagai penguasa/pemilik harta
pusaka keluarga.Jika dielaborasi, ungkapan di atas sekaligus mencerminkan
lapangan

pengabdian,

perempuan.Perempuan

sanjungan
sebagai

sekaligus

limpapeh

harapan

mengandung

terhadap

makna

yang

prinsipil.Secara harfiah, limpapeh artinya tiang tengah yang menjadi penyangga
bagi tiang-tiang lainnya dalam sebuah bangunan.Apabila tiang tengah ini ambruk,
maka tiang-tiang lainnya ikut jatuh berantakan. 14
Dalam konteks keluarga, terlihat betapa sentralnya posisi dan peran ibu
atau disebut juga bundo kanduang sebagai pembimbing dan pendidik bagi anakanaknya serta anggota keluarga lainnya.Bundo kanduang bahkan memiliki
tanggung

jawab

yang

besar.Ungkapan

umbun

puruak

pagangankunci

mengandung makna bahwa bundokanduang adalah sosok wanita bijaksana,
telaten dalam rumah tangga, pandai merawat penampilan diri, serta patuh pada
suami.
Pusek jalo kumpulan tali, berarti bahwa perempuan sebagai pengatur
kehidupan rumah tangga.Baik jeleknya anggota keluarga ditentukan oleh ibu atau
perempuan.Ia tempat suri teladan, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga
masyarakat. Karena itu, ibu juga dituntut memiliki ilmu pengetahuan, terutama

14

Sutan Mahmoed IA. BA.2004. Nagari Limo Kaum Pusat Bodi Caniago Minangkabau.Yayasan
Mesjid Raya Limo Kaum.hal 51.

7

Universitas Sumatera Utara

ilmu pengetahuan agama, sebagai bekal kehidupan anak-anak. Ilmu itu didapatkan
dengan cara belajar dan menuntut ilmu.
Bundo kanduang sebagai sumarak dalam nagari memperlihatkan
sanjungan tinggikepada perempuan/ibu sebagai orangyang pandai bergaul,
memelihara diri dan keluarga, tolong menolong dengan sesama tetangga, serta
menjaga adat sopan santun.Dalam ketentuan adat, seorang bundo kanduang
haruslah memiliki sifat sifat kepemimpinan serta ibu sebagai perantara keturunan
dan menentukan watak manusia (anak-anak) yang dilahirkannya. 15
Tuntutan karakter perempuan Minang tampaknya sama dengan tuntutan
karakter para pemimpin adat (penghulu) pada umumnya, diantaranya bersifat
benar, bersifat jujur,dipercaya lahir dan batin, cerdik dan punya ilmu pengetahuan,
pandai berbicara dan mempunyai sifat malu. Tampak di sini, bahwa karakter yang
hendak dilekatkan pada perempuan.Jika dielaborasi, sifat-sifat kepemimpinan
perempuan yang ditentukan dalam adat Minang tak berbeda dengan sifat-sifat
kepemimpinan pada umumnya.Sekilas ungkapan “ibu” menunjukkan suatu wujud
emansipasi ketentuan adat terhadap kaum perempuan.Sifat cerdik, misalnya
ternyata tidak hanya menyangkut kemampan menggunakan akal sehat (rasio),
membedakan baik dan buruk, manfaat dan mudharat, tetapi juga keharusan
memiliki ilmu pengetahuan, supaya perempuan bisa pula di keluarga dan
kaumnya. 16

15

Ibid. hal. 52-53.
DR. S. Budhisantoso. 1998. Kedudukan Dan Peranan Wanita: Dalam Kebudayaan Suku Bangsa
Minangkabau. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. hal 93.
16

8

Universitas Sumatera Utara

Pandai

berbicara

juga

mencerminkan

tuntutan

keterampilan

berargumentasi untuk melindungi keluarga dan kaumnya. Budayawan AA Navis
mengatakan,

