Upaya Penanganan Terorisme Dalam Kerjasama ASEAN Convention On Counter Terrorism Oleh Pemerintah Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dari awal pembentukannya sampai sekarang, ASEAN telah berusia 49
tahun. Hampir lima dekade kemunculannya, ASEAN telah mengalami banyak
perubahan dan perkembangan yang positif dan signifikan yang mengarah kepada
pendewasan ASEAN. Tidak ada yang menyangkal bahwa kerjasama ASEAN
selama ini masih banyak berkutat pada masalah bilateral yang beragam diantara
negara tetangga di kawasan ini.
Kerjasama ASEAN kini menuju tahapan baru yang lebih integratif dan
berwawasan futuristik melalui dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN
Community) pada tahun 2015 lalu, hal ini diperkuat dengan telah disahkannya
Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang secara khusus akan menjadi landasan
hukum dan landasan jati diri ASEAN.
Komitmen untuk mewujudkan komunitas ASEAN yang awalnya
ditetapkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015 melalui penandatanganan
“Cebu Declaration on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN
Community by 2015” pada KTT ke 12 ASEAN di Cebu Filipina pada Januari
2007. Tujuan dari pembentukan Komunitas ASEAN adalah untuk lebih
mempererat integrasi ASEAN dalam menghadapi


perkembangan konstalasi

politik internasional. ASEAN menyadari sepenuhnya bahwa ASEAN perlu

1
Universitas Sumatera Utara

menyesuaikan cara pandangnya agar dapat lebih terbuka dalam menghadapi
permasalahan-permasalahan internal dan eksternal. 1
Negara-negara ASEAN menyadari perlunya meningkatkan konsolidasi,
kohesivitas dan efektivitas kerjasama. Dimana kerjasama-kerjasama dalam
ASEAN tidak lagi hanya berfokus pada kerjasama-kerjasama ekonomi namiun
harus juga didukung oleh kerjasama lainnya di bidang keamanan dan social
budaya.
Agar tercipta keseimbangan tersebut, pembentukan ASEAN didasari
dengan tiga pilar, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security
Community), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), dan
Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community).
Keseimbangan baru ini diperlukan mengingat banyak masalah bilateral yang terus

membayangi dank arena sensitivitasnya perlu didrorong oleh rasa keterbukaan
agar urusan tidak menjadi timbunan beban bersama.
Dalam perjalanannya, ada tiga macam konflik yang sering memengaruhi
ASEAN, yakni : 1) perselisihan territorial, 2) perselisihan yang mengancam
stabilitas keamanan. 3) perselisihan yang muncul sehubungan dengan kebijakan
pengelolaan. 2 Namun belakangan permasalahan keamanan di kawasan Asia
Tenggara lebih berat dengan munculnya serangkaian aksi serangan teroris di
berbagai Negara anggota ASEAN. Berbeda dengan konflik yang sering terjadi
dimana saling melibatkan dua Negara atau lebih, isu terorisme muncul sebagai
musuh baru bersama yang dapat mengancam setiap Negara dan harus dapat

1

M. Rajendran, ASEAN Foreign Relations The Shift to Collective Action, Kuala Lumpur : Arena
Buku sdn.hbd, 1985, hal. 28
2
Asvi Warman Adam, dkk, Konflik Teritorial di Negara-Negara ASEAN, Jakarta : PPW-LIPI,
1992, hal. 1-2

