Perbedaan motif berprestasi antara etnis tionghoa peranakan dengan etnis tionghoa totok - USD Repository

  

PERBEDAAN MOTIF BERPRESTASI ANTARA ETNIS

TIONGHOA PERANAKAN DENGAN ETNIS TIONGHOA

TOTOK

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu

syarat memperoleh gelar sarjana psikologi

program studi psikologi

  

Disusun oleh

Yun Anita Aditya

NIM : 999114073

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

  

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

  • --☺--

  • --☺--

  

I believe i can fly,

I believe I can touch the sky,

I’ve think about it every night and day,

Spread my wings and fly away

  ! " ! Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 30 November, 2007 Penulis

  Yun Anita Aditya

  

ABSTRAK

PERBEDAAN MOTIF BERPRESTASI ANTARA ETNIS TIONGHUA

PERANAKAN DENGAN ETNIS TIONGHUA TOTOK

Yun Anita Aditya

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2007

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat motif berprestasi antar Etnis Tionghua Peranakan dengan Etnis Tionghua Totok. Motif berprestasi (need of achievement) diartikan sebagai motif yang mendorong individu untuk berpacu dengan ukuran keunggulan yang didapat dari dirinya sendiri, yang berkaitan dengan prestasi yang dicapai dimasa lalu dan digunakan sebagai pembanding (self related standard of excellence), prestasi yang dicapai oleh orang lain (other related standard of exlellence), dan dapat pula dari suatu ukuran yang berhubungan dengan kesempurnaan hasil tugas (task related

  

standard of excellence ). Empat unsur penyebab motif berprestasi, yaitu

kemampuan (kekuatan), usaha, kesukaran tugas, dan keberuntungan (kebetulan).

  Subyek dari penelitian ini berjumlah 44 orang yang semuanya Etnis Tionghua dengan perbandingan 21 subyek Etnis Tionghua Totok dan 23 subyek Etnis Tionghua Peranakan. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah skala untuk mengukur tingkat motif berprestasi pada tiap-tiap subyek.

  Uji reliabilitas skala untuk tingkat motif berprestasi ini mendapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0.915. ini menunjukan skala yang digunakan mampu mengukur tingkat motif berprestasi pada subyek. Penelitian ini bersifat perbandingan dua variabel bebas, maka tehnik analisis yang digunakan adalah uji- t untuk sampel bebas (Independent sample t-test) dari SPSS 13.00 for windows.

  Hasil dari uji-t sebesar 0,417 yang menunjukan bahwa hipotesis penelitian ini ditolak. Dapat dikatakan tidak ada perbedaan motif berprestasi antara Etnis Tionghua Peranakan dan Etnis Tionghua Totok secara signifikan.

  

ABSTRACT

THE DIFFERENT OF NEED FOR ACHIEVEMENT BETWEEN

PERANAKAN TIONGHUA ETNIC AND TOTOK TIONGHUA ETNIC

Yun Anita Aditya

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2007

  This research have purpose to know the The Different of Need for Achievement Between Peranakan Tionghua Etnic and Totok Tionghua Etnic. Need for Achievement means need that drive people to race with standart of excellence which get by it self, which connected with achievement that reach from the past and use it as comparation (self related standard of excellence), achievement that reach by other people (other related standard of exlellence), and can be by a standart which connected with perfection task result (task related standard of excellence). The four element of need for achievement are ability (power), work, difficulty task, luck (serendepity)

  Subject in this research are 44 people which of 21 Totok Tionghua Etnic and 23 Peranakan Tionghua Etnic. The method used scale which containing some statement to measure need for achievement level for each subject.

  The result of the test of reliability this scale is 0.915. This result show that the scale good to the test the need for achievement for each subject. Because of this research is comparing beetween two independent variabels the technique use the independent sample t-test. The analyse of the research use program of SPSS 13.0 for windows.

  From the result of t-test is equal to 0.417 that indicating this the hipothesis of this research was refused. The hypothesis indicate that there are no difference of need for achievement between Peranakan Tionghua Etnic and Totok Tionghua Etnic.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Yun Anita Aditya Nomor Mahasiswa : 999114073

  Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihakan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet, atau media lain untuk kepantingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya, maupun memberikan royalti kepada saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 22 Februari 2008 Yang menyatakan (Yun Anita Aditya)

  Puji syukur kepada Tuhan Yesus kristus karena berkat dan kasih karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Motif Berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok”. Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Maka dalam kesempatan ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih sedalam- dalamnya pada :

  1. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. Terimakasih atas waktu yang diluangkan untuk saya.

  2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. Terimakasih atas perjuangannya.

  3. Bapak Dr. A. Supratikya. Terimakasih telah meluangkan waktu membimbing dan mengkoreksi skripsi saya dengan penuh kesabaran.

  4. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si. Terimakasih telah membimbing saya dan menjadi motivator dikala saya mulai merasa putus asa.

  5. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si. Terimakasih telah memberikan masukan-masukan dalam penyusunan skripsi saya.