sistem

matrilineal

menjadi

lahan

subur

berkembangnya

kulturdemokratis justru dalam masyarakat tradisional Minang. Sebab matrilineal
adalah sistem dari budaya egaliter (egalite) yang memungkinkan berlangsungnya
kesetaraan gender.Secara harfiah, egaliter itu sendiri berarti persamaan, kesamaan,
kebersamaan antara sesama manusia.Menurutnya, matrilineal merupakan sistem
untuk memantapkan kedudukan perempuan agar sederajat dengan laki-laki secara
hukum, sosial dan kebudayaan.
Asumsi yang mendasarinya adalah agar semua kepentingan golongan
masyarakat dapat terwakili dalam perumusan kebijakan di nagari.Dari unsur
tersebut terlihat bahwa pengembangan sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera
Barat menjamin peran serta perempuan dalam kehidupan politik di nagari. Secara
yuridis formal perempuan dalam masyarakat nagari memiliki jaminan akan peran
yang sama dalam pembuatan kebijakan. Landasan yuridis ini menjadi peluang
yang cukup besar bagi bundo kanduang di nagari untuk terlibat dalam kehidupan
politik di nagari.BAMUS sebagai lembaga penyalur aspirasi dapat dibaca sebagai
salah satu pintu bagi peran bundo kanduang untuk dapat menyuarakan aspirasi
dan kepentingannya sekaligus menjadi aktor dalam penentuan kebijakan dan
politik nagari.
Nagari Pauah merupakan salah satu nagari yang ada di Provinsi Sumatera
Barat, Kabupaten Pasaman tepatnya di Kecamatan Lubuk Sikaping. Nagari Pauah

9

Universitas Sumatera Utara

merupakan daerah yang penduduk perempuannya hampir sama dengan kaum lakilaki yaitu perempuan 3.761 orang dan laki-laki 3.765, 17 dalam hal ini tentu
membuka peluang terhadap penyampaian aspirasi dalam kepentingan sekaligus
dalam penentuan kebijakan. Di Nagari Pauah peran perempuan di lembaga bundo
kanduang secara garis besar dapat terlihat dengan lahirnya Peraturan Nagari
No.12 Tahun 2015 tentang bantuan pinjam kredit khusus ibu rumah
tangga, 18dalam rangka peningkatan ekonomi keluarga atau penunjang di BAMUS
Nagari Pauah. Lahirnya kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari keberadaan
dan peran perempuan di ranah politik atau pembuat kebijakan.
Fenomena lahirnya kebijakan yang dikeluarkan terkait kepentingan
perempuan di Nagari Pauah sebagai bentuk nyata dari partisipasi perempuan
dalam pembuatan kebijakan menjadi kontradiksi yang berbanding terbalik bila
dilihat dengan kondisi perpolitik di Indonesia secara garis besar.
Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana pengaruh perempuan minangkabau dalam pembuatan kebijakan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan objek penelitian pada lembaga
bundo kanduang di Badan Musyawarah (BAMUS) Nagari Pauah dan masyarakat
Nagari Pauah terkhusus perempuan karena di nagari tersebut lahir sebuah
kebijakan yang berhubungan langsung dengan kepentingan perempuan.

17

Nagari Pauah Dalam Angka Tahun 2014.
Peraturan Nagari No.12 Tahun 2015.

18

10

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dan dicarikan jalan
pemecahannya dan perumusan masalah merupakan konteks dari penelitian dimana
memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan. Berdasarkan pemaparan
pada bagian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana budaya minangkabau dalam menentukan pengaruh perempuan
dalam pembuatan kebijakan?
2. Bagaimana

pengaruh

perempuan

minangkabau

dalam

pembuatan

kebijakan di Nagari Pauah?

C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam
batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk
mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian
tersebut.Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan
tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah.
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh budaya minangkabau dalam menentukan pengaruh
perempuan dalam pembuatan Peraturan Nagari (Pernag) dalam (Badan
Musyawarah) BAMUS di Nagari Pauah?

11

Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimana pengaruh perempuan minangkabau dalam dalam pembuatan
peraturan nagari (Pernag) di Nagari Pauah?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menarasikan bagaimana pengaruh budaya minangkabau dalam
menentukan pengaruh perempuan dalam pembuatan Peraturan Nagari
(Pernag) di Nagari Pauah.
2. Untuk menganalisis pengaruh perempuan minangkabau dalam
pembuatan peraturan nagari (Pernag) di Nagari Pauah.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara

Teoritis,

Penelitian

ini

diharapkan

mampu

memberikan

pemahaman yang jelas tentang pengaruh perempuan minangkabau dalam
pembuatan kebijakan serta teori kebijakan publik, pasrtisipasi politik
terkait dengan perempuan minangkabau dalam pembuatan kebijakan.
2. Secara Akademis atau Lembaga, Penelitian ini diharapkan berguna
kedepannya sebagai bahan literatur dalam kajian ilmu politik, khususnya
pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara. Adapun kajian tersebut berhubungan dengan
pengaruh perempuan minangkabau dalam pembuatan kebijakan.

12

Universitas Sumatera Utara

3. Bagi Masyarakat, Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan tentang pengaruh perempuan minangkabau dalam pembuatan
kebijakan di Kabupaten Pasaman, Kecamatan Lubuk Sikaping, khususnya
di Nagari Pauah.

