Upaya Penanganan Terorisme Dalam Kerjasama ASEAN Convention On Counter Terrorism Oleh Pemerintah Indonesia

(1)

DAFTAR LAMPIRAN

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratic Lao, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Filipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand, dan Republik Sosialis Viet Nam selanjutnya disebut sebagai “Para Pihak, Para Pihak”

MENGINGAT Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan, konvensi-konvensi dan protocol-protokol internasional yang relevan berkaitan dengan peberantasan terorisme, serta resolusi-resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan tentang langkah-langkah yang dimaksudkan untuk memberantas terorisme internasional, dan menegaskan kembali komitmen kami untuk melindungi hak asasi manusia, perlakuan adil, aturan hukum, dan proses hukum semestinya serta prinsip-prinsip yang terkandung dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara yang di buat di Bali pada tanggal 24 Februari 1976;

MENEGASKAN KEMBALI bahwa terorisme tidak dapat dan tidak boleh dihubungkan dengan agama, kewarganegaraan, peradaban, atau kelompok etnis apa pun;


(2)

MENGINGAT juga Deklarasi ASEAN tentang Aksi Bersama Pemberantasan Terorisme dan Deklarasi tentang Terorisme yang masing-masing diterima pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada tahun 2001 dan 2002;

MENEGASKAN KEMBALI komitmen kami pada Program Aksi Vientine yang dibuat di Vientine pada tanggal 29 November 2004, khususnya penekanannya dalam “membentuk dan berbagi norma-norma”, dan kebutuhan, antara lain untuk membantu penandatanganan suatu Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik ASEAN, dan suatu Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme, dan pembentukan suatu Perjanjian Ekstradisi ASEAN, yang diamanatkan oleh Deklarasi ASEAN Concord tahun 1976;

MEMPERHATIKAN DENGAN SEKSAMA atas bahaya serius yang ditimbulkan oleh terorisme terhadap manusia-manusia tidak bersalah, infrastruktur dan lingkungan, perdamaian dan stabilitas kawasan dan internasional, serta pembangunan ekonomi;

MENYADARI pentingnya pengidentifikasian dan penyelesaian secara efektif akar permasalahan terorisme dalam perumusan setiap langkah pemberantasan terorisme;

MENYATAKAN KEMBALI bahwa terorisme, dalam segala bentuk dan manifestasinya, yang dilakukan di mana pun, kapan pun, oleh siapa pun, merupakan suatu ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan internasional dan


(3)

tantangan langsung bagi pencapaian perdamaian, kemajuan, dan kesejahteraan ASEAN, dan perwujudan Visi ASEAN 2020;

MENEGASKAN KEMBALI komitmen kuat kami untuk meningkatkan kerja sama dalam pemberantasan terorisme yang mencakupi pencegahan dan penghentian segala bentuk tindakan teroris;

MENYATAKAN KEMBALI perlunya meningkatkan kerja sama kawasan dalam pemberantasan terorisme dan mengambil langkah-langkah efektif dengan mempererat kerja sama antar lembaga penegak hukum di ASEAN dan otoritas yang relevan dalam memberantas terorisme;

MENDORONG para Pihak untuk menjadi pihak-pihak sesegera mungkin pada konvensi-konvensi dan protokol-protokol internasional yang relevan berkaitan dengan pemberantasan terorisme;

Telah menyetujui hal-hal sebagai berikut:

Pasal I

Tujuan


(4)

mencegah, dan menghentikan terorisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan untuk mempererat kerja sama antar lembaga penegak hukum dan otoritas yang relevan dari para Pihak dalam memberantas terorisme.

Pasal II

Tindak Pidana Terorisme

1. Untuk maksud-maksud Konvensi ini, “kejahatan” berarti setiap kejahatan dalam ruang lingkup dari dan sebagaimana didefenisikan dalam setiap perjanjian yang tertera sebagai berikut:

a. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, ditandatangani di Den Haag pada tanggal 16 Desember 1970; 


b. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, disepakati di Montreal pada tanggal 23 September 1971; 


c. Convention on the Prevention and Punsihment of Crimes Against Internationally protected Persons, Including Diplomatic Agents, disepakati di New York pada tanggal 14 December 1973; 


d. International Convention Against the Taking of Hostages, disepakati di New York, tanggal 17 
Desember 1979; 


e. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, disepakati di Wina, tanggal 26 Oktober 
1979; 



(5)

f.Protocol for the Suppression of Unlaful Act of Violence at Airports Serving International Civil 
Aviation, suplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against Safety of Civil Aviation, disepakati di Montreal, tanggal 24 Februari 1988; 


g. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, disepakati di Roma, tanggal 10 Maret 1988;

h. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, disepakati di Roma, tanggal 10 Maret 1988;

i.International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, disepakati di New York, tanggal 15 Desember 1997; 


j.International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, disepakati di New York, tanggal 9 Desember 1999;

k. International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism, disepakati di New York, tanggal 13 April 2005; 


l.Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, disepakati di Wina, tanggal 8 Juli 2005;

m. 
 Protocol of 2005 to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, disepakati di London tanggal 14 Oktober 2005; dan 



(6)

n. Protocol of 2005 to the Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, disepakati di London, tanggal 14 Oktober 2005. 


2. Pada saat penyerahan instrument ratifikasi atau persetujuan, pihak yang bukan merupakan Pihak pada salah satu perjanjian yang tertera pada ayat 1 Pasal ini dapat menyatakan bahwa, adlam penerapan konvensi ini bagi Pihak dimaksud, perjanjian dimaksud dianggap tidak termasuk pada ayat 1 pasal ini. Pernyataan ini berhenti berlaku segera setelah perjanjian tersebut berlaku bagi pihak yang membuat pernyataan dimaksud, yang wajib memberitahu, menyimpan sebagaimana dinyatakan dalam ayat 2 pasal XX mengenai pemberlakuan.

1. Ketika suatu pihak berhenti menjadi pihak pada suatu perjanjian yang tertera pada ayat 1 pasal ini, Pihak tersebut dapat membuat suatu pernyataan sebagaimana diatur pada Pasal ini, mengenai perjanjian dimaksud.

Pasal III

Kesetaraan Berdaulat, Integritas Wilayah dan Non-Interferensi

Para Pihak wajib melaksanakan kewajibannya dalam Konvensi ini dengan cara konsisten sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan berdaulat dan integritas wilayah Negara-negara serta non-interferensi dalam urusan internal pihak-pihak lain.


(7)

Pasal IV

Penghormatan Kedaulatan

Tidak satu pun dalam konvensi ini memberikan hak kepada suatu pihak untuk melakukan, di dalam wilayah Pihak lain, penerapan yuridiksi atau pelaksanaan fungsi-fungsi yang secara ekslusif diperuntukkan bagi otoritas-otoritas dari pihak lain yang dimaksud oleh hukum-hukum domestiknya.

Pasal V Non-Aplikasi

Konvensi initidak akan berlaku apabila kejahatan dilakukan di dalam wilayah satu pihak, tersangka pelaku kejahatan dan korban-korbannya adalah warga Negara dari pihak dimaksud, tersangka pelaku kejahatan ditemukan di dalam wilayah Pihak dimaksud dan tidak ada Pihak lain yang memliki landasan dalam konvensi ini untuk menerapkan yuridiksi.

Pasal VI Bidang Kerja Sama

1. Bidang-bidang kerja sama dalam Konvensi ini dapat, selaras dengan hukum nasional dari Pihak masing-masing, mencakupi upaya-upaya yang tepat, antara lain untuk:


(8)

a. mengambil langkah-langkah yang diperlukan ntuk mencegah terjadinya tindakan teroris, termasuk pemberian peringatan dini kepada Pihak-Pihak lain melalui pertukaran informasi;

b. mencegah siapa pun yang mendanai, merencanakan, memfasilitasi, atau melakukan tindakan teroris dari penggunaan wilayah masing-masing untuk tujuan-tujuan melawan Pihak-Pihak lain dan/atau warga Negara Pihak-Pihak lain.

c. Mencegah dan menindak pendanaan tindakan teroris;

d. Mencegah pergerakan para teroris atau kelompok-kelompok teroris dengan pengawasan perbatasan yang efektif dan pengawasan penerbitan surat-surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan, dan melalui langkah-langkah untuk mencegah pemalsuan, penjiplakan, atau penyalahgunaan surat-surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan;

e. Memajukan pengembangan kapasitas termasuk pelatihan dan kerja sama teknis dan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan regional;

f. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk memberantas terorisme, serta mengembangkan dialog antar-kepercayaan serta dialog antarperadaban;

g. Meningkatkan kerja sama lintasbatas;

h. Meningkatkan pertukaran data intelijen dan tukar menukar informasi i. Meningkatkan kerja sama yang telah ada untuk pengembangan bank


(9)

j. Memperkuat kapabilitas dan kesiapsiagaan untuk menangani terorisme dengan bahan kimia, biologi, nuklir, terorisme dunia maya dan setiap bentuk terorisme baru;

k. Melakukan penelitian dan pengembangan langkah-langkah untuk memberantas terorisme;

l. Mendorong penggunaan fasilitas video-konferensi atau telekonferensi untuk proses peradilan, apabila dimungkinkan dan

m. Memastiakn bahwa siapa pun yang terlibat dalam pendanaan, perencanaan, persiapan, atau yang melakukan tindakan teroris atau membantu tindakan teroris akan diajuakan ke persidangan.

2. Tunduk pada persetujuan para Pihak terkait, Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk mengatasi akar permasalahan terorisme dan kondisi yang kondusif untuk penyebaran terorisme guna mencegah terjadinya tindakan teroris dan perluasan sel-sel teroris.

Pasal VII Yuridiksi Negara

1. Suatu Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menetapkan yuridiksinya terhadap kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam pasal II Konvensi ini apabika :


(10)

a. kejahatan dilakukan di wilayah pihak dimaksud, atau

b. kejahatan dilakukan di atas kapal berbendera pihak dimaksud atau di pesawat yang terdaftar menurut peraturan perundang-undangan pihak dimaksud pada saat kejahatan dilakukan, atau

c. kejahatan dilakukan oleh warga Negara pihak dimaksud

2. Suatu pihak dapat juga menetapkan yuridiksinya atas setiap kejahatan apabila: a. kejahatan dilakukan terhadap warga Negara pihak dimaksud, atau

b. kejahatan dilakukan terhadap fasilitas Negara atau pemerintah dari pihak dimaksud di luar negeri, termasuk Kedutaan Besar atau wilayah diplomatik dan konsuler lainnya, atau

c. kejahatan dilakukan sebagai upaya untuk memaksa pihak dimaksud agar melakukan atau tidak melakukan tindakan apa pun, atau

d. kejahatan dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki kewarganegraan yang berdomisili tetap di wilayah pihak dimaksud.