2

Universitas Sumatera Utara

ditanggulangi bersama. Isu terorisme adalah isu yang mengancam Negara-negara
di Asia Tenggara.
Setiap Negara anggota ASEAN memiliki persepsi ancaman yang berbeda
mengenai isu terorisme. Persepsi ancaman terorisme di Vietnam lebih mengarah
pada terorisme maritime serta gerakan separatism di Thailand Selatan. Di
Malaysia, jaringan kelompok komunis pra 9/11 dan Jamaah Islamiyah pasca 9/11
dipandang sebgai teroris yang merongrong keamanan nasional Malaysia terlebih
dengan berlangsungnya peristiwa pembajakan pesawat Malaysia Airlines 653
pada tahun 1977 dan keterlibatan beberapa warga Negara Malaysia yang menjadi
pentolan aksi-aksi teror di Indonesia.
Tiga pemboman yang berlangsung di Myanmar (Ranggon,1983: Yangon,
2005 dan 2010) mempersepsikan pemerintahan Myanmar akan eksistensi teroris
di negaranya. Agen Korea Utara, United Liberations Front of Assam dan United
National Liberation Front disinyalir sebagai jaringan aktor-aktor teroris di
Myanmar. Berbeda dengan Negara Singapura, meski tergolong aman, pemerintah
Singapura tetap waspada dengan ancaman teroris. Terlebih pada 1965, Singapura
pernah mengalami pemboman di McdDonald dan pembajakan pesawat Singapore
Airlines pada 1991. Pasca tragedi 9/11 pemerintah Singapura aktif dalam

serangkaian

kerjasama

dalam

memberantas

terorisme,

khusunya

dalam

menghadapi gerakan jaringan Jamaah Islamiyah dan Moro Islamic Liberation
Front.
Begitu juga di Filipina, Filipina juga mengalami serangkaian serangan
teroris, seperti pemberontakan Moro National Liberation Front (2001),
pembunuhan wisatawan asing di Filipina Selatan (2001), serangan di Manila


3
Universitas Sumatera Utara

(2002), pengeboman pangkalan militer Filipina di Zamoanga (2002), pengeboman
Bandara di Davao City (2003) serta penembakan Kapal Ferry (2004). Aksi-aksi
teror ini disinyalir dilakukan oleh New People’s Army (NPA), Jamaah Islamiyah,
Moro National Liberations Front (2001), Moro Islamic Liberations Front (MILF)
dan Abu Sayyaf Group (ASG).
Di Kamboja, ancaman teroris bagi pemerintah Kamboja berasal dari sisasisa simpatisan Khmer Merah dan Cambodian Freedom Fighters (CFF). Jaringan
gerakan ini pernah melakukan pelemparan granat dan serangan terhadap instalasi
pemerintahan Kamboja di Amerika Serikat pada tahun 2000. Bagi Negara Brunei
Darussalam, meski tidak terjadi serangan-serangan teroris, namun Negara ini
sangat aktif melakukan kerjasama menyangkut isu terorisme. Sementara Negara
Laos dan Vietnam tergolong sebagai Negara yang aman dari isu terorisme. 3
Urgensi terciptanya keamanan regional mendapat porsi atensi yang lebih
oleh negara-negara ASEAN. Dalam merespon hal tersebut, Negara-negara
ASEAN berpegang teguh pada ASEAN Security Community (ASC). Kesepuluh
Negara anggota ASEAN telah menandatangani sebuah konvensi dengan judul
ASEAN Convention On Counter Terrorism (ACCT) pada tanggal 13 Januari 2007
di Cebu Filipina. Dengan adanya konvensi ini, Negara-negara anggota ASEAN

didorong untuk bekerja secara proaktif serta meningkatkan kerjasama dalam
rangka mencegah dan menangani terjadinya aksi-aksi terorisme khusunya di
kawasan Asia Tenggara.
Upaya penanganan aksi terorisme ini cukup penting, karena dalam satu
dekade terakhir sebagian besar kawasan Asia Tenggara diberi label oleh dunia
3

Yani. Yanyan M, dkk, Keharmonisan Kerjasama Kontra Terorisme Negara-Negara Anggota
ASEAN Dalam Kerangka ASEAN SECURITY COMMUNITY, 2012, Vol. 1-2