  6. Papa (Alm) dan Mama yang membuatku ada di dunia ini. Yang tak habis- habisnya memanjatkan doa, memberikan kasih sayang dan semua yang terbaik buatku. Papa, Sorry I’m late……….

  7. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi. Terimakasih telah membagikan ilmunya pada ku sehingga aku jadi seperti ini.

  8. Mba’ Nanik dan Mas Gandung. Terimakasih telah membantu saya selama berada di Sanata Dharma.

  9. Dua sejoli Mas Muji “Beckham”dan Mas donny”sssstttt….”Matur nuwun sanget.

  10. Pa’ Gi. Makasih buat senyummu, like a sunshine di Sanata Dharma.

  11. My Bro and Sist. Thanks udah dukung dan melindungi aku selama ini.

  Kalian malah terkadang jadi kakak buat aku. Aku tahu ini semua tak mudah juga buat kalian. Ayo kita wujudkan semua yang kita cita-citakan selama ini.

  12. Buat teman - teman seperjuanganku para penggemar tempe bosok, Della Pus…makasih buat pinjaman komputer dan printernya sampe jadi nge hang, jadi temen diskusi bikin skripsi dan nonton “heroes” Thanks juga udah jadi a shoulder 2 cry on buat aku. Asti, makasih udah sabar dengerin keluh kesah ku yang rada-rada ajaib.

  13. Ooh Tony yang kecil, item, kriting, idup lage. Makasih buat dukungannya.

  Ayo semangat…….aza aza fighting….

  14. Teman angkatan 99: Vincent, Andi, Milli, Rany, Vero”Schumi”, Uni.

  Akhirnya kita lulus yooooo…….

  15. Buat Enny. We still friend kan ??? Enjoy Ur life.

  16. Martha “My angel” Akhirnya aku menepati janji mu menyusul kamu. Ayo berburu poster lagi. Nice memories with you.

  17. Rino”Pinky”Wijaya, teman ngalong dalam suka dan duka. You like a brother for me. Thanks for everything. Hidup M_ _ _ M lol

  18. Evi”Panda”, Irma, Iin. Makasih buat support dan perhatiannya selama ini.

  19. Gank kost Ebenhaizer : Jendhol, Shinta, Yuli, Omar, Yorita, Yusan, Choco Chip, Moelly, Lincex terimakasih telah menyemarakkan hidupku. Buat mba Rofi yang selalu bukain pintu buat aku, makasih ya mba….

  20. Mba nya WTC. Makasih uda mau aku repotin dan dengerin kisah ala sinetron dariku.

  21. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak…..

  Yogyakarta, 30 November 2007 Penulis

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………..……………………..........…. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………......…….....……. ii

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. iii

HALAMAN MOTTO......................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................................. vi

ABSTRAK.......................................................................................................... vii

ABSTACT........................................................................................................... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN................................................ ix

KATA PENGANTAR......................................................................................... x

DAFTAR ISI.......................................................................................................xiii

DAFTAR TABEL...............................................................................................xvi

  

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah..................................................................................... 9 C. Tujuan Penelitian....................................................................................... 9 D. Manfaat Penelitian..................................................................................... 9

BAB II. LANDASAN TEORI........................................................................... 10

A. Etnis Tionghoa......................................................................................... 10 B. Motif Berprestasi...................................................................................... 18

  1. Pengertian Motif dan Motivasi........................................................... 18

  2. Pengertian Motif Breprestasi.............................................................. 21

  3. Ciri –ciri Individu dengan Motif Berprestasi yang Tinggi................. 22

  4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Motif Berprestasi.................... 26

  C. Perbedaan Motif Berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok............................................................................... 31

  D. Hipotesis................................................................................................... 33

  

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 35

A. Jenis Penelitian......................................................................................... 35 B. Indentifikasi Variabel Penelitian.............................................................. 35 C. Definisi Operasional Penelitian……...………………………………..... 35 D. Subjek Penelitian…………………............................................……….. 38 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data……….......................................… 38 F. Validitas dan Reliabilitas………………..…………………..…………. 41

  1. Validitas………………………..………..……………….………… 41

  2. Reliabilitas…………………...………………………………...…… 42

  G. Metode Analisis Data………...…………………………………..…….. 43

  

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 44

A. Pelaksanaan Penelitian………………………….......………………….. 44 B. Hasil Penelitian........................................................................................ 44

  1. Uji Asumsi......................................................................................... 44

  2. Deskripsi Data Penelitian................................................................... 46

  3. Uji Hipotesis....................................................................................... 48

  C. Pembahasan.............................................................................................. 50

  

BAB V. PENUTUP............................................................................................. 55

A. Kesimpulan.............................................................................................. 55 B. Saran – Saran............................................................................................ 56

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 59

LAMPIRAN – LAMPIRAN............................................................................. xvii

1. Skala Uji Coba Motif Berprestasi.

  2. Data Uji Coba , Reliabilitas dan Validitas Data Uji Coba.

  3. Data Sesudah Uji Coba, Reliabilitas dan Validitas Data Susudah Uji Coba.

  4. Skala Penelitian Motif Berprestasi 5. Data Penelitian, Uji Normalitas, Uji Homogenitas, dan t- test.

  