3. Suatu Pihak juga wajib menetapkan yuridiksinya atas kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini dalam hal tersangka pelaku kejahatan berada di dalam wilayah Pihak dimaksud dan Pihak tersebut tidak mengekstadisi tersangka dimaksud ke Pihak-Pihak mana pun yang telah menetapkan yuridiksinya sesuai dengan ayat 1 atau 2 Pasal ini.

4. Konvensi ini tidak mengecualikan penerapan setiap yuridiksi pidana yang ditetapkan oleh suatu pihak sesuai dengan peraturan perundang-undagan nasionalnya.


(11)

Pasal VIII Perlakuan Adil

1. Siapa pun yang ditahan atau yang dikenai tindakan-tindakan lain atau proses sesuai dengan konvensi ini wajib diberikan jaminannperlakuan adil, termasuk pemenuhan semua hak dan jaminan selaras dengan peraturan perundang-undangan dari Pihak di wilayah orang tersebut berada dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku termasuk hukum hak asasi manusia internasional.

2. Pada saat menerima informasi bahwa seseorang yang telah melakukan atau disangka telah melakukan suatu kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini berada di wilayahnya, Pihak yang berkepentingan wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan berdasarkan perundang-undangan domestik Pihak dimaksud untuk menyelidiki fakta-fakta dalam informasi tersebut.

3. Pada saat keadaan memang menghendaki demikian, Pihak yang di wilayahnya pelaku atau tersangka dimaksud berada wajib mengambil langkah-langkah yang tepat berdasarkan perundang-undangan domestic untuk memastikan kehadiran orang tersebut untuk tujuan penuntutan atau ekstadisi.

4. Siapa pun yang dikenai tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 Pasal ini berhak:

a. berkomunikasi tanpa penundaaan dengan wakil terdekat Negara yang orang tersebut adalah warga negaranya atau wakil lain yang memiliki wewenang untuk melindungi hak-hak orang tersebut;


(12)

b. Dikunjungi wakil Negara tersebut;

c. Diberi informasi mengenai hak-hak orang berdasarkan sub ayat a dan b dari ayat 4 Pasal ini.

5. Hak-hak yang dirujukpada ayat 4 Pasal ini harus diterapkan selaras dengan peraturan perundang-undangan dan regulasi-regulasi dari Pihak di wilayah keberadaan pelaku kejahatan atau tersangka pelaku kejahatan, tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan regulasi-regulasi dimaksud harus memungkinkan pemberian hak-hak secara penuh berdasarkan ayat 4 pasal ini.

6. Apabila suatu Pihak, berdasarkan Pasal ini, telah menahan seseorang, Pihak tersebut wajib segera memberitahukan, secara langsung atau melalui Sekretaris Jenderal ASEAN, Pihak-Pihak yang telah menetapkan yuridiksi sesuai dengan ayat 1 atau 2 dalam Pasal VII dan apabila dipandang perlu, Pihak-Pihak lain mana pun yang berkepentingan, terhadap fakta bahwa orang tersebut dalam penahanan dan keadaan yang mengharuskan penahanan orang tersebut. Pihak yang sedang melakukan penyelidikan yang dirujuk pada ayat 2 Pasal ini wajib dengan segera memberitahukan Pihak-Pihak tersebut mengenai temuan-temuannya dan harus mengindikasikan apakah Pihak tersebut bermaksud untuk menerapkan yuridiksi terhadap orang dimaksud.


(13)

Pasal IX Ketentuan Umum

1. Para Pihak wajib menerapkan langkah-langkah yang dianggap perlu, termasuk, jika dipandang tepat, perundang-undangan nasional, untuk menjamin bahwa kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II dari Konvensi ini, khususnya apabila kejahatan tersebut dimaksudkan untuk mengintimidasi suatu populasi, atau memaksa suatu pemerintah atau suatu organisasi internasional untyk melakukan atau tidak melakukan apa pun, dalam keadaan apa pun, tidak dapat dibenarkan atas pertimbanhan-pertimbangan politik, filosofi, ieologi, ras, suku, agama, atau dasar pertimbangan lain yang serupa.

2. Berdasarkan Pasal VI Konvensi ini, Para Pihak wajib, jika memungkinkan, membentuk saluran-saluran komunikasi antar instansi yang berwenang untuk memfasilitasi pertukaran informasi guna mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini.

3. Pihak yang di wilayahnya tersangka pelaku kejahatan dituntut, wajib, atas permintaan dari pihak-pihak lain yang mengklaim yurisdiksi yang sama, mengkomunikasikan status kasus tersebut pada setiap tahap persidangan kepada Pihak-Pihak lain dimaksud.


(14)

Pasal X Status Pengungsi

Para Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang relevan dari peraturan perundang-undangan domestic masing-masing dan hukum internasional yang sesuai, termasuk standar-standar internasional memgenai hak asasi manusia, sebelum memberikan status pengungsi, dalam hal para Pihak mengakui dan memberikan status dimaksud, guna memastikan bahwa pencari suaka tidak merencakanakan, memfasilitasi, atau terlibat dalam tindakan terorisme.

Pasal XI Program Rehibilitasi

Para Pihak wajib brupaya untuk memajukan tukar-menukar pengalaman-pengalaman terbaik mengenai program-program rebilitasi termasuk, apabila tepat, reintegrasi sosial orang orang yang terlibat dalam melakukan setiap tindak kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini dengan tujuan mencegah terjadinya tindak kejahatan teroris.

Pasal XII

Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana

1. Para Pihak wajib, selaras dengan peraturan perundang-undangan domestic masing-masing, memberikan bantuan seluas-luasnya sehubungan dengan


(15)

penyelidikan atau proses hukum pidana yang diajukan berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini.

2. Para Pihak wajib, apabila mereka merupakan pihak-pihak pada Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana yang dibuat di Kuala Lumpur pada Tanggal 29 November 2004, melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan ayat 1 Pasal ini selaras dengan Perjanjian dimaskud.

Pasal XIII Ekstradisi

1. Pihak yang di wilayahnya tersangka pelaku kejahatan berada, dalam hal Pasal VII Konvensi ini berlaku, apabila tidak mengekstadisi orang tersebut, diwajibkan, tanpa pengecualian apa pun dan apakah kejahatan itu dilakukan atau tidak dilakukan diwilayahnya, meyerahkan kasus tersebut tanpa penundaan kepada otoritas berwenang untuk tujuan penuntutan, melalui proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan domestic Pihak tersebut. Para otoritas dimaksud wajib mengambil keputusan dengan cara yang sama dalam kasus kejahatan serius lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan domestic Pihak dimaksud.

2. Kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini wajib dianggap masuk sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang telah ada diantara Para Pihak sebelum berlakunya Konvensi ini. Para Pihak sepakat untuk memasukkan kejahatan-kejahatan


(16)

tersebut sebagai kejahatan yang dapat diekstadisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang akan dibentuk di antara mereka.

3. Apabila suatu Pihak, yang melakukan ektradisi mensyaratkan adanya suatu perjanjian, menerima suatu permintaan ekstradisi dari pihak lain yang dengannya tidak memiliki perjanjian ekstradisi, pihak yang di minta dapat, bila diperlukan, atas pilihannya, dan selaras dengan peraturan perundang-undangan domestiknya, mempertimbangkan untuk menjadikan Konvensi ini sebagai suatu dasar hukum bagi ekstradisi atas kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini.

Pasal XIV

Pengecualian Kejahatan Politik

Tidak satu pun kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini yang dianggap untuk tujuan ekstradisi berdasarkan Pasal XIII Konvensi ini atau bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana berdasarkan Pasal XII Konvensi ini sebagai suatu kejahatan politik atau sebagai suatu kejahatan politik yang berhubungan dengan kejahatan politik atau sebagai suatu kejahatan yang diilhami oleh motif-motif politik. Sejalan dengan itu, suatu permintaan ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik dalam amsalah pidana yang didasarkan pada kejahatan dimaksud tidak boleh ditolak semata-mata dengan alasan bahwa kejahatan tersebut berhubungan dengan kejahatan politik atau kejahatan yang diilhami oleh motif-motif politik.


(17)

Penunjukan Otoritas Sentral atau Struktur Koordinator

Setiap pihak wajib menunjuk, apabila tepat , suatu otoritas sentral atau struktur coordinator untuk meningkatkan kerja sama berdasarkan Konvensi ini.

Pasal XVI

Implementasi, Pengawasan dan Peninjauan Kembali

Badan-badan sektoral ASEAN relevan yang terlibat dalam kerja sama ASEAN dalam pemberantasan terorisme wajib bertanggung jawab untuk pengawasan dan peninjauan kembali implementasi Konvensi ini

Pasal XVII Kerahasiaan

1. setiap Pihak wajib menjaga kerahasiaan dokumen-dokumen, catatan-catatan, dan informasi lain yang diterima pihak lain, termasuk sumbernya.

2. Tidak satu pun dokumen, catatan atau informasi lain yang diperoleh berdasarkan Konvensi ini wajib dibuka atau dibagikan kepada Pihak, Negara atau orang lain kecuali atas persetujuan tertulis sebelumnya dari Pihak yang memberikan dokumen, catatan, atau informasi dimaksud.

Pasal XVIII

Kaitan dengan Instrumen Internasional Lain

Konvensi ini tidak mengurangi kewajiban-kewajiban yang masih ada di antara Pihak berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional lain dan tidak pula, apabila


(18)

satu Pihak setuju, Konvensi ini mencegah para Pihak untuk saling memberikan bantuan berdasrkan perjanjian-perjanjian internasional lain atau ketentuan dari peraturan perundang-undagan domestic masing-masing.

Pasal XIX Penyelesaian Sengketa

Setiap perbedaan atau sengketa antara pihak yang timbul dari penafsiran atau penerapan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini wajib diselesaikan secara persahabatan melalui konsultasi dna perundingan di antara pihak melalui saluran-saluran Diplomatik atau cara damai lainnya untuk penyelesaian sengketa sebagaimana disepakati antara para Pihak.

Pasal XX

Pengesahan, Persetujuan, dan Penyimpanan

1. Konvensi ini wajib tunduk pada pengesahan atau persetujuan sesuai dengan prosedur internal para pihak.

2. Instrumen-instrumen pengesahan atau persetujuan wajib disimpan pada Sekretaris Jenderal ASEAN yang segera memberitahukan kepada Pihak-Pihak lain mengenai penyimpanan dimaksud.