4
Universitas Sumatera Utara

internasional sebagai salah satu sarang teroris sehingga menjadi salah satu faktor
yang mendorong menurunnya iklim investasi di Asia Tenggara. Oleh karena itu
hasil nyata dari konvensi ini diharapkan menjadi sebuah jawaban kepada banyak
pihak yang telah berpikiran skeptic terhadapa Negara-negara anggota ASEAN.
Hasil nyata dari konvensi ini akan menunjukkan bahwa negara anggota ASEAN
mampu bekerjasama untuk mengatasi terorisme dan menjaga kestabilan kawasan.
Pada akhirnya diharapkan adanya peningkatan iklim investasi di wilayah ASEAN

khususnya di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
Isu terorisme merupakan sebuah isu yang cukup serius dewasa ini.
penanganan dan pencegahannya pun harus dilakukan secara maksimal agar ke
depan persoalan terorisme tidak lagi menjadi penghambat bagi kemajuan Negaranegara anggota ASEAN. Diberlakukannya kerjasama ASEAN Convention On
Counter Terrorism (ACCT) merupakan sebuah langkah preventif yang sangat baik
bagi Negara-negara di kawasan Asia Tenggra dalam menghadapi isu terorisme.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan atau merumuskan
permasalahan yang akan diteliti dalam penelitiaian, yakni : Bagaimana upaya
penagananan Terorisme dalam kerjasama ASEAN Convention On Counter
Terrorism oleh Pemerintah Indonesia ?

1.3 Batasan Masalah
Dalam upaya memfokuskan permasalahan dalam peneitian ini, akan lebih
baik jika dibuat pembatasan masalah. Penilitian ini hanya mengkaji upaya

5
Universitas Sumatera Utara


penanganan ASEAN Convention Counter On Terrorism dan tindak lanjut yang
diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.

1.4 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan penangananan terorisme dalam kerjasama ASEAN Convention
Counter Terrorism oleh pemerintah Indonesia. Selain itu juga untuk mengetahui
bagaimana upaya penangananan terorisme melalui kerja sama ACCT oleh
pemerintah Indonesia. Serta bagi mahasiswa departemen Ilmu Politik agar dapat
mengetahui bagaimana pentingnya kerjasama dalam lingkup global atau
internasional.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis, diharapkan nantinya hasil dari penelitian ini dapat
berkontributif terhadap kajian dari organisasi internasional.
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
referensi tambahan dalam mengembangkan kemampuan berfikir
dan menulis bagi mahasiswa khususnya mahasiswa Departemen
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bagi Penulis, penelitian ini bukan semata-mata hanya sebagai

pemenuhan tugas akhir dalam masa perkuliahan, tetapi penelitian
ini juga sebagai sarana bagi penulis untuk mengasah kemampuan

6
Universitas Sumatera Utara

dalam menulis dan menganalisis serta mengaplikasikan ilmu
politik yang telah dipelajari semasa kuliah.

1.6 Kerangka Teori
Dalam melakukan suatu penulisan karya ilmiah diperlukan adanya analisis
menggunakan teori. Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, kontruksi,
defenisi untuk menerangkan suatu fenomenal social secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antara konsep. 4 Dalam hal ini penulis akan menguraikan
teori dan konsep yang berkaitan dengan penelitian.

1.6.1 Terorisme
Secara etimologi, perkataan “teror” berasal dari bahasa latin “terrere”
yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dalam perkataan “to fright”, yang dalam
bahasa Indonesia berarti “menakutkan” atau “mengerikan”. 5 Rumusan terorisme

secara terminologis, sampai saat ini masih menjadi perdebatan meskipun sudah
ada ahli yang merumuskan dan dirumuskan di dalam perundang-undangan.
Kamus Webster’s New School and Office Dictionary oleh Noah Webster, A
Fawcett Crest Book, menyebutkan bahwa teror sebagai kata benda berarti :
Extreme afaer, ketakutan yang amat sangat One who excites extreme afaer, atau
seseorang yang gelisah dalam ketakutan yang amat sangat. The ability to cause
such afaer, kemampuan menimbulkan ketakutan. 6