F. Kerangka Teori
Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang
kokoh, dan bukan sekadar perbuatan yang sifatnya hanya coba-coba (trial and
error).Adanya landasan teoritis merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data,
teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan
untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi.
Berdasarkan rumusan di atas, maka dalam bagian ini penulis akan
mengemukakan teori, pendapat, serta gagasan yang akan menjadi titik tolak
landasan berfikir dalam penelitian ini, yaitu:

F.1. Kebijakan Publik
Carl J Federick mendefenisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan
atau kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut
dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide
kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan
bagian yang terpenting dari defenisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan

13

Universitas Sumatera Utara

harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang
diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah. 19
Kemudian David Easton memberikan defenisi kebijakan publik sebagai
“the autorative allocationof values for the whole society”. Defenisi ini
menegaskan bahwa hanya pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang
secara syah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan dalam bentuk
pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk ke
dalam “authorities in a political system” yaitu para penguasa dalam sistem politik
yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung
jawab dalam suatu masalah tertentu dimana pada suatu titik mereka diminta untuk
mengambil keputusan di kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian
besar anggota masyarakat selama waktu tertentu. 20Kebijakan publik dapat berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintahan Provinsi,
Peraturan Pemerintahan Kota/Kabupaten, dan Keputusan Walikota/Bupati. 21
Kebijakan dapat pula dipandang sebagai sistem.Bila kebijakan dipandang
sebagai

sebuah

sistem,

maka

kebijakan

memiliki

elemen-elemen

pembentuknya.Menurut Thomas R. Dye terdapat tiga elemen kebijakan yang

19

Leo. Agustino. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. hal. 7.
Leo Agustino. Op.cit. hal. 19.
21
Subarsono, 2005.Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. hal 3.

20

14

Universitas Sumatera Utara

membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen kebijakan
tersebut sebagai kebijakan public atau policy environment. 22
Jika kebijakan dapat dipandang sebagai suatu sistem, maka kebijakan juga
dapat dipandang sebagai proses. Dilihat dari proses kebijakan, Nugroho
menyebutkan bahwa teori proses kebijakan paling klasik dikemukakan oleh David
Easton, menjelaskan bahwa proses kebijakan dapat dianalogikan dengan sistem
biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara makhluk
hidup dan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan
hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya
dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan model sistem
mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem
(politik). 23 Seperti di pelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri dari input,
throughput, dan output, seperti digambarkan sebagai berikut:

22

William Dunn.2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta:
Gajahmada University Press. hal 110.
23
R. Nugroho. 2008. Public Policy: Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan-Proses KebjakanPerumusan-Implementasi-Evaluasi. Revisi.Risk Management Dalam Kebijakan Publik. Kebijakan
Sebagai The FIthestate. Metode Kebijakan. Jakarta: PT. Alez Media Group. hal 383.

15

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.1 Proses Kebijakan Publik Menurut David Easton

Support

I
N
P
U
T

Demands

Decisions
A Political System

OR POLICIES

O
U
T
P
U
T

FEDDBACK
ENVIRONMENT

ENVIRONMENT

F.1.1. Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena
itu beberapa ahli politik yang manaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik
membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa
tahap.Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam
mengkaji kebijakan publik.Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi
tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda.Tahap-tahap kebijakan publik
menurut William Dunn adalah sebagai berikut. 24
a. Tahap Penyusunan Agenda (agenda setting)
Agenda kebijakan didefenisikan sebagai tuntutan agar para pembuat
kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk melakukan tindakan tertentu. Cob
dan Elder mendefenisikan agenda kebijakan sebagai “ a set of political

24

William Dunn. Op.cit., hal 24-25

16

Universitas Sumatera Utara

controversies that will be viewed as falling whitin range of legitimate concerns
meriting attention by a decision making body” artinya serangkaian kontroversi
politik yang dibahas dalam serangkaian perhatian legitimasi mengambil perhatian
badan pembuat kebijakan.. Sementara itu, proses agenda kebijakan berlangsung
ketika pejabat publik belajar mengenai masalah-masalah baru, memutuskan untuk
memberi perhatian secara personal dan mobilisasi organisasi yang mereka miliki
untuk merespon masalah tersebut. Agenda setting, yakni suatu proses agar suatu
masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah. 25 Suatu kebijakan dapat
berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut ini:
1. Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat.
2. Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik
yang pernah dilakukan.
3. Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau
politik yang ada.
4. Terjadinya kegagalan pasar (market failure).
5. Terjadinya teknologi dan dana untuk menyelesaikan masalah
politik.
b. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan.Masalah-masalah tadi didefenisikan untuk kemudian
25

Charles Lindblom. 1986. Proses Penetapan Kebijakan Publik Edisi Kedua. Jakarta: Airlangga.
hal 3.