Pasal XXI

Pemberlakuan dan Amandemen

1. Konvensi ini berlaku pada hari ke 30 (ketigapuluh) sejak tanggal penyerahan instrument pengesahan atau persetujuan yang ke-6 (enam)


(19)

kepada Sektretaris Jenderal ASEAN bagi Pihak-Pihak yang telah menyerahkan instrument-instrumen pengesahan atau persetujuan mereka. 2. Bagi setiap Pihak yang mengesahkan atau menyetujui Konvensi ini setelah

penyimpanan instrument pengesahan atau persetujuan yang ke-6, tetapi sebelum hari Konvensi ini berlaku, Konvemsi ini akan mulai berlaku pula bagi Pihak dimaksud pada tanggal Konvensi ini berlaku.

3. Dalam hal suatu Pihak yang mengesahkan atau menyetujui Konvensi ini setelah pemberlakuannya sesuai dengan Ayat 1, Konvensi ini mulai berlaku bagi Pihak dimaksud pada tanggal instrument pengesahan atau persetujuan disimpan.

4. Konvensi ini dapat disesuaikan atau diamandemen setiap saat dengan persetujuan tertulis bersama dari para Pihak. Perubahan dan amandemen dimaksud berlaku pada tanggal yang disetujui bersama oleh para Pihak dan wajib menjadi bagian dari Konvensi ini.

5. Setiap penyesuaian atau amandemen tidak memengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban para Pihak yang timbul dari atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Konvensi ini sebelum berlakunya penyesuaian atau amandemen dimaksud.

Pasal XXII Penariakn Diri

1. setiap Pihak dapat menarik diri dari Konvensi ini kapan pun setelah tanggal pemberakuan Konvensi ini bagi Pihak tersebut.


(20)

2. Penarikan diri wajib disampaikan melalui instrument penarikan diri yang diserahkan kepada Sekretaris Jenderal ASEAN.

3. Penarikan diri mulai berlaku seratus delapan puluh hari sejak penerimaan instrument penarikan diri oleh Sekretaris Jenderal ASEAN.

4. Sekretaris Jenderal ASEAN wajib segera memberitahukan kepada seluruh Pihak lainnya mengenai setiap penarikan diri.

Pasal XXIII Pendaftaran

Konvensi ini wajib didaftarkan oleh Sekretaris Jenderal ASEAN kepada Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan Pasal 102 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.

DIBUAT di Cebu, Filipina, tanggal Tiga Belas Januari tahun Dua Ribu Tujuh, dalam satu naskah asli dalam bahasa Inggris.

Untuk Brunei Darussalam:

HAJI HASSANAH BOLKIAH Sultan Brunei Darussalam


(21)

SAMDECH HUN SEN Perdana Menteri

Untuk Republik Indonesia:

DR. SUSILO BAMABANG YUDHOYONO Presiden

Untuk Republik Rakyat Demokratik Lao:

BOUASONE BOUPAVANH Perdana Menteri

Untuk Malaysia:

DATO’ SERI ABDULLAH AHMAD BADAWI Perdana Menteri

Untuk Uni Myanmar:

JENDERAL SOE WIN Perdana Menteri


(22)

GLORIA MACAPAGAL-ARROYO Presiden

Untuk Republik Singapura:

LEE HSIEN LOONG Perdana Menteri

Untuk Kerajaan Thailand:

JENDERAL (PURN) SURAYUD CHULANONT Perdana Menteri

Untuk Republik Sosialis Viet Nam:

NGUYEN TAN DUNG Perdana Menteri


(23)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adam, Asvi Warman, dkk, Konflik territorial di Negara-Negara ASEAN. Jakarta: PPW-LIPI

ASEAN Selayang Pandang, 2007, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu RI

ASEAN Selayang Pandang, 2010, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Deplu RI

Bungin, Burhan, 2001, Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Cipto, Bambang, 2007 Hubungan Internasional di Asia Tenggara.

yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hakim, Lukman, 2004. Terorisme di Asia Tenggara. Surakarta: FSIS Magnis, Suseno, 2002, Komitmen Bersama Bagi Teroris, Sinar Harapan Mardenis, 2011, Pemberantasan Terorisme. Jakarta: RajaGrafindo Persada Moelong, Lexy, 1990, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya Muladi, 2002, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di

Indonesia, Habibie Center, Jakarta

Pujianti, Adrini, 2002, Kebijakan luar negeri pemerintah Bush terhadap terorisme Internasional, Pusat Kajian dan Pelayanan Informasi SEKJEN DPR RI, Jakarta

Rajendran, M. 1985. ASEAN Foreign Relations The Shift to Collective Action. Kuala Lumpur: Arena Buku sdn.hbd


(24)

Jurnal dan Makalah :

Gonda Yumitro, Terorisme dan Tantangan ASEAN Political and Security

Community dalam Konvensi Nasional “Kontribusi Studi HI Indonesia

dalam Menyambut Masyarakat ASEAN 2015”

Indarini Nurvita, Terorisme sebagai fenomena globalisasi di Asia Tenggara dan

Asia Timur, makalah dipaparkan pada Internasional Symposium 2009,

(Globalization : East and Southeast Asian Perspectives, di UGM pada Oktober 2009) diakses

di https://akupunmenulis.wordpress.com/2010/02/01/terorisme-sebagai-fenomena-globalisasi-di-asia-tenggara-dan-asia-timur/ diakses pada 14 Mei 2016

Sukma, Rizal CSIS, The future of ASEAN : Towards a security community, makalah diseminarkan pada ASEAN Coorportion : Challenges and Prospects in the current international situation, New York, 3 Juni 2003, diakses

di http://www.indonesiamissionny.org/issuebaru/mission/ASEAN/paper.ri zalsukma.PDF diakses pada 18 April 2016

Wiwien Apriliani, Kavinder, Muhammad Fitriady, Teori Regionalisme, dapat diakses di http://skiasyik.wordpress.com/2008/04/. Diakses 15 April 2016

Internet

http://www.asean.org diakses pada 28 februari 2016 http://www.kemlu.go.id diakses pada 29 februari 2016 www.interpol.go.id diakses pada 30 Februari 2016


(25)

http://www.policylaundering.org/keyplayers/ASEAN-aseanapol.html diakses pada 26 Juni 2016

https://id.wikipedia.org/wiki/terorisme_di_Indonesia diakses pada 20 April 2016 Abu Sayyaf Group, http://www.nctc.gov/site/groups/asg.html diakses pada 15

April 2016

Sumardewi, LA, 2014, Upaya Indonesia dalam memberantas terorisme di era

pemerintahan SBY, diakses

di https://www.google.com/search?client=safari&rls=en&q=upaya+pemeri ntah+indonesia+dalam+penanganan+terorisme&ie=UTF-8&oe=UTF-8#q=related:ojs.unud.ac.id/index.php/hi/article/download/9846/7385+upay a+pemerintah+indonesia+dalam+penanganan+terorisme diakses pada 21 April 2016

Sidney Jones speaks on Jemaah Islamiyah,

http://www.indonesiamatters.com/28/sidney-jones-on-jemaah-islamiyah/ diakses pada 17 April 2016

Charles Corner, The Parting of The Sulawesi Sea: How U.S. Strategy in the

Region Transforming the Mulltinational Environment in Southeast Asia’s terrorist transit Triangle,

2012, http://fmso.leavenworth.army.mil/documents/SulawesiSea.pdf diakses pada 27 Juni 2016

Yani, M yanyan, Keharmonisan kerjasama kontra terorisme negara-negara anggota ASEAN dalam kerangka ASEAN Security Community. 2012. www.jurnal.unpad.ac.id Diakses pada tanggal 27 Juni 2016


(26)

Sumber Lain :

Lubis, Fuad Hasan. 2011. Skripsi : ASEAN Community 2015 Dan Keamanan

Regional (Studi kasus : Upaya ASEAN Dalam mengatasi Terorisme Di Kawasan Asia Tenggara). Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,

Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Sari, Anggalia Putri Permata. 2013. Tesis : Penerapan Strategi Penggentaran

Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Sinambela, Vasperton, 2014. Skripsi : Kepentingan Indonesia Dalam Konvensi ASEAN Tentang Pembenrantasan Terorisme (ASEAN Convention On Counter Terrorism). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Imlu Politik Universitas Sumatera Utara.


(27)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Pendahuluan

Terorisme belakangan ini menjadi suatu fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai organisasi internasional, berbagai kalangan dan negara. Ketika kekuatan imperialism, rasisme, dan zionisme mulai mempropagandakan terminologi terorisme ke dalam perbindangan politik serta berbagai bidang lainnya, maka kaum tersebut telah mencampuradukkan dengan sengaja dua fenomena yang berbeda secara substansial, yaitu kriminalitas terorisme dan perjuangan perlawanan suatu bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri. Hal ini telah menibulkan bias dalam metode penanganan masalah terorisme, termasuk definisi terorisme itu sendiri. Itulah sebabnya yang pertama kali perlu diperhatikan adalah definisi dari terorisme itu sendiri.

Dalam Black Laws Dictionary seperti yang dikutip oleh Muladi:17

Dikatakan bahwa tindak pidana terorrisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah, memperngaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan, pembunuhan, pengeboman,dll.

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European

Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi

perluasan paradigma arti dari Crime against State menjadi Crime against

17Muladi, 2002, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Habibie

Center, Jakarta, hlm. 173.


(28)

Humanity. Crime against Humanity meliputi tindak pidana yang dilakukan untuk

menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana yang mencekam. Terorisme dikategorikan sebagai suatu sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik, serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang yang tidak bersalah (public by innocent) sebagaimana halnya terjadi di Bali. Seruan diperlukannya suatu perundang-undangan disambut pro-kontra mengingat polemic definsi mengenai terorisme masih sangat bersifat multi-interpretatif, umumnya lebih mengarah kepada polemic mengenai kepentingan Negara atau state-interested.

Unsur-unsur terorisme dapat kita temukan dalam dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; dilakukan secara sistematis; dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa yang dilakukan; dengan menggunakan kekerasan atau ancman kekerasan; me- nimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban bersifat massal; dan dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang unsur-unsurnya adalah:


(29)

2. Dengan sengaja menggunkan kekerasan menimbukan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal;

3. Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan

4. mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional.

Pemahaman tentang definisi terorisme adalah hal mendasar dan sangat penting yang perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum melakukan berbagai tindakan pe-nanggulangan terhadap terorisme. Bahkan Magnis Suseno mengatakan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia ternyata masih perlu memahami perbedaan pengertian antara teroris, fundamentalis dan radikalis.18 Seorang teroris, bisa jadi seorang fundamentalis dan seorang radikalis sementara seorang fundamentalis dan radikalis belum tentu seorang teroris. Ketidakpahaman akan pengertian terorisme kadang bisa menjadi sebab dilakukannya labeling oleh pemerintah terhadap orang atau kelompok tertentu.

Karakteristik atau Ciri Terorisme

Terorisme memiliki beberapa ciri yang mendasar, dan antara lain: kegiatan terorisme dilakukan dengan cara-cara kekerasan (contoh pengeboman, penyan- deraan, dan lain-lain) untuk memaksakan kehendaknya, dan cara tersebut merupakan sebagai sarana (bukan merupakan tujuan), sasaran serangannya adalah

18Magnis, Suseno, “komitmen Bersama bagi Teroris”, Sinar Harapan, 2002.