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skor Skala Motif Berprestasi................................................................ 39

Tabel 2. Blue Print dan Distribusi Item Skala Motif Berprestasi berdasarkan

  Sikap Favorable dan Unfavorable Sebelum Uji Coba…..................... 40

  

Tabel 3. Susunan Nomor Item Skala Motif Berprestasi Setelah Uji Coba......... 42

Tabel 4. Ringkasan One Sample Kolmogorov Smirnov Test.............................. 45

Tabel 5. Ringkasan Levene test........................................................................... 46

Tabel 6. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian

Tabel 6.1. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan

  Seluruh Subjek.................................................................... 46

Tabel 6.2. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan

  Etnis Tionghoa Peranakan................................................... 46

Tabel 6.3. Ringkasan Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan

  Etnis Tionghoa Totok.......................................................... 46

  

Tabel 7. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis............................................................ 48

  bangsa, penduduk asli yang mendiami suatu daerah, misalnya Sunda, Jawa, Batak, dan Minang. Sedang yang dimaksud suku bangsa keturunan adalah penduduk, suku bangsa dari luar Indonesia yang berdiam di Indonesia dalam jangka waktu yang lama, menikah kemudian menghasilkan keturunan di Indonesia seperti layaknya penduduk Indonesia ( Gondomono, 2002 )

  Seperti kata sebuah iklan rokok bahwa catur tidak akan ada apabila tidak ada warna hitam dan putih, demikian juga dengan suku bangsa yang heterogen.

  Berbagai macam suku bangsa yang tinggal di Indonesia berinteraksi satu sama lain tanpa meninggalkan ciri khas masing-masing. Ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing suku selain segi fisik juga menyangkut segi budaya. Keberagaman suku bangsa ini menciptakan keanekaragaman dalam berbagai hal baik dalam segi fisik yang benar-benar kentara ataupun cara pandang dan pikir yang hanya dapat dikenali apabila berinteraksi lebih lanjut. Dapat dikatakan, perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang sangat ditentukan oleh kebudayaan tempat individu itu tinggal dan berinteraksi.

  Salah satu yang mendorong munculnya perilaku pada individu adalah ketika individu memiliki dorongan yang bertujuan memenuhi kebutuhannya.

  Ketika seseorang membutuhkan sesuatu maka dia akan berusaha memenuhinya dan cara memenuhi kebutuhan itu akan mendorong terjadinya perilaku yang khas.

  Dorongan yang muncul dari individu untuk memenuhi kebutuhannya disebut motivasi.

  Parwitasari 2002:17 menyatakan bahwa motif adalah suatu keadaan yang mengakibatkan individu bertingkah laku untuk memenuhi atau mencapai tujuan.

  Motif yang menjadi tingkah laku konkrit disebut motivasi. Lebih diperjelas lagi oleh Herdianingrum (2004) bahwa motif adalah suatu kondisi internal atau dorongan, yang bisa saja berasal dari dalam individu atau dari luar individu yang mendorong dan mengarahkan individu untuk melakukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu serta memuaskan kebutuhan atau keinginan individu. Sedangkan motivasi adalah proses dari dalam individu yang memberi dorongan kepada motif untuk melakukan usaha (tingkah laku) dalam mencapai tujuannya serta untuk memuaskan kebutuhannya.

  Anoraga (1995:44) mengatakan motivasi adalah dorongan, keinginan sehingga individu melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan memberikan yang terbaik darinya, baik waktu maupun tenaga, demi tercapainya tujuan yang diinginkan.

  Manusia merupakan makluk sosial, sehingga hidup bermasyarakat. Di dalam masyarakat terjadi proses interaksi antar manusia dan hampir semua perilaku kita dinilai dan dievaluasi oleh masyarakat umum dengan kriteria tertentu yang ada dalam masyarakat dimana individu itu tinggal walaupun manusia memiliki kriteria sendiri terhadap kualitas perilaku yang dihasilkannya. Kriteria itu dapat berupa prestasi orang lain ataupun prestasi diri sendiri yang pernah dicapai sebelumnya.

  Adanya need of achievement menyebabkan manusia memiliki dorongan untuk berbuat lebih baik daripada orang lain guna mencapai sukses, sesuai dengan standar yang ditetapkan sendiri. Walaupun demikian faktor masyarakat atau lingkungan sekitar turut andil dalam terbentuknya need of achievement. Dengan demikian manusia selalu ingin menjadi lebih baik daripada lingkungan dan memenuhi tuntutan yang ada di masyarakat.

  McClelland (1985), berpendapat bahwa individu yang mempunyai motif berprestasi yang cukup tinggi juga mempunyai sikap positif terhadap situasi berprestasi dan akan lebih berprestasi dalam situasi dimana dia dapat berpacu dengan ukuran keunggulan yang diinternalisasi, serta prestasinya akan lebih baik jika tujuannya dapat ditentukan sendiri. Motif ini terefleksikan dalam perilaku- perilaku seperti pencapaian tujuan yang sulit, penentuan rekor baru, ingin sukses dalam penyelesaian tugas-tugas sulit, dan mengerjakan sesuatu selesai sebelum batas waktunya.