17

Universitas Sumatera Utara

dicari pemecahan masalah terbaik.Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang
ada.Dalam perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat
dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap
ini masing-masing aktor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik. 26
c. Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur
lembaga atau putusan peradilan.Pada tahap adopsi kebijakan atau policy adaption
yang merupakan tahap yang dikemukakan Anderson, dkk, seharusnya dilakukan
analisis rekomendasi kebijakan. 27Rekomendasi kebijakan merupakan hasil dari
analisis berbagai alternatif kebijakan setelah alternatif-alternatif tersebut
diestimasikan melalui peramalan. 28 Pada tahap ini pengambil keputusan akan
mempertimbangkan berbagai alternatif kebijakan, bagaimana dampak (untung
rugi) sebuah alternatif kebijakan dan bagaimana cara menerapkan alternatif
tersebut. Dalam penyusunan kebijakan, pemerintah atau pembuat kebijakan
senantiasa dihadapkan pada beberapa faktor yang seringkali menganggu atau

26

Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: MedPress (Anggota
IKAPI). hal 32.
27
Ibid. hal 33.
28
William Dunn. Op.cit., hal 27.

18

Universitas Sumatera Utara

berpengaruh. 29 Felix A. Nigro dan Liyod G Nigro, mengidentifikasikan faktorfaktor pengaruh tersebut adalah :
1. Faktor tekanan-tekanan dari luar.
2. Faktor kebiasaan lama (konservatisme).
3. Faktor sifat-sifat pribadi pengambil kebijakan.
4. Faktor kelompok luar.
5. Faktor keadaan masa lalu.
Pengambilan kebijakan acapkali mendapat tekanan-tekanan dari luar, baik
dalam bentuk tekanan dari kelompok kepentingan, partai politik maupun dari
masyarakat.Tekanan-tekanan demikian, biasanya datang secara tiba-tiba dan
cukup berpengaruh.Hal ini pernah dan bahkan sering terjadi di Indonesia terutama
di era reformasi.Dimana para pengambil kebijakan di gedung DPR/MPR
mendapat tekanan dari masyarakat melalui gerakan demonstrasi.Disamping itu
kebiasaan lama sering kali juga menjadi referensi para pengambil kebijakan
manakala mereka sampai pada tahap kejenuhan dan kemandegan yang cenderung
sulit dicari jalan keluarnya. 30
d. Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika
program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan
administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang
telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan
29
30

Charles Lindblom. Op.cit., hal 4.
Ibid. hal 5.

19

Universitas Sumatera Utara

sumber daya financial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai
kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat
dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin
akan ditentang oleh para pelaksana. 31
e. Tahap Evaluasi Kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau
dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih
dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar
untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai
dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum. 32

F.1.2. Teori Pengambilan Keputusan
Keputusan menurut Atmosudirdjo adalah pengakhiran daripada proses
pemikiran tentang apa yang dianggap sebagai masalah, sebagai suatu yang
merupakan penyimpangan daripada yang dikehendaki, direncanakan atau dituju,
dengan menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif pemecahannya.
Pengambilan keputusan dalam kebijakan pemerintah tidak harusnya benar, tetapi
juga harus baik artinya bermanfaat bagi rakyat dan negara. 33Pengambilan
keputusan (decisionmaking) dalam pengambilan keputusan kebijakan (policy
making) merupakan kegiatan yang sangat penting, merupakan kegiatan yang
31

Budi Winarno. Op cit., hal 34.
Ibid. hal 35.
33
H. Soenarko. 2003. Public Policy. Surabaya: Airlangga University. hal 29.
32

20

Universitas Sumatera Utara

sangat strategis, yaitu banyak menentu arah, sifat dan dampak (effect) daripada
public

policy

itu.Di

dalam

pengambilan

kebijakan,

kita

harus

selalu

memperkirakan di perolehnya hasil-hasil yang bersikap fisik (physical
proposition) dan memperhatikan nilai-nilai dan kepentingan (value & interest)
yang terpancar dari ide pengambilan kebijakan yang merupakan “ethical
proposition”. Dalam hal ini, lingkungan dan hubungan hubungan yang terjalin
akan membatasi dan menentukan pengambilan keputusan dalam pemilihan bentuk
kebijakan itu.
Sikap, tingkah laku tidak hanya akan menjadi contoh teladan bagi
masyarakat yang banyak, akan tetapi juga akan menjadi perhatian dan penelitian
dari masyarakat yang bersangkutan. Pengambilan keputusan yang baik haruslah
selalu bersifat rasional, kondisional dan situasional. Adapun gambaran proses
pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: 34
1. Rasional,

artinya

pengambilan

keputusan

tersebut

benar-benar

menggunakan data-data dan informasi-informasi yang selengkapnya. Data
diolah dengan seksama untuk menjadi informasi yang penting, sedangkan
informasi dikumpulkan selengkap mungkin dari ilmu-ilmu pengetahuan
dan

pengalaman-pengalaman,

baik

pengalaman

sendiri

maupun

pengalaman orang lain.