(30)

tempat-tempat umum atau objek vital seperti pusat-pusat perbelanjaan, bandara, stasiun. Korbannya pun tidak dipilih-pilih, dan kegiatannya sangat profesional untuk dilacak jejaknya. Ciri-ciri terorisme yang terdapat dalam Pasal 6 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah sebagai berikut:

Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional.

Menurut Wilkinson Tipologi Terorisme yang dikutip dari Juliet Lodge ada beberapa macam yaitu :

1. Terorisme epifenomenal (teror dari bawah) dengan ciri-ciri tak terencana rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang sengit;

2. Terorisme revolusioner (teror dari bawah) yang bertujuan revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada dengan ciri-ciri selalu merupakan fenomena kelompok, sturuktur kepemimpinan, program ideologi, konspirasi, elemen para militer;

3. Terorisme subrevolusioner (teror dari bawah) yang bermotifkan politis, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang politis dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga


(31)

individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau criminal;

4. Terorisme represif (teror dari atas atau terorisme negara) yang bermotifkan menindas individu atau kelompok (oposisi) yang tidak dikehendaki oleh penindas (rezim otoriter atau totaliter) dengan cara likuidasi dengan ciri-ciri berkembang menjadi teror masa, ada aparat teror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan dikalangan rakyat, wahana untuk paranoid pemimpin.19

Bentuk-Bentuk Terorisme

Secara garis besar, tujuan dari aksi teror dapat dibagi dalam 4 kategori besar, yaitu: irrational terrorism, criminal terrorism, political terrorism, dan state

terrorism.

Irrational Terrorism. Teror yang motif atau tujuannya bisa dikatakan tak masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan dalam kategori ini misalnya saja

salvation (pengorbanan diri) dan madness (kegilaan).

Criminal Terrorism. Teror yang dilatarbelakangi motif atau tujuan berdasarkan kepentingan kelompok, teror oleh kelompok agama atau kepercayaan tertentu dapat dikategorikan ke dalam jenis ini. Termasuk juga kegiatan kelompok bermotifkan balas dendam (revenge).

Political Terrorism. Teror bermotifkan politik. Batasan mengenai political

terror sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional yang dapat dibakukan. 19Muladi, 2002, Op. Cit, hlm. 15.


(32)

Figur Yasser Arrafat bagi masyarakat Israel adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, tetapi bagi bangsa Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula sebaliknya dengan founding fathers negara Israel yang pada waktu itu dicap sebagai teroris, setelah Israel merdeka meraka dianggap sebagai pahlawan bangsa dan dihormati.

Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh Political Terror di mana mereka berada. Bagi kelompok teroris yang berada di Negara yang sudah mapan alam demokrasinya dengan supremasi hukum yang kuat, tujuan mereka adalah mengubah kebijakan. Sementara kelompok teroris yang berada di Negara yang belum mapan institusi demokrasi dan supremasi hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah merombak struktur politik. Persamaannya adalah teror sebagai alat yang digunakan untuk “menekan” atau mengubah keseimbangan.

State Terrorism. Istilah state terrorism ini semula dipergunakan PBB ketika melihat kondisi sosial dan politik di Afrika Selatan, Israel, dan negara-negara Eropa Timur. Kekerasan negara terhadap warga negara penuh dengan intimidasi dan berbagai penganiayaan serta ancaman lainnya banyak dilakukan oleh oknum negara termasuk penegak hukum. Teror oleh atau penguasa negara, misalnya saja penculikan aktivis. Teror oleh negara bisa juga terjadi melaui kebijakan ekonomi yang dibuatnya.Terorisme yang dilakukan oleh negara atau aparatnya dilakukan untuk dan atas nama kekuasaan, stabilitas politik, dan kepentingan ekonomi elite. Untuk dan atas nama tersebut, negara merasa sah untuk menggunakan kekerasan dalam segala bentuknya guna merepresi dan memadamkan kelompok-kelompok


(33)

kritis dalam masyarakat sampai pada kelompok- kelompok yang memperjuangkan aspirasinya dengan mengangkat senjata.

3.2 Fenomena Terorisme di ASEAN

Asia tenggara semakin mendapat sorotan dunia internasional lantaran sejumlah peristiwa teror yang terjadi secara bertubi-tubi. Korban dalam jumlah besar dan target serangan yang merupakan simbol-simbol Barat merupakan persamaan dari serentetan teror yang terjadi di Indonesia, Negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pelaku teror ditenggarai suatu kelompok yang memilki hubungan dengan Al Qaeda (AQ) di Afganhistan, bernama Jamaah Islamiyah. Padahal Al Qaedah diindikasikan sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas teror 11 November 2001 di AS. Teror memang bukan hal yang baru di Aia Tenggara, sebab ada beberapa kelompok pemberontak yang kerap menggunakan kekerasan sehingga menyebarkan ketakutan di masyarakat. Berikut ini adalah beberapa kelompok pemberontak dan teroris yang ada di Asia Tenggara seperti kelompok :

1. Pattani United Liberation Organization (PULO) di Thailand dengan misi memisahkan diri dan ingin membentuk Negara Islam,

2. Guragan Mujahideen Islam Pattani di Thailand dengan misi yang sama yakni ingin memisahkan diri dan membentuk Negara Islam,

3. Wae Raeh di Thailand 4. Hmong Guerilla di Laos

5. Cambodian Freedom Fighters (CFF) di Kamboja 6. Karen National Union di Myanmar


(34)

7. Kachin Defense Army di Myanmar

8. Muslim Liberation Organization of Burma di Myanmar

9. Jemaah Islamiyah di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Kamboja

10.Abu Sayyaf Group (ASG) di Filipina Selatan

11.Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina Selatan 12.Moro National Liberation Front (MNLF) di Filipina Selatan

Di kawasan Asia Tenggara peristiwa teror banyak terjadi di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Jamaah Islamiyah diduga berada di balik teror yang melanda Indonesia, sedangkan Abu Sayyaf bertanggung jawab atas teror yang terjadi di Filipina, dan kelompok pemberontak adalah pihak yang kerap menebar ketakutan lewat sejumlah aksi kekerasan di Thailand. Tidak mengherankan jika ketiga kelompok tersebut utamanya Jamaah Islamiyah paling sering disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi insiden teror.20

Jemaah Islamiyah

Kelompok ini berakar dari Darul Islam, yakni sebuah gerakan yang menginginkan diterapkannya hukum islam di Indonesia. Darul Islam berkembang di akhir tahun 1940an dan terus berupaya melawan pemerintahan RI. Pada tahun 1969, Abu Bakar Ba’asyir bersama dengan Abdullah Sungkar diduga melakukan operasi untuk mengembangkan Darul Islam. Menurut P>G Rajamohan dalam

20indarini nurvita, 2010, Terorisme sebagai fenomena globalisasi di Asia Tenggara dan Asia

Timur, makalah dipaparkan pada internasional symposium 2009, (Globalization: East and Southeast Asian Perspectives, di UGM Pada Oktober 2009). Diakses di


(35)

tulisannya tentang Jamaah Islamiyah, di era pemerintahan Soeharto, Ba’asyir pernah dijebloskan ke penjara tanpa peradilan lantaran dinilai membahayakan. Karenanya usai keluar dari penjara, Ba’asyir memilih untuk pergi ke Malaysia pada 1985 dan menjadi guru mengaji. Saat itulah dia dianggap sebagai pendiri Jamaah Islamiyah, dimana pengikutnya tersebar hingga di luar Malaysia. Ba’asyir bahkan merekrut sukarelawan untuk berjuang melawan Brigade anti-Muslim Soviet di Afghanistan.

Pada 1990, Ba’asyir bertemu Hambali, seeorang pria tang menginginkan berdirinya kekhalifaan Islam di Asia Tenggara, kemudian Ba’asyir menjadi pimpinan politik organisasi tersebut, sedangkan Hambali menjadi pimpinan militer. Bahkan Hambali mendirikan perusahaan Konsojaya untuk memfasilitasi pencucian uang sebagai bentuk dukungan pada keuangan dan logistic Jamaah Islamiyah. Meski demikian Ba’asyir menyatakan dirinya tidak terkait dan tidak tahu menahu tentang Jamaah Islamiyah. Rajamohan berpendapat, Jamaah Islamiyah mendukung gerakan Islam di seluruh dunia. Berdasar laporan AS, banyak pimpinan Jamaah Islamiyah yang mendapat pelatihan di camp teroris Pakistan dan Afghanistan, karena itulah mereka memiliki kaitan dekat dengan Al Qaedah dan Taliban. Lebih dari itu, Al Qaedah juga diyakini sebagai sumber pendanaan utama bagi Jamaah Islamniyah dan menyediakan logistic untuk mendukung kegiatan teroris.

Peneliti terorisme Sydney Jones memaparkan, Jemaah Islamiyah dibagi dalam 4 wilayah operasi di Asia Tenggra, yakni :


(36)

pada pendanaan.

2. Mantiqi 2 : Indonesia (Jawa dan Sumatera). Dititikberatkan sebagai wilayah Jihad.

3. Mantiqi 3 : Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia Timur, Indonesia (Kalimantan dan Sulawesi). Dititikberatkan sebagai daerah peltihan. 4. Mantiqi 4: Australia. Menitikberatkan pada aspek ekonomi dan

pendanaan.