4

Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Hal.37
5 Mardenis, Pemberantasan Terorisme. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011, hal.85
6 ibid

7
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan terorisme sebagai kata kerja adalah the use of violence,
intimidation, to gain and end; especially, a system of government rulling by teror;

penggunaan kekerasan, ancaman, dan sejenisnya untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan dan akhir/tujuan, teristimewa sebagai suatu system pemerintahan yang
ditegakkan dengan teror. Ada beberapa sarjana maupun lembaga yang membentuk
satu defenisi terorisme yakni :
• Menurut Walter Laquer
“ terrorism has been defined as the substate application of violence
or threatened violence intended to show panic in society, to
awaken or even overthrow the incumbents, and to bring about
political change. It shades on occasion into guerilla warfare
(although unlike guerilla, terrorist are unable or enwilling to take
or hold territory) and even a substitute for war between states. 7
• Menurut The Central Intelligence Agency (CIA) :
“the threat or use of violence for political purpose by individual or
group, wheter acting for, or in opinion to established governmental
authority, when such actions are intenmded to shock or intimidate at
target group wider than the immediate victims.
• Menurut Konvensi PBB 1937 : Segala bentuk tindak kejahatan yang
ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk
teror tehadap orang-orang tertentu atau kelompok atau masyarakat luar.

7

Lukman Hakim, Terorisme di Asia Tenggara, Surakarta: FSIS, 2004 hal. 9

8
Universitas Sumatera Utara

• Menurut W J S Purwadarminta : Praktik-Praktik tindakan teror,
penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk
mencapai sesuatu (khususnya tujuan politik).
Menurut Wilkinson Tipologi Terorisme yang dikutip dari Juliet Lodge ada
beberapa macam yaitu :
1. Terorisme epifenomenal (teror dari bawah) dengan ciri-ciri tak terencana
rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang sengit;
2. Terorisme revolusioner (teror dari bawah) yang bertujuan revolusi atau
perubahan radikal atas sistem yang ada dengan ciri-ciri selalu merupakan
fenomena

kelompok,

sturuktur

kepemimpinan,

program

ideologi,

konspirasi, elemen para militer;
3. Terorisme subrevolusioner (teror dari bawah) yang bermotifkan politis,
menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang politis
dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai
ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit diprediksi,
kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau criminal;
4. Terorisme represif (teror dari atas atau terorisme negara) yang
bermotifkan menindas individu atau kelompok (oposisi) yang tidak
dikehendaki oleh penindas (rezim otoriter atau totaliter) dengan cara
likuidasi dengan ciri-ciri berkembang menjadi teror masa, ada aparat teror,
polisi rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan dikalangan
rakyat, wahana untuk paranoid pemimpin. 8

8Muladi,

2002, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie
Center, Jakarta hlm. 15.

9
Universitas Sumatera Utara

1.6.2 Regionalisme
Synder berpendapat bahwa region atau kawasan diartikan sebagai
sekumpulan Negara yang memiliki kedekatan geografis karena berada dalam satu
wilayah tertentu. Meskipun demikian, kedeatan geografis saja tidak cukup untuk
menyatukan negara dalam satu kawasan. Hettne dan Soderbaun mengemukakan
bahwa kedekatan geografis tersebut perlu didukung adanya kesamaan budaya,
ketertarikan sosial budaya dan sejarah yang sama. Dengan demikian, syarat
terbentuknya satu kawasan dapat terpenuhi secara geografis dan struktural.
Dengan logika ini, maka seharusnya semua kawasan di dunia dapat menjadi
sekumpulan Negara yang mendeklarasikan diri mereka sebagai satu kawasan yang
sama. Namun pada kenyataannya, tidak semua kawasan memiliki intensitas
interaksi dan kemajuan yang sama antara satu kawasan dengan yang lainnya. 9
Kesamaan budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan geografis dalam suatu
wilayah diasumsikan dapat memunculkan organisasi yang lebih efektif.
Organisasi regional telah siap untuk bekerjasama, dan pengalaman organisasi
regional yang sukses akan mempengaruhi dan mendorong kea rah integrasi yang
lebih jauh.
Regionalisme dapat menghasilkan “model masyarakat” atau “model
Negara”. Bentuk regionalism dapat dibedakan berdasarkan kriteria geografis,
militer/politik, ekonomi, atau transaksional, bahasa, agama, kebudayaan, dan lainlain. Tujuan utama dari organisasi regional adalah untuk menciptakan perjanjian