  Ditambahkan Jung (1978), Individu dengan need of achievement yang tinggi menunjukkan aktivitas dengan orientasi berprestasi karena individu ini memiliki tingkat kecemasan yang rendah terhadap kegagalan sehingga lebih berani dalam mencoba. Hal ini berbalikan dengan individu dengan need of

  

achievement rendah yang tidak menunjukkan aktivitas dengan orientasi prestasi karena memiliki tingkat kecemasan yang tinggi.

  Tinggi rendahnya motif berprestasi pada individu dipengaruhi oleh banyak hal antara lain lingkungan seperti keluarga, dan masyarakat sekitar berupa nilai- nilai, falsafah hidup yang diajarkan oleh orang tua secara turun temurun pada seseorang. Selain itu motif berprestasi juga dipengaruhi oleh individu itu sendiri seperti perkembangan kognitif dan atribusi diri.

  Winterbottom (dalam Jung, 1978) melakukan penelitian dengan mewawancarai wanita-wanita berumur duapuluh sembilan tahun dengan taraf motif berprestasi yang bervariasi. Dia menemukan bahwa ibu yang memiliki anak dengan motif berprestasi yang tinggi melatih kemandirian anak mereka pada usia yang lebih dini dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak dengan motif berprestasi yang rendah. Lebih lanjut Winterbottom mengatakan bahwa ibu dari anak dengan motif beprestasi yang tinggi memberikan dorongan lebih banyak dan semangat untuk mencapai kemandirian daripada ibu dari anak dengan motif berprestasi yang rendah. Mereka lebih membatasi anak mereka.

  Hal ini dikuatkan oleh Rosen dan D'Andrade (dalam McClelland, 1985) yang mengobservasi perilaku orang tua ketika anak mereka berusaha menyusun menara dari balok. Orang tua diijinkan berbicara dengan anaknya tetapi tidak secara fisik membantu mereka. Orang tua dengan motif berprestasi yang tinggi memiliki harapan dan dukungan yang lebih tinggi pada anaknya . Sedangkan anak dengan motif berprestasi yang tinggi meminta lebih sedikit pertolongan pada orang tuanya.

  Nilai-nilai dan falsafah hidup yang diajarkan sejak individu kecil, dalam hal ini need of achievement, biasanya akan tertanam hingga dewasa. Nilai-nilai dan falsafah itu sendiri merupakan hasil dari kebudayaan yang berbeda-beda. Ada kebudayaan yang menekankan pada need of achievement yang tinggi, ada juga yang tidak begitu menekankan perlunya need of achievement.

  McClelland menyatakan hipotesis (dalam Herdianingrum, 2004:20) bahwa ada hubungan antara motif berprestasi dengan keberhasilan berwirausaha dan akibatnya bagi petumbuhan ekonomi bangsa. Menurut McClelland guna mempercepat kemajuan di negara berkembang perlu ditingkatkan motif berprestasi rata-rata dalam masyarakat. Hal ini berdasarkan atas hasil-hasil penelitiannya di berbagai negara, bahwa di negara-negara maju ternyata motif berprestasi rata-rata dalam masyarakat lebih tinggi dibandingkan dengan motif berprestasi rata-rata dalam masyarakat yang negaranya sedang berkembang.

  Apabila kita telusuri, masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah keturunan dari wilayah Tiongkok Tenggara yang sebagian besar tiba di salah satu wilayah di Indonesia (atau Hindia Belanda, Nusantara) sebelum abad ke-17. Sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, para pendatang itu hanya terdiri dari Etnis pria. Mereka menikahi perempuan pribumi setempat dan membangun keluarga sehingga sekarang menjadi beberapa generasi. Etnis ini disebut juga “Etnis Tionghoa Peranakan” terutama di Pulau Jawa (Gondomono, 2002). Setelah beberapa generasi, kelompok Etnis Tionghoa Peranakan ini bisa dikatakan mapan, sehingga perkawinan bisa dilakukan diantara pria Etnis Tionghoa Peranakan dengan perempuan Etnis Tionghoa Peranakan juga sehingga perkawinan dengan penduduk setempat makin berkurang.

  Keturunan dari para pendatang ini masih menyebut dirinya juga Etnis Tionghoa karena tradisi sistem kekerabatan mereka yang menganut patrilineal, yaitu mengikuti garis keturunan pria. Walaupun demikian keturunan pendatang ini lebih dekat dengan ibu mereka sehingga biasanya tidak dapat berbahasa China dan sehari-harinya menggunakan bahasa ibunya atau bahasa daerah, kecuali beberapa istilah yang sehari-hari sering digunakan ayah mereka, seperti istilah kekerabatan, keagamaan, perdagangan, termasuk untuk hitung-menghitung.