Tujuan utama dari Jamaah Islamiyah adalah membentuk Negara Islam yang meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Filipina. Aksi teror yang dilakukan Jemaah Islamiyah seperti terlihat dalam pengeboman di Bali an di Jakarta adalah tipikal Al Qaedah, di mana yang menjadi target adalah kepentingan AS dan sekutunya. Sejak tahun 2000, Jemaah Islamiyah aktif melakukan teror yang antara lain dengan melakukan pengeboman di Bali pada 2002 dan 2005, pengeboman Keduber AS di Jakarta, pengeboman Hotel JW Marriott Jakarta pada 2004, dan yang terbaru adalah penegebomn Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott Jakarta pada pertengahan 2009.21

Abu Sayyaf Group (ASG)

Kelompok Abu Sayyaf terbentuk pada 1991 dan berlokasi di Filipina Selatan. Pendirinya adalah Abdurazak Abubakar Janjalani yang tewas tertembak oleh polisi pada 1998. Pemimpin selanjutnya yakni Khadaffi Janjalani pernah masuk dalam daftar teroris yang paling dicari oleh FBI sebelum tewas pada tahun 2006. Jumlah anggotanya kadang menurun dan kadang meningkat tajam, bahkan

21Sidney Jones speaks on Jemaah Islamiyah,


(37)

pernah tercatat ada 4000 orang yang menjadi anggota aktif. Tujuan kelompok ini adlah mendirikan Negara Islam di Mindanao Barat dan Kepulauan Sulu untuk selanjutnya mendirikan pan Islam di Asia Tenggara. ASG dikenal sebagai kelompok separatis paling keras. Mereka menggunakan teror untuk mendapatkan keuntungan finansial ataupun dalam menyerukan jihad. Kelompok ini kini tidak segan-segan menculik, mengebom, membunuh, dan juga pemerasan. ASG ditenggarai memiliki keterkaitan dengan Jemaah Islamiyah karena mereka pernah memberikan tempat perlindungan bagi anggota Jemaah Islamiyah dari Indonesia yang menadi buron.22

3.3 Kasus-kasus terorisme di Indonesia

Sulit untuk memberikan data yang akurat tentang perkembangan teorisme di Indonesia. Namun demikian, sebagai gambaran umum tentang kasus-kasus bom dan penggunaan bahan peledak yang pernah terjadi dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Gerakan Separatis Aceh

Gangguan keamanan dan ketertiban Aceh, ada kaitannya dengan tindakan Gerakan separatisme Aceh terjadi sejak proklamasi Gerakan Aceh Merdekan atau Aceh Sumatera-Front Pembebasan Nasional oleh Hasan Tiro tanggal 4 Desember 1976 di Bukit Cokan, daerah terpencil di Pidie, wilayah kekuasaan Tiro. Semula, tujuan utama Hasan Tiro memproklamirkan Gerakan tersebut adalah untuk kepentingan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan sumber alam Aceh.

22Abu Sayyaf Group, http://www.nctc.gov/site/groups/asg.html


(38)

Kemudian tujuan ini berkembang menjadi pembentukan kedaulatan Negara Islam Aceh terpisah dari Negara kesatuan RI. Dalam naskah proklamasi gerakan Aceh Merdeka yang ditulis dalam bahasa Aceh dan Bahasa Inggris menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah sebagai berikut:

a. melaksanakan hak pribadi mereka dalam menentukan nasib sendiri b. melaksanakan tugas melindungi tanah suci sebagai hak nenek moyang

bangsa Aceh

c. Undang-undang yang ada di wilayah kesatuan RI tidak berlaku sebab Negara Aceh telah memiliki konstitusi sendiri yakni Al Qur’an

Ada tiga daerah kesatuan operasi atau front gerakan Aceh merdeka:

A. Front Politik, dibawah kendali Hasan Tiro dari Swedia dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Penertiban buku tentang :

a. “status Hukum Aceh, Sumatera berdasarkan Hukum Inernasional (1980)

b. “harga sebuah kemerdekaan, Catatan Tengku Hasan Ditiro yang tidak terselesaikan (1988)

c. “Indonesia sebagai Model Negara Penjajah (1984)

2. Mengambil manfaat dari forum seminar yang diselenggarakan di Luar Negeri

3. Menjalin kerjasama dengan pimpinan-pimpinan gerakan kemerdekaan dunia, yang tergabung dalam UNPO (Unpresented Nation and People’s Organization) dibawah pimpinan presiden Libya Moamer


(39)

Khadafy

4. Melatih anggota GAM di Libya, Afghanistan dan Pakistan

B. Front Bersenjata, dibawah kendali komandan GAM dan komandan SAGOE dengan anggota yang diantaranya adalah mantan militer yang sudah dilatih di Libya, Afghanistan dan Pakistan yang memilki beberapa tugas sebagai berikut :

• menyerang semua petugas keamanan yang ditugaskan di Aceh

• menculik dan membunuh semua pejabat pemerintah yang tidak memiliki kebijaksanaan yang sama dengan GAM

• menculik dan membunuh orang-orang penting atau tokoh agama dan orang-orang penting lainnya, yang tidak mau membantu GAM

C. Front tertutup, dibawah kendali bekas tahanan, bekas tawanan politik dan eks GAM yang beroperasi tidak hanya di wilayah Aceh tapi juga di luar Aceh dengan melakukan kejahatan (seperti terlibat dalam peredaran obat-obat terlarang dan perampokan) untuk membeli senjata, amunisi dan bahan peledak illegal lainnya. Sejak Mei 2001 hingga Juni 2002, peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh gerakan separatis tercatat 87 kasus seperti penembakan, penculikan, kerusuhan, dan penyerangan yang mengakibatkan kerugian besar, tidak hanya materi tetapi juga jiwa.23

b. Kasus Pengeboman

1. Bom kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah duta besar Filipina, Menteng,

23

http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/terrorisme diakses pada 20 April 2016


(40)

Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.

2. Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan Jakarta. Tidak ada korban jiwa.

3. Bom malam natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.

4. Bom Gereja Santa Anna dan HKBP Jakarta, 23 September 2001. Di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas.

5. Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. 6 orang cedera.

6. Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi tengah, terjadi 4 ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.

7. Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga Negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, SULUT, bom rakitan juga meledak di kantor konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.

8. Bom Bali, 1 Oktober 2005. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.aja’s


(41)

bar dan restaurant, Kuta Square daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.

9. Bom dan baku tembak Jakarta, 14 Januari 2016. Ledakan dan baku tembak di sekitar Plaza Sarinah, Jakarta Pusat.24

3.4 Upaya penanganan Terorisme dalam ACCT oleh Pemerintah Indonesia

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Negara-negara di Asia Tenggara untuk bekerja sama menangani masalah terorisme. Hal ini terwujud dalam banyak hal, berupa kerja sama untuk memperlemah jaringan terorisme. Hal ini terwujud dalam banyak hal, berupa kerja sama untuk memperlemah jaringan teroisme transnasional, seperti kerja sama untuk menangani penyelundupan senjata gelap, pemalsuan dokumen, imigran illegal, dan pencucian uang.25 Selain itu, usaha Negara Asia Tenggara untuk menangani terorisme juga turut melibatkan Negara lain di dunia Internasional, sebagaimana tertuang dalam berbagai deklarasi di bawah ini :

• ASEAN-United States of America Joint Declaration fo Coorporation to Combat International Terrorism, Bandar Seri Begawan, 1 August 2002

24https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_di_Indonesia diakses pada 20 April 2016 25Rizal Sukma CSIS, The Future of ASEAN: Towards a security community, Makalah

diseminarkan pada ASEAN Coorporstion: Challenges and Prospects in the Curent Intenational Situation, New York, 3 Juni 2003 diakses di

http://www.indonesiamissionny.org/issuebaru/Mission/asean/paper_rizalsukma.PDF 



(42)

• ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism Bandar Seri Begawan, 5 November 2001

• Joint Communique of the Special ASEAN Ministerial Meeting on Terrorism, Kuala Lumpur, 20-21 May 2002

• Declaration on Terrorism by the 8th ASEAN Summit Phnom Penh, 3 November 2002

• 14th ASEAN-EU Ministerial Meeting Brussels 27-28 January 2003 Joint Declaration on Co-operation to Combat Terrorism

• Bali Regional Ministerial Meeting on Counter-Terroris Bali, Indonesia, 5 february 2004

Hingga akhirnya, pada KTT ke-12 ASEAN tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina, disepakatilah sebuah konvensi untuk menangani terorisme yang tertuang dalam ASEAN Convention on Counter Terrorism. Konvensi ini merupakan bagian dari Rencana Aksi Komunitas Keamanan ASEAN yang ditetapkan di Vientine, Laos. Pemandangan konvensi tersebut merupakan suatu keberhasilan atau landmark bagi kemajuan kerjasama ASEAN untuk memerangi terorisme. Konvensi tersebut regional yang kuat serta menjadi payung hukum berbagai bentuk kerjasama yang memuat kepentingan bersama termasuk kerjasama dalam bidang pencegahan, penegakan hukum dan program rehabilitasi yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak pidana terorisme.

Konvensi ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk peningkatan kerjasama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme. Selain memiliki karakter regional, ACCT bersifat komprehensif (meliputi aspek pencegahan, penindakan, dan program rehabilitasi) sehingga memiliki nilai tambah bila dibandingkan


(43)

dengan konvensi sejenis. Terkait dalam penanggulagan terorisme, Paul Wikinson, seorang professor Hubungan Internasional dengan spesialis di bidang studi terorisme dari Universitas Aberdeen di Belfast, melalui doktrin “two wars” menjelaskan tindakan yang harus dilakukan secara menyeluruh yang pada intinya merupakan harmonisasi dari dua strategi yaitu :26

1. Melakukan perang militer dan keamanan untuk mengidentifikasi, mengisolasi dan menghancurkan kekuatan revolusioner bantuan logistik dan jalur komunikasi

2. Melakukan perang politik, ideologi untuk mempertahankan dan menguatkan dasar dukungan publik terhadap tindakan pemerintah sehingga posisi teroris tersebut secara politik yang kemudian menjadi rapuh.

Untuk dapat melihat dengan jelas berikut upaya kerjasama penanganan terorisme seperti yang termuat dalam pasal VI bidang kerja sama ACCT : 27

1. Mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah tindakan teroris, termasuk pemberian peringatan dini kepada pihak lain melalui pertukaran informasi;

2. Mencegah orang-orang yang membiayai, merencanakan, memfasilitasi, atau melakukan tindakan teroris menggunakan wilayah mereka

masing-26Adrini Pujayanti, Kebijakan Luar negeri Pemerintah Bush terhadap Terorisme Internasional,

Jakarta : Pusat Kajian dan Pelayanan informasi SEKJEN DPR RI, 2002, hal. 163

27 http://www.aseansec.org/asean_project.htm diakses 29 Maret 2016


(44)

masing untuk keperluan yang bertentangan dengan pihak lain dan atau warga Negara dari pihak lainnya;

3. Mencegah dan memberangus pembiayaan dari tindakan teroris;

4. Mencegah gerakan teroris atau kelompok teroris oleh pengawasan perbatasan yang efektif dan kontrol pada penerbitan kartu identitas dan dokumen perjalanan, dan melalui langkah-langkah untuk mencegah pemalsuan, penipuan atau pemalsuan penggunaan dokumen kertas dan dokumen perjalanan;

5. Meningkatkan kapasitas termasuk pelatihan dan kerjasama teknis dan penyelenggaraan pertemuan regional;

6. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya mengatasi terorisme, serta dialog seagama dan antar agama/keyakinan dan dialog antar peradaban;

7. Meningkatkan kerja sama lintas batas;

8. Meningkatkan pertukaran intelijen dan berbagi informasi;

9. Meningkatkan kerjasama yang ada dengan pengembangan database regional atas badan ASEAN yang relevan ASEAN;

10. Memperkuat kemampuan dan kesiapan untuk menangani kimia, biologi, radiological, nuklir (CBRN) terorisme, cyber terorisme dan segala bentuk baru terorisme;

11. Melakukan penelitian dan pengembangan pada langkah-langkah untuk menghalau terorisme;

12. Mendorong penggunaan video conference atau teleconference fasilitas untuk proses pengadilan, dimana tempat, dan


(45)

13.Memastikan bahwa setiap orang yang berpartisipasi dalam pembiayaan, perencanaan, perisapan atau tindakan kriminal teroris atau dalam mendukung tindakan teroris atau dalam mendukung tindakan teroris yang dibawa ke pengadilan.