9

Wiwien Apriliani, Kevinder, Muhammad Fitriady, Teori Regionalisme, dapat diakses di
http://skiasyik.wordpress.com/2008/04/. Diakses tanggal 26 Februari 2016

10
Universitas Sumatera Utara

perdamaian dan kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai aspek and
penguatan area saling ketergantungan pada Negara-negara superpower.
Organisasi regional pasca perang dunia II terdiri dari tiga tipe yaitu : 10
1. Organisasi regaional gabungan. Dibentuk dari banyak tujuan dan
melakukan banyak aktivitas. Contoh : OAS, OAU, Liga Arab,dll.
2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar
Negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh : SEATO, NATO, Pakta
Warsawa,dll.
3. Organisasi fungsional. Bekerja dengan pendekatan fungsional
terhadap integrasi regional. Contoh : OPEC, ASEAN, NAFTA, dll.
Kawasan yang dapat memulai interaksi antar Negara di dalamnya, akan
terus berkembang karena efek kerjasama “spilovers” hingga akhirnya tercipta
integrasi kawasan. Hal ini berbeda dengan kawasan lain yang tidak memiliki
kerjasama kawasan. Maka kawasan tersebut akan tertinggal dibanding kawasan
tersebut akan tertinggal disbanding kawasan lain.
Sementara

itu,

berdasar

“New

Regional

Theory”,

perkembangan

regionalisme tergantung pada tiga hal. Yakni, dukungan dari kekuatan besar di
dalam kawasan (regional great power), tingkat integrarasi antar Negara dalam
kawasan, dan saling kepercayaan antar Negara dalam kawasan. Melalui teori ini,
dapat dipahami bahwa mengapa satu kawasan lebih tertinggal dibanding yang
lainnya adalah karena adalah karena permasalahan kekuatan dan keinginan
Negara yang bersangkutan untuk membentuk satu kawasan. Bisa jadi suatu

10

ibid.

11
Universitas Sumatera Utara

kawasan tidak tercipta integrasi karena memang integrasi tersebut tidak
diinginkan dan diupayakan oleh para great powers.
Selain teori di atas, Hennet membagi tingkatan regionalisme ke dalam lima
tahapan yang meningkat secara gradual. Lima tahapan ini menunjukkan
kematangan suatu kawasan seiring dengan meningkatnya intensitas hubungan
internasional antar Negara di kawasan. Tahapan ini dapat menjawab pertanyaan
mengapa satu kawasan dapat lebih maju dibandingkan dengan kawasan yang lain
dan persyaratan apa yang harus diupayakan agar tercipta integrasi kawasan yang
lebih matang. Tahapan tersebut adalah : 11
1.

Simple Geographic unit of States
Kriteria :


Tidak adda kerjasama dan interaksi rutin antar Negara di
dalam kawasan



Kerjasama terjadi hanya ketika ada ancaman, dan
kerjasama tersebut juga berakhir ketika ancaman sudah
berakhir.



Sangat bergantung pada sumber daya pribadi, yakni pada
masing-masing Negara.

2.

Set of Social Interactions
Kriteria :


Dalam kawasan sudah tercipta interaksi antar Negara
namun hanya diatur norma atau institusi informal

3.

11

Collective Defense Organization

ibid.