  Setelah pertengahan abad ke-19 keadaan ekonomi para imigran China umumnya lebih baik daripada imigran abad-abad sebelumnya. Mereka datang membawa istri dan anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan. Akibatnya kemudian terbentuklah kelompok orang Etnis Tionghoa yang ayah dan ibunya orang China. Etnis ini dikenal sebagai “Etnis Tionghoa Totok”. Kebudayaan mereka, termasuk bahasanya berbeda dengan “Etnis Tionghoa Peranakan” (Gondomono, 2002).

  Mereka yang di sebut singkeh oleh Etnis Tionghoa Peranakan yang berarti tamu baru ini memiliki budaya yang berbeda dengan Etnis Tionghoa Peranakan.

  Tradisi dan adat kehidupan China mereka masih terlihat, seperti agama, gaya hidup, kebudayaan dan orientasi hidup. Mereka juga tidak mau terpengaruh budaya dan adat setempat sehingga cederung bergaul dengan sesamanya saja.

  Hal yang menjadi pertanyaan bagi peneliti adalah apakah perbedaan dari kedua golongan Etnis di atas mempengaruhi motif berprestasi dari kedua Etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa Peranakan dimana mereka sejak lahir lebih dekat dengan budaya ibunya yaitu budaya setempat sehingga walaupun tidak sepenuhnya berciri pribumi seperti budaya ibunya (Jawa, Bali, Sunda, dan lain- lain.) tapi tidak juga sepenuhnya China (Hokkian, Tiociu, dan sebagainya) ini menyebabkan mereka sedikit banyak mempertahankan falsafah dan mengikuti budaya dan norma lingkungan setempat.

  Penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2003) menyatakan ada perbedaan motif berprestasi antara Etnis Tionghoa dan Etnis Jawa. Etnis Tionghoa memiliki

  need of achievement yang lebih tinggi dibandingkan dengan Etnis Jawa. Effendi

  juga menyatakan, hal ini dipengaruhi budaya yang dianut oleh kedua etnis khususnya pola asuh bagi anak-anak mereka.

  Dikarenakan peneliti melakukan pengambilan data di Solo, maka Etnis Tionghoa Peranakan di Solo menjadi lebih dekat dengan kebudayaan ibunya yang merupakan Etnis Jawa. Selain itu dikarenakan mereka tinggal ditengah lingkungan Etnis Jawa maka mereka mengikuti kebudayaan, orientasi hidup dan norma dari lingkungan setempat.

  Sebaliknya dengan Etnis Tionghoa Totok yang memiliki orang tua yang masih “orang China”. Etnis ini menganut budaya dan bahasa menurut tuturan masing-masing seperti Hokkian, Hakka, Kanton, dan lain-lain. Etnis Tionghoa Totok sangat memperhatikan keaslian budaya leluhur sehingga tidak mau terpengaruh dengan budaya setempat. Hal itu dianggap akan mempengaruhi sifat keaslian mereka.

  Sebagian besar masyarakat Etnis Tionghoa di Indonesia menekuni dunia perdagangan dan sektor swasta. Kondisi ini tak lepas dari sejarah di masa penjajahan Belanda yang memanfaatkan orang Etnis Tionghoa sebagai pedagang perantara, kolektor hasil bumi dan hasil hutan di desa-desa untuk kemudian diserahkan pada pedagang besar atau perusahaan Belanda. Bila mereka telah mapan dan dirasa cukup memiliki modal maka mereka akan membuka usaha sendiri (berwiraswasta) dan merambah pada mata pencaharian lain bukan hanya pedagang hasil bumi.

  Penelitian dari Effendi (2003) juga membedakan pola asuh. Pada Etnis Tionghoa dasarnya adalah ajaran Buddhisme, Taoisme, dan Konfusionisme yang menekankan pentingnya kesuksesan dengan ulet, rajin, dan keras dalam berusaha serta memiliki etos kerja selain itu juga mengenalkan anak sejak kecil dengan pekerjaan seperti wiraswasta. Berbeda dengan kebudayaan Etnis Jawa yang mempengaruhi Etnis Tionghoa Peranakan.

  Kebudayaan Etnis Jawa diwarnai mistik seperti tiga sikap hidup yang dimiliki oleh masyarakat jawa seperti rila, narima, dan sabar sehingga terlihat pasif dalam mengusahakan suatu hal. Lebih menekankan kepastian dalam mengusahakan sesuatu dan kecenderungan mencari kepastian, dengan mencari penghasilan yang tetap dan mengurangi resiko kegagalan dengan menjadi karyawan.

  Gejala-gejala dan fenomena yang muncul diatas menarik perhatian peneliti untuk mengamati dan menyelidiki lebih lanjut apakah ada perbedaan taraf motif berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok. Oleh karena itu peneliti mengangkat topik pembahasan dengan judul ”Perbedaan Motif Berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok”

  B. Rumusan Masalah

  Berawal dari latar belakang diatas, maka masalah pokok yang ingin diketahui adalah “apakah secara empirik ada perbedaan motif berprestasi antara Etnis Tionghoa Totok dengan Etnis Tionghoa Peranakan ”

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya perbedaan motif berprestasi antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok.