Dari elaborasi di atas dapat dilihat bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh ASEAN seperti yang ditelurkan dalam ACCT, usaha tersebut dapat mempersempit gerak para teroris dan meminimalisir tindakan terorisme di kawasan Asia Tenggara.

Sekarang ini hanya ada kerja sama penaggulangan terorisme dalam ASEAN dalam kondisi atas berbagi intelijen atau memulangkan kembali seorang teroris dari suatu Negara ASEAN yang tertangkap di Negara ASEAN lain ke tempat asalnya sebagai contoh Aturan mengenai ekstradisi ini diatur dalam Pasal XIII yang berbunyi :

Pihak yang di wilayahnya tersangka pelaku kejahatan berada, dalam hal Pasal VII Konvensi ini berlaku, apabila tidak mengekstradisi orang tersebut, diwajibkan, tanpa pengecualian apa pun dan apakah kejahatan itu dilakukan atau tidak dilakukan diwilayahnya, meyerahkan kasus tersebut tanpa penundaan kepada otoritas berwenang untuk tujuan penuntutan, melalui proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan domestik Pihak tersebut. Para otoritas dimaksud wajib mengambil keputusan dengan cara yang sama dalam kasus kejahatan serius lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan domestik Pihak dimaksud. Kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini wajib dianggap masuk sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam setiap


(46)

perjanjian ekstradisi yang telah ada diantara Para Pihak sebelum berlakunya Konvensi ini.

Para Pihak sepakat untuk memasukkan kejahatan-kejahatan tersebut sebagai kejahatan yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang akan dibentuk di antara mereka. Apabila suatu Pihak, yang melakukan ektradisi mensyaratkan adanya suatu perjanjian, menerima suatu permintaan ekstradisi dari pihak lain yang dengannya tidak memiliki perjanjian ekstradisi, pihak yang di minta dapat, bila diperlukan, atas pilihannya, dan selaras dengan peraturan perundang-undangan domestiknya, mempertimbangkan untuk menjadikan Konvensi ini sebagai suatu dasar hukum bagi ekstradisi atas kejahatan-kejahatan yang tercakupi dalam Pasal II Konvensi ini.

3.4.1 Undang-Undang No. 5 Tahun 2012

Kebijakan keamanan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia atas upaya penanganan terorisme adalah undang No. 5 Tahun 2012. Undang-undang ini merupakan ratifikasi terhadap ASEAN Convention on Counter

Terrorism (Konvensi ASEAN tentang pemberantasan terorisme). Terorisme yang

digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime membutuhkan pola penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (extraordinary measure). Mengingat kategori terorisme yang luar biasa yang tidak dapat ditangani dengan cara-cara biasa, maka Indonesia sebagai salah satu negara di ASEAN yang wilayahnya memiliki potensi tinggi terhadap serangan teroris, meyakini bahwa dengan adanya peraturan yang mengikat dalam kerangka kerjasama di ASEAN . maka pemberantasan terorisme di kawasan Asia Tenggara


(47)

dapat dilakukan denagn cara kerja sama kemanan regional yaitu melalui konvensi ACCT.

Ratifikasi ACCT menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 2012 diyakini oleh pemerintah Indonesia bahwa kerjasama keamanan dengan negara-negara tetangga untuk menangani sebuah masalah bersama-sama seperti isu terorisme yang mengancam keamanan sebuah negara dan keamanan regional memang tidak dapat dihindari. Ratifikasi ACCT menjadi Undang-undang No. 5 Tahun 2012 juga diikuti dengan pandangan pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya bahwa tindakan terorisme tidak boleh dihubungkan dengan agama, kewarganegaraan, peradaban, dan kelompok etnis manapun, menghormati kedaulatan masing-masing negara, kesetaraan, integritas wilayah dan identitas nasional, tidak campur tangan urusan dalam negeri, menghormati yuridiksi kewilayahan, adanya bantuan hukum timbal balik, ekstradisi, dan menyelesaikan perselisihan secara damai. Dalam ACCT juga terdapat program rehabilitasi bagi tersangka terorisme untuk kembali ke dalam lingkungan masyarakat, melalui program rehabilitasi ini diharapkan dapat menyelesaikan akar masalah terorisme, dengan cara perlakuan adil dan manusiawi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam proses penanganannya.28

3.4.2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2013

Undang-undang No. 9 Tahun 2013 merupakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia terkait tentang penceghan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Keluarnya undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari raitifikasi

28

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2012.


(48)

International Convention for The Supression of The Fianancing of Terrorism,

1999 atau konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, sehingga pemerintah Indonesia wajib untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait dengan pendanaan terorisme sesuai dengan yang diatur dalam konvensi tersebut, hal ini juga diatur dalam Pasal VI bidang kerja sama ASEAN Convention

on Counter Terrorism pada poin b dan c yaitu mencegah siapapun yang

mendanai, merencanakan, memfasilitasi atau melakuakan tindakan teroris serta mencegah dan menindak pendanaan tindakan teroris. Aksi serangan terorisme yang telah terjadi diyakini berhasil dilakukan akibat adanya sumbangan dana yang diterima oleh kelompok teroris dan kemudian dana tersebut digunakan untuk melakukan aksi terornya,

Maka untuk pencegahan dini adanya berbagai aksi serangan teroris di Indonesia maupun di luar negeri maka melalui undang-undang ini menjadi acuan untuk menelusuri aliran dana untuk kegiatan terorisme tersebut. Dana yang diterima oleh jaringan terorisme yang aktif di Indonesia diyakini juga berasal dari luar negeri. Seperti Jemaah Islamiyah (JI) yang banyak mendapatkan dana dalam melakukan aksi terorisme, dana tersebut diperoleh dari jaringan teroris internasional yaitu Al-Qaeda. Oleh karena pendanaan terorisme tersebut bersifat lintas negara sehingga melalui UU No. 9 Tahun 2013 ini akan diatur mekanisme dalam upaya melakukan pencegahan dan pemberantasan penyediaan dana terorisme ini dengan melibatkan Penyedia Jasa Keuangan, aparat penegak hukum dan kerjasama internasioanl untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme.29

29


(49)

3.4.3 BNPT dan Detasemen Khusus 88

Pasca terjadinya tragedy serangan WTC (9/11) respon pertama pemerintah Indonesia adalah membentuk sebuah kelembagaan penanggulangan terorisme melalui perintah Presiden Megawati kepada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Setelah sepuluh hari Bom Bali I meledak pada tanggal 22 Oktober 2002 Indonesia telah mendirikan Desk Koordinasi Penanggulangan Terorisme di bawah Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan. Desk ini memiliki spectrum tugas yang luas dan bersifat koordinatif terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan badan keamanan yang telah ada sebelumnya, termasuk Kepolisian dan Militer.

Adapun tiga peran utama yang dimiliki Desk ini yakni :

1. Mengkoordinasikan dan mengintegrasikan pemyusunan dan kebijakan dan strategi pemerintah dalam menanggulangi terorisme, termasuk aktivita intelijen

2. Mengkoordinasikan aktivitas di bidang penyelidikan dan penuntutan dan langkah-langkah hukum lainnya

3. Mengkoordinasikan kerja sama internasional di bidang kelembagaan dan peningkatan kapasitas melalui kerjasama teknis, kepolisian dan kerja sama intelijen.30

Adanya hambatan birokrasi, dan persaiangan antar lembaga pemerintah, serta staf yang dimiliki oleh desk ini tidak mencukupi, sehingga Desk tidak dapat bekerja sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Kementrian Koordinator Politik dan Keamanan. Sehingga Desk yang telah dibentuk tersebut hanya 30

Anggalia Putri Permata Sari, Penerapan Strategi Penggentaran Dalam Upaya Penanggulangan

Terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia, Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia, Depok, 2013, hal 183


(50)

menjalankan tugas untuk mengkoodinasikan beberapa aktivitas bantuan luar negeri, dan bukan tugas utamanya untuk mengkoordinasikan kebijakan, strategi, rencana, dan aktivitas penanggulangan terorisme di Indonesia.

Pada tahun 2010 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2010, maka Desk tersebut berkembang menjadi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang kepalanya dapat mengikuti rapat kabinet sehingga BNPT dapat disejajarkan dengan Kementerian. BNPT membawahi tiga Deputi.31 Deputi pertama bertanggung jawab atas pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi. Deputi kedua bertanggung jawab atas operasi dan peningkatan kapabilitas, dan deputi ketiga bertanggung jawab atas kerjasama internasional.32

Kemudian Detasemen Khusus (Densus) 88 merupakan Detasemen khusus dari Kepolisian Republik Indonesia untuk pemberantasan terorisme berada di bawah deputi operasi dan kapabilitas, namun tetap berada di bawah Komando Kapolri. Detasemen Khusus 88 merupakan Detasemen Khusus Polri yang dibentuk pasca terjadinya Bom Bali I, pada bulan April 2013, Kapolri mendirikan Direktorat atau Unit Anti Terorisme di bawah Markas Besar Polri. Direktorat Anti-Terorisme yang dibentuk ditugasi untuk mengembangkan starategi dan kebijakan serta mengontrol berbagai unit operasional di Indonesia. Unit Operasional yang dibentuk oleh Direktorat tersebutlah yang menjadi inti dari Detasemen 88. Densus 88 yang dibentuk oleh Polri dengan bantuan Amerika pada tahun 2003 dan secara formal didirikan pada tahun 2004. Densus 88 dijadikan sebagai mekanisme pemerintah untuk mengelola rencana dan kebijakan kontra

31

Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

32


(51)

terorisme, pelatihan dan juga dana bantuan. Lembaga ini juga mengirimkan berbagai unit taktis anti-teror ke seluruh penjuru Indonesia.

Peran yang dimiliki oleh BNPT adalah dalam hal strategi dan kebijakan serta pengelolaan pelatihan dan bantuan, sedangkan unit Densus 88 menjadi unit yang bertugas untuk “catch” dan “capture” teroris dan juga sebagai ujung tombak disrupsi sel dan jaringan teroris di Indonesia. Kinerja Densus 88 dalam menangkap teroris dan membongkar jaringan teror di Indonesia dinilai sangat baik oleh berbagai pihak, termasuk pihak luar negeri. Hal lain yang juga banyak mendapat pujiannya adalah kemampuan Polri untuk menyelidiki kasus dan mengumpulkan bukti-bukti untuk mengadili tersangka teroris di pengadilan, keberhasilan Densus 88 kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya sumber daya yang diterima dan sumber daya tersebut diperoleh dari AS.