12
Universitas Sumatera Utara

Kriteria :


Negara mulai bersekutu dengan Negara lain yang memiliki
pemikiran yang sama di dalam suatu kawasan untuk
melawan ancaman bersama atau musuh bersama.



Ada perjanjian formal yang mengikat dan mengatur
Negara-negara dalam suatu kawasan.



Ada

kombinasi

kekuatan,

meski

bukan

berupa

penggabungan apalagi peleburan
4.

Security Community
Kriteria :


Interaksi antar masyarakat sipil antar Negara sudah mulai
dikembangan



Tercipta hubungan yang damai antar Negara dalam
kawasan



Adanya kesepakatan untuk memilih menggunakan caracara damai untuk menyelesaikan masalah

5.

Region State
Kriteria :


Kawasan sudah memiliki identitas bersama yang berbeda
dari kawasan lain



Kawasan memiliki kapabilitas bersama sebagai suatu
kawasan



Kawasan memiliki legitimasi sebagai satu kesatuan
regional

13
Universitas Sumatera Utara

1.6.3 Komunitas Keamanan
Karl W. Deutch mendefenisikan komunitas keamanan sebagai kelompok
negara yang telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa
hubungan damai antar negara di dalamnya telah terjalin dengan mapan dan dalam
waktu yang cukup lama. 12 Komunitas keamanan memiliki sifat bahwa interaksi
damai yang terjalin diantara negara yang bergabung dalam sebuah komunitas
keamanan lebih cenderung untuk mengendalikan konflik yang ada ataupun timbul
dalam komuntas tanpa menghilangkan perbedaan yang ada diantara negara-negara
anggota komunitas.
Bentuk komunitas yang dapat sesuai dengan defenisi Deutch tersebut sama
dengan konsep pembentukan ASEAN Political-Security Community (komuntas
politik keamanan ASEAN). Dalam pembentuakan ASEAN Political-Security
Community juga menginginkan terciptanya keinginan untk membentuk adanya
rasa kebersamaan (we feeling) sehingga dengan munculnya rasa tersebut akan
membentuk ASEAN yang bukan lagi sebagai organisasi internasional melainkan
sebagai komunitas regional yang telah mengalami integrasi. Hal inilah yang
senantiasa ingin dibangun oleh setiap anggota ASEAN untuk mencapai integrasi
tersebut maka dibentuklah ASEAN Vision yang semula direncanakan pada tahun
2020 kemudian dipercepat menjadi tahun 2015.
Mengikuti defenisi yang diperkenalkan oleh Karl Deutsch pada pertengahan
tahun 1950-an, suatu komunitas keamanan diartikan sebagai kelompok rakyat
yang terintegrasi pada satu titik dimana terdapat jaminan nyata bahwa para
anggota komunitas tersebut tidak akan berperang satu sama lain secara fisik,
12