  D. Manfaat penelitian

  1. Manfaat Teoretis Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi kajian ilmiah ilmu psikologi terutama mengenai motif berprestasi terutama pada Etnis Tionghoa

  Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok dan juga memperkaya bidang penelitian psikologi.

  2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi yang cukup akurat bagi masyarakat pada umumnya dan Etnis Tionghoa pada khususnya mengenai perbedaan motif berprestasi antara “Etnis Tionghoa Peranakan” dengan “Etnis Tionghoa Totok” sehingga dapat di jadikan acuan untuk perbaikan kualitas hidup. macam golongan, yaitu:

  1. Suku bangsa asli Yang digolongkan sebagai suku bangsa asli adalah suku bangsa, penduduk asli, yang mendiami suatu daerah, misal Sunda, Jawa, Batak, dan Minang.

  2. Suku bangsa keturunan Sedang yang dimaksud suku bangsa keturunan adalah penduduk, suku bangsa dari luar Indonesia yang berdiam di Indonesia dalam jangka waktu yang lama, menikah, kemudian menghasilkan keturunan di Indonesia seperti layaknya penduduk Indonesia.

  Pulau Jawa yang terkenal dengan kesuburannya menjadi sentral daerah perdagangan di Indonesia. Hal itu menyebabkan Pulau Jawa menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam masyarakat untuk melakukan kegiatan jual beli. Masyarakat pendatang tersebut pada awalnya membawa ciri khas dan kebudayaannya masing-masing, yang selanjutnya terkena akulturasi dengan budaya setempat, misalnya bahasa, perilaku, atau kebiasaan. Para pendatang yang menjadi pedagang di Indonesia berasal dari berbagai negara antara lain Arab, China, dan Gujarat.

  Saat ini diperkirakan menurut sensus pada tahun 2000 jumlah penduduk Tionghoa (WNI dan WNA) kira-kira 3 juta orang, yaitu sekitar 1,5% dari penduduk Indonesia (Suryadinata, Arifin, dan Ananta 2003). Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia menyepakati istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang keturunan China di Indonesia secara khas disebut sebagai Orang Tionghoa.. Istilah ini sesuai dengan pasal 26 UUD 1945 (Tedy Jusuf, 2000).

  Apabila kita telusuri sebagian besar masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah keturunan dari wilayah Tiongkok Tenggara yang tiba di salah satu wilayah di Indonesia (Hindia Belanda, atau Nusantara) sebelum abad ke-17 untuk bekerja. (Gondomono, 2002). Mereka tidak hanya bekerja sendiri melainkan ada juga bekerja pada pihak lain sebagai buruh perkebunan dan pertambangan Sampai kira- kira pertengahan abad ke-19, para pendatang itu hanya terdiri dari pria. Mereka menikahi perempuan pribumi setempat dan membangun keluarga sehingga sekarang menjadi beberapa generasi. Etnis ini disebut juga “Etnis Tionghoa Peranakan” terutama di pulau Jawa. Keturunan dari para pendatang ini masih menyebut dirinya juga orang Tionghoa karena tradisi sistem kekerabatan mereka yang menganut patrilineal, yaitu mengikuti garis keturunan pria. Walaupun demikian keturunan pendatang ini lebih dekat dengan ibu mereka sehingga biasanya tidak dapat berbahasa Tionghoa dan sehari-harinya menggunakan bahasa ibunya atau bahasa daerah, kecuali beberapa istilah yang sehari-hari sering digunakan ayah mereka, seperti istilah kekerabatan, keagamaan, perdagangan, termasuk untuk hitung-menghitung (Gondomono, 2002).

  Lebih diperjelas oleh Noordjanah (2004) bahwa pada masa pemerintahan

  VOC yang di maksud Golongan Tionghoa Peranakan adalah pertama, mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dan ayah dari China dan lahir di Hindia Belanda.

  Dalam ketentuan hukum Kolonial Belanda, mereka termasuk Onderdaan Belanda.

  

Kedua , mereka yang lahir dari perkawinan campuran, yaitu laki-laki keturunan

  China dan wanita pribumi. Sebagai anak yang diakui secara sah oleh ayahnya dan didaftarkan sebagai anak sahnya dengan diberi nama keluarga (She). Ketiga, mereka yang dilahirkan dari perkawinan campuran antara ayah pribumi dan ibu keturunan China, dan karena pengaruh keadaan sosial dan ekonomi, diberi nama keluarga (She) dan mendapat pendidikan di dalam lingkungan Tionghoa. Ada satu lagi tipe dari peranakan yaitu anak yang lahir dari hasil perkawinan antara laki- laki peranakan dan wanita peranakan dan diberi nama Tionghoa.

  Setelah pertengahan abad ke-19 dengan dibukanya daerah Batavia dan Jawa Barat untuk pedagang Tionghoa oleh pemerintah VOC, para imigran tertarik untuk bekerja di Jawa. Keadaan ekonomi para imigran China umumnya lebih baik daripada imigran abad-abad sebelumnya sehingga mereka membawa istri dan anak-anak mereka ke Indonesia. Akibatnya kemudian terbentuklah kelompok orang Tionghoa yang ayah dan ibunya orang Tionghoa. Etnis ini dikenal sebagai “Etnis Tionghoa Totok”. Kebudayaan mereka, termasuk bahasanya berbeda dengan “Etnis Tionghoa Peranakan” walaupun dalam kelompok Tionghoa Totok sendiri bahasa dan kebudayaannya juga bermacam-macam menurut kelompok tuturan masing-masing (lingusitic group), seperti Hakka, Hokkian, Teociu, dan lain-lain (Gondomono, 2002).