3.4.4 Menjaga Keamanan Nasional dan Integritas Teritorial

Sesuai dengan dua dari empat tujuan terbentuknya Pemerintah Negara Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Maka dilihat dari tujuan tersebut, Indonesia sebagai sebuah negara harus mengambil sikap dan membuat kebijakan di dalam dan luar negeri untuk mengahadapi ancaman terorisme yang telah berkembang di dalam negeri dan kawasan Asia Tenggara.

Kejahatan terorisme yang bersifat lintas batas negara telah memakan banyak korban jiwa, dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, hilangnya kemerdekaan akibat rasa takut dari teror yang dilakukan oleh jaringan terorisme


(52)

yang melakukan pengeboman di tempat-tempat umum, akibatnya yang menjadi korban adalah warga negara Indonesia dan juga warga negara asing yang tinggal ataupun berkunjung ke Indonesia atau ke negara-negara Asia Tenggara.

Tidak hanya itu dampak kejahatan terorisme juga berimbas ke pertumbuhan ekonomi negara. Untuk menangkal aksi terorisme tersebut maka melalui ACCT ini, Indonesia melakukan kerja sama pengawasan perbatasan yang efektif dan pengawasan penertiban surat-surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan dan juga untuk mencegah pemalsuan, penjiplakan, atau penyalahgunaan surat-surat identitas dan dokumen lainnya.

Pengawasan perbatasan memang sangat penting bagi Indonesia, karena di Asia tenggara, Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah territorial yang paling luas dan bentuk territorial Indonesia merupakan kepulauan, sehingga pulau-pilau terluar Indonesia sangat memiliki potensi sebagai tempat persembunyian dan dijadikan sebagai kamp pelatihan kelompok-kelompok teroris dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara. Salah satu hal yang paling harus diawasi untuk mencegah masuknya terorisme regional maupun Internasional ke wilayah Indonesia adalah melalui pengawasan maritime. Dalam pengawasan maritim ada satu wilayah yang memiliki kerentanan khusus karena sering digunakan sebagai jalur keluar-masuknya teroris dari Indonesia ke Filipina, Malaysia, dan juga jalur penyelundupan senjata. Wilayah ini disebut sebagai

Tri-Border Area (TBA) atay segitiga transit teroris yang berada di sekitar Laut

Sulawesi da Selat Makassar.33

33

Charles Corner, The Parting of The Sulawesi Sea: How U.S. Strategy in the Region

Transforming the Mulltinational Environment in Southeast Asia’s terrorist transit Triangle, 2012,


(53)

Wilayah di Laut Sulawesi ini tercatat sebagai wilayah transit teroris yang terdiri bebrbagai rute. Rute yang pernah terekspos adalah rute yang menghubungkan Manado di Indonesia dan General Santos City di Filipina. Rute ini disoroti setelah pecahnya konflik Poso di Sulawesi Tengah pada tahun 2007. Senjata yang dimiliki oleh kelompok fundamentalis Islam didatangkan dari Filipina. Melihat dari kurangnya pengawasan perairan terluar Indonesia tentu saja memudahkan kelompok-kelompok teroris yang aktif di Indonesia untuk masuknya para anggota-anggota teroris lainnya yang berasal dari luar negeri masuk ke dalaw wilayah NKRI.

Adanya ACCT ini sebagai kerangka kerja sama dalam mengawasi daerah perbatasan sehingga membantu Indonesia untuk mencegah masuknya terorisme, ataupun penyelundupan senjata yang digunakan untuk melakukan serangan terorisme di Indonesia. Adanya pengawasan dalam penertiban dokumen-dokumen perjalanan akan membantu Indonesia dalam mendeteksi dini anggota kelompok teroris yang bukan WNI masuk ke wilayah Indonesia untuk melakukan operasi serangan teror di Indonesia.

3.4.5 Undang-Undang No. 17 tahun 2011

Melalui ACCT yang mneyebutkan dalam pasal II poin h tenang

meningkatkan pertukaran data intelijen. Pemerintah Indonesia kemudian

Menetapkan UU No. 17 tahun 2011 tentang intelijen Negara yang berperan

melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk mendeteksi dini dan

peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan


(54)

kepentingan nasional.34 Hal itu secara jelas membutikan bahwa upaya kontra

terorisme secara serius dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia lewat Badan

Intelijen Negara (BIN).

3.5 ASEANAPOL

ASEANAPOL adalah salah satu organisasi perkumpulan 10 Kepala

Kepolisian ASEAN, namun ASEANAPOL ini bukan dibawah sekretariat ASEAN

yang berada di Jakarta. ASEANAPOL merupakan sebuah organisasi independen

yang non politis, kesekretariatan ASEANAPOL juga bukan “Decision Making”

atau pembuat keputusan, karena ketua ASEANAPOL adalah kepala kepolisian

negara ASEAN yang bergantian dengan masa tugas selama 1 tahun sekali dan

berputar secara Alpahbethical Order.

Forum ASEANAPOL sudah berdiri sejak tahun 1981 atas prakarsa dari para kepolisian lima Negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Sampai dengan ahun 2000 dengan masuknya Myanmar menjadi anggota, maka ASEANAPOL telah mempunyai 10 negara anggota sebagaimana keanggotaan dalam forum ASEAN.

a. Kerjasama Intelijen

Upaya penanganan terorisme yang dilakukan oleh ASEANAPOL mencakup beberapa hal, yaitu : pertukaran informasi yang berkaitan dengan tersangka terorisme dan organisasi terkait terorisme, berbagi informasi dan fasilitas akses diantara negara anggota dalam menginterview tersangka teroris, menyediakan

34


(55)

bantuan kepada negara anggota termasuk pelacakan, pembekuan, dan penyitaan assets yang terkait teroris dan mempromosikan kerjasama yang erat antara entitas penegak hukum dan institusi keuangan.35 Serta menjalin kerja sama dengan entitas yang terkait semisal Interpol serta pembentukan pasukan anti terorisme di masing-masing negara ASEAN. Namun demikian, ASEANAPOL ini ternyata bukan bagian dari struktur organisasi ASEAN. Penggunaan nama ASEAN disini adalah untuk menunjukkan cakupan kawasan yang menjadi ruang lingkup pekerjaan ASEANAPOL. ASEANAPOL ini hirau dengan keamanan regional di kawasan Asia Tenggara yang juga merupakan joint partnership dengan pemerintah AS. Tidak hanya dalam urusan terorisme namun juga dalam urusan

trans national organized crime. Selain itu operasionalisasi kontra terorisme oleh

ASEANAPOL juga meliputi pembekuan asset dan perjanjian ekstradisi teroris.

b. Pelatihan Bersama

Pernah dilaksanakan sebagai follow up dari The ARF Inter-Sessional

Meeting on Counter Terorrism and Transnational Crime yang disetujui di Sabah

pada tahun 2003. Melalui konsensus ini, AS menyediakan dukungan teknis bagi beberapa negara ASEAN untuk melakukan pelatihan bersama seperti pasca ledakan, investigasi forensik, pelatihan pasukan respon cepat, keamanan perbatasan, pengembangan software, dan cyberterrorism, selain itu, pelatihan pengamanan penerbanagan dan lokakarya kesiapan mengahadapi senjata kimia, biologi, dan nuklir oleh kelompok teroris pun dilakuan antara AS dengan Singapura serta Australia. Oleh karena itu, apa yang saat ini terjadi di Asia Tenggara sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang dapat dikatakan selaras 35

http://www.policylaundering.org/keyplayers/ASEAN-aseanapol.html


(56)

dengan kepentingan AS dalam konteks Global War on Terror. ASEAN menyediakan landasan kebijakannya tetapi dalam konteks operasional dan strategi kontra terorisme, semuanya diserahkan kepada masing-masing negara anggota ASEAN itu sendiri apakah dengan atau tanpa bantuan AS.36

Setelah lebih tiga dekade terbentuknya ASEANAPOL yang berdiri pada tahun 1981, Polri kembali menjadi tuan rumah pertemuan para Kepala Kepolisian se-ASEAN “The 35th ASEANAPOL Conference” yang dilaksanakan pada tanggal 3 s.d 7 Agustus 2015 di Hotel Borobudur, Jakarta, Indonesia. Polri telah 5 kali menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Konferensi ASEANAPOL ini. Konferensi ASEANAPOL ke-35 dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI, Bapak Muhammad Jusuf Kalla pada tanggal 4 Agustus 2015 pukul 09:00 WIB. Dalam sambutannya menyampaikan lima penekanan yaitu :

• Perlunya penguatan tekad dan komitmen serta kerjasama yang baik dari para penegak hukum di kawasan ASEAN dalam mengantisipasi berbagai jenis kejahatan transnasional, seperti narkoba, human

trafficking, terorisme dan kejahatan lainnya dalam rangka tercapainya

keamanan dan stabilitas di kawasan

• Persiapkan secara matang ASEAN Community 2015 agar tidak menimbulkan kegamangan terhadap pelaku usaha dan masyarakat ASEAN pada umumnya demi terwujudnya kemakmuran bersama masyarakat ASEAN

• 2 (dua) poin penting yang dibahas dalam konferensi ini, adalah

36Yani, M yanyan, Keharmonisan kerjasama kontra terorisme negara-negara anggota ASEAN

dalam kerangka ASEAN Security Community. 2012. www.jurnal.unpad.ac.id Diakses pada


(57)

peningkatan kerja sama di bidang operasional dan peningkatan kapasitas personel

• pentingnya meningkatkan dan menjaga stabilitas keamanan kawasan ASEAN

• perlunya penyusunan instrument hukum regional bersama yang mengikat dan mampu memberikan serta menjamin stabilitas keamanan kawasan, termasuk dalam mengatasi berbagai jenis kejahatan transnasional.37

37http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/terrorisme


(58)

BAB IV

KESIMPULAN

Isu terorisme merupakan sebuah isu yang cukup serius dewasa ini. Isu ini mulai mengkhawtirkan karena tidak hanya dilakukan oleh satu kelompok namun juga memiliki jaringan yang luas dan bersifat transnasional, oleh sebab itu kerja sama regioanal pun sangat diperlukan dalam isu ini. penanganan dan pencegahannya juga harus dilakukan secara maksimal agar ke depan persoalan terorisme tidak lagi menjadi penghambat bagi stabilitas keamanan dan kemajuan Negara-negara anggota ASEAN. ASEAN Political-Security Community adalah sebuah sub dari komunitas ASEAN 2015 yang memiliki tujuan untuk membentuk sebuah kawasan Asia Tenggara yang aman, damai, demokratis, serta harmonis. Yang menjadi tujuan utama dari terbentuknya Komunitas ASEAN yang trerdiri dari tiga pilar yakni ASEAN Political-Security Community,ASEAN Economic

Community dan ASEAN Socio-Cultural Community, adalah agar terciptanya

Negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tadinya hanya sekedar bersifat kerjasama atau kooperatif menjadi inegratif.