M. Rajendran, ASEAN Foreign Relations The Shift to Collective Action, Kuala Lumpur : Arena
Buku sdn.hbd, 1985, hal 5.

14
Universitas Sumatera Utara

melainkan akan menyelesaikan perselisihan di antara mereka dengan cara lain
yang lebih bermartabat. Deutsch mengobservasi ada dua bentuk komunitas
keamanan, yaitu Amalgamated Security Community dan Pluralistic Security
Community.
Amalgamated Security Community ada ketika terjadi penggabungan dua
atau lebih unit-unit yang tadinya independen ke dalam satu unit yang lebih besar,
sengan satu tipe pemerintahan bersama setelah terjadinya amalgamasi, misalanya
Amerika Serikat. Pluralistic Security Community sebagai alternative yang tetap
mempertahankan interdepedensi hukum dari pemerintahan-pemerintahan yang
terpisah. Negara-negara dalam PSC ini memliki kesesuaian nilai-nilai inti yang
didorong dari institusi-institusi bersama, dan tanggung jawab bersama untuk
membangun identitas bersama dan loyalitas serta rasa “kekitaan” dan terintegrasi
pada satu titik dimana komunitas tersebut memiliki dependable expectations of
peaceful change. 13
Konsep APSC (ASEAN Political-Security Community) sebagai salah satu
tonggak Komunitas ASEAN berupaya memuat prinsip-prinsip yang tidak saja
dimaksudkan untuk membangun budaya hubungan damai tetapi juga untuk
menciptakan situasi yang damai di dalam negeri masing-masing para anggota
negara-negara ASEAN. Sehingga dengan terbentuknya rasa kekitaan (we feeling)
yang akan mendorong terbentuknya integrasi regional akan menjadikan komunitas
keamanan sebagai bentuk kerja sama yang saling membantu dalam menghadapi
isu-isu keamanan baik yang berasal dari dalam negeri sesama anggota ASEAN
maupun isu yang dating dari luar, seperti misalnya isu terorisme yang dihadapi
13

CPF Luhulima, et al, Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2008, hal 73.

15
Universitas Sumatera Utara

kawasan Asia Tenggara menjadikan adanya kerja sama di antara negara-negara
anggota ASEAN untuk memberantas terorisme melalui ASEAN Convention on
Counter Terrorism.

1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang sedang
berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi berdasarkan fakta
dan data-data yang ada. 14 Dengan menggunakan penelitian deskriptif ini nantinya
dapat membantu penulis dalam menjawab sebuah atau beberapa pernyataan
mengenai keadaan objek atau subjek tertentu secara rinci.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
• Studi Pustaka, dalam penelitian ini data didukung dari website, bukubuku, literature, kamus, artikel-artikel dalam majalah, jurnal
ilmiah,dll.

14

Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : Bumi Aksara, 1995, hal. 26

16
Universitas Sumatera Utara

1.7.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, para peneliti tidak mencari
kebenaran dan moralitas, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman. 15
Dengan mencari dan memproses data dari buku, jurnal atau sumber lainnya serta
menganalisis atas masalah yang ada selanjutnya akan diperoleh gambaran jelas
mengenai objek yang diteliti. Dalam kerangka penelitian kualitatif untuk
mendeskripsikan data hendaknya peneliti tidak memberikan interpretasi sendiri.
Temuan lapangan hendaknya dikemukakan dengan berpegang pada prinsip
akademik dalam memahami realitas. Penulisan hendaknya tidak bersifat
penafsiran atau evaluatif. 16

1.7.4 Sistematika Penulisan

BAB I

: PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kerangka

teori,

metode

penelitian,

serta

sistematika

penulisan.

BAB II

: PENJELASAN

MENGENAI

ASEAN

POLITICAL

SECURITY, SERTA ISI DARI ASEAN CONVENTION
ON COUNTER TERRORISM (ACCT)
15
16

Lexy Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, bandung : Remaja Karya, 1990, hal. 108
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2001, hal.187

17
Universitas Sumatera Utara

Pada bab ini penulis akan menjabarkan penjelasan tenmtang
ASEAN Community 2015, ASEAN Security Community,
dan isi dari ACCT

BAB III

: UPAYA

PENANGANAN

KERJASAMA

ACCT

TERORISME
OLEH

DALAM

PEMERINTAH

INDONESIA
Pada bab ini berisi mengenai penyajian data yang diperoleh
dari berbagai sumber mengenai masalah yang sedang diteliti
yakni

mengenai

upaya

penanganan

terorisme

dalam

kerjasama ACCT oleh Pemerintah Indonesia, dan bentubentuk penanganan terorisme oleh Pemerintah Indonesia
serta upaya yang telah dilakukan terkait kerja sama ACCT.

BAB IV : KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pada bab yang terakhir nantinya penulis akan membuat
rangkuman kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan,
serta penulis akan menambahkan beberapa saran terkait
dengan hasil penelitian.

18
Universitas Sumatera Utara