  Keluarga Tionghoa Totok sangat memperhatikan pendidikan budaya leluhur, sehingga mereka lebih suka memasukkan anak-anak mereka ke sekolah khusus Tionghoa. Diharapkan anak-anak mereka tidak akan terpengaruh adat dan budaya setempat atau para Tionghoa Peranakan. Karena menurut mereka, hal tersebut bisa mempengaruhi perkembangan keturunannya, terutama dalam hal mempertahankan akar budaya dan sifat-sifat keaslian mereka (Noordjanah, 2004).

  Berbeda dengan Tionghoa Totok, kehidupan Etnis Peranakan lebih terbuka dan lebih mudah beradaptasi dengan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan oleh pola didikan mereka yang diterapkan oleh penguasa Belanda. Mereka lebih terpengaruh budaya barat (Belanda). Mereka tidak lagi dapat berbahasa China karena lebih sering berkomunikasi dengan bahasa Belanda, Inggris, dan Melayu.

  Masyarakat Tionghoa di Indonesia sebagian besar menekuni dunia perdagangan dan sektor swasta. Kondisi ini tidak lepas dari faktor sejarah di masa penjajahan Belanda yang memanfaatkan orang Tionghoa sebagai pedagang perantara, menjadi kolektor hasil bumi dan hasil hutan dari desa-desa untuk kemudian diserahkan pada pedagang besar atau perusahaan Belanda (Gondomono, 2002). Kondisi yang sudah berlangsung ratusan tahun ini menyebabkan orang Tionghoa lebih memahami seluk beluk berdagang. Setelah Indonesia merdeka posisi orang Tionghoa sebagai pedagang perantara tetap berlangsung atau bahkan mengambil alih perusahaan besar Belanda serta berwiraswasta.

  Keleluasaan beradaptasi dan pendidikan modern yang diperoleh golongan Peranakan membawa pengaruh pada pekerjaan. Mereka lebih suka mencari pekerjaan yang lebih bervariasi dan tidak terbatas pada bidang perdagangan saja. Mereka cenderung tidak meneruskan usaha dagang orang tuanya, tetapi mereka lebih menyukai bidang-bidang profesi seperti juru tulis, dan pegawai swasta.

  Golongan Tionghoa Peranakan juga lebih terbuka dalam hal menerima pengaruh kebudayaan, agama, dan kepercayaan setempat. Hal ini terjadi karena mereka tidak terlalu fanatik memegang ajaran leluhur (Noordjanah, 2004).

  Setelah tahun 1930, banyak orang Tionghoa terutama dari Etnis Peranakan yang mempunyai pendidikan tinggi menekuni bidang profesi sebagai dokter, insinyur, ahli hukum, ekonom, dan lainnya. Tidak sedikit juga yang telah menguasai perusahaan besar yang dikelola menurut cara-cara Barat.

  Etnis tionghoa sangat menjunjung tinggi ajaran leluhurnya sehingga dimanapun mereka tinggal selalu berpatokan pada ajaran-ajaran dari ahli pikir leluhurnya. Tedy Jusuf (2000) berpendapat, pada dasarnya tradisi dan kepercayaan atau agama merupakan dua hal yang berbeda, tetapi apabila kita melihat masyarakat Tionghoa di Indonesia sulit dibedakan dengan jelas manakah yang merupakan ekspresi tradisi, dan mana yang merupakan ekspresi kepercayaan atau agama. Tuhan Allah atau Tian (Langit) diyakini sebagai penguasa tertinggi di dunia dan akherat, sedangkan dewa, dewi, arwah suci, arwah para pahlawan, dan leluhur di bawah kekuasaan Tuhan Allah sehingga kekuasaan mereka terbatas di wilayah atau bidang masing-masing.

  Konsep pemikiran orang Tionghoa sesuai dengan ajaran agama tradisional, yang menganggap hanya orang suci yang dapat naik ke surga sebagai dewa, dewi.

  Agama yang sebagian besar mereka anut adalah ajaran-ajaran yang banyak memberikan pengaruh pada perkembangan dasar pikir, pandangan hidup, dan filsafat orang Tionghoa adalah Buddhisme, Taoisme, dan Konfusionisme atau di Indonesia dikenal dengan Khong Hu Cu (Effendi, 2003). Dalam rumah orang Tionghoa tradisional yang menganut Khong Hu Cu biasanya ada altar dalam ruang utama rumah yang disebut meja abu. Di meja abu terdapat foto leluhur yang sudah meninggal, disediakan tempat pemasangan hio dan pelita lampu merah. Terkadang ada yang menempatkan Kwan Im, Kwan Kong, Toa Pek Kong dan lainnya untuk dipuja dalam rumah. Tamu yang mempunyai kepercayaan sama biasanya sebelum masuk ke rumah dan memulai pembicaraan, terlebih dahulu mengambil hio untuk memberi hormat pada meja pemujaan tersebut.