Diberlakukannya kerjasama ASEAN Convention On Counter Terrorism (ACCT) merupakan sebuah langkah preventif yang sangat baik bagi Negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam menghadapi isu terorisme. Dalam konvensi ini seluruh Negara yang tergabung di dalam ASEAN telah menyepakati 23 pasal yang ada di dalam konvensi ini. upaya kerjasama penanggulangan terorisme seperti yang termuat dalam ACCT adalah sebagai berikut :


(59)

1. Mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah tindakan teroris, termasuk pemberian peringatan dini kepada pihak lain melalui pertukaran informasi;

2. Mencegah orang-orang yang membiayai, merencanakan, memfasilitasi, atau melakukan tindakan teroris menggunakan wilayah mereka masing-masing untuk keperluan yang bertentangan dengan pihak lain dan atau warga Negara dari pihak lainnya;

3. Mencegah dan memberangus pembiayaan dari tindakan teroris;

4. Mencegah gerakan teroris atau kelompok teroris oleh pengawasan perbatasan yang efektif dan kontrol pada penerbitan kartu identitas dan dokumen perjalanan, dan melalui langkah-langkah untuk mencegah pemalsuan, penipuan atau pemalsuan penggunaan dokumen kertas da dokumen perjalanan;

5. Meningkatkan kapasitas termasuk pelatihan dan kerjasama teknis dan penyelenggaraan pertemuan regional;

6. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya mengatasi terorisme, serta dialog seagama dan antar agama/keyakinan dan dialog antar peradaban;

7. Meningkatkan kerja sama lintas batas;

8. Meningkatkan pertukaran intelijen dan berbagi informasi;

9. Meningkatkan kerjasama yang ada dengan pengembangan database regional atas badan ASEAN yang relevan ASEAN;


(60)

10. Memperkuat kemampuan dan kesiapan untuk menangani kimia, biologi, radiological, nuklir (CBRN) terorisme, cyber terorisme dan segala bentuk baru terorisme;

11. Melakukan penelitian dan pengembangan pada langkah-langkah untuk menghalau terorisme;

12. Mendorong penggunaan video conference atau teleconference fasilitas untuk proses pengadilan, dimana tempat, dan

13. Memastikan bahwa setiap orang yang berpartisipasi dalam pebiayaan, perencanaan, perispan atau tindakan criminal teroris atau dalam mendukung tindakan teroris atau dalam mendukung tindakan teroris yang dibawa ke pengadilan.

Dalam hal upaya penanganan terorisme pemerintah Indonesia melakukan

kerja sama regional ASEAN dengan menandatangani ASEAN Convention on

Counter Terrorism pada KTT ke-12 di Cebu Filipina, serta meratifikasi konvensi

ACCT ke dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2012 dan juga Undang-Undang

Nomor 9 tahun tentang Pendanaan Terorisme. Tak hanya sampai disitu dalam

upaya penanganan atau kontra terorisme yang dilakukan pemerintah.

Pada tahun 2010 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2010,Pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang kepalanya dapat mengikuti rapat kabinet sehingga BNPT dapat disejajarkan dengan Kementerian. BNPT membawahi tiga Deputi, Deputi pertama bertanggung jawab atas pencegahan, perlindungan, dan deradikalisasi. Deputi kedua bertanggung jawab atas operasi dan peningkatan kapabilitas, dan deputi


(61)

ketiga bertanggung jawab atas kerjasama internasional.

Kemudian Detasemen Khusus (Densus) 88 merupakan Detasemen khusus dari Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka upaya untuk pemberantasan terorisme berada di bawah deputi operasi dan kapabilitas, namun tetap berada di bawah Komando Kapolri. Pada bulan April 2013, Kapolri mendirikan Direktorat atau Unit Anti Terorisme di bawah Markas Besar Polri. Direktorat Anti-Terorisme yang dibentuk ditugasi untuk mengembangkan starategi dan kebijakan serta mengontrol berbagai unit operasional di Indonesia. Unit Operasional yang dibentuk oleh Direktorat tersebutlah yang menjadi inti dari Detasemen 88.


(62)

SARAN

Terkait dengan upaya penanganan terorisme melalui ACCT oleh pemerintah Indonesia, penulis memiliki beberapa saran yang diantara adalah, Yang pertama, dalam kerja sama pengawasan dokumen-dokumen perjalanan ataupun kependudukan, pemerintah harus mampu mengoptimalkan E-KTP, agar memudahkan Pemerintah Indonesia dalam mengawasi orang-orang yang merupakan kelompok teroris. Masih sering terjadi KTP ganda di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa pemerintah masih lemah dalam pengawasan dalam mengatur dan menyimpan data base kependudukan, ini menjadi kesempatan yang dimanfaatkan kelompok teroris untuk memudahkan aksinya.

Yang kedua, dalam pengawasan perbatasan TNI harus difasilitasi sarana prasarana

dan alutsista yang mumpuni dalam melakukan tugas pengawasan territorial. Yang

ketiga, tokoh-tokoh agama sangat dibutuhkan dalam upaya kontra teroris, melalui

dialog-dialog antar dan sesame umat beragama dapat memberikan pandangan yang benar bahwa terorisme bukan merupakan tindakan yang dibenarkan oleh agama apapun. Peran tokoh tersebut menjadi sangat penting dalam upaya pemerintah melakukan kontra radikalisasi dan proses deradikalisasi bagi mantan narapidana terorisme dan pada akhinya berguna untuk persatuan dan kesatuan bangsa.


(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh :

Nama : Ridwan Batubara NIM : 120906064

Judul : Upaya Penanganan Terorisme Dalam Kerjasama ASEAN Convention On Counter Terrorism Oleh Pemerintah Indonesia

Dilaksanakan Pada:

Hari : Tanggal : Pukul : Tempat :

Tim Penguji:

Ketua :

( )

Penguji Utama :

( )

Penguji Tamu :


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh Nama : Ridwan Batubara

NIM : 120906064 Departemen : Ilmu Politik

Judul :Upaya Penanganan Terorisme Dalam Kerjasama ASEAN Convention On Counter Terrorism Oleh Pemerintah Indonesia

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik, Dosen Pembimbing,

Dra. T. Irmayani, M.Si. Dr. Heri Kusmanto, MA NIP. 196806301994032001 NIP. 196410061998031002

Mengetahui, Dekan FISIP USU,

Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si NIP. 197409302005011002

vi


(3)

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda Tercinta dan Ayahanda Tercinta


(4)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Upaya Penanganan Terorisme Dalam Kerja Sama ASEAN Convention On Counter Terrorism Oleh Pemerintah Indonesia”. Skripsi ini menjelasakan tentang bagaimana upaya penanganan terorisme oleh pemerintah Indonesia melalui kerja sama ACCT, Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN dan juga salah satu negara yang juga memiliki tingkat kejahatan terorisme yang cukup tinggi menuntut Indonesia untuk melakukan berbagai upaya yang ekstra. Dalam konvensi ini terjadi beberapa kesepakatan yang dilakukan oleh negara-negara di Asia tenggara. Untuk Indonesia sendiri, tindak lanjut yang dilakukan oleh pemerintah dari konvensi ini ialah melakukan ratifikasi konvensi ini dalam beberapa legislasi, dan upaya lainnya. Penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan kesemournaan skripsi ini sehingga lebih bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Karena penulis menyadari dengan keterbatasan waktu dan dana, maka penelitian ini jauh dari rasa dan kata memuaskan.

Alhamdulillah, atas syukur kepada Allah SWT, penulis diberikan rahmat berupa kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan skripsi dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal, tidak kurang dari delapan bulan. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Heri Kusmanto, MA, karena telah menjadi dosen pembimbing skripsi saya, dan memberi masukan, kritikan, saran serta perbaikan dalam penulisan skrispsi saya, dan juga saya ucapkan terimakasih kepada pak Faisal Andri Mahrawa yang telah menjadi dosen PA saya yang mengajarkan saya tentang bagaimana mencintai proses.

Kepada seluruh keluarga tercinta, ibunda dan ayahanda dan kakak adikku yang telah banyak membantu, merawat, memberikan perhatian dan semangat yang besar kepada penulis. Tak lupa sata juga berterimakasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2012 yang telah memberikan pengalaman kehidupan selama empat tahun berkuliah.

Medan, 14 Juli 2016

(Ridwan Batubara)

viii


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Abstrak ……… ii

Abstract ……… iv

Halaman Pengesahan ……… vi

Halaman Persetujuan ………. vii

Lembar Persembahan ……… viii

Kata Pengantar ……….. ix

Daftar Isi ……….. x

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Perumusan Masalah ……….. 5

C. Batasan Masalah ……… 5

D. Tujuan Penelitian ……… 6

E. Manfaat Penelitian ………. 6

F. Kerangka Teori ……… 7

G. Metode Penelitian ……….. 16

H. Sistematika Penulisan ………. 17

BAB II ASEAN Political Security dan ASEAN Convention On Counter Terrorism A. Pembentukan ASEAN dan Latar Belakang Sejarahnya…….. 19

B. Transformasi ASEAN menuju Komunitas ASEAN 2015….. 22

C. Komunitas Politik-Keamanan ASEAN……… 26

D. Badan-badan sektoral Pilar Komunitas Politik-Keamanan… 31 E. Perkembangan isu-isu dalam Pilar Komunitas Keamanan…. 42 F. Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme…….. 49


(6)

BAB III Upaya Penanganan Terorisme Dalam Kerjasama ASEAN Convention on Counter Terrorism Oleh Pemerintah Indonesia

A. Pendahuluan ……… 58

B. Karakter atau Ciri terorisme ……… 60

C. Bentuk-Bentuk Terorisme ……… 62

D. Fenomena Terorisme di ASEAN ………. 64

E. Kasus-kasus Terorisme di Indonesia ……… 68

F. Upaya Penanganan Terorisme dalam ACCT Oleh Pemerintah Indonesia ………. 72

G. Undang-Undang No. 5 Tahun 2012 ………. 77

H. Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 ……….. 78

I. BNPT dan Detasemen Khusus 88 ………. 80

J. Menjaga Kemananan Nasional dan Integritas Teritorial ….. 82

K. Undang-Undang No. 17 Tahun 2011 ……….. 85

L. ASEANAPOL ……… 85

BAB IV Penutup A. Kesimpulan ……… 89

B. Saran ……… 93

Daftar Pustaka ………. 94

Daftar Lampiran : Cetak Biru Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme

x