34

Tirfan Islamy. 2001. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
hal 24.

21

Universitas Sumatera Utara

2. Institusional, berarti pengambilan keputusan harus senantiasa dengan
mengingat tujuan organisasi serta memperhatikan pula hak-hak dan
kewenanganya.
3. Kondisional, maksudnya harus selalu diingat bahwa suatu kejadian,
masalah, peristiwa itu tidak akan lepas dari lingkungannya, baik
lingkungan alam (natural environtmen), lingkungan fisik (physical
environment), maupun lingkungan social (social environment).
4. Situasional, yang berarti bahwa keputusan yang diambil itu haruslah sesuai
dan dapat terselenggara dalam situasi yang hidup pada waktu itu. Suatu
keputusan yang benar, namun tidak dapat dilaksanakan, maka tentulah
tidak ada manfaatnya, keputusan yang demikian tentulah keputusan yang
tidak baik.

F.2. Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk
ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin
negara dan secara langsung atau tak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan
suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan
(contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen,
menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan

22

Universitas Sumatera Utara

sebagainya.

35

Keith Fauls memberikan batasan pastisipasi politik sebagai

keterlibatan secara aktif (the active angagement) dari individu atau kelompok ke
dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses
pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintahan. 36

F.2.1. Bentuk- Bentuk Partisipasi Politik
Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan
sebagai berikut:


Partisipasi aktif, yaitu partisipasi politik yang dapat dikatakan aktif
apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan politiknya tinggi. Tanda
paling khas adalah pelaksaan pemilu yang lancar.



Partisipasi Pasif, yaitu partisipasi politik yang cenderung pasif jika
kesadaran politik rendah, tetapi kepercayaan politik tinggi. Pola ini
terjadi dalam stabilitas politik yang tinggi. Masyarakat percaya
dengan

sistem

yang

ada sehingga tidak

terlalu

antusias

mengadakan perubahan politik yang lebih baik.


Partisipasi Militan-Radikal, yaitu partisipasi yang cenderung
militant-radikal apabila kesadaran politik tinggi, tetapi kepercayaan
politik rendah.

35
36

Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. hal 367.
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 180.

23

Universitas Sumatera Utara



Partisipasi Apatis, yaitu partisipasi politik yang terlihat apatis jika
tingkat kesadaran dan kepercayaan politik rendah . 37

Michael Rush dan Philip Althoff mengidentifikasi bentuk-bentuk
partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi
politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau
administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik
adalah orang yang apatis secara total yaitu orang yang tidak melakukan aktifitas
politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka
semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan
oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik, dimana garis vertikal segitiga menunjukan
hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukan kuantitas dari keterlibatan
orang-orang. 38
Bentuk dan Hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep
Rush dan Althoff, secara berturut-turut adalah:

37
38

Sudjino Sastroadmojo. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. hal. 67.
Ibid. hal. 185.

24

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.2
Bentuk dan Hierarki Partisipasi Politik Rush dan Althoff
Menduduki jabatan politik atau administrasi
Mencari jabatan politik atau administrasi
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggoataan aktif suatu organisasi semu politk
(quasi political)
Keanggoataan pasif suatu organisasi semu politik
(quasi political)
Partisipasi dalam rapat umum
Ikut serta dalam diskusi politik informal minat umum
dalam politik
Voting (pemberian suara)
Apati total

Samuel P. Hungtington dan Juan M.Nelson juga menemukan bentukbentuk partisipasi politik yang berbeda.Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik
meliputi.


Kegiatan Pemilihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk
kampanye, bekerja dalam pemilihan, mencari dukungan bagi seorang
calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses
pemilihan.



Lobbying,

mencakup

upaya

perorangan

atau

kelompok

untuk

menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.

25

Universitas Sumatera Utara



Kegiatan organisasi yang menyangkut partisipasi sebagai anggota atau
pejabat

dalam

suatu

organisasi

yang

tujuannya

utama

adalah

mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.


Mencari koneksi, merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap
pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh
manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.



Tindakan kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap
orang-orang atau harta benda. 39
Gabriel A. Almond juga membedakan partisipasi atas dua bentuk yaitu:



Partisipasi politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang
“normal” dalam demokrasi modern.



Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik
yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa
kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner. 40
Adapun rincian dari padangan Almond tentang dua bentuk partisipasi

dapat dilihat pada Gambar berikut:

39

Samuel P. Huntington & Joan Nelson.1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta:
Rineka Cipta. Hal 17-18.
40
Damsar. 2010. Op.cit., hal 183-189.

26

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1.3 Bentuk Partisipasi Politik Menurut Gabriel A. Almond
Konvensional

Tradisional



Pemungutan suara



Pengajuan Petisi



Diskusi Politik



Demonstrasi



Kegiatan Kampanye



Konfrontasi



Membentuk



Mogok



Tindak

kekrasan

Komunikasi individual dengan

terhadap

benda

pejabat politik dan administrasi

Pembakaran)

dan

bergabung

dengan kelompok kepentingan




politik
(Perusakan

Tindak

kekerasan

politik

terhadap

manusia(Penculikan,

Pembunuhan)


Perang Gerilya dan Revolusi

F.2.2. Alasan Partisipasi Politik
Menurut Max weber terdapat empat alasan mengapa masyarakat ikut
berpartisipasi politik yaitu:


Alasan Rasional Nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan
secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.



Alasan Emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian
atau sukacita terhadap suatu ide, organisasi, partai atau individu.

27

Universitas Sumatera Utara



Alasan traditional, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan norma
tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Pada
kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum laki-laki yang
hanya dibolehkan aktif di ranah publik, sedangkan perempuan diharapkan
lebih mendominasi ranah domestik, sehingga mempengaruhi pola
partisipasi politik mereka.



Alasan Rasional Instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi
untung rugi secara ekonomi. 41

F.2.3. Partisipasi Politik Perempuan
Kaum perempuan, sebagai warga negara memiliki hak-hak politik yang
memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tempat dimana
mereka

dapat

mempertahankan

dan

mengembangkan

kepentingan-

kepentingannya.Namun ideologi yang mapan yang berkembang menyebabkan
perempuan dieksklufsikan dari dunia politik.Pamela Paxton dan Sheri Kunovich
dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa ideologi patriarkis ini bahkan
lebih kuat pengaruhnya terhadap keterwakilan politik ketimbang sistem politiknya
sendiri.42
Tuntutan perempuan untuk perwakilan yang proporsional, yaitu tuntutan
agar perempuan seharusnya berada dalam pembuatan keputusan sebanding
dengan keanggotaan mereka dalam penduduk, sering kali dihadapkan dengan

41

Ibid. hal 193-198.
Joni Lovenduski.2008. Politik Berparas Perempuan. Yogyakarta; Penerbit Kanisius.hal. 38.

42

28

Universitas Sumatera Utara

pernyataan bahwa perempuan telah diwakili secara memadai oleh laki-laki
sebagai kepala keluarga dan pengertian bahwa perempuan memiliki kepentingankepentingan

berbeda

dari

keluarga

mereka

umumnya

tidak

dipertimbangkan.Keinginan ini sering pula dibenturkan dengan kenyataan bahwa
perempuan itu sendiri terdiri dari bermacam-macam perbedaan.Namun, mereka
seolah lupa bahwa ada kepentingan yang semua perempuan dari kelas manapun
pasti merasakannya, yaitu seperti persoalan-persoalan terkait dengan fungsi
reproduksi

dan

adanya

hukum

yang

membakukan

peran

gender

perempuan.Hukum sebagai suatu norma umum tentunya berlaku bagi perempuan
manapun tanpa terkecuali.
United Nation-Center for Social Development dan Humanitarians Affairs
menjelaskan lima pendapat mendasar mengenai perlunya partisipasi politik yang
juga dijadikan sebagai dasar tuntutan penambahan keterwakilan perempuan dalam
lembaga-lembaga politik, yaitu: 43
1. Demokrasi dan egaliterisme
Sedikitnya separuh dari penduduk adalah perempuan dan harus diwakili
secara proporsional. Pengakuan akan hak-hak wanita menjadi warga negara
yang sepenuhnya harus tercermin dalam partisipasi efektif mereka pada
tingkat-tingkat kehidupan politik yang bebeda-beda. Tidak ada demokrasi
yang sesungguhnya kalau perempuan dikeluarkan dari kedudukan politik.