  Menurut ajaran Khong Hu Cu ada lima kebajikan yang disebut “Ngo

  

Siang ” yaitu cinta kasih, adil dan bijaksana, susila dan sopan santun, cerdas dan

  waspada, jujur dan ikhlas. Selain Khong Hu Cu juga mengajarkan hendaknya manusia memanusiakan dirinya dengan cara mengembangkan Xing (watak sejati) yang ada dalam dirinya antara lain adalah Ren (cinta kasih), Yi (menjunjung tinggi kebenaran), Li (bekesusilaan), Zhi (kebijaksanaan), dan Xin (dapat dipercaya) serta persaudaraan ( Tedy Jusuf, 2000).

  Tempat beribadah umat Khong Hu Cu adalah Klenteng atau disebut juga

  

Lietang . Tempat ini merupakan rumah pemujaan bagi dewa, dewi, atau arwah-

  arwah orang suci, arwah leluhur, arwah pahlawan, bahkan barang-barang yang disucikan seperti pedang, jangkar dan lainnya. Kadang-kadang ada patung penguasa hutan, gunung, laut dan binatang-binatang tertentu seperti macan, liong, dan lainnya. Sedangkan Vihara adalah tempat ibadah bagi umat Buddha. Biasanya terdapat patung Buddha dan stupa. Umat Buddha beribadah dipimpin oleh pendeta Buddha yang biasanya berpakaian kuning (Tedy Jusuf, 2000).

  Ajaran Buddhisme adalah bagaimana menghindarkan penderitaan umat manusia dan beranggapan roda kehidupan itu ada di tangan “mara”yang merupakan akar kejahatan. Untuk membebaskan diri manusia harus melakukan tindakan yang benar yaitu mencari pengetahuan, kehendak yang benar, perkataan yang benar, perilaku yang baik, ucapan yang benar, pikiran yang benar dan renungan yang benar (Hariyono 1993:20).

  Menurut Hidajat (dalam Effendi, 2003), Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Tionghoa yang merupakan suatu spekulasi filsafat berdasarkan pada keseimbangan alam semesta. Tao ini mengajarkan lima ajaran baik yaitu berkelakuan ramah, berkelakuan sopan santun, cerdas, jujur dan adil.

  Maka dapat disimpulkan perbedaan karakteristik antara Etnis Tionghoa Peranakan dengan Etnis Tionghoa Totok adalah sebagai berikut

  Datang pada pertengahan Datang sebelum abad 17, abad 19, dengan membawa sendirian, dan kemudian anak dan istri dari China. menikah dengan penduduk setempat.

  Pada awalnya bekerja sebagai Pada awalnya bekerja sebagai pedagang. buruh perkebunan dan pertambangan. Mempertahankan akar budaya Beradaptasi dan berakulturasi dan sifat keaslian mereka dengan kebudayaan setempat.

  (budaya leluhur). Pendidikan ala Tionghoa. Pendidikan ala Barat (Belanda).

  Sebagian besar meneruskan Sebagian besar bekerja bisnis keluarga (pedagang) kantoran, dan menekuni bidang profesi (dokter, insinyur, ekonom).

  Motif adalah suatu dorongan yang berasal dari dalam atau luar individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.

  Atkinson (1960), menyebutkan bahwa motif merupakan suatu dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan atau tingkah laku dan untuk mencapai tujuan tertentu.

  Walau motif merupakan sumber internal pada individu tetapi peranannya juga tidak lepas dari apa yang ada diluar individu, seperti lingkungan, atau hal lain yang terkait. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (1987:162) motif pada dasarnya punya tiga macam unsur, yaitu unsur pendorong tingkah laku, unsur pemilih tingkah laku, dan unsur pengatur tingkah laku. Dengan memiliki unsur pendorong tingkah laku, seseorang memiliki kesiapan pada suatu tingkah laku. Dengan unsur pemilih, individu dapat menentukan tingkah laku yang akan dan tidak akan dilakukan. Sedangkan dengan unsur pengatur, seseorang dapat memperhatikan tingkah laku yang sudah dipilihnya.

  Motif adalah suatu keadaan yang mengakibatkan individu bertingkah laku untuk memenuhi atau mencapai tujuan. Motif yang menjadi tingkah laku konkrit disebut motivasi (Handoko, 1992). Berkaitan dengan motif, (Atkinson dalam Herdianingrum, 2003:19) juga menjelaskan bahwa motif merupakan suatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke suatu tujuan, sedangkan motivasi adalah keadaan dimana individu yang terangsang oleh motif, jika suatu motif dihubungkan dengan suatu pengharapan yang sesuai. Dijelaskan lagi oleh Martaniah (1984:19) mengatakan bahwa motivasi terjadi jika suatu motif telah dihubungkan dengan suatu tujuan atau penghargaan tertentu.