43

Catherine Natalia.2005. Peranan Partai Politik dan Sitem Pemilihan Umum dalam Meningkatkan
keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Bakti 20042009. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, hal. 18

29

Universitas Sumatera Utara

2. Legitimasi
Rendahnya keterwakilan perempuan membahayakan legitimasi sistem
demokrasi

karena

menjauhkan

para

wakil

terpilih

dari

pemilih

perempuannya. Hasil keputusan politik tidak sama untuk laki-laki dan
perempuan sehingga dapat menimbulkan keraguan publik terhadap sistem
perwakilan. Akibatnya, mungkin terjadi kaum perempuan menolak undangundang atau kebijakan yang telah dirumuskan tanpa partisipasi mereka
seperti pada Declaration of Sentiment yang dibuat di Seneca Falls 1848, yang
menyatakan bahwa konstitusi AS tidak sah karena mereka tidak
diikutsertakan dalam pembentukannya.
3. Perbedaan kepentingan
Perempuan dikondisikan memiliki peranan sosial, fungsi,dan nilai-nilai
yang

berbeda.

Oleh

karena

itu,

perempuan

memiliki

kebutuhan

sendiri.Komposisi yang berlaku sekarang membuat mereka tidak sanggup
untuk menyuarakan dan membela kepentingan mereka.
4. Perubahan politik
Terdapat beberapa petunjuk bahwa politisi perempuan jika jumlahnya
cukup dapat mengubah pusat perhatian politik. Keberadaan perempuan di
dunia politik menyebabkan meluasnya ruang lingkup politik. masalahmasalah seperti pemeliharaan anak, gender, dan perencanaan keluarga
yang semula dianggap lingkup pribadi sekarang dapat dianggap sebagai
masalah politik.

30

Universitas Sumatera Utara

5. Penggunaan sumber daya manusia yang lebih efisien
Pentingnya peran biologis dasar dan sosial perempuan sudah jelas,
meskipun masukan mereka kadangkala tidak diakui, mereka adalah
menyumbang ekonomi nasional yang besar baik melalui tenaga yang
dibayar maupun yang tidak dibayar.Mengecualikan perempuan dari jabatanjabatan kekuasaan dan lembaga-lembagaperwakilan memperburuk kehidupan
publik dan membatasi perkembangan suatu masyarakat yang adil.Tanpa
perwakilan sepenuhnya dari perempuan dalam pengambilan keputusan,
proses politik menjadi kurang efektif.
Di samping itu, sebuah penelitian yang dilakukan Edward A. Koning juga
menunjukkan bahwa dengan tingginya keterwakilan perempuan, maka perempuan
lain di luar itu pun akan merasa sebagai bagian dari parlemen. Dengan demikian,
internalisasi nilai patriarki pada perempuan akan berkurang, dan mereka semakin
menyadari bahwa politik bukan hanya urusan laki-laki, tetapi juga perempuan. 44Hal
penting lain yang perlu untuk diperhatikan adalah dengan terbukanya sistem
politik terhadap perempuan sama artinya dengan menaikkan peluang untuk
mendapatkan politisi yang potensial menjadi dua kali lipat. Oleh karena itu, hal ini
juga dapat meningkatkan kualitas dari parlemen itu sendiri.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa tuntutan perwakilan deskriptif
akan mengarah pada suatu perwakilan substantif, dimana kehadiran perempuan
dalam lembaga pembentuk kebijakan bukan hanya sebagai simbol dari salah satu

44

Ibid.hal 21.

31

Universitas Sumatera Utara

jenis kelamin, tetapi lebih dari itu keberadaan mereka adalah penting untuk
mengubah budaya dan prioritas-prioritasnya dan terutama untuk meningkatkan
cakupan perhatiannya. 45

G. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan sementara atau tentatif
answer yang hendak dibuktikan kebenarannya melalui suatu penelitian. Adapun
hipotesis dalam penelitian ini adalah :


Adanya pengaruh perempuan minangkabau dalam pembuatan kebijakan.

Maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini untuk membuktikan yaitu:
Hipotesis Nol (Ho) : Pernyataan yang menyatakan tidak ada hubungan pengaruh
perempuan minangkabau (Variabel x) dalam pembuatan kebijakan (Variabel y)
yang akan diteliti, atau variabel independen tidak mempengaruhi variabel
dependen.
Hipotesis alternative (Ha) : Pernyataan yang menyatakan terdapat pengaruh
perempuan minangkabau (Variabel x) dalam pembuatan kebijakan (variabel y)
atau variabel independen mempengaruhi variabel dependen.

H. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian campuran (mixed methods). Penelitian merupakan suatu langkah
penelitian dengan menggabungkan dua bentuk penelitian yaitu penelitian

45

Joni Lovenduski, Op.cit., hal. 42

32

Universitas Sumatera Utara

kualitatif dan penelitian kuantitatif. Menurut pendapat Sugiyono bahwa, 46 bahwa
mixed methods adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau
menggabungkan antara metode kualitatif dengan metode penelitian kuantitatif
untuk digunakan secara bersama-sama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga
diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable, dan objektif.
Menurut Creswel 47, terdapat 3 strategi dalam mixed methods, yaitu:
1. Sequential mixed methods.
2. Concurent mixed methods.
3. Transformation mixed methods.
Penelitian ini menggunakan sequential mixed methods (metode campuran
bertahap), yang mana metode ini merupakan strategi bagi peneliti untuk
menggabungkan data yang ditemukan dari satu metode dengan metode
lainnya.Strategi

ini

dilakukan

dengan

interview

terlebih

dahulu

untuk

mendapatkan data-data kualitatif, lalu diikuti dengan data kuantitatif dalam hal ini
menggunakan survey. Strategi ini menjadi tiga bagian yaitu:


Strategi eksplonatoris sekuensial, tahap pertama dalam strategi ini adalah
mengumpulkan

dan

menganalisis

data

kualitatif

yang

dibangun

berdasarkan hasil awal kuantitatif. Bobot atau prioritas ini diberikan
kepada data kuantitatif.

46

Dikutip dari buku Prof. Dr. Sugiyono.2011.Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods).
Bandung: Alfabeta. Hal 404 oleh Titin Ariska Sirnayanti dalam skripsi. 2013. Membangun
Karakter Bangsa Melalui Pembelajaran Sejarah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Bab
3 Metodologi Penelitian. Hal 49
47
Ibid. hal 50.

33

Universitas Sumatera Utara



Strategi eksploratoris sekuensial, merupakan kebalikan dari strategi
eksplonatoris sekuensial, pada tahap pertama peneliti mengumpulkan dan
menganalisis data kuantitatif yang didasarkan pada hasil tahap pertama.
Bobot utama dalam strategi ini adalah pada data kualitatif.



Strategi transformative sekuensial, dimana pada strategi ini peneliti
menggunakan perspektif teori untuk membentuk prosedur-prosedur
tertentu dalam penelitian. Dalam model ini, peneliti boleh memilih untuk
menggunakan salah satu dari dua metode dalam tahap pertama, dan bobot
nya diberikan pada salah satu dari keduanya atau dibagikan secara merata
pada masing-masing tahap penelitian.
Dalam penelitian ini, yang dipakai adalah metode eksploratoris sekuensial.

H.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ilmu sosial rancangan penelitian umumnya terbagi atas
tiga bentuk, yaitu bentuk penelitian eksploratif, penelitian deskriptif dan penelitian
eksplanatory. 48Penelitian eksploratif adalah jenis penelitian yang berusaha
mencari ide-ide atau hubungan-hubungan yang baru.Sedengkan penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menguraikan sifat-sifat atau
karakteristik dari suatu fenomena tertentu.Terakhir, penelitian eksplanatory
merupakan penelitian yang bertujuan menganalisis hubungan-hubungan antara
satu variabel dengan variabel yang lainnya atau bagaimana suatu variabel

48

Drs. Yulius Slamet. M.Sc. 2006.Metode Penelitian Sosial. Surakarta: Sebelas Maret University
Press. hal 43.

34

Universitas Sumatera Utara

mempengaruhi

variabel

lainnya.Melihat

pengertian

diatas,

maka

dapat

disimpulkan bahwa penelitian ini berjenis penelitian deskriptif.Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini ingin melihat dan mencari bagaimana pengaruh
perempuan minangkabau dalam pembuatan kebijakan.

H.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kantor Wali Nagari Pauah
dan di Nagari Pauah yang terdiri dari 3 jorong.Kenagarian Pauah ini berada di
Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat.

H.3. Populasi dan Sampel
Populasi

adalah

keseluruhan

objek

penelitian

yang

mempunyai

karakteristik tertentu dalam suatu penelitian atau keseluruhan gejala/satuan yang
ingin diteliti.Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh penduduk perempuan di
Nagari Pauah yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP).Berdasarkan data
tersebut dari Kantor Wali Nagari Pauah tahun 2015, maka jumlah perempuan di
Nagari Pauah berjumlah 3.761 jiwa yang tersebar dalam 3 Jorong.

Tabel 1.4 Persebaran Penduduk di Nagari Pauah
No.

Jorong

Jumlah Penduduk
Laki-Laki
Perempuan
1.
Jorong Pauah
1.423
1.553
2.
Jorong Tanjung Alai
1.529
1.335
3.
Jorong Taluak Ambun
813
873
Jumlah
3.765
3.761
Sumber : Data kependudukan dari Kantor Wali Nagari pauah

35

Universitas Sumatera Utara

H.4. Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian terkecil dari populasi yang menjadi contoh
ataupun yang dapat mewakili keseluruhan populasi, Oleh karena itu, sampel harus
dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan metode penarikan sampel
stratified random sampling atau metode acak terlapis, untuk menentukan jumlah
responden pada 3 Jorong yang tersebar